Anda di halaman 1dari 45

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan
menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Kadek
Wilmayani dan dr. Novrita sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam
melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada temanteman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangankekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena
kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat
menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mataram, 4 Januari 2014

Penyusun

DAFTAR ISI
1

Kata Pengantar . 1
Daftar Isi .. 2
BAB I : PENDAHULUAN.... 3
1.1. Skenario... 3
1.2. Learning Objective (LO)......3
1.3. Mind Map 4
BAB II : PEMBAHASAN ... 5
BAB III : PENUTUP 44
Daftar Pustaka... 45

BAB I
PENDAHULUAN
2

1.1. SKENARIO 3
kok beser terus sih?....
Seorang laki-laki, berusia 40 tahun datang ke praktek dokter mandiri dengan
keluhan sering buang air kecil. Keluhan ini sebenarnya sudah dirasakan sejak
beberapa bulan yang lalu. Awalnya ia hanya mengira keluhannya ini hanya karena
ia semakin sering makan dan minum. Namun seminggu terakhir ini ia merasa
sangat terganggu karena harus sering terbangun tengah malam untuk buang air
kecil, ditambah lagi karena badannya yang gemuk yang membuatnya sulit
bergerak. Ia mengaku sudah berbadan gemuk sejak remaja, namun beberapa bulan
ini ia merasa berat badannya menurun. Pasien juga khawatir karena di
keluarganya banyak yang menderita penyakit kolesterol.
Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan hasil BB 100kg
dengan TB 163cm, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 100x/menit, suhu 37 oC,
dan respirasi 22x/menit. Dokter kemudian merujuk ke laboratorium untuk
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
1.2. LEARNING OBJECTIVES
1. Hubungan obesitas dengan diabetes mellitus
2. Hormon-hormon yang mempengaruhi kadar glukosa darah
3. DM

1.3. MIND MAP

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. ANALISIS SKENARIO


Analisis Faktor Resiko
Pria 40 tahun
Diabetes melitus tipe 2 biasanya timbul pada usia 40 tahun keatas, tetapi
dapat juga terjadi dan diketahui semakin meningkat kejadiannya saat ini pada
orang-orang yang lebih muda, terutama pada etnik tertentu dan obese.
Riwayat kolestrol keluarga dan badan gemuk
Perkembangan resistensi insulin yang menjadi penyebab dasar diabetes
melitus tipe 2 dan gangguan metabolisme glukosa biasanya terjadi secara
bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Akan tetapi,
mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum
pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot
rangka, hati, dan jaringan adiposa pada orang obese lebih sedikit daripada jumlah
reseptor pada orang yang kurus. Namun, kebanyakan resistensi insulin agaknya
disebabkan oleh kelainan jaras sinyal yang menghubungkan reseptor yang
teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya
disebabkan oleh efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka
dan hati akibat kelebihan berat badan. Resistensi insulin merupakan bagian dari
serangkaian kelainan yang sering disebut dengan sindrom metabolik. Beberapa
gambaran sindrom metabolik meliputi: (1) obesitas, terutama akumulasi lemak
abdomen; (2) resistensi insulin; (3) hiperglikemia puasa; (4) abnormalitas lipid,
seperti peningkatan kadar trigliserida darah dan penurunan HDL di darah; dan (5)
hipertensi. Semua gambaran sindrom metabolik berkaitan erat dengan kelebihan
berat badan, terutama dengan akumulasi jaringan adiposa di rongga abdomen di
sekitar organ-organ visera.

Analisis Keluhan
Sering sekali buang air kecil, sampai-sampai waktu tidur malamnya terganggu
karena harus beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi

Frekuensi atau polikasuria adalah frekuensi berkemih yang lebih dari normal.
Polikasuria dapat disebabkan karena produksi urine yang berlebihan (poliuria)
atau karena kapasitas buli-buli yang menurun sehingga sewaktu buli-buli terisi
pada volume yang belum mencapai kapasitasnya, rangsangan miksi sudah terjadi.
Penyakit-penyakit seperti diabetes melitus, diabetes insipidus, atau pun asupan
cairan yang berlebihan merupakan penyebab terjadinya poliuria; sedangkan
menurunnya kapasitas buli-buli dapat disebabkan karena adanya obstruksi
infravesika, menurunnya komplians buli-buli, buli-buli contracted, dan buli-buli
yang mengalami inflamasi atau iritasi oleh benda asing di dalam buli-buli.
Nokturia adalah polikasuria yang terjadi pada malam hari. Seperti pada
polikasuria, pada nokturia mungkin disebabkan karena produksi urine meningkat
atau pun karena kapasitas buli-buli yang menurun. Orang yang mengkomsumsi
banyak air sebelum tidur, apalagi mengandung alkohol dan kopi menyebabkan
produksi urine meningkat. Pada malam hari, produksi urine meningkat pada
pasien-pasien gagal jantung kongestif dan edema perifer karena pada posisi
supinasi. Demikian halnya pada pasien usia tua, tidak jarang peningkatan produksi
urine pada malam hari karena kegagalan ginjal melakukan konsentrasi
(pemekatan) urine.
Hiperglikemia dapat menimbulkan gejala yang terjadi akibat hiperosmolalitas
darah. Selain itu, terjadi glikosuria karena kemampuan reabsorpsi tubulus dalam
menyerap kembali glukosa terlampaui. Ekskresi molekul glukosa yang aktif
secara osmotik menyebabkan hilangnya sejumlah besar air (diuresis osmotik).
Adanya zat terlarut dalam jumlah besar yang tidak direabsorpsi dalam tubulus
ginjal akan menyebabkan peningkatan volume urine yang disebut diuresis
osmotik. Zat terlarut yang tidak direabsorpsi di tubulus proksimal ini akan
memberi pengaruh osmotik yang cukup besar seiring berkurangnya volume cairan
tubulus dan meningkatnya kadar zat terlarut tersebut. Peningkatan kadar zat
terlarut ini akan menahan air dalam tubulus. Selain itu, gradien konsentrasi Na+
akan menjadi pembatas kerja pompa Na+ di tubulus proksimal. Pada keadaan
normal, reabsorpsi air di tubulus proksimal mencegah peningkatan gradien
konsentrasi Na+ yang berarti, namun pada diuresis osmotik ini konsentrasi Na+ di
cairan tubulus menurun akibat penurunan reabsorpsi air karena adanya
6

peningkatan jumlah zat terlarut yang tidak direabsorpsi di cairan tubulus. Bila
gradien konsentrasi pembatas telah tercapai, reabsorpsi Na+ selanjutnya di tubulus
proksimal terhambat; akan tetapi banyak Na+ yang tertinggal di tubulus dan air
juga akan tertahan di dalamnya. Akibatnya, ansa Henle mengandung cairan
isotonik yang sangat banyak. Konsentrasi Na+ dalam cairan ini rendah, namun
jumlah total Na+ yang mencapai ansa Henle dalam satu satuan waktu meningkat.
Di ansa Henle, reabsorpsi air dan Na+ berkurang karena hipertonisitas medula
menurun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan reabsorpsi Na +, K+
dan Cl- di pars asendens ansa Henle karena tercapainya gradien konsentrasi
pembatas untuk reabsorpsi Na+. Lebih banyak cairan yang melalui tubulus distal,
dan karena terjadinya penurunan tingkat gradien osmotik di piramida medula,
reabsorpsi air di duktus koligentes pun berkurang. Akibatnya terjadi peningkatan
mencolok volume urine yang dibentuk beserta peningkatan ekskresi Na + dan
elektrolit lainnya.
Semakin sering makan dan minum
Hiperglikemia dapat menimbulkan gejala yang terjadi akibat hiperosmolalitas
darah. Selain itu, terjadi glikosuria karena kemampuan reabsorpsi tubulus dalam
menyerap kembali glukosa terlampaui. Ekskresi molekul glukosa yang aktif
secara osmotik menyebabkan hilangnya sejumlah besar air (diuresis osmotik).
Dehidrasi yang terjadi mengaktifkan mekanisme yang mengatur asupan air
sehingga timbul polidipsia.
Berat badan menurun padahal sebelumnya gemuk
Kelebihan glukosa di luar sel pada diabetes berbeda dengan defisit intrasel.
Katabolisme glukosa secara normal adalah sumber energi utama untuk prosesproses sel, dan pada diabetes kebutuhan energi hanya dapat dipenuhi dengan
menggunakan cadangan protein dan lemak. Terjadi pengaktifan mekanismemekanisme yang sangat meningkatkan katabolisme protein dan lemak, dan salah
satu akibat peningkatan katabolisme lemak adalah ketosis.
Metabolisme Lemak
Kelainan utama metabolisme lemak pada diabetes adalah percepatan
katabolisme lemak disertai peningkatan pembentukan benda-benda keton, dan
penurunan sintesis asam lemak dan trigliserida. Pada diabetes, manifestasi
7

gangguan metabolisme lemak sedemikian menonjol sehingga penyakit ini pernah


disebut lebih merupakan penyakit metabolisme lemak daripada metabolisme
karbohidrat.
Lima puluh persen jumlah glukosa yang dimakan secara normal dibakar
menjadi CO2 dan H2O; 5% diubah menjadi glikogen; dan 30-40% diubah menjadi
lemak di jaringan adiposa. Pada diabetes, kurang dari 5% diubah menjadi lemak
walaupun jumlah yang dibakar menjadi CO 2 dan H2O juga menurun dan jumlah
yang diubah menjadi glikogen tidak meningkat. Dengan demikian, glukosa
tertimbun dalam aliran darah dan bocor memalui urine.
Pada diabetes, perubahan glukosa menjadi asam lemak di depot lemak
menurun karena defisiensi glukosa intrasel. Insulin menghambat lipase pekahormon di jaringan adiposa sehingga dengan tidak adanya hormon ini, kadar asam
lemak bebas (NEFA, UFA, FFA) dalam plasma menjadi lebih dari dua kali lipat.
Peningkatan glukagon juga berperan dalam mobilisasi FFA. Dengan demikian,
kadar FFA pada diabetes setara dengan kadar glukosa plasma dan dalam beberapa
hal merupakan indikator yang lebih baik dari keparahan status diabetes. Di hati
dan jaringan lain, asam lemak mengalami katabolisme menjadi asetil-KoA.
Sebagian asetil-KoA dibakar bersama residu asam amino untuk menghasilkan
CO2 dan H2O dalam siklus asam sitrat. Namun, pasokan melebihi kapasitas
jaringan mengkatabolisasi asetil-KoA.
Selain peningkatan glukoneogenesis dan meningkatkan glukosa dalam
sirkulasi seperti yang disebutkan sebelumnya, terjadi gangguan mencolok dalam
perubahan asetil-KoA menjadi malonil-KoA lalu menjadi asam lemak. Hal ini
disebabkan oleh karena defisiensi asetil-KoA karboksilase, enzim yang
mengkatalisis perubahan. Kelebihan asetil-KoA diubah menjadi benda-benda
keton.
Pada diabetes yang tidak terkontrol, kadar trigliserida dan kilomikron serta
FFA plasma meningkat, dan plasma sering lipemik. Peningkatan konstituenkonstituen ini terutama disebabkan oleh penurunan pengangkutan trigliserida ke
dalam depot lemak, dalam penurunan pengankutan ini.
Metabolisme Protein
8

Pada diabetes, kecepatan katabolisasi asam amino menjadi CO 2 dan H2O


meningkat. Selain itu, lebih banyak asam amino diubah menjadi glukosa di hati.
Peningkatan glukonemogenesis memiliki banyak sebab. Glukagon merangsang
glukoneogenesis dan pada diabetes, biasanya terjadi hiperglukagonemia.
Glukokortikoid adrenal juga berperan meningkatkan glukoneogenesis jika
meningkat kadarnya pada pengidap diabetes yang parah. Pasokan asam amino
untuk glukoneogenesis meningkat karena tanpa adanya insulin, sintesis protein di
otot menurun sehingga kadar asam amino meningkat. Alanin mudah diubah
menjadi glukosa. Selain itu, aktivitas enzim yang mengkatalisis perubahan piruvat
dan fragmen metabolik 2-karbon lain menjadi glukosa juga meningkat. Enzimenzim tersebut adalah fosfoenolpiruvat karboksikinase, yang mempermudah
perubahan oksaloasetat menjadi fosfoenolpiruvat. Enzim-enzim tersebut juga
mencakup fruktosa 1,6 difosfatase yang mengkatalisis perubahan fruktosa difosfat
menjadi fruktosa 6 fosfat dan glukosa 6 fosfatase, yang mengontrol masuknya
glukosa ke dalam sirkulasi dari hati. Peningkatan asetil-KoA meningkatkan
aktivitas pirivat karboksilase, dan defisiensi insulin meningkatkan pasokan asetilKoA karena lipogenesis berkurang. Piruvat karboksilase mengkatalisis perubahan
piruvat menjadi oksaloasetat.
Pada diabetes, efek akhir peningkatan perubahan perubahan protein menjadi
CO2, H20, dan glukosa, ditambah berkurangnya sintesis protein, adalah deplesi
protein, sehingga tubuh menjadi kurus. Deplesi protein oleh sebab apa pun
berkaitan dengan penurunan resistensi terhadap infeksi.
2.2. HUBUNGAN OBESITAS DENGAN DIABETES MELITUS
A. Hubungan Pembentukan Insulin dengan Proses Terjadinya Obesitas
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan
pada sel beta, insulin disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500)
dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor
yang lebih besar. Rangkaian pemandu yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam
9

amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma


dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat
molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukkan
jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari
bagian terminal amino, adalah rantai Bpeptida C penghubung rantai A. Molekul
proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik sehingga
terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan
disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas.
Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
walaupun asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi
insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin.
Glukosa merangsang sekresi insulin dengan masuk ke dalam sel beta melalui
transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam sel, glukosa mengalami proses
fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan membebaskan
molekul ATP.
Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses
penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran
ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti
kemudian oleh proses pembukaan

Ca channel.

Keadaan inilah yang

memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel,


suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang
cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi penutupan K channel
terjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi
glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk
obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat
diabetes), bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan
glukosa, tapi pada reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR),
yang juga terdapat pada membran sel beta.

10

Gambar 2.1 Mekanisme sekresi insulin


Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor
glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari
dua heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol dan . Subunit
terletak pada ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin.
Subunit merupakan protein transmembran yang melaksanakan fungsi sekunder
yang utama pada sebuah reseptor yaitu transduksi sinyal.
Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang
terletak pada bagian sitoplasma subunit dan kejadian ini akan memulai suatu
rangkaian peristiwa yang kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik
tirosin kinase dan berinteraksi dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan
Shc). Sejumlah protein penambat (docking protein) mengikat protein selular dan
memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS, SHP-2, p65, p110 dan
phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan transport
glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi
vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran
plasma. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen,
protein, lipogenesis dan regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin.

11

Gambar 2.2 Mekanisme kerja insulin


B. Hubungan Obesitas dengan Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
a. Hubungan Resistensi Insulin dengan Patofisiologi Diabetes Melitus
Tipe 2
Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer
(terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada diabetes melitus
tipe 2 dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas.
Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang
sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya
menyebabkan hiperglikemia.
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin
atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada diabetes melitus tipe 2
jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh
karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam
pembentukan sinyal pascareseptor. Polimorfisme pada IRS-1 mungkin
berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa
polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan
resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek
sinyal PI-3-kinase, yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran
plasma, diantara kelainan lainnya.
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis diabetes
melitus tipe 2. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit
12

dan otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan
resistensi insulin.
b. Hubungan Gangguan Sekresi Insulin dengan Patofisiologi Diabetes
Melitus Tipe 2
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang
berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes melitus tipe 1.
Pada awal perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2, sekresi insulin
tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola
sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi
insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.
Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya
gangguan sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2, dan bukan defisiensi
sintesa insulin. Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi
absolut yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding diabetes
melitus tipe 1. Penyebab defisiensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih
belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan
proses terjadinya diabetes melitus tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi
insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi
insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes
melitus tipe 2, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya
terjadi kehilangan 20-50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat
menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.
Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini
masih belum dipahami.
Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga
mempengaruhi sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin
setelah makan, sedangkan pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan
penurunan sekresi insulin yang melibatkan lipotoksisitas yang menginduksi
apoptosis sel islet dan/atau menginduksi uncoupling protein-2 (UCP-2) yang
menurunkan membran potensial, sintesa ATP dan sekresi insulin.
13

Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes melitus tipe 2


dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien
diabetes melitus tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin,
komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh
sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons
terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan resistensi
insulin pada fase awal diabetes melitus tipe 2 menyebabkan peningkatan
produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid
yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter
dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik
bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta
yang ditemukan pada kasus diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukan tempat
penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan endokrin aktif
yang dapat berkontribusi dengan otot dan hati. Efek adiposit terjadi melalui
zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini meliputi faktor
nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang disebut
resistin. TNF yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan
imunitas, disintesis di adiposit dan mengalami ekspresi yang berlebihan dalam
sel lemak orang dengan kegemukan.
TNF menyebabkan resistensi insulin dengan mempengaruhi jalur-jalur
pasca reseptor. Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan
obesitas hebat dan resistensi insulin pada hewan pengerat yang tidak memiliki
gennya. Pengembalian leptin ke hewan ini mengurangi obesitas dan secara
independen, karena itu tidak seperti TNF leptin memperbaiki resistensi
insulin. Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan kadarnya meningkat pada
model hewan pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar insulin meningkatkan
kerja insulin dan sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan
resistensi insulin pada hewan normal.
Polimorfisme pada peroxisome proliferator-activated receptor 2 (PPAR2) memiliki dampak yang luas untuk terjadi obesitas dan resistensi insulin.
Sebagian kecil individu heterizigot pada varian PPAR- 2 Pro12Ala kurang
14

menyebabkan kegemukan dan mengembangkan diabetes melitus daripada


sebagian besar populasi yang mengalami prohomozigot. Resistensi insulin
yang terjadi pada jaringan adiposa meningkatkan aktivitas hormone sensitive
lipase yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dalam sirkulasi.
Asam lemak bebas yang tinggi menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada
otot dan hati. Pada awalnya pankreas mampu mengontrol kadar glukosa
dengan overproduksi insulin. Dengan demikian banyaknya individu yang
obesitas yang tampaknya glukosa darahnya normal memiliki sindrom yang
ditandai dengan resistensi insulin pada jaringan perifer dan konsentrasi insulin
yang tinggi dalam sirkulasi. Namun pada akhirnya kapasitas pankreas untuk
memproduksi insulin menurun dan menyebabkan tingginya kadar glukosa
darah puasa dan turunnya toleransi glukosa.
Dalam sebuah penelitian kohort prospektif perempuan, 61% kasus yang
diperoleh dari diabetes tipe 2 dapat dikaitkan dengan kegemukan. Pada wanita
dengan BMI antara 23 dan 25 kg/m 2 mempunyai resiko hampir tiga kali lipat
untuk mengalami diabetes melitus dibandingkan wanita dengan BMI di bawah
23 kg/m2. Hal ini dapat meningkatkan resiko sampai 20 kali pada wanita
dengan BMI >35 kg/m.
Diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi karena kombinasi dari resistensi
insulin dan sekresi fungsi insulin yang relatif berkurang dari sel beta pankreas.
Disfungsi sel beta pankreas merupakan faktor risiko terpenting untuk
terjadinya diabetes melitus tipe 2. Ketika resistensi insulin meningkat,
produksi insulin oleh sel beta pankreas juga meningkat tetapi apabila adaptasi
ini gagal maka terjadilah kondisi yang dinamakan diabetes melitus.
Pada beberapa studi, adiponektin yang rendah dan peningkatan kadar
adipositokin lainnya (misalnya leptin, TNF-a, IL-6) berhubungan dengan
peningkatan risiko diabetes melitus. Hal ini mungkin tidak hanya berkaitan
dengan pengaruh terhadap sensitivitas insulin tetapi juga efek enzim tersebut
dalam pankreas yang menyebabkan kegagalan sel beta pankreas.
Meskipun asam lemak bebas secara akut dapat meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada orang obesitas asam lemak bebas yang ada di plasma
justru menghambat terjadinya sekresi insulin. Dengan adanya oksidasi
15

hiperglikemia, asam lemak bebas dihambat hal ini dapat mengakibatkan


akumulasi lemak rantai panjang asil-coA. Rantai panjang fattyacyl-KoA dan
asam lemak bebas dapat membuka saluran kalium sel beta yang dapat
mengurangi sekresi insulin. Asam lemak bebas juga meningkatkan ekspresi
protein yang tidak berpasangan, yang akan mengurangi produksi ATP yang
diperlukan untuk sekresi insulin. Selain itu, asam lemak bebas dapat
menginduksi apoptosis sel beta melalui respon stres endoplasma dan dengan
menghambat ekspresi faktor anti-apoptosis Bcl-2.
Ketika leptin memiliki efek menghambat sekresi insulin secara normal
oleh pankreas, maka telah disetujui bahwa resistensi leptin pada orang obesitas
terjadi

di

sel

beta

pankreas

sehingga

dapat

menambah

kejadian

hiperinsulinemia. Selain itu, efek leptin anti-apoptosis di sel beta dapat


dikurangi dengan memperthankan resistensi insulin. Efek anti-apoptosis pada
leptin termasuk pada penghambatan produksi oksida nitrat (NO) melalui
pengurangan kandungan trigliserida. NO bekerja menginduksi apoptosis
melalui penipisan sediaan kalsium dalam retikulum endoplasma (RE) dengan
menekan respon stres yang menginduksi ekspresi C/EBP protein.
TNF-a menghambat glukosa yang diinduksi secara in vitro sekresi insulin
mungkin melalui NO sintesis, yang dapat menyebabkan kerusakan pada DNA
insulin (asam deoksiribonukleat) untai, 75 dan dapat meningkatkan apoptosis
pada sel melalui b-Bcl-2. Insulin signaling dalam sel b-melalui b-sel reseptor
insulin itu sendiri sangat penting untuk fungsi sekresi insulin normal, dan
TNF-a mampu insulin signaling menghambat. Namun, apakah dalam
fenomena vitro sangat penting nyata untuk obesitas terkait mekanisme pada
diabetes tipe 2 tidak jelas karena plasma TNF-a tingkat lebih rendah dari
tingkat yang diperlukan untuk memperoleh efek di atas.
2.3. HORMON-HORMON YANG MEMPENGARUHI KADAR GLUKOSA
Konsentrasi gula darah atau tingkat glukosa darah adalah jumlah glukosa
(gula) hadir dalam darah seorang manusia atau binatang. Biasanya pada mamalia,
tubuh mempertahankan tingkat glukosa darah pada kisaran referensi antara sekitar
3,6 dan 5,8 mM (mmol/L, yaitu, milimol/liter), atau 64,8 dan 104,4 mg/dL. Tubuh
16

manusia secara alami ketat mengatur tingkat glukosa darah sebagai bagian dari
metabolisme homeostasis .
Glukosa adalah utama sumber energi untuk sel-sel tubuh, dan darah lipid
(dalam bentuk lemak dan minyak ) yang terutama menyimpan energi kompak.
Glukosa adalah diangkut dari usus atau hati ke sel-sel tubuh melalui aliran darah,
dan dibuat tersedia untuk penyerapan sel melalui hormon insulin , yang
diproduksi oleh tubuh terutama di pankreas .
Darah berarti kadar glukosa normal pada manusia adalah sekitar 4 mM (4
mmol/L atau 72 mg/dL, yaitu miligram/dL). Namun, tingkat ini berfluktuasi
sepanjang hari. Kadar glukosa biasanya terendah di pagi hari, sebelum makan
pertama hari (disebut "tingkat puasa"), dan meningkat setelah makan untuk satu
atau dua jam oleh beberapa millimolar.
Kadar gula darah di luar rentang normal dapat menjadi indikator kondisi
medis. Tingkat tinggi terus-menerus disebut sebagai hiperglikemia; tingkat rendah
yang disebut sebagai hipoglikemia. Diabetes mellitus ditandai dengan
hiperglikemia persisten dari salah beberapa penyebab, dan merupakan penyakit
yang paling menonjol terkait dengan kegagalan regulasi gula darah. Tingkat gula
darah tinggi sementara mungkin juga akibat dari stres yang parah, seperti trauma,
stroke yang, infark miokard, operasi, atau penyakit. Asupan alkohol menyebabkan
lonjakan gula darah awal, dan kemudian cenderung menyebabkan tingkat jatuh.
Juga, obat-obatan tertentu dapat meningkatkan atau menurunkan kadar glukosa.
Mekanisme regulasi gula darah
Kadar gula darah yang diatur oleh umpan balik negatif dalam rangka untuk
menjaga tubuh dalam homeostasis. Tingkat glukosa dalam darah dimonitor oleh
sel-sel dalam pankreas's pulau Langerhans . Jika tingkat glukosa darah jatuh ke
tingkat berbahaya (seperti dalam latihan yang sangat berat atau kekurangan
makanan untuk waktu yang lama), maka sel-sel Alpha dari rilis pancreas
glukagon, suatu hormon yang efeknya pada sel hati bertindak untuk meningkatkan
kadar glukosa darah. Mereka mengkonversi glikogen menjadi glukosa (proses ini
disebut glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, meningkatkan
kadar gula darah.
17

Ketika kadar gula darah meningkat, baik sebagai akibat dari glikogen
konversi, atau dari pencernaan makanan, hormon yang berbeda dikeluarkan dari
sel beta ditemukan di pulau Langerhans di pankreas. Hormon ini, insulin,
menyebabkan hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen yang lebih (proses
ini disebut glikogenesis ), dan memaksa sekitar 2/3 dari sel-sel tubuh
(terutama otot dan sel-sel jaringan lemak) untuk mengambil glukosa dari darah
melalui GLUT 4 transporter, sehingga menurunkan gula darah. Ketika insulin
berikatan dengan reseptor pada permukaan sel, vesikel yang berisi GLUT 4
transporter datang ke membran plasma dan sekering bersama oleh proses
eksositosis dan dengan demikian memungkinkan difusi yang difasilitasi glukosa
ke dalam sel. Begitu glukosa memasuki sel, itu adalah terfosforilasi ke Glukosa-6Fosfat dalam rangka melestarikan gradien konsentrasi sehingga glukosa akan terus
masuk ke dalam sel. Insulin juga menyediakan sinyal untuk beberapa sistem tubuh
lainnya, dan merupakan kepala kontrol metabolik regulasi pada manusia.
Ada juga penyebab lain beberapa peningkatan kadar gula darah. Di antara
mereka adalah 'stres' hormon seperti adrenalin, beberapa steroid, infeksi, trauma,
dan tentu saja, konsumsi makanan.
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh produksi yang tidak memadai atau
tidak ada insulin, sedangkan tipe 2 terutama karena penurunan respon terhadap
insulin di jaringan tubuh (resistensi insulin). Kedua jenis diabetes, jika tidak
diobati, mengakibatkan terlalu banyak glukosa yang tersisa dalam darah
( hiperglikemia ) dan banyak komplikasi yang sama. Juga, terlalu banyak insulin,
dan / atau latihan tanpa asupan makanan yang cukup sesuai pada penderita
diabetes dapat menyebabkan gula darah rendah ( hipoglikemia ).
Hormon yang mempengaruhi tingkat glukosa darah

Hormon
Insulin

Efek pada

Jaringan

Efek metabolik

Asal

Glukosa
Darah

Pankreas Se 1) Meningkatkan masuknya glukosa ke Menurunkan


l

dalam sel;
2) Meningkatkan penyimpanan glukosa
18

sebagai glikogen, atau konversi menjadi


asam lemak;
3) Meningkatkan sintesis asam lemak dan
protein;
4) Menekan pemecahan protein menjadi
asam

amino,

dari jaringan

adiposa ke

dalam lemak bebas asam.


1) Menekan rilis glukagon dari sel
Somatostatin

Pankreas

(bertindak secara lokal);

Sel

2) Menekan pelepasan insulin, hormon

Menurunkan

tropik hipofisis, gastrindan secretin .


1) Meningkatkan pelepasan glukosa dari
Glukagon

Pankreas

glikogen;

Sel

2) Meningkatkan sintesis glukosa dari

Menimbulkan

asam amino atau asam lemak.


1) Meningkatkan pelepasan glukosa dari
Epinefrin

Medula

glikogen;

adrenal

2) Meningkatkan pelepasan asam lemak

Menimbulkan

dari jaringan adiposa.


Kortisol

ACTH
Hormon

Korteks

1) Meningkatkan glukoneogenesis ;

adrenal

2) Antagonizes insulin.

Anterior
pituitari
Anterior

Pertumbuhan pituitari

Menimbulkan

1) Meningkatkan pelepasan kortisol;


2) Meningkatkan pelepasan asam lemak Menimbulkan
dari jaringan adiposa.
Antagonis Insulin

Menimbulkan

1) Meningkatkan pelepasan glukosa dari


Tiroksin

Kelenjar

glikogen;

gondok

2) Meningkatkan penyerapan gula dari


usus

2.4. DIABETES MELITUS TIPE I


19

Menimbulkan

Diabetes melitus (DM) tipe 1 merupakan kelainan metabolik homeostasis


glukosa yang bermanifestasi secara sekunder akibat kekurangan insulin yang
absolut.
Epidemiologi
Angka insidensi dan prevalensi di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
dari populasi, etnis dan geografis, yang menunjukkan peran penting faktor
lingkungan dalam timbulnya DM tipe 1 ini. Di Inggris raya ada sekitar 150.000
orang yang terkena DM tipe 1. Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes pada
orang berusia < 20 tahun adalah sekitar 2/1.000 populasi. Secara umum untuk
DM tipe 1, insidensi totalnya tiap tahun adalah 20/100.000 populasi. DM tipe
1 juga terjadi pada orang dewasa, dengan insidensi 8,2/100.000 populasi tiap
tahun. Insidensi puncaknya pada usia < 20 tahun.
Etiologi dan faktor resiko
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan timbulnya DM tipe 1 :
1. Proses autoimunitas dimediasi sel-T yang menghancurkan sel

pankreas

sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Proses ini lebih sering terjadi pada
orang yang memiliki predisposisi secara genetik. Lokus genetik yang
berkaitan erat adalah alel human leukocyte antigen (HLA)-DR and HLADQ dari major histocompatibility complex (MHC)kelas II Akan tetapi pada
lebih dari setengah kembar monozigot dari pasien DM (orang dengan genotip
spesifik seperti di atas) tidak terkena DM tipe 1. Hal ini menunjukkan
adanya peranan penting faktor lingkungan. Lebih jauh, sebagian besar
pasien (85%) tidak memiliki riwayat keluarga dengan kelainan yang sama,
tetapi memiliki riwayat penyakit autoimun lain seperti anemia pernisiosa,
penyakit Addison, penyakit seliaka, dll.
2. Infeksi virus seperti mumps, rubella, coxsackie, sitomegalovirus, retrovirus,
dan epstein-barr. Secara umum, infeksi virus akan secara langsung
menimbulkan respon autoimun maupun secara tidak langsung menyerang
sel pankreas sehingga bisa memicu timbulnya proses autoimunitas.
3. Faktor diet. Konsumsi glukosa tidak berpengaruh terhadap terjadinya DM
20

tipe 1. Protein pada susu sapi yang diberikan pada neonatus meningkatkan
resiko timbulnya DM tipe 1. Nitrosamin dengan dosis yang berlebihan
menghasilkan radikal bebas merusak sel pankreas.
Patogenesis
DM tipe I merupakan hasil interaksi dari genetik, lingkungan, dan faktor
imunologis, yang pada akhirnya menghasilkan suatu destruksi sel beta pancreas
dan defisiensi insulin DM tipe 1dihasilkan dari destruksi sel beta pancreas dan
orang yang memiliki penyakit ini mempunyai mekanisme autoimun yang
menghancurkan islet pankreasnya secara langsung. Beberapa individu yang
memiliki fenotip klinis DM tipe 1 memiliki marker imunologis yang
mengindikasikan proses autoimun yang merusak sel beta. Individu ini akhirnya
berkembang menjadi seseorang yang kekurangan insulin akibat sel penghasilnya
yang

rusak. Dalam tubuh individu

pemecahan asal

lemak

ini akhirnya mengalami ketosis

akibat

berlebihan sebagai sumber energi. Individu dengan

suseptibilitas genetic memiliki sel beta yang normal, akan tetapi beberapa bulan
atau tahun

kemudian

akan

mengalami destruksi sekunder pada sel beta

pankreasnya oleh mekanisme autoimun. Proses autoimun ini dipicu oleh stimulus
lingkungan atau infeksi yang nantinya mendukung kearah destruksi molekul
spesifik sel beta pancreas. Sebagian besar, marker imunologis akan terlihat pada
keadaan setelah kejadian infeksi atau keadaan lingkungan lainnya terpicu, tetapi
sebelum keadaan diabetes secara klinisnya mulai jelas. Massa sel beta kemudian
perlahan menurun dan sekresi insulin secara progresif ikut menurun walaupun
toleransi glukosa masih terpelihara. Laju penurunan massa dan jumlah sel beta
bervariasi diantara individu, dengan beberapa pasien klinisnya berkembang secara
cepat ke keadaan diabetes dan yang lainnya lebih lambat. Tampilan klinis keadaan
diabetes tidak akan terlihat sampai destruksi sel beta mencapai kurang lebih 80%.
Pada titik ini, sel beta residual fungsional masih ada tetapi sudah insufisien
untuk melihat keadaan toleransi glukosa. Hal inilah yang memicu transisi ke
keadaan intoleransi menjadi diabetes yang

sesungguhnya yang

seringkali

ditandai oleh peningkatan kebutuhan akan insulin,terutama saat infeksi dan


pubertas. Setelah presentasi klinis DM 1 terlihat, fase "honeymoon" terjadi
21

selama kontrol glikemik oleh insulin mencapai kadar yang rendah.


Manifestasi
Manifestasi klinis DM tipe 1 lebih akut dibandingkan DM tipe 2 (dalam
beberapa hari atau minggu), umumnya pasien kurus dan memiliki gejala-gejala
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, cepat lelah, dan terdapat infeksi
(abses, infeksi jamur misalnya kandidiasis). Dapat terjadi ketoasidosis disertai
gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea.

Penatalaksanaan
Pada dasarnya diabetes mellitus tipe satu membutuhkan terapi insulin akibat
kerusakan sel beta pancreas yang menyebabkan defisiensi absolute pada insulinya.
Pada DM tipe 1, terapi difokuskan pada penggantian insulin. Gaya hidup sehat
juga diperlukan untuk memfalitasi terapi insulin dan mengoptimalkan kesehatan
pasien.
2.5. DIABETES MELITUS TIPE II
Dabetes melitus (DM) tipe 2, yang sebelumnya disebut diabetes melitus tidak
tergantung insulin (NIDDM, Non Insulin Dependent Diabetes Melitus), adalah
sekelompok penyakit yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia, resistensi
insulin/defisiensi insulin dan berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular
(retinal,renal), makrovaskular ( koronerdanperifer), dan neuropatik.
Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia,
kemungkinan disebabkan karena meningkatnya pasien obesitas dan aktivitas fisik
yang kurang. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO
22

memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah
di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi
DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado.
Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat
tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM
1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi
12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.
Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah
8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada
urban (14,7%) dan rural (7,2%)maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 jutadi daerah rural.
Etiologi
DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai
komplikasi

mikrovaskuler

dan makrovaskuler. Semua

keadaan

diabetes

merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak
adekuat, ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi DM bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas penderita DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih
dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada DM yang lebih berat, sel-sel beta telah
rusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik
yang berkaitan dengan defisiensi insulin.
Patofisiologi
23

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan


yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pankreas
Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal
pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten
terhadap efek insulin menyebabkan sel pankreas mensekresi insulin dalam
kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah,
sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan
euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa
darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia;
disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah.
Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif
(telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pankreas
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa
Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan DM tipe 2. Akhirakhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang
menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada
keadaan puasa.
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 (early peak) yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disimpan dalam sel beta, tidak
dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 yaitu sekresi insulin
20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak,
tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang
normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1
tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh
hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsurangsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan
demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada
24

kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam,
akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin
tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan
sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam
darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati
khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati
makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat
(acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan
bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose
toxicity)
Diagnosis
Anamnesis

Gejala yang timbul,

Pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan

Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk


terapi gizi

Medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara


mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan

Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan


makan, dan program latihan jasmani

Riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)

Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus


urogenitalis

Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,


mata, saluran pencernaan, dll.)

Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas,


dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
25

Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM

Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi kehidupan


seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Pevaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti :

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :


1. Jika

keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM


26

2. Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan,


mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM
3. Dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

Gambar. 2.3 Kriteria Diagnosis DM


Langkah-langkah diagnosis DM :

27

Gambar. 2.4 Langkah Diagnosis DM


Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil
yang diperoleh.
o TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7.8-11.0 mmol/L)
o GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes. Adapun tujuan penatalaksaannya terbagi atas :

28

Jangka pendek hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa


nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.

Jangka panjang tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit


mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Empat Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
2. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu
sendiri).Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
29

individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan


makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, tempe.
30

c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 g (1 sendok teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Termasuk pemanis bergizi adalah gula alcohol dan fruktosa.
b. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
c. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
d. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
e. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
f. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI )
Kebutuhan kalori :
31

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan


penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll (PERKENI, 2006).
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore
(25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah.

Gambar. 2.5 Terapi Jasmani


4. Terapi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
a. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
32

1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


2) Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis (metformin)
4) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Pemicu Sekresi Insulin

Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.


Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.
Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion
Tiazolidindion

(rosiglitazon

dan

pioglitazon)

berikatan

pada

Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu


reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
33

Penghambat glukoneogenesis

Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.


Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum


kreatinin

>

1,5

mg/dL)

dan

hati,

serta

pasien-pasien

dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,


renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ialah kembung dan flatulens.

Gambar. 2.6 Efek Kerja OHO


34

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


o OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal
o Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
o Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
o Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
o Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
o Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan
pertama
o Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak


terkendali dengan perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin :


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1) insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2) insulin kerja pendek (short acting insulin)
3) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4) insulin kerja panjang (long acting insulin)
35

5) insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed


insulin).
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi
OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan
kombinasi tiga OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM
tipe-2). Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat
hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

36

Gambar. 2.7 Pemberian kombinasi OHO dan Insulin

37

Gambar. 2.8 Jenis-jenis OHO

38

Gambar. 2.9 Farmakokinetik Insulin


Prognosis
Diabetes mellitus tidak bisa disembuhkan tetapi dapat dikontrol sehingga
kualitas hidup penderitanya sama dengan orang normal. Prognosis DM akan
berbeda-beda sesuai dengan kondisi pasien, dan komplikasi yang telah
dideritanya.
Komplikasi Akut
Diabetic Ketoacidosis
Diabetik Ketoacidosis (DKA) paling sering terjadi pada DM tipe 1. DKA
dapat pula terjadi pada DM tipe 2 pada kondisi yang ekstrim. Apabila kadar
insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat,
penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam
lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan
aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan
produksi

keton

meningkatkan

beban

ion

hidrogen

dan

asidosis

metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan


39

diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien
dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma
dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga
kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA
dapat dilakukan sedini mungkin.
Terdapat beberapa kelainan metabolik pada DKA, antara lain:
1) Hiperglikemia Glukosa darah >250 mg/dL
Menimbulkan: Diuresis Osmotik akibat hiperglikemia (Poliuria) dan
Polidipsia yang muncul dalam 1-2 hari.
2) Ketosis dan Asidosis metabolik Ketonemia dan ketonuria sedang, serum
Bikarbonat yang rendah(<15 mEq/L) dan pH <7.3
Menimbulkan: Pernapasan Kussmaul, Nafas beraroma buah.
DKA ditangani dengan
(1) Perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,
(2) Pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan
(3) Pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis.
Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat diberikan melalui
infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering dan infus
glukosa dalam air atau satin akan meningkatkan penggunaan glukosa,
mengurangi lipolisis dan pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan penggantian kalium.
Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada pen derita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat
terjadinya dekompensasi diabetik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien
dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika.

Hyperosmolar Hyperglikemik
Kondisi ini paling sering ditemukan pada Diabetes Melitus tipe 2. Kondisi ini
ditandai dengan :
40

1) Hiperglikemia yang berlebihan yaitu >600 mg/dL


2) Hiperosmolaritas Osmolaritas plasma >310 mOsm/L
3) Dehidrasi
Kondisi ini dapat terjadi akibat resistensi insulin dan intake glukosa yang
berlebihan. Prognosis penyakit ini lebih buruk jika dibandingkan dengan DKA.
Manifestasi klinisnya berupa dehidrasi, gejala dan tanda neurologis
(hemiparesis, penurunan kesadaran, hemianopia, nistagmus), dan rasa haus yang
berlebih. Kondisi ini sering ditemukan pada lansia, oleh karena itu seringkali
disalah-artikan sebagai stroke.
Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin
regular. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak
terdapat ketosis.
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes dependen insulin
mungkin suatu saat menerima in sulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yan
dibutuhkannya untuk mempertahankan kada glukosa normal yang mengakibatkan
terjad hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan
epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga a kibat
kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul,
dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berb ahaya,
bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapa: menyebabkan
kerusakan otak yang permanen atau bahkar: kematian. Penatalaksanaan
hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidr at, baik oral maupun
intravena. Kadang-kadang dibe rikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis
secara intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia
akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon
pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang
seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek
Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik
yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin,
dan dengan demikian menurunkan hiperglikemi
Hipoglikemia
41

Kondisi ini paling sering terjadi akibat peningkatan kadar insulin yang
berlebih yang disertai dengan penurunan kadar glukosa di bawah normal. Keadaan
ini paling banyak terjadi akibat injeksi insulin yang tidak terkontrol dan
penggunaan obat hipoglikemik oral yang berkepanjangan.
Komplikasi Kronis
Prinsip-prinsip timbulnya kelainan pada pembuluh darah dan beberapa organ
lain seperti ginjal dan mata adalah akibat adanya proses glikolisasi enzimatik yaitu
pembentukan AGEs (Advanced Glycolisation End products) atau Glucose Protein
akibat adanya pajanan yang berulang terhadap glukosa pada kondisi
hiperglikemik. AFEs terbentuk setelah glukosa mengalami ikatan enzimatik
terhadap protein yang bersirkulasi dalam darah. AGEs ini akan berikatan dengan
berbagai sel-sel tubuh (memiliki reseptor khusus AGEs) yang selanjutnya akan
menyebabkan defek struktural pada sel-sel tubuhyang menyebabkan kerusakan
pada struktur kardiovaskuler, mata, dan ginjal.
Mikroangiopati
Terjadi akibat akumulasi AGEs pada pembuluh darah mikro, dan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga akan terjadi gangguan perfusi
organ, yang bermanifestasi pada:
1) Retinopati (kerusakan arteri yang memvaskularisasi retina)
2) Nefropati (penurunan perfusi ginjal).
Makroangiopati
Terjadi akibat akumulasi AGEs pada pembuluh darah makro, dan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga akan terjadi gangguan perfusi
organ, yang bermanifestasi pada:
1) Penyakit Jantung Koroner (pada arteri koroner)
2) Stroke (pada arteri serebral)
3) Gangguan sirkulasi perifer (pada arteri-arteri perifer) .
Neuropati
Ada dua perubahan patologis yang terkait dengan neuropati perifer:
1) Penebalan dinding pembuluh darah yang mensuplai nutrisi ke sel-sel sarafatau
neuron terjadi iskemia seluler
2) Demielinisasi pada sel Schwann sehingga terjadi penurunan konduksi neuron.
42

Kedua kondisi tersebut masih disebabkan oleh adanya glukosa protein yang
bersifat degeneratif sehingga terjadi kerusakan struktural sel.
Terdapat dua tipe neuropati, yaitu Neuropati Somatosensorik (Somatic
neuropathy) dan Neuropati Autonomik (Autonom Neuropathy). Berikut adalah
perbedaan gejala klinis yang ditimbulkan:
Komplikasi Kaki (Diabetic Feet Ulcer)

Gambar. 2.10 Kaki Penderita Diabetes

Seringkali timbul akibat kombinasi dari makroangiopati perifer dan neuropati


somatosensorik.

Merupakan komplikasi yang paling sering pada pasien diabetes melitus.

Lokasi yang paling sering mengalami ulserasi adalah pada

bagian yang

mengalami penekanan paling besar sewaktu melangkah atau berdiri, yaitu


pada bagian belakang tumit, area plantar-metatarsal, atau pada ibu jari.
Kondisi ini sering terjadi karena pasien tidak dapat merasakan adanya
kerusakan pada struktur kaki sehingga pasien seringkali terlambat menyadari
timbulnya komplikasi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, dalam scenario kali ini kelompok
kami mengambil diagnosis banding berupa diabetes mellitus baik tipe I dan II.
Selain diagnosis banding diatas, sebelumnya kami mengajukan diagnosis lain
berupa diabetes insipidus dan sindrom metabolik lainnya. Namun dikarenakan
43

bahasan yang terlalu luas dan dari keluhan di skenario lebih mengarahkan ke
diabetes mellitus, maka kami hanya membahas diabetes mellitus tipe I dan II.
Namun untuk memastikan dalam skenario termasuk diabetes mellitus yang tipe
mana masih diperlukan pemeriksaan penunjang yang bisa memastikan hal
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo dkk 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV,
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ganong. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia.
44

Price SA dan Wilson LM 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Edisi 6, Volume 2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Robbins, Cotran, Kumar, 2007, Buku Ajar Patologi Edisi 7, Volume 2, Jakarta:
EGC.
Sherwood & Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6.
Jakarta: EGC

45

Anda mungkin juga menyukai