Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN TINGKAT ENDEMISITAS

DBD DI KOTA MAKASSAR


THE RELATIONSHIP OF THE ENVIRONMENTAL FACTORS TO THE
LEVEL OF DENGUE ENDEMICITY IN THE CITY OF MAKASSAR

Suryadi Hs. Rahim1, Hasanuddin Ishak2, Isra Wahid3


1

Dinas Kesehatan Kota Makassar


Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
3
Bagian Entomologi Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi :
Suryadi Hs. Rahim
Dinas Kesehatan Kota Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan 11 Makassar
HP. 081355770649
E-mail : suryadhedy@yahoo.co.id

Abstrak
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia yang dapat menimbulkan
dampak sosial maupun ekonomi serta endemis di beberapa daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan faktor lingkungan dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Penelitian ini merupakan
penelitian ekologi dengan menggunakan populasi berupa RW sebagai unit analisis. Penelitian berlangsung
selama bulan Juni 2013 dengan mengambil responden sebanyak 180 orang pada 18 RW di 6 kelurahan berbeda
di Kota Makassar. Data yang digunakan berupa data primer melalui wawancara dengan responden serta data
sekunder berupa data kependudukan, luas wilayah, dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dari kelurahan dan
Puskesmas. Pengolahan data dilakukan dengan Program SPSS dengan uji Fisher exact test. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk (p = 1,000), kepadatan penduduk (p =
0,268), Container Index (p = 1,000), dan Pemantauan Jentik Berkala (p = 1,000) dengan tingkat endemisitas
DBD di Kota Makassar. Ada hubungan antara House Index (p = 0,038) dengan tingkat endemisitas wilayah di
Kota Makassar. Disimpulkan bahwa House Index adalah faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap
endemisitas DBD di Kota Makassar.
Kata kunci

DBD, House Index, Container Index, PJB

Abstract
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease that can be transmitted in Indonesian which makes social and
economic impacts as well as endemic in some areas. This study aims to determine the relationship of
environmental factors to the level of endemicity of dengue in the city of Makassar. This study is an ecologic
study that using RW as the unit of analysis. The research took place during the month of June 2013 by taking
respondents on 18 RW 180 people in 6 different villages in the city of Makassar. The data used in the form of
primary data through interviews with respondents and secondary data of population, land area, and Flick
Periodic Monitoring from villages and health centers. Data processing is done with SPSS test with the Fisher
exact test. The results showed that there was no relationship between population mobility (p = 1.000),
population density (p = 0.268), Container Index (p = 1.000), and Flick Periodic Monitoring (p = 1.000) with the
level of endemicity of dengue in the city of Makassar. There is a relationship between the House Index (p =
0.038) with the level of endemicity area in Makassar. Concluded that the House Index is the most influential
environmental factors on dengue endemicity in Makassar.
Keywords

DHF, House Index, Container Index, Flick Periodic Monitoring

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia
yang dapat menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Penyakit DBD sebagai salah satu
penyakit di wilayah tropis dan subtropis telah tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia,
menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB), serta endemis di beberapa daerah. Penyakit yang
ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi, dan perilaku
(BPPN, 2006).
Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 65.432 kasus (Incidence
Rate=27,56 per 100.000 penduduk) dengan 595 kematian (CFR=0,91). IR tertinggi ada di
Propinsi Sulawesi Tengah, yakni sebesar 76,16 per 100.000 penduduk sedangkan CFR
tertinggi ada di Propinsi Gorontalo yakni sebesar 8,70%. Kasus DBD di Propinsi Sulawesi
Selatan pada tahun yang sama sebesar 1.520 kasus (IR=18,71) dengan 11 kematian
(CFR=0,72%). Secara nasional, kasus DBD di Propinsi Sulawesi Selatan berada di bawah
angka rata-rata nasional, namun tetap perlu mendapatkan perhatian karena DBD tetap
endemis di beberapa kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2012).
Kota Makassar sebagai salah satu kota di Propinsi Sulawesi Selatan yang endemis
DBD, cenderung mengalami penurunan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, kasus
DBD yang ditemukan sebanyak 262 kasus. Angka ini menjadi 255 pada tahun 2009 dan turun
menjadi 182 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, angka ini mengalami penurunan yang
sangat signifikan menjadi

85 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 menjadi 84 kasus.

Kecenderungan penurunan kasus DBD di Makassar perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor
penyebabnya. Hal ini dapat dicapai dengan membandingkan daerah yang berbeda status
endemisitas agar dapat memberikan arah penanganan semaksimal mungkin dan dapat menjadi
contoh bagi daerah lain dalam menangani kasus DBD.
Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan dalam penularan DBD.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan dkk. (2010) serta Musyarifatun (2011)
menyatakan bahwa mobilitas penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor yang berperan
dalam status endemisitas suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk juga dinyatakan sebagai
salah satu faktor yang berperan dalam endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Setianingsih (2009), Rahayani (2010), dan Munsyir (2010). Faktor lain
yang dianggap berperan dalam endemisitas DBD adalah lingkungan biologi berupa densitas
larva Aedes aegypti. Penelitian Ishak dkk (2009) serta Sudibyo dkk (2012) menyatakan bahwa

densitas larva mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingri rendahnya endemisitas
DBD.
Cara yang paling dianggap efektif dalam pemberantasan nyamuk DBD adalah dengan
pemutusan rantai penularan nyamuk, yaitu mencegah telur nyamuk berkembang menjadi larva
dan nyamuk dewasa. Langkah yang ditempuh adalah melalui Pemantauan Jentik Berkala
(PJB) yang mencakup upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) berupa 3M Plus. Gerakan
ini dipercaya menjadi cara yang ampuh dalam menekan kasus DBD. Namun, hal ini sangat
membutuhkan kesadaran dan peran serta seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan upaya
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) telah dibuktikan pada penelitian Fathi dkk (2005) dan
Taviv dkk (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan
dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Desain Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Kota Makassar yang memiliki RW dengan 3 endemisitas
yang berbeda. Jenis penelitian adalah penelitian ekologi untuk menggambarkan penyakit
dalam kaitannya dengan beberapa faktor, dengan mengukur karakteristik dari keseluruhan
populasi.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah semua RW yang ada di 6 kelurahan pada wilayah
kota Makassar yang memiliki 3 tingkatan endemisitas yang berbeda. Sampel penelitian
diambil secara simple random sampling dimana tiap tingkatan endemisitas (endemis,
sporadis, dan potensial) diwakili oleh masing-masing satu RW. Tiap RW, dipilih masingmasing 1 RT sebagai perwakilan dan melakukan wawancara pada masing-masing 10
responden/RT. Jumlah sampel adalah 18 RW pada 6 kelurahan yang diwakili oleh 180
responden.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner penelitian
serta dari hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan langsung di lapangan. Data
sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota
Makassar, dan BPS Kota Makassar serta dari hasil kajian pustaka baik berupa artikel, jurnal,
dan buku-buku.

Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis statistik dengan menggunakan Program SPSS versi 21
dan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan narasi sebagai penjelasan. Uji statistik yang
dipergunakan adalah Uji Chi Square.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik responden penelitian. Sebagian besar responden
berada pada kelompok umur 40 56 tahun dan 18 39 tahun. Sedangkan responden dengan
kelompok umur 1 4 tahun maupun 13 17 tahun tidak ditemukan. Tabel juga
memperlihatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki dimana terdapat
118 responden laki-laki dan hanya 62 responden perempuan. Sebagian besar responden tidak
memiliki riwayat terkena DBD dalam 3 tahun terakhir. terdapat 70 responden yang memiliki
riwayat menderita DBD dan 110 responden yang tidak menderita pernah menderita DBD.
Sebanyak 54,3% responden yang pernah menderita DBD berada pada wilayah endemis
sedangkan di daerah sporadis hanya sebesar 40,0% dan pada wilayah potensial hanya 5,7%.
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai
wiraswastawan. Profesi selanjutnya adalah pegawai swasta dan PNS. Sedangkan responden
yang berstatus pelajar, mahasiswa, dan pekerjaan lainnya (sopir) merupakan profesi yang
paling sedikit ditemukan pada responden.
Hubungan Antara Mobilitas Penduduk dengan Tingkat Endemisitas DBD
Data yang disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa mobilitas penduduk pada
wilayah endemis sebesar 50,0 % rendah dan 31,3% dengan mobilitas tinggi. Hasil uji statistik
dengan Fisher exact test memberikan nilai p = 1,000 (> 0,05) sehingga hipotesis penelitian
ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan tingkat
endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar.
Hubungan Antara Kepadatan Penduduk dengan Tingkat Endemisitas DBD
Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari 18 wilayah, 13 di antaranya berstatus padat
penduduk (> 4000 jiwa/km2) dan 5 dengan status tidak padat. Persentase kepadatan penduduk
pada wilayah endemis yang tidak padat sebesar 60,0% sedangkan yang padat (23,1%). Hasil
uji statistik Fisher exact test memberikan nilai p = 0,268 (> 0,05) sehingga hipotesis
penelitian ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk
dengan tingkat endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar.

Hubungan Antara Densitas Larva dengan Tingkat Endemisitas DBD


Hasil penelitian pada tabel 4 memperlihatkan bahwa tidak ada wilayah endemis yang
memiliki House Index rendah sedangkan HI tinggi sebesar 54,5%. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,038 (< 0,05) sehingga hipotesis penelitian diterima atau ada
hubungan antara HI dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Tabel juga
memperlihatkan bahwa tidak ada wilayah dengan status endemis tinggi yang memiliki
Container Index (CI) rendah dan 6 wilayah (35,3%) dengan CI tinggi. Hasil uji statistik
memberikan nilai p = 1,000 (> 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
hubungan antara Container Index (CI) dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.
Hubungan Antara Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan Tingkat Endemisitas DBD
Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa persentase wilayah yang melakukan PJB pada
daerah endemis sama dengan persentase wilayah yg tidak melakukan PJB (33,3%). Hasil uji
statistik menunjukkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau
tidak ada hubungan antara PJB dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa House Index (HI) merupakan faktor yang
berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar. Sedangkan faktor mobilitas
penduduk, kepadatan penduduk, Container Index (CI), dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
tidak berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar.
Mobilitas penduduk yang tinggi umumnya terjadi di daerah perkotaan yang dilengkapi
dengan sarana transportasi dan informasi yang maju. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh
profesi dan aktifitas penduduk yang menuntut terjadinya mobilitas baik dalam wilayah tempat
tinggal maupun ke luar wilayah tempat tinggal. Mobilitas yang tinggi selain berdampak
positif, juga memberikan dampak negatif dengan terjadinya penyebaran penyakit dari satu
wilayah ke wilayah lain akibat perpindahan penduduk.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa mobilitas penduduk hampir sama wilayah
baik wilayah endemis, sporadis, maupun potensial. Terdapat 16 wilayah dengan mobilitas
penduduk yang tinggi dan hanya 2 wilayah yang masih tergolong dalam kategori mobilitas
kurang. Tidak adanya perbedaan signifikan antara wilayah dengan tingkat endemisitas
berbeda menyebabkan analisis statistik yang dihasilkan juga memberikan hasil yang tidak
bermakna atau tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan tingkat endemisitas
DBD di Kota Makassar. Sebagian besar masyarakat di kota Makassar baik pada wilayah
endemis, sporadis, maupun potensial memiliki mobilitas tinggi ke luar wilayah yang

didukung oleh sarana transportasi yang lancar. Hal ini menyebabkan penyebaran penyakit
seperti DBD dapat terjadi di semua wilayah Kota Makassar karena semakin meningkatnya
mobilitas penduduk.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ishak dkk (2009) serta Gama dkk (2010)
yang menyatakan bahwa mobilitas penduduk merupakan variabel yang mempunyai hubungan
paling signifikan terhadap endemisitas penyakit DBD. Namun, hasil yang sama dengan
penelitian ini adalah penelitian Fathi dkk (2005) yang menyatakan bahwa mobilitas penduduk
tidak ikut berperan dalam kejadian DBD.
Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk yang menetap di suatu wilayah per
satuan luas wilayah (km2). Semakin padat suatu wilayah, maka potensi penularan penyakit
semakin besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 13 wilayah dengan tingkat
kepadatan penduduk tinggi dan 5 wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk kurang padat
(< 4.000 jiwa/km2). Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara
wilayah endemis maupun non endemis. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,268 yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan tingkat
endemisitas wilayah di Kota Makassar.
Kepadatan penduduk Kota Makassar yang semakin tinggi sejalan dengan tingginya
arus perpindahan penduduk baik untuk menuntut ilmu maupun karena tuntutan ekonomi. Kota
Makassar sebagai salah satu pusat pendidikan dan perekonomian di Indonesia Timur memiliki
potensi yang menarik bagi banyak orang. Kepadatan penduduk tidak hanya terjadi pada
daerah pusat kota tetapi sampai ke wilayah luar Kota Makassar karena semakin lancarnya
sarana transportasi yang memudahkan mobilitas penduduk dari atau ke pusat kota. Kepadatan
penduduk yang tidak berbeda baik pada wilayah endemis, sporadis, maupun potensial
menyebabkan risiko penularan penyakit seperti DBD menjadi sama pada tiap wilayah. Peran
kepadatan penduduk menjadi tidak berarti karena wilayah yang hampir sama tingkat
kepadatannya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Setianingsih (2009) dan
Rahayani (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kepadatan penduduk dan kepadatan rumah dengan kejadian penyakit DBD.
Densitas atau kepadatan larva Aedes spp pada suatu wilayah dapat menjadi ancaman
bagi kesehatan masyarakat jika terjadi kontak dengan manusia. Kontak nyamuk Aedes spp
dengan penderita DBD akan menyebabkan nyamuk terinfeksi dan jika menggigit manusia
sehat akan dapat menyebabkan terjadinya penularan DBD. Densitas larva yang diukur pada
penelitian ini berupa angka rumah atau House Index (HI) dan angka wadah atau Container
Index (CI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 wilayah memiliki HI tinggi (> 37) dan 7

wilayah dengan HI rendah (< 37). Namun terdapat perbedaan signifikan antara wilayah
endemis dan non endemis. HI rendah hanya ditemukan pada wilayah non endemis dan tidak
ditemukan pada wilayah endemis. Hasil uji statistik memberikan nilai p = 0,038 yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara HI dengan tingkat endemisitas DBD wilayah di
Kota Makassar.
Hasil yang ada menunjukkan bahwa jumlah rumah yang positif larva Aedes spp lebih
banyak ditemukan pada wilayah endemis. Kondisi ini erat kaitannya dengan kurangnya
tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada daerah endemis yang menyebabkan
tingginya kasus DBD. Hasil penelitian terhadap tingkat CI menunjukkan hasil yang berbeda
dengan hasil HI. CI yang tinggi (> 3) ditemukan di 17 wilayah yang diteliti sedangkan CI
rendah hanya ditemukan pada 1 wilayah. Tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan
antara daerah endemis dan non endemis menyebabkan hasil uji statistik memberikan nilai
yang tidak bermakna sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara CI
dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.
Hasil yang berbeda pada HI dan CI menunjukkan bahwa rumah pada daerah non
endemis yang positif larva Aedes spp memiliki jumlah kontainer positif larva yang cukup
banyak sehingga berpengaruh pada tingginya angka CI.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Ishak dkk (2009) yang menyatakan bahwa densitas larva sebesar HI (House Index)
: 47% dan CI (Container Index) 31,1% mempunyai hubungan yang signifikan dengan tinggi
rendahnya endemisitas. Namun penelitian Fathi dkk (2005) menyatakan bahwa tidak nampak
peran kepadatan larva yang diukur dengan ABJ terhadap terjadinya KLB penyakit DBD.
Pemantauan Jentik Berkala (PJB) merupakan salah satu langkah pencegahan
penyebaran DBD yang dianggap cukup bermakna. Pemantauan jentik baik yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan maupun kader jumantik atau masyarakat dapat mengurangi jumlah
larva nyamuk Aedes spp sehingga akan berdampak pada penurunan kasus DBD. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persentase wilayah yang melakukan PJB pada daerah endemis
sama dengan persentase wilayah yg tidak melakukan PJB (33,3%).

Hasil uji statistik

menunjukkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
hubungan antara PJB dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Kondisi ini erat
kaitannya dengan masih banyaknya wilayah baik daerah endemis, sporadis, maupun potensial
yang tidak melakukan PJB secara rutin (3 bulan sekali).
Pemantauan jentik yang tidak terkoordinir atau rutin dilakukan dapat menyebabkan
peningkatan kepadatan nyamuk sehingga berdampak pada peningkatan kasus DBD. Kondisi
ini dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat karena langkah pencegahan berupa

PJB termasuk PSN tidak dilakukan sehingga dapat menyebabkan kasus DBD yang terus
meningkat.
Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian ini didapatkan pada penelitian Alidan
(2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara PJB dengan
perilaku PSN DBD (p-value < 0,05) dimana PJB adalah variabel yang paling besar memberi
pengaruh terhadap perilaku PSN DBD. Penelitian Wongso dkk (2008) memberikan hasil yang
sama dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan jumlah penderita
DBD sebelum dan sesudah adanya kader jumantik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan pada penelitian ini adalah House Index (HI) merupakan satu-satunya
faktor yang berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar. Mobilitas penduduk,
kepadatan penduduk, Container Index (CI), dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak
berhubungan dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Disarankan agar
pemasyarakatan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara mandiri perlu
dilakukan secara terus menerus untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes.
Masyarakat dan lintas sektor terkait perlu bekerja sama dalam menciptakan lingkungan sehat
serta bebas dari penularan DBD, dan tidak hanya pada upaya kuratif. Diharapkan Dinas
Kesehatan setempat khususnya Puskesmas agar lebih mengefektifkan penggunaan media
dalam rangka penggalangan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk secara terpadu serta
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk tersebut. Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala perlu diaktifkan pada setiap
wilayah untuk dapat mendeteksi adanya vektor penular DBD serta mencegah terjadinya
penularan DBD.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Tim Pembimbing Penelitian, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana UNHAS, Pemerintah Kota Makassar,
Pemerintah dan masyarakat pada lokasi penelitian (Kelurahan Sudiang, Sudiang Raya,
Tamalanrea, Tamalanrea Indah, Tamalanrea Jaya, dan Panaikang), serta rekan-rekan
mahasiswa Program Magister Konsentrasi Kesehatan Lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Alidan. (2011). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Penyuluhan Kesehatan dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) di
Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi. Thesis tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Azizah dan Betty. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa
Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010
BPPN. (2006). Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus
DBD). Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional
Gama, Azizah dan Betty. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi, Volume 5 Nomor 2 Edisi
Oktober 2010
Ishak, Hasanuddin dkk. (2009). Analisis Faktor Faktor Densitas Larva Aedes aegypti dan
Endemisitas Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Disajikan pada Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009 Tanggal 10 Agustus
2009
Kemenkes RI. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta
Munsyir, Mujida Abdul. (2010). Pemetaan dan Analisis Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009. Thesis tidak
diterbitkan. Universitas Hasanuddin : Makassar
Rahayani, Berta Ratri. (2010). Analisis Spasial Faktor Kepadatan Penduduk, Angka Bebas
Jentik, dan Cakupan Penanggulangan Fokus dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kot Surabaya Tahun 2006 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas
Kesehatan Masyarakat
Setianingsih, Rien. (2009). Hubungan Kepadatan Penduduk, Kepadatan Rumah, Kepadatan
Jentik, dan Ketinggian Tempat dengan Kejadian Penyakit DBD di Kota Semarang
Tahun 2007 dengan Pendekatan Spasial I. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas
Diponegoro : Semarang
Sudibyo, dkk. (2012). Kepadatan Larva Aedes aegypti pada Musim Hujan di Kelurahan
Petemon, Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Airlangga : Surabaya
Taviv, dkk. (2010). Pengendalian DBD melalui Pemanfaatan Pemantau Jentik dan Ikan
Cupang di Kota Palembang. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 38 No. 4, 2010 :
215-224
Wongso, Andry dkk. (2008). Perbedaan Jumlah Penderita DBD Sebelum dan Sesudah
Adanya Kader Jumantik di Kecamatan Krian. Laporan Hasil Penelitian Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Endemisitas DBD


di Kota Makassar Tahun 2013
Endemisitas
Variabel

Endemis

Sporadis

Jumlah

Potensial

14

0,0

0,0

0,0

0,0

5 12

100,0

0,0

0,0

100,0

13 17

0,0

0,0

0,0

0,0

18 39

24

33,3

25

34,7

23

31,9

72

100,0

40 56

29

35,4

27

32,9

26

31,7

82

100,0

> 56

24,0

32,0

11

44,0

25

100,0

Laki-laki

44

37,3

34

28,8

40

33,9

118

100,0

Perempuan

16

25,8

26

41,9

20

32,3

62

100,0

Kelompok Umur

Jenis Kelamin

Riwayat Menderita DBD


Ya

38

54,3

28

40,0

5,7

70

100,0

Tidak

22

20,0

32

29,1

56

50,9

110

100,0

PNS

15

34,9

12

27,9

16

37,2

43

100,0

P. swasta

17

34,7

17

34,7

15

30,6

49

100,0

Wiraswasta

26

31,3

30

36,1

27

32,5

83

100,0

Pelajar

100,0

0,0

0,0

100,0

Mahasiswa

50,0

0,0

50,0

100,0

Lainnya

0,0

50,0

50,0

100,0

60

33,3

60

33,3

60

33,3

180

100,0

Pekerjaan

Jumlah
Sumber : Data primer

Tabel 2.

Hubungan Antara Mobilitas Penduduk dengan Tingkat Endemisitas Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013
Endemisitas
Jumlah
Mobilitas Penduduk

Endemis

Non Endemis

Tinggi

31,3

11

68,8

16

100,0

Rendah

50,0

50,0

100,0

33,3

12

66,7

18

100,0

Jumlah
Sumber : Data primer

p = 1,000

Tabel 3.

Hubungan Antara Kepadatan Penduduk dengan Tingkat Endemisitas


Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013
Endemisitas
Jumlah
Kepadatan Penduduk

Endemis

Non Endemis

Padat

23,1

10

76,9

13

100,0

Tidak padat

60,0

40,0

100,0

33,3

12

66,7

18

100,0

Jumlah
Sumber : Data primer

Tabel 4.

p = 0,268

Hubungan Antara Densitas Larva (House Index dan Container Index)


dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota
Makassar Tahun 2013
Endemisitas
Jumlah
Densitas Larva

Endemis

Non Endemis

Rendah

0,0

100,0

100,0

Tinggi

54,5

45,5

11

100,0

House Index (HI)

p = 0,038
Container Index (CI)
Rendah

0,0

100,0

100,0

Tinggi

35,3

11

64,7

17

100,0
p = 1,000

Sumber : Data primer

Tabel 5.

Hubungan Antara Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan Tingkat


Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013
Endemisitas
Jumlah

Pemantauan Jentik Berkala


(PJB)

Endemis

Non Endemis

Ya

33,3

66,7

12

100,0

Tidak

33,3

66,7

100,0

33,3

12

66,7

18

100,0

Jumlah
Sumber : Data primer

p = 1,000

Anda mungkin juga menyukai