Pendahuluan
1. Latar Belakang
Buruknya kinerja eksisting
dan
minimnya
keterlibatan
stakeholders lain mengindikasikan
perlunya penerapan prinsip-prinsip
budaya korporat dalam sistem
pelayanan air bersih perkotaan.
Penerapan
prinsip-prinsip
ini
dalam sistem pelayanan air bersih
diperlukan
karena
mampu
menjadikan sistem ini menjadi
lebih holistik (memanfaatkan dan
melibatkan semua sumber daya
yang tersedia), selain itu budaya
korporat sendiri secara realistis
telah
terbukti
mampu
meningkatkan kinerja pelayanan meskipun selama ini praktek
penerapannya
terbatas
pada
perusahaan privat.
Indikasinya adalah banyaknya
permasalahan dan kendala yang
harus dihadapi, baik yang
bersifat
internal
maupun
eksternal,
yang
semuanya
bermuara
pada
kondisi
manajemen pelayanan yang
buruk. Selain itu juga belum
diterapkannya prinsip budaya
korporat dalam manajemen
sistem pelayanan air bersih. Hal
tersebut
sesuai
dengan
pernyataan,
bahwa
belum
adanya
penerapan
prinsip
budaya korporat ini juga bisa
dilihat dari tingginya tingkat
keluhan masyarakat sebagai
konsumen (Suara Pembaruan,
13 April 2000).
Tingginya tingkat kebocoran
dan rendahnya tingkat dan
cakupan
pelayanan
mengindikasikan adanya dua
kemungkinan:
1. Tidak
adanya
sistem
pelayanan air bersih yang
bersifat terpadu, melibatkan
berbagai stakeholder terkait
(DPU, PDAM, masyarakat,
praktisi, akademisi, dll.);
2. Sistem pelayanan air bersih
terpadu telah ada, namun
stakeholders yang terlibat
belum bekerja secara optimal
sesuai dengan fungsi dan
perannya.
Kedua hal tersebut, jika
ditelaah lebih lanjut akan
bermuara
pada
belum
diterapkannya
prinsip
manajemen budaya korporat
(corporate culture) sebagai
semangat
dasar
dalam
pelaksanaan
pelayanan
air
bersih
perkotaan.
Budaya
korporat menjadi penting untuk
pertanggungjawaban organ
sehingga pengelolaan dapat
terlaksana secara efektif.
Prinsip ini diwujudkan
antara lain dengan adanya
fungsi pengawasan baik yang
sifatnya internal maupun
eksternal audit.
4. Responsibility
(Responsibilitas): kesesuaian
di
dalam
pengelolaan
terhadap
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Prinsip
ini
diwujudkan
dengan
kesadaran
bahwa
tanggungjawab
merupakan
konsekuensi
logis
dari
wewenang, menyadari adanya
tanggung
jawab
sosial,
menghindari penyalahgunaan
kekuasaan,
dan
menjaga
lingkungan organisasi yang
sehat.
Metode Penelitian
Pembahasan
dilakukan
dengan pendekatan deskriptifanalisis.
Deskriptif
dapat
menggambarkan
kondisi
pelayanan air bersih perkotaan
pada saat sekarang secara
umum. Metode pengumpulan
data dan informasi dilakukan
dengan metode studi literatur.
Hasil dan Pembahasan
1. Pentingnya
Budaya
Korporat
Salah satu hal penting yang
tentang penerapan prinsipprinsip budaya korporat adalah
aktifnya keterlibatan pihak
swasta dan masyarakat. Peran
aktif inilah yang sebenarnya
menyebabkan adanya efektivitas
dalam pelayanan (pengelolaan
dan penyediaan) air bersih
perkotaan.
Model sistem yang akan
digunakan dalam pelayanan air
bersih adalah mengadopsi dari
model struktur kepemimpinan
(board
structure)
dalam
2
perusahaan.
Adopsi
ini
dilakukan
mengingat
pada
perusahaan,
peran
dari
pemimpin sangat penting karena
memperlihatkan
bagaimana
fungsi dan peran masing-masing
stakeholders dalam organisasi
dan
hubungan
antarstakeholders
terjalin
dan
bekerja.
Ada dua jenis model
struktur kepemimpinan (board
structure system), yaitu struktur
kepemimpinan tunggal (singleboard system) dan struktur
kepemimpinan
ganda
(two
board system). Perbedaan antara
kedua
jenis
struktur
kepemimpinan ini adalah adatidaknya pemisahan
antara
keanggotaan dewan. Struktur
kepemimpinan
ganda
(two
board system) secara tegas
memisahkan
keanggotaan
dewan, yakni antara dewan
direksi
(sebagai
eksekutif)
dengan
dewan
komisaris
(sebagai pengawas), sedangkan
struktur kepemimpinan tunggal
(single-board
system)
(a)
sebaliknya.
Lihat
Gambar
(b)
(b)
Model
Struktur
kepemimpinan ganda (two
board system)
Pelayanan air bersih sebagai
bentuk pelayanan publik akan
lebih baik jika menerapkan
sistem struktur kepemimpinan
ganda (two board system), hal
ini dikarenakan:
1. Pengaruh
pelaku
pembangunan
nonPemerintah (swasta, planner,
investor/swasta)
dapat
dijalankan
melalui
mekanisme dewan komisaris
sehingga
tidak
harus
mengganggu aktivitas normal
manajemen,
dan
memungkinkan
dapat
meningkatkan pengaruhnya.
2. Memungkinkan
masuknya
lebih
banyak
komisaris
independen,
seperti
masyarakat
dan
swasta/investor.
3. Adanya independensi dari
pihak dewan direksi.
Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu faktor eksternal yang
menghambat pelayanan air
bersih
adalah
tingginya
intervensi Pemerintah Daerah
(Pemda) dalam manajemen
PDAM dan DPU. Model ini
dapat
menjelaskan
posisi
masing-masing
pelaku
pembangunan, sehingga tingkat
independensi
dapat
dipertahankan
tanpa
harus
kehilangan kebutuhan publik
akan mekanisme pengendalian
(Tjager, dkk., 2003).
2.
berikut.
daerah
perkotaan,
sumbersumber air yang layak sulit
diperoleh, air sungai umumnya
telah tercemar dan air sumur
biasanya mengandung kadar
besi dan mangan yang tinggi.
Pada daerah permukiman padat,
air sumur sudah banyak yang
tercemar limbah manusia. Pada
permukiman daerah pantai,
situasinya diperburuk dengan
adanya intrusi air laut, sehingga
air sumur menjadi payau.
Kebutuhan
akan
pelayanan yang efisien, dengan
jaminan kualitas, kuantitas dan
kontinuitas yang memenuhi
syarat-syarat tertentu, sangat
tinggi. Hanya saja dalam
prakteknya harapan ini belum
bisa didapatkan mengingat
buruknya pelayanan (meliputi
pengelolaan dan penyediaan).
Hal ini dapat dilihat dari
tingginya tingkat kebocoran
nasional yang mencapai yang
rata-rata mencapai 40%, tingkat
dan cakupan pelayanan yang
tergolong rendah, yaitu 36%
(Sukarma, 1997).
Keberadaan
model
sistem pelayanan air bersih yang
didasarkan pada penerapan
prinsip-prinsip budaya korporat,
yang meliputi prinsip fairness
(kewajaran), disclosure and
transparency
(transparan),
accountability (akuntabilitas),
dan
responsibility
(responsibilitas), sebagai sebuah
mekanisme kontrol menjadi
salah satu alternatif solusi yang
diharapkan dapat meningkatkan
kinerja pelayanan air bersih
perkotaan, sehingga PSD Air
Bersih dapat menjadi salah satu
stimulan perkembangan kota.
Secara
realistis
hal
tersebut menunjukkan bahwa
terdapat kaitan yang erat antara
budaya
korporat
dan
keberhasilan
perusahaan
Perkotaan
&
Wilayah.
Penerbit ITB, Bandung.
Kotter, JP. and J.L. Heskett.
1997. Corporate Culture and
Performance.P.T.
Prenhallindo, Jakarta
Moeljono, D. 2003. Budaya
Korporat dan Keunggulan
Korporasi. P.T. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Rukmana, N., F. Steinberg, dan
R. Van der Hoff (editor).
1993.
Manajemen
Pembangunan
Prasarana
Perkotaan. P.T. Pustaka
LP3S, Jakarta.
Soeparmono. 2000. Privatisasi
Air dan Kepentingannya.
Suara Pembaruan. 5 Juni
2000, Jakarta.
Sukarma, R. 1998. PDAM dan
Manajemen Krisis. Suara
Pembaruan. 29 September
1998, Jakarta.
Tjager, I.N., F.A. Alijoyo, H.R.
Djemat, dan B. Soembodo,
2003.
Corporate
Governance:Tantangan dan
Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis
Indonesia.
P.T.
Prenhallindo, Jakarta. 32.
Riawayat Penulis
Robby Gunawan Yahya, Drs.,
Ir., MT., adalah Dosen Kopertis
Wilayah IV yang dipekerjakan
pada Universitas Langlangbuana
Bandung. S1 dari Jurusan
Pendidikan Teknik Sipil FKIT
IKIP Bandung, S1 dari Jurusan
Teknik Sipil ST-INTEN, dan S2
dari Jurusan Teknik Sipil
Universitas
Parahyangan
Bandung.