Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Kebebasan berpendapat melalui pers dan forum ilmiah yang telah diatur didalam
perundang-undangan ternyata memperlihatkan pertentangan baik secara horizontal
maupun vertical, serta masih memperlihatkan adanya isi peraturan peundang-undangan
yang masih kabur. Kepustakaan hukum yang membahas teori kebebasan pers selain
jumlahnya yang terbatas, ternyata juga sudut pengkajiannya terfokus dari sudut hukum
pidana saja, sehingga kajian dari sudut hukum tata Negara dipandang perlu.
Alasan lainnya adalah kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia
merupakan materi kajian penting dalam hukum dogmatik maupun filsafat hukum, oleh
karena hak asasi manusia bersifat mendasar dan selalu aktual dalam dinamika kehidupan
manusia. Pelaksanaan kebebasan berpendapat di Indonesia yang dijamin dalam UUD
1945 yang implementasinya diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun
1982 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, P.P No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan
Undang-Undang lain yang terkait yaitu Undang-Undang No. 5 PNPS tahun 1963 tentang
Kegiatan Politik, Pasal 510 KUHP dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 jo UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara.
Penerapan Undang-Undang tersebut tidak jarang menimbulkan permasalahaan
dalam pelaksanaannya. Secara yuridis Pemerintah melindungi kebebasan berpendapat
melalui pers berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan,
tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah telah beberapa kali melakukan pelanggaran pers
dengan cara membreidel sejumlah surat kabar dan majalah. Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen) RI No. 01/Per/Menpen/1998 sebagai pengganti Permenpen
No.01/Per/Menpen/1984 masih juga tetap memberlakukan pengenaan sanksi administrasi
berupa pembekuan sementara surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) sebagaimana
diatur dalam pasal 23 ayat (2) huruf b. Pasal tersebut mirip dengan pasal 33 huruf h.
Permenpen 01/Per/Menpen/1984 tentang pembatalan SIUPP.
Berdasarkan Permenpen 01/1998 pasal 23 ayat (2) huruf c, pelanggaran pers
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan. Akan tetapi tidak jelas ditentukan
mengenai mekanisme pembatalan atau pembekuan SIUPP dapat dilakukan oleh
Pengadilan atau tidak. Apabila hal ini terjadi akan tetap bertentangan dengan UndangUndang Pokok Pers yang melarang adanya pembredelan.
Antara Undang-Undang Pers dengan Permenpen terdapat pertentangan dimana
UU pers menjamin adanya kebebasan pers, sedangkan Permenpen yang mengatur
perizinan surat kabar justru memperbolehkan adanya pembekuan SIUPP. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa pengaturan antara UU Pokok Pers dengan Permenpen
ternyata belum sinkron sehingga terdapat kekacauan pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Pers Indonesia.
Berdasarkan atas uraian ini maka terdapat beberapa pertanyaan yang mucul,
antara lain :
1. Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki hak-hak untuk dapat

mengembangkan diri pribadi dan perannya demi kepentingan masyarakat dan


negara dalam hubungan ini
a. Apakah yang menjadi dasar pembenar perlunya jaminan kebebasan
berpendapat, dan
b. Bagaimana jaminan kebebasan tersebut di Indonesia?
2. Kebebasan berpendapat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
berperan sebagai alat partisipasi dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran
yang obyektif , edukatif, maupun dalam bentuk penyampaian kritik. Dalam
hubungan ini bagaimana pengaturan dan penggunaan kebebasan berpendapat
melalui pers di Indonesia dan dijamin secara konstitusional berdasarkan UUD
1945?
3. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hal yang dapat dipergunakan
dalam melakukan kontrol sosial terhadap kebijaksanaan maupun keputusan
yang diambil pemerintah maupun dalam rangka membela kepentingan rakyat
dari tindakan-tindakan penguasa yang melanggar hak-hak asasi. Salah satu
sarana untuk melakukan kontrol sosial itu antara lain melalui forum ilmiah.
Sehubungan dengan itu bagaimana pengaturan dan penggunaan kebebasan
berpendapat melalui forum ilmiah berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan hakekat kebebasan berpendapat sebagai hak dasar yang harus dijamin
secara konstitusional?
BAB II
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILOSOFIS TENTANG KEBEBASAN
BERPENDAPAT
2.1 Peristilahan
Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara (HTN), hukum administrasi, hukum
pidana, hukum politik, dan filsafat hukum istilah-istilah seperti freedom, liberty,
independence, licence, dan privelige sering sekali dijumpai, dan tidak jarang istilahistilah ini diartikan begitu saja dengan kebebasan atau kemerdekaan.
2.1.1 Liberty
Manusia dalam keadaan alamih ( sejak dilahirkan) telah dikaruniai hak-hak
alamiah (fundamental) yaitu hak untuk hidup, kemerdekaan, dan hak milik. Yang
kemudian dapat kita pahami bahwa pada hakekatnya istilah liberty berkaitan dengan
penindasan, penjajahan, maupun dalam kaitannya dengan perbudakan.
Istilah liberty seringkali diterjemahkan begitu saja dengan istilah kebebasan.
Padahal istilah ini lebih tepat diterjemahkan sebagai kemerdekaan 1. Menurut John Echols
dan Hasan Shadily dalam kamus Inggris Indonesia. Istilah liberty artinya suatu
kemerdekaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Louis O Kattsoff 2 bahwa liberty
artinya kemerdekaan yang merupakan genus sedangkan freedom sebagai species.
1

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, Cetakan XX, 1992,
h.356.
2
LouisKatsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan IV, 1989, h.426.

Kemerdekaan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kebebasan dari


perhambaan, penjajahan, penindasan1. Istilah liberty secara hakiki lebih luas apabila
dibandingkan dengan istilah freedom, karena melalui suatu kemerdekaan baru kemudian
orang dapat menikmati kebebasan-kebebasannya.
2.1.2 Independence
Imanuel Kant2 mengatakan the independence of each member of commonwealth
as a citizen. Independence pada dasarnya memiliki arti ketidaktergantungan suatu pihak
kepada pihak lainnya. Dalam Blacks Law Dictionary istilah independence artinya suatu
kondisi yang bebas dari ketergantungan. Dengan demikian arti istilah independence
sesungguhnya berhubungan dengan kemandirian atau otonomi untuk bertindak. Istilah
mandiri artinya3 menunjukkan kemampuan untuk berdiri sendiri, swapraja, swasembada.
J.C.T Simorangkir4 menyebut otonomi sebagai hak dari suatu daerah untuk mengurus
sendiri rumah tangganya dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian makna istilah
independence berhubungan dengan pengaruh campur tangan atau bantuan pihak lain.
2.1.3 License, Privilige
Lili Rasjidi5 mengatakan Salah satu hak dalam arti luas dikenal dengan istilah
licence (lisensi) atau hak istimewa (privilege). Kebebasan ini merupakan suatu
keistimewaan yang bersumber dari tidak diperlakukannya suatu perbuatan untuk
memenuhi kewajiban tertentu terhadap pemegang hak. Pendapat ini menyamakan begitu
saja istilah lisensi atau izin dengan kebebasan. Atau menyamakan istilah license dan
privilege dengan istilah freedom, meskipun secara substansial kedua istilah ini memiliki
arti berbeda. Lisensi secara hakiki berbeda dengan istilah kebebasan (freedom) maupun
dengan istilah kemerdekaan (liberty). Oleh karena itu lisensi berkaitan dengan suatu
permohonan.
Privilege merupak hak istimewa yang diberikan kepada seseorang atau badan
hukum untuk menikmati suatu keuntungan atau hak tertentu. Hak istimewa ini pada
dasarnya dimiliki Negara misalnya untuk memelihara angkatan bersenjata. Privilage
merupakan suatu hak yang memberikan keuntungan, pembebasan, hak monopoli
(franchise) yang diberikan kepada seseorang atau kepada suatu lembaga.
2.1.4 Freedom
Bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran maupun rumusan menurut peraturan
perundang-undangan, konstitusi dan pengertian dan kebebasan menurut Blacks Law
Dictionary dan Kamus Umum Bahasa Indonesia, maka dapat dibangun konsep bahwa
kebebasan berpendapat penggunaanya sehari-hari lebih tepat mengingat istilah kebebasan
merupakan suatu hak (sarana) partisipasi warga negara dalam rangka mengisi
kemerdekaan yang telah dicapainya. Artinya kemerdekaan dicapai hanya satu kali seperti
halnya Indonesia meraih kemerdekaannya dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945,
dan selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan itulah bangsa Indonesia melaksanakan
1

W.J.S.Purwadaminta, Kamus Bahasa Indonesia, h.84.


Immanuel Kant, dalam Laquer and Barry Rubin, The Human Rights Reader, New American Library,
1979, p.83.
3
Harimurti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, Nusa Indah, Ende Flores, 1983, h.89.
4
J.C.S Simorangkir, cs., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h.23.
5
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu? , PT. Ramajaya Rosdakarya, Bandung, 1993, h.69.
2

berbagai aktivitas termasuk kebebasan berpendapat. Bebas artinya lepas dari segala
ikatan1 , Raymond Aron 2 mengemukakan kebebasan dapat dipahami dari sifatnya yang
negatif maupun positif. Dengan demikian dalam sifatnya yang negatif kebebasan itu
diungkapkan sebebas-bebasnya. Kebebasan yang berifat positif pada dasarnya dalam
hubungan dengan orang lain atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah freedom
from atau freedom of speech dan kebebasan pers (freedom press) yaitu kebebasan untuk
mengemukakan pandangan pendapat melalui pers.
2.2 Pemikiran-Pemikiran Filosofis Sebagai Jastifikasi Penggunaan Kebebasan
Berpendapat
2.2.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapat
a. Zaman Yunani Kuno
Pemikiran mengenai kebebasan berpendapat secara historis berkembang
mengikuti pemikiran awal tentang negara dan hukum semenjak zaman Yunani
Kuno. Dalam zaman itu dapat ditelusuri perkembangan kebebasan berpendapat
dalam konteks pembicaraan-pembicaraan mengenai negara dan hukum seperti
yang dikemukakan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Plato murid Aristoteles
menulis buku tentang kehidupan bernegara yaitu Politeia dan Nomoi. Dalam
buku Politeia, Plato menuliskan suatu model negara yang adil, yaitu negara
harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya yang adil. Negara yang
adil menurut konsep ini tentunya dalam kaitan antara penguasa dengan rakyat.
Artinya penguasa dalam menjalankan tugas harus memperhatikan hak-hak dasar
termasuk kebebasan berpendapat yang dimiliki rakyat agar tercipta keadilan.
b. Zaman Romawi Kuno
Dari segi hukum, apabila pada zaman Yunani warga negara merupakan bagian
dari negara sehingga tidak menggugat negara, maka pada zaman Romawi Kuno
warga negara dipisahkan dari negara yang keadaannya diatur oleh jenis hukum
yang berlainan. Hubungan antara warga negara diatur berdasarkan hukum
publik. Bangunan hukum romawi yang memisahkan antara hukum privat dan
hukum publik, memperlihaktkan secara jelas adanya upaya perlindungan hak
dan kebebasan warga negara (termasuk kebebasan berpendapat) pada zaman ini.
c. Zaman Abad Pertengahan
Dalam zaman ini Thomas Aquinas pun membagi hukum menjadi empat
golongan, yaitu :
Lex Aeterna (Hukum Abadi) merupakan rasio : Tuhan sendiri yang mengatur
segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Ratio ini tak dapat
ditangkap panca indra manusia. Lex Divina (Lex Divina Positiva) : Bagian dari
rasio Tuhan yang dapat ditangkap manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
Lex Divina tercantu, dalam kitab suci. Lex Naturalis (Hukum Alam). Lex

1
2

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, h.110.


Raymond Aron, Kebebasan dan Martabat Manusia, Obor Indonesia, Jakarta,1993, h.5.

Positive (Lex Humana Positiva) : Ketentuan hukum yang berlaku yang


merupakan pelaksanaan.
d. Zaman Renaisance (Abad ke XVI)
Dalam zaman ini muncul istilah Monarkomakan dalam pengertian umum artinya
anti raja atau menentang raja. Dengan demikian tujuan kaum monarkomakan
untuk membatasi kekuasaan raja absolut. Aliran ini berusaha membatasi
kekuatan yang bersifat mutlak agar hak dan kebebasan asasi warga negara dapat
terjamin dengan baik. Calvin, seorang sarjana hukum kebangsaan Swiss yang
kemudian ajarannya dikenal dengan Calvinisme memperjuangkan kebebasankebebasan politik setiap warga (rakyat), kemerdekaan negara dan perjuangan
untuk menegakkan demokrasi.
e. Zaman Perkembangan Teori Hukum Alam Abad XVII
1. Hakekat dan Fungsi Hukum Alam
Dalam sejarah perkembangan hukum alam menurut Friedman berfungsi :
- Berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata romawi
kuno ditransformasikan menjadi suatu istem internasional yang luas;
Hukum alam dijadikan sebagai senjata antara pihak gereja dan
kerajaan dalam pergulatan antara keduanya; Berdasarkan hukum alam
kesalahan hukum internasional dapat ditegakkaan; Hukum alam
menjadi tumpuan pada saat orang memancarkan perjuangan
menegakkan kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme;
Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim
Amerika, pada waktu mereka menasfirkan konstitusi Amerika dengan
menuolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang
ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup
banyak teori di dalamnya. Dengan demikian hukum alam tidak
mengandung norma-norma sendiri, melainkan memberi ilham tentang
bagaimana membuat peraturan yang baik.
2. Hukum Alam Sebagai Jastifikasi Pengakuan dan Perlindungan
Kebebasan Berpendapat
Kebebasan politik merupakan suatu hak politik dari setiap orang untuk
berperan serta baik secara individu maupun secara bersama orang lain
dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan. Jenis-jenis
hak politik menurut Antonio Cassesse1, adalah :
- Hak untuk berserikat, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan
dan tulisan, hak untuk membentuk partai politik, hak untuk ikut serta
dalam pemilihan umum, hak untuk dipilih menduduki jabatan dalam
pemerintahan.

Antonio Cassesse, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Penyunting Abdoel Hakim G.Nusantara,
Yayasan Obor Indonesia, 1994, h.49.

Kebebasan berpendapat pada hakekatnya dimaksudkan untuk memberikan


gagasan-gagasan dalam mengkoreksi suatu kebijaksanaan penguasa yang
kemungkinan dinilai dapat menimbulkan kerugian. Atau juga memberikan
masukan kepada pemerintah sehubungan dengan proses pengambilan
keputusan.
2.2.2 Pemikiran-pemikiran Yang Dipergunakan Sebagai Pegangan
Konsep-konsep utama yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat yang
dipergunakan sebagai landasan pemikiran konseptual dalam mengkaji pelaksanaan
kebebasan berpendapat antara lain adalah konsep :
1. Negara hukum
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (Rechtsstaat)
menurut Burkens1 apabila memenuhi syarat-sayarat sebagai berikut :
a. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landsan
ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan
tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini,
pembentuka Undang-Undang merupakan bagian penting negara
hukum.
b. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan nega tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari
pemerintah terhadap rakyat sekaligus membatasi kekuasaan
pembentukan Undang-Undang.
d. Pengawasan Pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui
pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah
(rechtmaticgeheid stoetsing).
Selain itu sebagai langkah untuk menghindari kemungkinan terjadi
pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat secara bebas, kiranya
produk hukum nasional sebagaimana dikemukakan Abdoel Gani2
haruslah memiliki karakter sebagai berikut :
a. Ketanggapan sosial
b. Kepekaan terhadap kebijaksanaan (policy) negara yang dijadikan
dasar/landasan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.
c. Tangguh menghadapi setiap penyalahgunaan kekuasaan yang lazim
dilakukan aparat birokrasi.
d. Siap melindungi hak-hak dasar dan hak-hak manusia warga negara
Indonesia.
2. Asas-asas perundang-undangan yang baik
Suatu undang-undang dapat berfungsi secara optimal sebagai salah satu
instrumen negara hukum sangat tergantung dari politik perundangundangan yang mengoptimalkan undang-undang sebagai instrumen
1

BurkenM.C.,et.al., Beginselen van de Democratiche Rechtstaat, Tjeenk Willink Zwole, 1990, p.29.
Abdoel Gani, Hubungan Antara Politik Hak Asasi dan Pembangunan Hukum Indonesia, Makalah dalam
Simposium Politik, Hak Asasi dan Pembangunan Hukum, Surabaya, 3 November 1991, h.11.
2

negara hukum hendaknya ditunjang oleh asas-asas perundang-undangan


yang baik. Di Belanda berkembang asas-asas umum perundangundangan yang baik melalui lima sumber, yaitu : (a) Raad Van State, (b)
bahan-bahan tertulis tentang rancangan peraturan perundang-undangan,
(3) putusan-putusan hakim, (4) petunjuk teknik perundang-undangan, (5)
hasil akhir komisi pengurangan serta penyederhanaan peraturan
perundang-undangan1.
Asas-asas tersebut oleh para ahli dikumpulkan dan disistimatisir seperti
dalam buku I.C Van der Viles het wetsbegrip-en beginselen van
behoorlijkr regelgeving 1984 dan dalam bukunya yang kemudian
Handboek wetgeving 1987 dan telah dicetak ulang tahun 1991,
disebutkan asas-asas umum perundang-undangan yang baik adalah2 :
- Asas formal meliputi :
a. Het beginsel van duidelijke doelstelling (asas tujuan yang jelas)
b. Het beginsel van juite orgaan (asas lembaga yang tepat)
c. Het noodzakelijheidsbeginsel (asas perlunya pengaturan)
d. Het beginsel van de uitoorbaarheid (asas bahwa perundang
undangan dapat dilaksanakan)
e. Het beginsel van de consensus (asas konsensus)
- Asas material meliputi :
a. Het beginsel van de duiddelijke terminologi en duidelijke
systematik (asas kejelasan terminologi dan sistematika)
b. Het beginsel van de kenbaarheid (asas bahwa perundang-undangan
mudah dikenali)
c. Het rechtsgelijk heis beginsel (asas persamaan)
d. Het rechtszker heids beginsel (asas kepastian hukum)
e. Beginsel van de individual rechtsbedeling (asas pelaksanaan
hukum sesuai dengan keadaan individual)
f. Het beginsel dat gerechtvaardigde verwachtingen gehonoreerd
moeten worden (asas harus menghormati harapan yang wajar)
3. Demokrasi
Penggunaan kebebasan berpendapat sebagaimana dicatat G.
Kartasapoetro dalam buku demokrasi dan hak asasi manusia pada
dasarnya berkaitan dengan alasan-alasan sebagai berikut3 : (1) Tidak
setuju dengan kebijakan penguasa; (2) Tidak setuju dengan peraturanperaturan yang merugikan masyarakat; (3) untuk membantu pemerintah
dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan; (4) Untuk membela
kepentingan rakyat. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa hakekat
kebebasan berpendapat yaitu sebagai wujud konkret keikutsertaan setiap
warga negara dalam kegiatan pembangunan berupa penyampaian
1

A.Hamid Attamimi, Peran Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, 1990,
h.322.
2
Ibid., h.380.
3
G.Kartasapoetra, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia, Armico, Bandung, 1982, h.55.

pendapat, saran-saran, keberatan, maupun kritik.


mengemukakan demokrasi mengimplikasikan adanya
dan politik yaitu kebebasan untuk berbicara, pers
berorganisasi. Robert A. Dahl, mengemukakan tiga
sebagai berikut2 : (1) Teori demokrasi populis; (2)
poliarchy (poliarchal); (3) teori demokrasi madisonian.

Robert Dahl1
kebebasan sipil
berkumpul dan
teori demokrasi
teori demokrasi

4. Hak asasi manusia


Jeremy Betham mengatakan hak-hak asasi manusia pada hakekatnya
merupakan anak dari hukum (rights is the child of law).

BAB III
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI
PERS
3.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Pers Menurut
Undang-Undang
Negara hukum menurut Aristoteles ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(berdiri diatas hukum) dan menjamin keadilan kepada warga negaranya. Peraturan hukum
yang sebenarnya adalah peraturan yang mencerminkan keadilan. Pemikiran ini
menunjukkan dua hal penting yaitu negara yang berdasarkan atas hukum dan negara yang
menjamin keadilan. Negara yang berdasarkan atas hukum mengandung arti penguasa
dalam mengambil tindakannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku. Burkens mengatakan suatu negara dapat dikatakan negara hukum apabila
memenuhi syarat sebagai berikut : (1) asas legalitas; (2) pembagian kekuasaan; (3)
pengakuan hak asasi manusia; (3) pengawasan pengadilan (peradilan administrasi). Asas
yang paling relevan dengan pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat ini yaitu asas
legalitas. Asas ini mensyaratkan agar stiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas
peraturan perundang-undangan. Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil
dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Oleh
karena itu pembentuk Undang-Undang merupakan bagian penting dari keberadaan suatu
negara hukum.
Artinya pembentukan Undang-Undang untuk mengatur hal-hal pokok yang
didelegasikan oleh UUD 1945. Denga demikian pengaturan terhadap kebebasan
berpendapat melalui pers harus didasarkan pada undang-undang, termasuk dalam hal
pembekuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
1

Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritikannya, Jilid I, 1992, h.174.


Tatu van Hanen, The Process Of Democration, A Comperative Study of 14 State 1968-1988, New York,
1990, p.8.
2

3.1.1 Pemikiran-pemikiran Tentang Materi Muatan Undang-Undang


Joeniarto mengatakan secara substansiil isi dari suatu hukum positif harus
mencerminkan nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis. Isi hukum positif harus
mencerminkan nilai filosofis, artinya peraturan perundang-undangan isinya harus
mencerminkan keadilan dan kepastian. Nilai yuridis artinya suatu peraturan perundangundangan isinya harus sesuai dengan aturan-aturan yang lebih tinggi. Hukum positif
harus memuat aspek sosiologis artinya peraturan yang dikeluarkan benar-benar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
Dikaitkan dengan Peraturan Menteri Penerangan Nomor : 01/Per/Menpen/1998
kiranya jelas bahwa sanksi pembekuan SIUPP bertentangan dengan tiga syarat yang
dijelaskan diatas. Dari segi filosofis, pencabutan/pembekuan SIUPP bertentangan dengan
rasa keadilan dan kepastian hukum. Dari segi yuridis seharusnya pembekuan/pencabutan
SIUPP tidak perlu dilakukan karena ordonansi tentang pemberedelan pers sudah dicabut.
Dari segi sosiologis pembekua/ pencabutan SIUPP bententangan dengan keinginan
masyarakat karena berdampak negatif bagi para karyawan sebuah penerbitan pers berupa
penutupan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Agar tetap menjamin
kebebasan pers tanpa pemberedelan seharusnya Undang-Undang
Pokok Pers
menentukan bahwa ketentuan mengenai SIUPP diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
atau apabila harus menyerahkan pengaturan SIUPP itu kepada pemerintah seharusnya
ditegaskan bahwa sanksi perdata dan pidana yang harus diutamakan dalam hal terjadi
pelanggaran. Dengan demikian didalam suatu perundang-undangan haruslah memiliki
materi muatan sebagai berikut : (1) Hal-hal yang tegas-tegas diatur/diperintahkan oleh
UUD 1945 dan Tap MPR; (2) Hal yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan UndangUndang Dasar; (3) Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia;
(4) Hal yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; (5) hal yang mengatur
pembagian kekuasaan negara di tingkat pusat; (6) hal yang mengatur organisasi pokok
lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; (7) hal yang mengatur pembagian
wilayah/daerah negara; (8) Hal yang mengatur dan menetapkan siapa warga negara dan
cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; (9) Hal yang oleh suatu Undang-Undang
dinyatakan untuk diatur dengan Undang-Undang.
3.1.2 Delegasi Wewenang Membentuk Peraturan
a. Konsep-konsep Tentang Delegasi Wewenang Membentuk Peraturan
Delegasi
dalam
bidang
perundang-undangan
artinya
pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang
kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab pelaksanaan kewenangan tersebut
pada delegataris itu sendiri. Pemindahan/penyerahan kewenangan tersebut dapat
dibatalkan apabila tidak dilaksanakan dengan baik. Pendelegasian wewenang
haruslah berdasarkan pada kaidah hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini J.J
Bruggink1 mengemukakan bahwa kaidah kewenangan adalah kaidah yang
menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku
harus diterapkan, jika dalam suatu kejadian terdapat ketidakjelasan. H.M Koesnoe
mengatakan isis suatu undang-undang harus sesuai dengan ketentuan UndangUndang Dasar 1945. Jika tidak, hal itu merupakan ketentuan hukum yang tidak
1

J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bhakti, h.104.

berlaku. Pengaturan SIUPP sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang


Pokok Pers No. 21 Tahun 1982, pasal 13 ayat (5) seharusnya diatur dengan
Undang-undang. Akan tetapi kelemahan ketentuan ini yaitu tidak memberikan
delegasi wewenang agar pengaturan SIUPP dalam undang-undang. Kecuali
ditentukan akan diatur oleh pemerintah setelah mendengan Dewan Pers.
Formulasi ketentuan SIUPP akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah
setelah mendengan delegasi wewenang kepada Menteri Penerangan hanya sebatas
pengaturan tata cara memperoleh SIUPP. Dengan demikian pengenaan sanksi
pembekuan SIUPP harus tetap dihindari mengingat hal tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Pers. Dengan demikian Undangundang Pokok Pers tida memberikan wewenang kepada Menteri Penenrangan
untuk membekukan SIUPP sesuai Pasal 23 Permenpen 01/1998.
b. Pengaturan SIUPP Tidak Dapat Didelegasikan Kepada Peraturan Menteri
Kelemahan lain yang dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Pokok Pers
No. 21 Tahun 1982 perihal pengaturan lebih lanjut SIUPP. Sesuai dengan hakekat
materi muatan suatu Undang-Undang yang harus mengatur lebih lanjut apa yang
diperintahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama yang bertalian dengan
hak dasar manusia dan hal-hal prinsipiil lainnya, maka jelas SIUPP tidak bisa
diserahkan pengaturannya lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri.
Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pokok Pers menentukan ketentuan-ketentuan
tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengan pertimbangan
dewan pers. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan pengaturan lebih
lanjut isi pasal ini dalam suatu undang-undang. Dengan menggunakan interpretasi
ekstensif ataupun interpretasi analogi, menurut Scholten dan Roling maka
pengaturan SIUPP harus ditempatkan dalam Undang-Undang.
Dengan demikian, pasal 28 UUD 1945 menghendaki agar peraturan
SIUPP dalam undang-undang, karena menyangkut hak dasar yang dijamin secara
konstitusional. Atas dasar itu, UUD 1945 tidak mendelegasikan pengaturan
SIUPP kepada Peraturan Menteri Penerangan.
3.1.3 Pengaturan Surat Izin Usaha Pnerbitan Pers (SIUPP)
Hans Kelsen1 dalam Stufenbautheorie menyebutkan : Hirarki norma-norma
berjenjang menentukan bahwa norma yang dibawah adalah absah atau mempunyai daya
lau (valid) apabila dibentuk oleh dan berdasar serta bersumber pada norma hukum yang
lebih tinggi. Perjenjangan norma tersebut sampai mencapai pada jenjang norma yang
tertinggi yang disebut norma dasar (grundnorm). Kesesuaian norma hukum yang lebih
rendah dengan yang lebih tinggi juga nampak dalam sejumlah asas yang dikenal dalam
ilmu hukum. P.W. Brouwer et.al2 mnyebutkan asas-asas penyelesaian konflik ilmu hukum
antara lain :
1. Asas Lex Superior (Lex Superior Derogat Legi Inferiori) : Undang-undang
yang lebih tinggi mengalahkan Undang-undang yang lebih rendah.
2. Asas Lex Specialis (Lex Spesialis Derogat Legi Generali) : Undang-undang
khusus mengalahkan yang umum.
1

D.H.M.Meuwissen, Grondrechten, Aula-Uitgeverij Het Spectrum Utrecht/Antwerpen,1984, p.30.


P.W.Brower,er.al., Grondrechten and Conflict in Law, Serie Rechtsfilosofi en Rechtsteorie 7, Tjeenk
Willink, Zwolle, 1992, p.218-223.
2

10

3. Asas Lex Posterior (Lex Posterior Derogat Legi Priori) : Undang-undang yang
kemudian mengalahkan undang-undang terdahulu.
Dalam memahami kedudukan Undang-Undang Pokok Pers khususnya pasal yang
mengatur tentang larangan pembredelan dan Peraturan Menteri Penerangan yang
mengatur pembekuan SIUPP asas yang relevan digunakan adalah asas Lex Superior. Tap
MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebut peraturan Menteri sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan. Dalam praktek selain dikenal peraturan menteri, juga ada
yang menyebut dengan keputusan menteri. Bagir Manan mencatatnPeraturan Menteri
adalah keputusan (besluit) yang bersifat mengatur (regelen) sedangkan keputusan menteri
adalah keputusan yang bersifat ketetapan (beschikking). Dengan demikian peraturan
menteri penerangan tidak dapat digolongkan kedalam pengertian peraturan perundangundangan karena peraturan tersebut merupakan produk badan/pejabat Tata Usaha Negara
(Menteri Penerangan) yang memiliki kewenangan legislatif sehingga tidak bisa
dipergunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pembekuan SIUPP.

3.1.4 Istilah Pencabutan SIUPP dan Istilah Pembredelan


a. Istilah Pencabutan SIUPP
Pencabutan, pembatalan, maupun penarikan kembali izin merupakan
istilah-istilah yang biasanya dikenal dalam sanksi hukum administrasi. Artinya
penggunaan istilah-istilah tersebut selalu dikaitkan dengan suatu perizinan yang
dikenal dalam hukum administrasi. Pencabutan/penarikan kembali izin
merupakan salah satu sanksi administratif, menurut van Wijk/W. Konijnenbelt
sebagai sarana kekuatan menurut hukum publik yang dapat diterapkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai reaksi terhadap mereka yang tidak
mentaati norma-norma administrasi. Penyebab penarikan kembali suatu
keputusan/ketetapan sebagai salah satu sanksi dalam hukum administrasi menurut
Philipus M. Hadjon antara lain :
1. Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izim, subsidi atau
pembayaran;
2. Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk
mendapat izin, subsidi atau pembayaran telah memberikan data yang
sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu
diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan
(misalnya menolak izin dan sebagainya).
Alasan pertama pencabutan izin dikarenakan pemegang izin tidak
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan maupun syarat-syarat yang
dikaitkan pada izin. Dengan dasar itu, Badan atau Pejabat TUN dapat bereaksi
dengan penarikan kembali. Dengan demikian pembekuan izin secara hakiki
sebagai suatu keputusan yang menyatakan tidak berlaku lagi keputusan tertentu
karena dinilai menyimpang dari keputusan yang disyaratkan. Oleh karena itu sifat

11

pencabutan, pembatalan/pembekuan maupun penarikan SIUPP ini bertentangan


dengan larangan pembredelan.
b. Istiah Pembredelan
Konsep pemberedelan secara yuridis dipergunakan dalam Undang-Undang Pokok
Pers No. 21 Tahun 1982 Pasal 4 yang menyebutkan terhadap pers Nasional tidak
dikenakan sensor dan pembredelan. Konsep pembredelan dipergunakan Oemar
Seno Adji1 dan Ignatius Haryanto 2 dalam buku pembredelan pers di Indonesia
disebutkan pembredelan surat kabar artinya untuk seterusnya (selama-lamanya)
surat kabar yang bersangkutan ditutup. Konsep pembredelan sering disebut
pemberangusan surat kabar yang biasanya dipergunakan Oemar Seno Adji.
Konsep pembredelan diambil dari bahasa Belanda artinya mengekang,
memberangus3. Kata mengekang bisa berati menahan, mencegah, mengontrol,
maupun melarang. Dalam hubungan ini, pembredelan lebih tepat diartikan
sebagai suatu larangan terbit suatu surat kabar/majalah. Menurut Oemar Seno
Adji pembredelan diartikan sebagai larangan terbit sementara maupun seterusnya.
Ada dua hal yang perlu dibahas berdasarkan pengertian pemberedelan ini yaitu :
1. Larangan terbit sementara tidak bersifat limitatif artinya tidak ditentukan
batas waktu secara jelas sehingga pengertian sementara kemungkinan bisa
hanya beberapa bulan atau satu tahun atau beberapa tahun. Penerbitan
kembali surat kabar yang bersangkutan bergantung kepada penguasa dan
pengelola surat kabar/majalah yang memenuhi kewajiban-kewajiban yang
ditentukan.
2. Pembredelan dalam pengertian larangan terbit untuk seterusnya (selamalamanya) , mengakibatkan surat kabar yang bersangkutan untuk selamalamanya tidak akan terbit lagi. Dalam Undang-Undang Pokok Pers
disebutkan pers dilarang terbit apabila kegiatan-kegiatannya bertentangan
dengan Pancasila karena menganut paham komunisme /marxisme
/leninisme (Pasal 11).
Sesuai dengan sifat pelanggaran terhadap pasal 11 Undang-Undang Pokok
Pers kiranya dapat dibenarkan bahwa apabila ada surat kabar maupun majalah
yang penerbitannya mencerminkan ajaran komunisme yang membahayakan
keselamatan negara dan bangsa, pemerintah dapat melarang surat kabar/majalah
yang bersangkutan terbit selama-lamanya melalui pembuktian di pengadilan.
Kecuali itu tidak dibenarkan pencabutan SIUPP hanya karena alasan-alasan demi
kepentingan umum, keamanan nasional, dan sebagainya tanpa kriteria yang jelas.
Atas dasar itu, dipandang perlu diatur lebih lanjut kriteria pemberitaan/tulisan
yang dianggap membahayakan stabilitas Nasional. Artinya, peraturan perundangundangan yang dibentuk harus merumuskan secara transparan kapan kriteria suatu
tulisan dinilai membahayakan keamanan negara dan tingkatan-tingkatan bahaya
yang ditimbulkan dari suatu pemberitaan.
1

Oemar Seno Adji, Pembredelan Surat Kabar Sebagai Kasus, artikel dalam kumpulan tulisan menyambut
25 tahun Harian Umum Sinar Harapan, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, h.253.
2
Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1996, h. 41.
3
Oemar Seno Adji, Pers Aspek Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, 1974, h.44.

12

3.2 SIUPP Sebagai Sarana Pengendalian Preventif


SIUPP sebagai sarana pengendalian preventif artinya melalui SIUPP diharapkan
dapat mencegah sanksi pembredelan atau pencabutan SIUPP. SIUPP adalah surat izin
yang diberikan oleh menteri penerangan kepada perusahaan / penerbitan pers untuk
menyelenggarakan penerbitan pers. Perusahaan / penerbit pers sesuai ketentuan
perundang-undangan yang ada meliputi badan usaha swasta nasional berbentuk badan
hukum, koperasi atau bentuk badan usaha milik negara yang menyelenggarakan
penerbitan pers.
1. Pemikiran-pemikiran Yang Harus dipenuhi dalam SIUPP
Izin SIUPP merupakam keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Dalam hubungan ini SIUPP yang dikeluarkan Menteri Penerangan
adalah dalam kapasitasnya sebagai badan atau pejabat tata usaha negara sehingga
SIUPP dapat digolongkan sebagai krputusan yang bersifat individual abstrak.
2. Sanksi Administratif yang Tepat di dalam SIUPP
Dalam UU Pokok Pers Pasal 13 ayat (5) menentukan setiap penerbitan pers yang
diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan SIUPP.. dst. Berdasarkan
ketentuan tersebut pemerintah mengeluarkan peraturan menteri penerangan
No.01/Per/MenPen/1998 tentang SIUPP. Pasal 23 ayat (2) huruf b peraturan ini
lebih terfokus pada jenis sanksi administrasi yang cocok dengan UU Pokok Pers.
Menurut Philipus M Hadjon terdapat sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas
yaitu :
1. Bestuursdwang (paksaan pemerintah)
2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi)
3. Pengenaan denda admisnistratif
4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
3.3 Pengendalian Represif
3.3.1 Alasan Alasan Yang Berkaitan Dengan Perlunya Sanksi Uang Paksa (Dwangsom)
dalam SIUPP
Sanksi uang paksa oleh pemerintah selain untuk mengamankan pers dari
pemberdelan, maka secara preventif juga menghindari dampak ekonomi berupa
hilangnya pekerjaan para wartawan dan karyawan. Dapat diterima bahwa wewenang
mencabut ijin ada ditangan pejabat TUN yang menerbitkan izin (meskipun tidak diatur
secara khusus) sesuai asas contraries actus. Tetapi dalam hubungannya dengan SIUPP
kiranya asas ini dapat dikesampingkan mengingat adanya jaminan kebebasan pers sesuai
UU pokok pers dan UUD 1945.
a Fungsi Control Pers
Kritik dalam Undang-Undang pokok pers dipahami sebagai salah satu hak pers
dalam menjalankan fungsi control pers sesuai Pasal 3 guna mengungkapkan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik dikalangan lembaga pemerintahan
maupun yang terjadi dimasyarakat.
Dalam hubungannya dengan fungsi pendidikan, maka pers harus memberikan
informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan. Masyarakat perlu dididik dengan
13

informasi-informasi agar lebih mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan dalam dalam
kehidupan berbangsa.
Dalam hubungan ini Oemar Seno Adji menyebutkan fungsi pers sebagai berikut : (a).
menyampaikan kritik dan koreksi. (b) sebagai barometer. (c) sebagai petunjuk . (d)
sebagai pengontrol.
b. Tanggung Jawab Pers.
1. Tugas dan kewajiban pers antara lain meliputi
- memperjuangkan kebenran dan keadilan
- menggelorakan semanngat persatuan dan kesatuan
- meningkatkan kecerdasan bangsa
- mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan
2. sebagai penyebar informasi yang objektif
3. melakukan kontrol sosial
4. bebas bertanggung jawab.

c. Pengawasan Pers
Pengawasan terhadap pers perlu dilakukan secara baik, mengingat lembaga pers
merupakan salah satu kekuatan berpengaruh dan dalam hal-hal tertentu pers sangat
ditakuti. Oleh karena itu apabila kebebasan pers tidak dibatasi melalui prinsip pers yang
bertanggung jawab maka dikhawatirkan lembaga pers dalam hal dapat bertinda
sewenang-wenang menyiarkan tulisan yang tidak didasari fakta objektif.
d. Hak Jawab dan Hak Koreksi
Hak jawab dan hak koreksi merupakan hak yang dimiliki seseorang, sekelompok
orang, badan hukum perdata dan pejabat pemerintah untuk menjawab maupun
mengoreksi suatu tulisan dalam surat kabar atau majalah yang kemungkinan merugikan.
Penggunaan hak tersebut bertujuan agar meluruskan pemberitaan/tulisan yang
kemungkinan tendensius dan subjektif sehingga menimbulkan kerugian.
Secara yuridis jaminan hak tersebut diatur dalam undang-undang pokok pers Nomor
21 Tahun 1982. Peraturan Menteri Penerangan No 01/Pers/Menpen/1998 tentang SIUPP.
Peraturan Menteri Penerangan Nomor 02/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan mengenai
wartawan dan Kode Etik Jurnalistik
2. sanksi pidana
Salah satu pengawasan represif dalam hubungan dengan penerbitan pers yaitu
pengenaan sanksi pidana dari perspektif hukum pers sanksi pidana bias dikatakan lebih
tepat dan proporsional daripada menggunakan sanksi pencabutan SIUPP
Dalam KUHP dapat dijumpai beberapa pasal yang mengatur kejahatan yang dapat
dikategorikan sebagai delik pers antara lain :
1. Delik penghinaan : a. penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, b.
penghinaan terhadap raja atau kepala Negara sahabat, c. penghinaan terhadap aparat
pemerintah.

14

2. Delik penyebar kebencian : a. delik yang merupakan penghinaan terhadap pemerintah,


b. delik yang merupakan penghinaan terhadap golongan, c. delik penghinaan, d. delik
yang merupakan pennodaan terhadap agama, e. delik yang merupakan penghasutan.

BAB IV
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN
KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI FORUM ILMIAH
4.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Menurut Hukum Positif
Pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah dititikberatkan
pada UUD 1945sebagai landasan konstitusional yang memberikan perlindungan
kebebsan berpendapat sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 UUD 194. Selain itu
dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan kebebasan
ilmiah konsep rechtside serta konsep rechtstaat.
4.1.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Istilah forum ilmiah identik dengan forum ilmiah sebagaimana dipergunakan dalam
pasal 18 PP Nomor Tahun 1990. Penjelasan ketentuan ini menyebutkan pertemuan ilmiah
meliputi seminar, ceramah, symposium, diskusi panel dan ujian dalam rangka
pelaksanaan pendidikan akademik dan atau professional
Oleh karena itu konsep-konsep yang dikaji antara lain :
a. Kebebasan akademik
b. Kebebasan mimbar akademik
c. Otonomi keilmuan
d. Tanggung jawab ilmiah
1. Pengaturan Forum Ilmiah Menurut (SKB) No 153Tahun 1995 dan No
Kep/12/XII/1995
Dari sudut pandang pemerintah, keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan Keamanan (SKB) Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor : Kep

15

12/XII/1995 tertanggal 26 Desember 199, sebagai petunjuk pelaksanaan perizina. Dalam


keputusan bersama tersebut pada bagian pendahulunya menyebutkan perizinandan
pemberitahuan sebagai pranata hukumyang lazim diletakan pada penyelenggaraan suatu
pertemuan dalam waktu-waktu terakhir banyak mendapat perhatian. Lahirnya keputusan
bersama mendagri dan menhankam telah menimbukan perbedaan pandangan dan
persepsi mengenai pemahaman dan penerapan pranata perizinan dan pemberitahuan
tersebut.
2. pengaturan izin kegiatan menurut pasal 510 KUHP yang berkenaan dengan kebebasan
berpendapat melalui forum ilmiah
Pasal 510 KUHP yang menyangkutizin keramaian umum telah banyak
disalahgunakan sebagai dasar hukum untuk membubarkan diskusi seminar atau
lokakarya. Meski secara formal ini masih berlaku, tapi karena bertentangan dengan citacita kemerdekaan, seharusnya tidak lagi diberlakukan. Keputusan Bersama Menhankam
dan Mendagri merupakan petunjuk pelaksanaan pasal 510 KUHP dan UU No 5 PNPS
Tahun 1963. Konsideran hueuf c SKB tersebut menyebutkan untuk menjamin kesamaan
pemahaman dan sekaligus untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maupun
instansi atau pemerintah yang terkait.
Dengan menggunakan pemikiran Donner sebagai titik tolak dan UU kepolisian
tentang tugas dan fungsi kepolisian, maka secara jelas memperlihatkan bahwa tugas
utama kepolisian yakni menjaga ketertuabn umum dan keamanan masyarakat. Dengan
dasar pemikiran seperti ini kiranya kewenangan mengeluarkan izin keramaian dan
pemeberitahuan semestinya diserahkan kepada badan lainnya sehingga tugas penegakan
hukum yang dilakukan oleh kepolisian dapat diserahkan sepenuhnya kepada tugas
penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
Meskipun secara formal wewenang kepolisian menurut Undang-Undang meliputi juga
wewenang mengeluarkan ijin keramaian yang berhubungan dengan kebebasan berkumpul
dan berpendapat sebagai salah satu hak dasar tetapi kiranya izin dari kepolisian kurang
tepat.
3. Pengaturan Izin Kegiatan Menurut Undang-Undang Nomor 5 PNPS tahun 1963, Yang
Berkenaan Dengan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Pertemuan keilmuan atau pertemuan ilmiah dapat diselenggarakan oleh lembagalembaga pendidikan, maupun lembaga-lembaga non pendidikan. Dengan menggunakan
penalaran analogi, maka lembaga non pendidikan ini termasuk juga lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan. Bentuk-bentuk pertemuan keilmuan
tersebut bertujuan membahas masalah kehidupan masayarakat berbangsa dan bernegara.
4. Undang-Undang No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum
Penggunaan istilah kemerdekaan dalam UU ini dalam kaitannya dengan
penyampaian pendapat di muka umum kurang tepat mengingat istilah kemerdekaan
hanya berkaitan dengan perbudakan, penindasan, dan penjajahan. Penggunaan istilah ini
mengesankan seakan-akan bangsa Indonesia belum mencapai kemerdekaannya dari kaum
penjajah Belanda. Padahal dalam rangka mengisi kemerdekaan yang telah kita rebut dari
penjajah Belanda seyogyanya menggunakan istilah kemerdekaan.

16

Pasal 3 menentukan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum


dilaksanakan berdasarkan pada : asas, keseimbanagan, asas musyawarah dan mufakat,
asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas, asas manfaat. Dari semuanya
asas kepastian hukum dan keadilan yang paling relevan dengan asas-asas umum
perundang-undangan yang baik.
4.1.2 Tindakan Pemerintahan Berkenaan dengan Kegiatan Dalam Forum Ilmiah
a. Tindakan Pembubaran Kegiatan Dalam Forum Ilmiah Sebagai Perbuatan Melanggar
Hukum Oleh Penguasa
Dengan menggunakan penafsiran hukum, maka perbuatan melanggar hukum dalam
pasal 1365 KUH Perdata dapat diperluas artinya sehingga mencakup perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Siapapun yang karena perbuatan menimulkan kerugian bagi orang lain diharuskan
menurut hukum untuk mengganti kerugian. Dengan berpatokan pada interpretasi tadi,
maka perbuatan pejabat TUN atau pihak kepolisian yang membubarkan atau melarang
sesuatu kegiatan ilmiah digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum yang
menimulkan kerugian bagi pihak penyelenggara.
b. Tindakan Pembubaran Kegiatan Dalam Forum Ilmiah Sebagai Penyalahgunaan
wewenang
Tindakan Kepolisian sebagai badan / Pejabat tata Usaha Negara maupun pejabat
lainnya dalam hal membubarkan kegiatan dalam forum ilmiah yang berkaitan dengan
pelaksanaan kebebasan berpendapat, dapat dikategorikan sebagai perbuatan / tindakan
sewenang-wenang oleh penguasa. Konsep yang dikaji yaitu
1.
Tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dapat diketahui dalam UU No 5 Tahun 1986 tentang
PTUN. Pasal 53 ayat (2) huruf a UU tersebut anatara lain menentukan keputusan tata
usaha Negara yang dapat digugat yaitu yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam ketentuan ini dijelaskan pengertian tentang tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu :
- Bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
procedural/substansial
- Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat Material
/substansial
- Dikeluarkan oleh lembaga yang tidak berwenang
2. Tindakan penyalahgunaan wewenang
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN pasal 53 ayat (2) huruf
b antara lain menentukan alas an gugatan yang dapat diajukan sehubungan dengan
adanya keputusan TUN yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum
perdata karena dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikan wewenang tersebut.

17

3. Tindakan Sewenang-Wenang
Tindakan Pencekalan bagi seorang yang akan tampil sebagai pembicara, penghentian
ataupun pembubaran suatu kegiatan yang berkenaan dengan forum ilmiah yang dalam
istilah SKB mendagri dan menhankam disebut sebagai pertemuan keilmuan yang dapat
dikategirikan sebagai tindakan sewenang-wenang. Istilah sewenang-wenang yang dalam
istilah bahasa Belanda disebut wilekeur diartikan sebagai tindakan yang menyimpang
dari nalar yang sehat.
4.1.3 Pembatasan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Meskipun kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah harus dilindungi namun
tidak berarti terhadap kebebasan tersebut tidak ada pembatasannya. Oleh Karena itu perlu
pembentukan Undang-Undang untuk membatasinya sehingga tidak menganggu
keamanan Negara dan ketertiban umum
Selain itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap penggunaan kebebasan ini dari
kemungkinan tindakan pihak kepolisian maupun badan / pejabat TUN lainnya dalam hal
membubarkan seminar atau mencekal pembicara secara sewenang-wenang, kajiannya
meliputi :
1. Ketertiban Umum dan Keamanan Negara Sebagai Pembatasan Kebebasan
Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Pengkajian dalam bagian ini bertitik tolak dari dalam kebebasan terkandung unsure
pembatasannya yaitu tanggung jawab agar tidak mengganggu ketertiban dan keamanan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara penggunaan kebebasan berpendapat harus
tetap dibatasi agar tidak sampai menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan Negara
2. Undang-Undang Tentang Izin Keramaian dan Kebebasan Akademik
a. Analisis Hukum Positif Tentang Perlunya Pengaturan Izin Kegiatan Dalam UndangUndang
izin keramaian yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat sebagaiamana
disebutkan dalam pasal 28 UUD 1945 sejauh ini pengaturannya ditempatkan dalam SKB
Mendagri dan Menhankam Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor Kep/12/XII/1995
tertanggal 26 Desember 195. SKB tersebut sebagai petunjuk pelaksanaan perizinan
sebagaimana diatur dalam pasal 510 KUHP dan pemberitahuan menurut UU No 5 PNPS
Tahun 1995 tentang Kegiatan Politik.
b. Analisis Hukum Positif Tentang perlunya pengaturan Kebebasan Akademik Dalam
Undang-Undang
Hakekat kebebasan akademik yaitu suatu kebebasan yang dimiliki ilmuwan maupun
civitas akademika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolog. Pelaksanaan
kebebasan akademik berkaitan dengan kebebasan melakukan penelitian dalam mencapai
kebenaran yang hakiki. Dalam rumusan Tap MPR terdapat beberapa hal yang mendasar
yang berkaitan dengan perlunya pemikiran untuk mengatur kebebasan akademik dalam
suatu undang-undang. Pertama, jaminan kebebasan akademik diarahkan untuk
peningkatan kecerdasan bagsa dan kemampuan dalam menunjang keberhasilan
pembangunan di berbagai aspek. Kedua, pengembangan kebebasan akademik diarahkan
agar menyiapkan SDM yang memilki profesiolanitas tinggi. Ketiga Kebebasan akademik
berkaitan dengan suasana kehidupan kampus sebagai lingkungan alamiah yang dinamis.
Keempat, perlunya pengembangan iklim yang demokratis dalam mendukung kebebasan
18

akademik dan otonomi perguruan tinggi sebagai keilmuan, agar civitas akademika secara
bertanggung jawab mengambangkan pemikiran-pemikiran yang konstruktif.
4.1.4 Pembatasan Menurut Norma Keilmuan
Pembatasan kebebasan berpendapat dalam forum ilmiah dapat dilakukan melalui
norma-norma keilmuan yang merupakan etika keilmuan. Tugas seorang ilmuan adalah
memperthankan kebenaran ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi tetap mengacu pada norma-norma keilmuan sebagai suatu pembatasan.
1. Pemikiran Tentang Ilmu Dan Norma Keilmuan
Penyebutan istilah ilmu pengetahuan yang sudah menjadi kelaziman di
masyarakat terutama di dunia perguruan tinggi secara hakuki merupakan suatu
penyebutan yang kurang cermat. Ilmu ditambah pengetahuan sehingga menjadi ilmu
pengetahuan merupakan suatu penyebutan yang berlebihan karena menggunakan kedua
istilah yang sama artinya. The liang gie menyebut dua arti ilmu yaitu :
a. Ilmu merupakan sebuah istilah umum yang dipergunakan untuk menyebut segenap
pengetahuan yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Dalam arti ini ilmu mengacu
pada ilmu seumumnya.
b. Ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari
sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti, ilmu sebagai suatu cabang ilmu khusus seperti
misalnya antropologi, biologi, geografi, dan sosiologi
Dengan demikian ilmu artinya semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaran
metode ilmiah, kalangan ilmuan senduiri ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri atas
pengetahua.
4.1.5 Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah Dalam Hal Pembubaran dan
Pencekalan Dalam Forum Ilmiah
1. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah melalui Peradilan Umum.
Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara
perdata dan pidana (penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970). Selain
menangani perkara perdata dan pidana juga masih diberikan kewenangan menangani
perkara / sengketa TUN. Kompetensi ini secara jelas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU
No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
a. Keputusan yang bersifat umum yang dapat digugat diperadilan umum
Tindakan pembubbaran maupun tindakan mencekal seseorang sebagai pembicara
dalam forum ilmiah berdasarkan surat peritah dapat dikategorikan sebagai KTUN yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum. UU No 5 Thun 1986 tentang PTUN, pada
penjelasan pasal 2 menentukan, yang dimaksud dengan KTUN yang membuat
pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma hukum yang
dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuasaan berlakunya mengikat semua orang
b. Tindakan Hukum Perdata dan Tindakan Nyata Yang Dapat Digugat di Peradilan
Umum

19

Tindakan pemerintah dalam hal pembubarab dan pencejalan terhadap pakar dalam
pertemuan ilmiah oleh kepolisian atau badan / pejabat TUN lainnya dapat digolongkan
sebagai perbuatan nyata sehingga dapat digugat diperadilan umum. Istilah lain dari
perbuatan nyata adalah perbuatan materiil atau yang dalam istilah Belanda disebut
feitelijke handeling.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Terhadap Tindakan Pemerintah Melalui Peradilan Tata
Usaha Negara
Tindakan kepolisian maupun badan / pejabat TUN yang membubarkan ataupun
mencekal seseorang atau sejumlah pembicara dalam pertemuan ilmiah dapat
disengketakan di peradilan TUN. Namun dibutuhkan beberapa syarat tertulis untuk
memudahkan segi pembuktian yaitu :
a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan
b. Maksud serta menganai hal apa isi tulisan itu
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya
Dengan demikian tindakan pembubaran maupun pencekalan forum ilmiah dapat
memenuhi ketentuan tersebut bila kepolisian atau pejabat lain mengeluarkan penetapan
tertulis.

20

Anda mungkin juga menyukai