PENDAHULUAN
Kebebasan berpendapat melalui pers dan forum ilmiah yang telah diatur didalam
perundang-undangan ternyata memperlihatkan pertentangan baik secara horizontal
maupun vertical, serta masih memperlihatkan adanya isi peraturan peundang-undangan
yang masih kabur. Kepustakaan hukum yang membahas teori kebebasan pers selain
jumlahnya yang terbatas, ternyata juga sudut pengkajiannya terfokus dari sudut hukum
pidana saja, sehingga kajian dari sudut hukum tata Negara dipandang perlu.
Alasan lainnya adalah kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia
merupakan materi kajian penting dalam hukum dogmatik maupun filsafat hukum, oleh
karena hak asasi manusia bersifat mendasar dan selalu aktual dalam dinamika kehidupan
manusia. Pelaksanaan kebebasan berpendapat di Indonesia yang dijamin dalam UUD
1945 yang implementasinya diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun
1982 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, P.P No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan
Undang-Undang lain yang terkait yaitu Undang-Undang No. 5 PNPS tahun 1963 tentang
Kegiatan Politik, Pasal 510 KUHP dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 jo UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara.
Penerapan Undang-Undang tersebut tidak jarang menimbulkan permasalahaan
dalam pelaksanaannya. Secara yuridis Pemerintah melindungi kebebasan berpendapat
melalui pers berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan,
tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah telah beberapa kali melakukan pelanggaran pers
dengan cara membreidel sejumlah surat kabar dan majalah. Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen) RI No. 01/Per/Menpen/1998 sebagai pengganti Permenpen
No.01/Per/Menpen/1984 masih juga tetap memberlakukan pengenaan sanksi administrasi
berupa pembekuan sementara surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) sebagaimana
diatur dalam pasal 23 ayat (2) huruf b. Pasal tersebut mirip dengan pasal 33 huruf h.
Permenpen 01/Per/Menpen/1984 tentang pembatalan SIUPP.
Berdasarkan Permenpen 01/1998 pasal 23 ayat (2) huruf c, pelanggaran pers
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan. Akan tetapi tidak jelas ditentukan
mengenai mekanisme pembatalan atau pembekuan SIUPP dapat dilakukan oleh
Pengadilan atau tidak. Apabila hal ini terjadi akan tetap bertentangan dengan UndangUndang Pokok Pers yang melarang adanya pembredelan.
Antara Undang-Undang Pers dengan Permenpen terdapat pertentangan dimana
UU pers menjamin adanya kebebasan pers, sedangkan Permenpen yang mengatur
perizinan surat kabar justru memperbolehkan adanya pembekuan SIUPP. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa pengaturan antara UU Pokok Pers dengan Permenpen
ternyata belum sinkron sehingga terdapat kekacauan pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Pers Indonesia.
Berdasarkan atas uraian ini maka terdapat beberapa pertanyaan yang mucul,
antara lain :
1. Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki hak-hak untuk dapat
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, Cetakan XX, 1992,
h.356.
2
LouisKatsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan IV, 1989, h.426.
berbagai aktivitas termasuk kebebasan berpendapat. Bebas artinya lepas dari segala
ikatan1 , Raymond Aron 2 mengemukakan kebebasan dapat dipahami dari sifatnya yang
negatif maupun positif. Dengan demikian dalam sifatnya yang negatif kebebasan itu
diungkapkan sebebas-bebasnya. Kebebasan yang berifat positif pada dasarnya dalam
hubungan dengan orang lain atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah freedom
from atau freedom of speech dan kebebasan pers (freedom press) yaitu kebebasan untuk
mengemukakan pandangan pendapat melalui pers.
2.2 Pemikiran-Pemikiran Filosofis Sebagai Jastifikasi Penggunaan Kebebasan
Berpendapat
2.2.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapat
a. Zaman Yunani Kuno
Pemikiran mengenai kebebasan berpendapat secara historis berkembang
mengikuti pemikiran awal tentang negara dan hukum semenjak zaman Yunani
Kuno. Dalam zaman itu dapat ditelusuri perkembangan kebebasan berpendapat
dalam konteks pembicaraan-pembicaraan mengenai negara dan hukum seperti
yang dikemukakan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Plato murid Aristoteles
menulis buku tentang kehidupan bernegara yaitu Politeia dan Nomoi. Dalam
buku Politeia, Plato menuliskan suatu model negara yang adil, yaitu negara
harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya yang adil. Negara yang
adil menurut konsep ini tentunya dalam kaitan antara penguasa dengan rakyat.
Artinya penguasa dalam menjalankan tugas harus memperhatikan hak-hak dasar
termasuk kebebasan berpendapat yang dimiliki rakyat agar tercipta keadilan.
b. Zaman Romawi Kuno
Dari segi hukum, apabila pada zaman Yunani warga negara merupakan bagian
dari negara sehingga tidak menggugat negara, maka pada zaman Romawi Kuno
warga negara dipisahkan dari negara yang keadaannya diatur oleh jenis hukum
yang berlainan. Hubungan antara warga negara diatur berdasarkan hukum
publik. Bangunan hukum romawi yang memisahkan antara hukum privat dan
hukum publik, memperlihaktkan secara jelas adanya upaya perlindungan hak
dan kebebasan warga negara (termasuk kebebasan berpendapat) pada zaman ini.
c. Zaman Abad Pertengahan
Dalam zaman ini Thomas Aquinas pun membagi hukum menjadi empat
golongan, yaitu :
Lex Aeterna (Hukum Abadi) merupakan rasio : Tuhan sendiri yang mengatur
segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Ratio ini tak dapat
ditangkap panca indra manusia. Lex Divina (Lex Divina Positiva) : Bagian dari
rasio Tuhan yang dapat ditangkap manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
Lex Divina tercantu, dalam kitab suci. Lex Naturalis (Hukum Alam). Lex
1
2
Antonio Cassesse, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Penyunting Abdoel Hakim G.Nusantara,
Yayasan Obor Indonesia, 1994, h.49.
BurkenM.C.,et.al., Beginselen van de Democratiche Rechtstaat, Tjeenk Willink Zwole, 1990, p.29.
Abdoel Gani, Hubungan Antara Politik Hak Asasi dan Pembangunan Hukum Indonesia, Makalah dalam
Simposium Politik, Hak Asasi dan Pembangunan Hukum, Surabaya, 3 November 1991, h.11.
2
A.Hamid Attamimi, Peran Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, 1990,
h.322.
2
Ibid., h.380.
3
G.Kartasapoetra, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia, Armico, Bandung, 1982, h.55.
Robert Dahl1
kebebasan sipil
berkumpul dan
teori demokrasi
teori demokrasi
BAB III
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI
PERS
3.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Pers Menurut
Undang-Undang
Negara hukum menurut Aristoteles ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(berdiri diatas hukum) dan menjamin keadilan kepada warga negaranya. Peraturan hukum
yang sebenarnya adalah peraturan yang mencerminkan keadilan. Pemikiran ini
menunjukkan dua hal penting yaitu negara yang berdasarkan atas hukum dan negara yang
menjamin keadilan. Negara yang berdasarkan atas hukum mengandung arti penguasa
dalam mengambil tindakannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku. Burkens mengatakan suatu negara dapat dikatakan negara hukum apabila
memenuhi syarat sebagai berikut : (1) asas legalitas; (2) pembagian kekuasaan; (3)
pengakuan hak asasi manusia; (3) pengawasan pengadilan (peradilan administrasi). Asas
yang paling relevan dengan pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat ini yaitu asas
legalitas. Asas ini mensyaratkan agar stiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas
peraturan perundang-undangan. Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil
dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Oleh
karena itu pembentuk Undang-Undang merupakan bagian penting dari keberadaan suatu
negara hukum.
Artinya pembentukan Undang-Undang untuk mengatur hal-hal pokok yang
didelegasikan oleh UUD 1945. Denga demikian pengaturan terhadap kebebasan
berpendapat melalui pers harus didasarkan pada undang-undang, termasuk dalam hal
pembekuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
1
J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bhakti, h.104.
10
3. Asas Lex Posterior (Lex Posterior Derogat Legi Priori) : Undang-undang yang
kemudian mengalahkan undang-undang terdahulu.
Dalam memahami kedudukan Undang-Undang Pokok Pers khususnya pasal yang
mengatur tentang larangan pembredelan dan Peraturan Menteri Penerangan yang
mengatur pembekuan SIUPP asas yang relevan digunakan adalah asas Lex Superior. Tap
MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebut peraturan Menteri sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan. Dalam praktek selain dikenal peraturan menteri, juga ada
yang menyebut dengan keputusan menteri. Bagir Manan mencatatnPeraturan Menteri
adalah keputusan (besluit) yang bersifat mengatur (regelen) sedangkan keputusan menteri
adalah keputusan yang bersifat ketetapan (beschikking). Dengan demikian peraturan
menteri penerangan tidak dapat digolongkan kedalam pengertian peraturan perundangundangan karena peraturan tersebut merupakan produk badan/pejabat Tata Usaha Negara
(Menteri Penerangan) yang memiliki kewenangan legislatif sehingga tidak bisa
dipergunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pembekuan SIUPP.
11
Oemar Seno Adji, Pembredelan Surat Kabar Sebagai Kasus, artikel dalam kumpulan tulisan menyambut
25 tahun Harian Umum Sinar Harapan, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, h.253.
2
Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1996, h. 41.
3
Oemar Seno Adji, Pers Aspek Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, 1974, h.44.
12
informasi-informasi agar lebih mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan dalam dalam
kehidupan berbangsa.
Dalam hubungan ini Oemar Seno Adji menyebutkan fungsi pers sebagai berikut : (a).
menyampaikan kritik dan koreksi. (b) sebagai barometer. (c) sebagai petunjuk . (d)
sebagai pengontrol.
b. Tanggung Jawab Pers.
1. Tugas dan kewajiban pers antara lain meliputi
- memperjuangkan kebenran dan keadilan
- menggelorakan semanngat persatuan dan kesatuan
- meningkatkan kecerdasan bangsa
- mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan
2. sebagai penyebar informasi yang objektif
3. melakukan kontrol sosial
4. bebas bertanggung jawab.
c. Pengawasan Pers
Pengawasan terhadap pers perlu dilakukan secara baik, mengingat lembaga pers
merupakan salah satu kekuatan berpengaruh dan dalam hal-hal tertentu pers sangat
ditakuti. Oleh karena itu apabila kebebasan pers tidak dibatasi melalui prinsip pers yang
bertanggung jawab maka dikhawatirkan lembaga pers dalam hal dapat bertinda
sewenang-wenang menyiarkan tulisan yang tidak didasari fakta objektif.
d. Hak Jawab dan Hak Koreksi
Hak jawab dan hak koreksi merupakan hak yang dimiliki seseorang, sekelompok
orang, badan hukum perdata dan pejabat pemerintah untuk menjawab maupun
mengoreksi suatu tulisan dalam surat kabar atau majalah yang kemungkinan merugikan.
Penggunaan hak tersebut bertujuan agar meluruskan pemberitaan/tulisan yang
kemungkinan tendensius dan subjektif sehingga menimbulkan kerugian.
Secara yuridis jaminan hak tersebut diatur dalam undang-undang pokok pers Nomor
21 Tahun 1982. Peraturan Menteri Penerangan No 01/Pers/Menpen/1998 tentang SIUPP.
Peraturan Menteri Penerangan Nomor 02/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan mengenai
wartawan dan Kode Etik Jurnalistik
2. sanksi pidana
Salah satu pengawasan represif dalam hubungan dengan penerbitan pers yaitu
pengenaan sanksi pidana dari perspektif hukum pers sanksi pidana bias dikatakan lebih
tepat dan proporsional daripada menggunakan sanksi pencabutan SIUPP
Dalam KUHP dapat dijumpai beberapa pasal yang mengatur kejahatan yang dapat
dikategorikan sebagai delik pers antara lain :
1. Delik penghinaan : a. penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, b.
penghinaan terhadap raja atau kepala Negara sahabat, c. penghinaan terhadap aparat
pemerintah.
14
BAB IV
PENGATURAN DAN PENGGUNAAN
KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI FORUM ILMIAH
4.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Menurut Hukum Positif
Pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah dititikberatkan
pada UUD 1945sebagai landasan konstitusional yang memberikan perlindungan
kebebsan berpendapat sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 UUD 194. Selain itu
dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan kebebasan
ilmiah konsep rechtside serta konsep rechtstaat.
4.1.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Istilah forum ilmiah identik dengan forum ilmiah sebagaimana dipergunakan dalam
pasal 18 PP Nomor Tahun 1990. Penjelasan ketentuan ini menyebutkan pertemuan ilmiah
meliputi seminar, ceramah, symposium, diskusi panel dan ujian dalam rangka
pelaksanaan pendidikan akademik dan atau professional
Oleh karena itu konsep-konsep yang dikaji antara lain :
a. Kebebasan akademik
b. Kebebasan mimbar akademik
c. Otonomi keilmuan
d. Tanggung jawab ilmiah
1. Pengaturan Forum Ilmiah Menurut (SKB) No 153Tahun 1995 dan No
Kep/12/XII/1995
Dari sudut pandang pemerintah, keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan Keamanan (SKB) Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor : Kep
15
16
17
3. Tindakan Sewenang-Wenang
Tindakan Pencekalan bagi seorang yang akan tampil sebagai pembicara, penghentian
ataupun pembubaran suatu kegiatan yang berkenaan dengan forum ilmiah yang dalam
istilah SKB mendagri dan menhankam disebut sebagai pertemuan keilmuan yang dapat
dikategirikan sebagai tindakan sewenang-wenang. Istilah sewenang-wenang yang dalam
istilah bahasa Belanda disebut wilekeur diartikan sebagai tindakan yang menyimpang
dari nalar yang sehat.
4.1.3 Pembatasan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Meskipun kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah harus dilindungi namun
tidak berarti terhadap kebebasan tersebut tidak ada pembatasannya. Oleh Karena itu perlu
pembentukan Undang-Undang untuk membatasinya sehingga tidak menganggu
keamanan Negara dan ketertiban umum
Selain itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap penggunaan kebebasan ini dari
kemungkinan tindakan pihak kepolisian maupun badan / pejabat TUN lainnya dalam hal
membubarkan seminar atau mencekal pembicara secara sewenang-wenang, kajiannya
meliputi :
1. Ketertiban Umum dan Keamanan Negara Sebagai Pembatasan Kebebasan
Berpendapat Melalui Forum Ilmiah
Pengkajian dalam bagian ini bertitik tolak dari dalam kebebasan terkandung unsure
pembatasannya yaitu tanggung jawab agar tidak mengganggu ketertiban dan keamanan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara penggunaan kebebasan berpendapat harus
tetap dibatasi agar tidak sampai menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan Negara
2. Undang-Undang Tentang Izin Keramaian dan Kebebasan Akademik
a. Analisis Hukum Positif Tentang Perlunya Pengaturan Izin Kegiatan Dalam UndangUndang
izin keramaian yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat sebagaiamana
disebutkan dalam pasal 28 UUD 1945 sejauh ini pengaturannya ditempatkan dalam SKB
Mendagri dan Menhankam Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor Kep/12/XII/1995
tertanggal 26 Desember 195. SKB tersebut sebagai petunjuk pelaksanaan perizinan
sebagaimana diatur dalam pasal 510 KUHP dan pemberitahuan menurut UU No 5 PNPS
Tahun 1995 tentang Kegiatan Politik.
b. Analisis Hukum Positif Tentang perlunya pengaturan Kebebasan Akademik Dalam
Undang-Undang
Hakekat kebebasan akademik yaitu suatu kebebasan yang dimiliki ilmuwan maupun
civitas akademika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolog. Pelaksanaan
kebebasan akademik berkaitan dengan kebebasan melakukan penelitian dalam mencapai
kebenaran yang hakiki. Dalam rumusan Tap MPR terdapat beberapa hal yang mendasar
yang berkaitan dengan perlunya pemikiran untuk mengatur kebebasan akademik dalam
suatu undang-undang. Pertama, jaminan kebebasan akademik diarahkan untuk
peningkatan kecerdasan bagsa dan kemampuan dalam menunjang keberhasilan
pembangunan di berbagai aspek. Kedua, pengembangan kebebasan akademik diarahkan
agar menyiapkan SDM yang memilki profesiolanitas tinggi. Ketiga Kebebasan akademik
berkaitan dengan suasana kehidupan kampus sebagai lingkungan alamiah yang dinamis.
Keempat, perlunya pengembangan iklim yang demokratis dalam mendukung kebebasan
18
akademik dan otonomi perguruan tinggi sebagai keilmuan, agar civitas akademika secara
bertanggung jawab mengambangkan pemikiran-pemikiran yang konstruktif.
4.1.4 Pembatasan Menurut Norma Keilmuan
Pembatasan kebebasan berpendapat dalam forum ilmiah dapat dilakukan melalui
norma-norma keilmuan yang merupakan etika keilmuan. Tugas seorang ilmuan adalah
memperthankan kebenaran ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi tetap mengacu pada norma-norma keilmuan sebagai suatu pembatasan.
1. Pemikiran Tentang Ilmu Dan Norma Keilmuan
Penyebutan istilah ilmu pengetahuan yang sudah menjadi kelaziman di
masyarakat terutama di dunia perguruan tinggi secara hakuki merupakan suatu
penyebutan yang kurang cermat. Ilmu ditambah pengetahuan sehingga menjadi ilmu
pengetahuan merupakan suatu penyebutan yang berlebihan karena menggunakan kedua
istilah yang sama artinya. The liang gie menyebut dua arti ilmu yaitu :
a. Ilmu merupakan sebuah istilah umum yang dipergunakan untuk menyebut segenap
pengetahuan yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Dalam arti ini ilmu mengacu
pada ilmu seumumnya.
b. Ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari
sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti, ilmu sebagai suatu cabang ilmu khusus seperti
misalnya antropologi, biologi, geografi, dan sosiologi
Dengan demikian ilmu artinya semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaran
metode ilmiah, kalangan ilmuan senduiri ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri atas
pengetahua.
4.1.5 Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah Dalam Hal Pembubaran dan
Pencekalan Dalam Forum Ilmiah
1. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah melalui Peradilan Umum.
Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara
perdata dan pidana (penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970). Selain
menangani perkara perdata dan pidana juga masih diberikan kewenangan menangani
perkara / sengketa TUN. Kompetensi ini secara jelas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU
No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
a. Keputusan yang bersifat umum yang dapat digugat diperadilan umum
Tindakan pembubbaran maupun tindakan mencekal seseorang sebagai pembicara
dalam forum ilmiah berdasarkan surat peritah dapat dikategorikan sebagai KTUN yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum. UU No 5 Thun 1986 tentang PTUN, pada
penjelasan pasal 2 menentukan, yang dimaksud dengan KTUN yang membuat
pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma hukum yang
dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuasaan berlakunya mengikat semua orang
b. Tindakan Hukum Perdata dan Tindakan Nyata Yang Dapat Digugat di Peradilan
Umum
19
Tindakan pemerintah dalam hal pembubarab dan pencejalan terhadap pakar dalam
pertemuan ilmiah oleh kepolisian atau badan / pejabat TUN lainnya dapat digolongkan
sebagai perbuatan nyata sehingga dapat digugat diperadilan umum. Istilah lain dari
perbuatan nyata adalah perbuatan materiil atau yang dalam istilah Belanda disebut
feitelijke handeling.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Terhadap Tindakan Pemerintah Melalui Peradilan Tata
Usaha Negara
Tindakan kepolisian maupun badan / pejabat TUN yang membubarkan ataupun
mencekal seseorang atau sejumlah pembicara dalam pertemuan ilmiah dapat
disengketakan di peradilan TUN. Namun dibutuhkan beberapa syarat tertulis untuk
memudahkan segi pembuktian yaitu :
a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan
b. Maksud serta menganai hal apa isi tulisan itu
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya
Dengan demikian tindakan pembubaran maupun pencekalan forum ilmiah dapat
memenuhi ketentuan tersebut bila kepolisian atau pejabat lain mengeluarkan penetapan
tertulis.
20