Anda di halaman 1dari 18

A.

PENDAHULUAN
Tanggal 18 oktober 2010 lalu AHA (American Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau
yang berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun
terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya
menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B
(Circulation Airway Breathing). Namun perubahan yang ditetapkan AHA
tersebut hanya berlaku pada orang dewasa, anak, dan bayi. Perubahan tersebut
tidak berlaku pada neonatus.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian
kompresi dada dari pada membuka jalan napas dan memberikan napas buatan
pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik
kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen
keseluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, jantung dan lainlain.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami
henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulai darah. Oleh
karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah
yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada
dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan
napas (Airway) dan pemberian napar buatan (bretahing) seperti prosedur yang
lama.
B. REVISI STANDAR CPR DARI AHA
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama
lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (CPR)
2010. Fokus utama CPR 2010 ini adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini
adalah beberapa perbedaan antara CPR 2005 dengan CPR 2010.
1. Bukan ABC lagi tapi CAB
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC :
airway, breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan
pernafasan, dan kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah
itu kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya adalah

hanya untuk bayi baru lahir. Namun untuk CPR bayi, CPR anak, atau CPR
dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan
bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi look, listen dan feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita melihat
korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Percayalah pada nyali anda,
jika anda mencoba menilai korban bernafas atau tidak dengan mendekatkan pipi
anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak
bernafaas dan tindakan look feel listen ini hanya akna menghabiskan waktu
3. Kompresi dada lebih dalam lagi
Seberapa dalam anda harus menekan dada telah berubah pada CPR 2010
ini. Sebelumnya adalah 1 sampai 2 inchi (4-5 cm), namun sekarang AHA
merekomendasikan untuk menekann setidaknya 2 inchi (5 cm) pada dada.
4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini. Sebelumnya tertulis: tekanan dada
sekitar 100 kompresi per menit. Sekarang AHA merekomndasikan kita untuk
menekan dada minimal 100 kompresi per menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi
membutuhkan waktu 18 detik.
5. Hands only CPR
Ada perbedaan teknik dari yang tahun 2005, namun AHA mendorong CPR
seperti ini pada 2008. AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih
melakukan Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka.
Pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih
pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang bukan dewasa/
AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini namun ada saran
sederhana disini: berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu lebih baik
daripda tidak berbuat sama sekali.
6. Kenali henti jantung mendadak
CPR adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan
AHA meminta kita waspada dan melakukan CPR saat itu terjadi.

7. Jangan berhenti menekan


Setiap penghentian menekan dada berarti menghentikan darah ke otak
yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu
lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalirkan darah kembali.
AHA menghendaki kita untuk terus menekan selama kita bisa. Terus tekan hingga
alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung. Jika
sudah tiba waktunya untuk pernafasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan
segera kembali pada menekan dada.
Beberapa alasan perubahan algoritma BLS dari ABC ke CAB adalah
sebagai berikut:
Pertama, mayoritas korban atau pasien yang memerlukan CPR
adalah korban dewasa yang mengalami henti jantung karena VF
(Ventrikel Fibrilation). Tingkat keberhasilan CPR akan lebih baik pada
korban dengan kondisi ini bila secepatnya dilakukan kompresi dada (early
chest compression) dan defibrilasi otomatis (early defibrillation).
Kedua, pada algoritma ABC kompresi dada seringkali tertunda
karena pembukaan jalan nafas dan bantuan nafas relative lebih sulit
dan memakan waktu. Padahal semua penolong harus melakukan kompresi
dada secepatnya, karena prinsip bahwa jantung tidak boleh berhenti.
Sebaliknya, pada alur CAB ventilasi hanya sedikit tertunda oleh 30 kali
kompresi dada pada siklus pertama (kurang lebih 18 detik).
Ketiga, beberapa langkah pembebasan jalan nafas dan pemberian
nafas buatan lebih sulit bagi awam. Padahal pasien atau korban yang
mengalamai henti jantung harus mendapatkan CPR secepatnya dari
orangdi sekitarnya. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
menyederhanakan prosedur agar semakin banyak korban yang tertolong.
Setidaknya bagi orang yang enggan melakukan bantuan nafas buatan
mulut ke mulut dapat melakukan kompresi dada

C. ALGORITMA AHA 2010


Berikut alur atau algoritma BLS AHA 2010:
1. AMAN
Pastikan kondisi aman bagi penolong maupun korban. Resusitasi Jantung
Paru (CPR) dilakukan pada permukaan yang keras dan rata
2. CEK RESPON
Cek respon korban sadar atau tidak. Bisa dengan menepuk dan memanggil
korban secara keras misal Pak.. pak..! serta merangsang respon nyeri dengan
cubitan di bawah bahu depan korban. Langkah ini dilakukan sambil
mengobservasi nafas korban secara visual dengan cara melihat naik-turunya
dinding dada. Bila korban tak sadar dan secara visual terlihat nafas lemah atau
tidak ada maka lanjutkan langkah berikutnya
3. AKTIFKAN SISTEM BANTUAN GAWAT DARURAT

Bertujuan untuk memanggil bantuan petugas kesehatan yang lebih


berwenang atau bantuan mengambilkan AED untuk defibrilasi jantung. Bisa
dilakukan dengan teriak Tolong atau Tolong ambilkan AED atau menelpon
nomor gawat darurat. Salah satu poin penting dalam BLS 2010 ini adalah

penggunaan AED untuk defibrilasi jantung, karena penggunaan AED terbukti


mampu meningkatkan tingkat keberhasilan BLS.
4. CPR BERKUALITAS TINGGI (HIGH QUALITY CPR)

Kaji nadi karotis korban (dewasa) dengan cara meletakan dua jari atau
lebih di tengah leher kemudian geser ke tepi sambil sedikit ditekan untuk meraba
adanya nadi karotis. Pengkajian nadi maksimal 10 detik, bila melebihi waktu
tersebut tidak ditemukan maka dianggap nadi tidak ada. Bila nadi tidak ada maka
secepatnya mulai kompresi dada 30 kali (sekitar 18 detik) dengan cara duduk di
samping korban, letakan dua telapak tangan saling menumpu di tengah-tengah
dada korban (kurang lebih 2 jari diatas prosesus sipoideus), lengan tegak lurus
diatas dada korban dan mulai tekan dinding dada dengan kedalaman 5 cm
(dewasa) dengan cepat sambil menghitung kompresi dada.
Setelah 30 kali kompresi dada dilanjutkan dengan manuferhead-tilt chinlift (jaw thrust bila dicurigai trauma leher) untuk membuka jalan nafas. Lanjutkan
melakukan 2 kali nafas buatan dengan cara menutup/memencet hidung korban
kemudian tiupkan udara dari mulut ke mulut sambil melihat pengembangan
dinding dada. Setiap nafas buatan setidaknya mampu mengembangkan dinding
dada selama 1 detik. Bila ada peralatan resuscitator nafas maka bantuan nafas
dilakukan dengan alat tersebut.
Salah satu poin perbaikan pada alur BLS 2010 adalah penekanan
pada high-quality CPR atau CPR berkualitas tinggi yang didefiniskan dengan
1. Kompresi dada minimal 100 kali per menit

2. Kompresi dada kedalaman minimal 5 cm (dewasa)


3. Minimal interupsi / penghentian kompresi dada. Kompresi dada
dilakukan terus selama nadi spontan belum ditemukan. Kompresi dada
hanya dihentikan saat memberikan bantuan nafas, AED melakukan analisis
dan AED melakukan defibrilasi jantung
4. Recoil sempurna yaitu dinding dada kembali ke posisi normal secara
penuh sebelum kompresi dada berikutnya
5. Menghindari bantuan nafas terlalu sering (avoid hiperventilation)
30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan nafas disebut 1 siklus CPR/CPR
(resusitasi jantung paru / cardiopulmonary resuscitation), 5 siklus CPR dilakukan
selama 2 menit. Setelah 5 siklus CPR dilakukan pengkajian nadi karotis, bila
belum ditemukan nadi maka dilanjutkan 5 siklus CPR berikutnya, begitu
seterusnya.

5. DEFIBRILASI DENGAN AED

Seperti saya sebutkan diatas, segera dilakukan defibrilasi jantung dengan


AED merupakan salah satu penekanan pada algoritma BLS AHA 2010. Begitu
AED datang maka langsung pasang AED dengan mengikuti petunjuk penggunaan
AED (panduan AED langsung dengan perintah suara). AED akan menganalisa

apakah korban memerlukan defibrilasi jantung atau tidak, bila memerlukan


defibrilasi maka AED akan memandu untuk menekan tombol defibrilasi.
Begitu defibrilasi jantung selesai lanjutkan dengan 5 siklus CPR
berikutnya. Setelah 5 siklus CPR tersebut, gunakan AED untuk menganalisis nadi
korban lagi. Begitu seterusnya sampai ada indikasi penghentian CPR yaitu apabila
nadi spontan dan nafas korban kembali normal, bantuan tim ALS (Advance Life
Support) / ACLS (Advance Cardiac Life Support) datang atau penolong tidak
mampu lagi melakukan CPR.

D. LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN CPR


Berdasarkan konvensi American Heart Association (AHA) terbaru pada
tanggal 18 Oktober 2010, dimana mengalami perubahan yaitu dari ABC menjadi
CAB (Circulatory Support, Airway Control, dan Breathing Support) prosedur
CPR terbaru adalah sebagai berikut :
a. Danger (D)

Yaitu

kewaspadaan

terhadap

bahaya dimana

pertama

penolong

harus mengamankan diri sendiri dengan memakai alat proteksi diri (APD). Alat
proteksi yang paling dianjurkan adalah sarung tangan untuk mencegah terjadinya
penularan penyakit dari pasien kepada penolong. Selanjutnya penolong
mengamankan lingkungan dari kemungkinan bahaya lain yang mengancam,
seperti adanya arus listrik, ancaman kejatuhan benda (falling object). Setelah
penolong dan lingkungan aman maka selanjutnya mengamankan pasien dan
meletakan korban pada tempat yang rata, keras, kering dan jauh dari bahaya.
b. Respon (R)
Mengecek kesadaran atau respon korban dapat dilakukan secara verbal
maupun nonverbal. Secara verbal dilakukan dengan memanggil nama. Sedangkan
secara nonverbal dilakukan dengan menepuk-nepuk bahu korban. Jika dengan
memanggil dan menepuk tidak ada respos, maka lakukan pengecekan kesadaran
dengan melakukan rangsangan nyeri. Lakukan rangsang nyeri dengan menekan
tulang dada pasien dengan cara penolong menekuk jari-jari tangan kanan, lalu
tekan dengan sudut ruas jari-jari tangan yang telah ditekuk. Jika tidak ada respon
dengan rangsangan nyeri berarti pasien tidak sadar dan dalam kondisi koma.
c. Shout For Help (S) /meminta bantuan
Jika pasien tidak berespons selanjutnya penolong harus segera memanggil
bantuan baik dengan cara berteriak, menelepon, memberi tanda pertolongan dan
cara lainya. Berteriak contohnya dengan memanggil orang disekitar lokasi
kejadian agar membantu pertolongan atau disuruh mencari pertolongan lebih
lanjut. Selanjutnya menelepon yaitu menghubungi pusat bantuan darurat
(emergency call number) sesuai dengan nomor dilokasi / negara masing-masing,
seperti 911 dan 118. Ketiga adalah Emergency signal yaitu dengan membuat asap,
kilauan cahaya, suara dan lain-lain jika lokasi ada didaerah terpencil.
d. Memperbaiki posisi pasien
Untuk

melakukan

tindakan CPR

yang

efektif,

pasien

harus

dalam

posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. Jika korban
ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi pasien ke posisi
terlentang.
e. Mengatur posisi penolong

Penolong berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan
napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan
lutut.
f. Cek Nadi
Pengecekan nadi korban dilakukan untuk memastikan apakah jantung korban
masih berdenyut atau tidak. Pada orang dewasa pengecekan nadi dilakukan pada
nadi leher (karotis) dengan menggunakan 2 jari. Caranya letakan 2 jari tangan
pada jakun (tiroid) kemudian tarik ke arah samping sampai terasa ada lekukan
rasakan apakah teraba atau tidak denyut nadi korban. Pada bayi pengecekan nadi
dilakukan pada lengan atas bagian dalam. Dengan menggunakan 2 jari rasakan
ada tidaknya denyut nadi pada lengan atas bagian dalam korban (nadi brakialis).
Jika nadi tidak teraba berarti pasien mengalami henti jantung, maka segera
lakukan penekanan / kompresi pada dada korban. Jika nadi teraba berarti jantung
masih berdenyut maka lanjutkan dengan membukan jalan napas dan
pemeriksanaan napas.
g. Circulatory Support (C) / Bantuan Sirkulasi
Yaitu kompresi dada jika korban tidak teraba nadinya berarti jantungnya
berhenti berdenyut maka harus segera dilakukan penekanan / kompresi dada
sebanyak 30 kali. Caranya : posisi penolong sejajar dengan bahu korban. Letakan
satu tumit tangan diatas tulang dada, lalu letakan tangan yang satu lagi diatas
tangan yang sudah diletakan diatas tulang dada (dua jari di bawah xifoideus).
Setelah itu tekan dada korban dengan menjaga siku tetap lurus Tekan dada korban
sampai kedalaman sepertiga dari ketebalan dada atau 3-5 cm / 1-2 inci (korban
dewasa), 2-3 cm (pada anak), 1-2 cm (bayi).

h. Airway Control (A)


Yaitu membuka jalan napas, setelah melakukan kompresi selanjutnya
membuka jalan napas. Sebelum membuka jalan napas pertama harus melakukan
pemeriksaan jalan napas. Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan
dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau

jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda
keras atau asing dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik finger sweepdimana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada
pasien tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan
menutup faring dan laring, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Angkat DaguTekan Dahi atau disingkat ADTD (Head tild chin lift) dan Perasat Pendorongn
Rahang Bawah (Jaw Thrust Maneuver).
1. Angkat Dagu - Tekan Dahi (ADTD)
Teknik ini dilakukan pada penderita yang tidak mengalami trauma pada
kepala, leher maupun tulang belakang.
Caranya :
Letakkan tangan Anda pada dahi penderita. Gunakan tangan yang
paling dekat dengan kepala penderita.
Tekan dahi sedikit mengarah ke belakang dengan telapak tangan
sampai kepala penderita terdorong ke belakang.
Letakkan ujung jari tangan yang lainnya di bawah bagian ujung
tulang rahang bawah.
Angkat dahu ke depan, lakukan gerakan ini bersamaan tekanan
dahi, sampai kepala penderita pada posisi ekstensi maksimal. Pada
pasien bayi dan anak kecil tidak dilakukan sampai maksimal tetapi
sedikit ekstensi saja.
Pertahankan tangan di dahi penderita untuk menjaga posisi kepala
tetap ke belakang.
Buka mulut penderita dengan ibu jari tangan yang menekan dagu.
2. Perasat Pendorongan Rahang Bawah (Jaw Thrust Manaeuver)
Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik tekan dahi angkat dagu.
Perlu diingat teknik ini sangat sulit dilakukan, tetapi merupakan teknik yang aman
untuk membuka jalan nafas bagi penderita yang mengalami trauma pada tulang
belakang. Dengan mempergunakan teknik ini berarti kepala dan leher penderita
dibuat dalam posisi alami/normal.
Caranya :

Berlutut di sisi atas kepala penderita letakan kedua siku penolong


sejajar dengan posisi penderita, kedua tangan memegang sisi
kepala.
Kedua sisi rahang bawah dipegang (jika pasien anak/bayi, gunakan
dua atau tiga jari pada sisi rahang bawah).
Gunakan kedua tangan untuk menggerakkan rahang bawah ke
posisi depan secara perlahan. Gerakan ini mendorong lidah ke atas
sehingga jalan napas terbuka.
Pertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka.
i. Breathing Support (B) atau memberikan napas buatan
Jika pasien masih teraba denyut nadinya maka perlu dilakukan pemeriksaan
apakah masih bernapas atau tidak. Pemeriksaaan pernapasan dilakukan dengan
melihat ada tidaknya pergerakan dada (look), mendengarkan suara napas (listen)
dan merasakan hembusan napas (feel). Jika pasien berdenyut jantungnya tetapi
tidak bernapas maka hanya diberikan napas buatan saja sebanyak 12-20 kali per
menit. Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan).
1. Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang
tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru pasien. Pada saat
dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas
dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut
pasiendengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan
juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan
jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
2. Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut pasien tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami
luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus
menutup mulut korban/pasien.
3. Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang


menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.
Jika pasien masih berdenyut jantungnya dan masih bernapas maka korban
dimiringkan ke kiri (posisi recovery) agar ketika muntah tidak terjadi aspirasi.
Pasien yang berhenti denyut jantungnya / tidak teraba nadi maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan pernapasan karena sudah pasti berhenti napasnya,
penolong setelah melakukan kompresi dan membuka jalan napas langsung
memberikan napas buatan sebanyak 2 kali. Rasio perbandingan kompresi : napas
buatan pada orang dewasa baik 2 orang penolong maupun 1 orang penolong
perbandingan yaitu 30 : 2.
Adapun frekuensi napas buatan yang diberikan yaitu :
Dewasa : 10-12x pernapasan/menit, masing-masing 1,5-2 detik
Anak (1-8 thn) : 20x pernapasan /menit masing-masing 1-1,5 detik
Bayi (0-1 thn) : lebih dari 20x pernapasan/menit masing-masing 1-1,5
detik
Bayi baru lahir : 40x pernapasan/menit, masing-masing 1-1,5 detik
j. Evaluasi pada CPR dilakukan setiap 5 Siklus. (5 x 30 kompresi) + (5 x 2
napas buatan).
Evaluasi pada pemberian napas buatan saja dilakukan setiap 2 menit. Dan
setelah pasien berdenyut nadinya dan bernapas posisi pasien dimiringkan ke arah
kiri (posisi recovery).

Tindakan CPR dapat dihentikan apabila :


Penderita pulih kembali.
Penolong kelelahan.
Diambil alih oleh tenaga yang sama atau yang lebih terlatih.
Jika ada tanda pasti mati, tidak usah lakukan CPR.
E. HAL-HAL YANG DIPERHATIKAN
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan CPR adalah
sebagai berikut:
a. CPR jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun.
b. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila
ia sudah stabil.

c. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati
d. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga korban.
e. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan
tidak terputus
f. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena CPR seperti :
1.
Patah tulang dada dan tulang iga
2.
Bocornya paru-paru (pneumotoraks)
3.
Perdarahan dalam paru-paru / rongga dada (hemotoraks)
4.
Luka dan memar pada paru-paru
5.
Robekan pada hati
F. METRIK KINERJA CPR OLEH TIM KESEHATAN
Oksigen dan substrat pengiriman ke jaringan penting adalah tujuan utama
CPR selama periode cardiac arrest. Untuk memberikan oksigen dan substrat,
aliran darah yang memadai harus dihasilkan oleh kompresi dada yang efektif
selama mayoritas dari total waktu terjadinya cardiac arrest. Kembalinya sirkulasi
secara spontan (Return Of Spontaneous Circulation/ROSC) setelah CPR
tergantung pada kemampuan pengiriman miokard dan aliran darah miokard
selama dilakukannya CPR. Tekanan perfusi koroner (CPP, perbedaan antara
tekanan diastolik aorta dan tekanan diastolik atrium kanan selama periode
relaksasi kompresi dada) adalah penentu utama aliran darah miokard selama CPR.
Oleh karena itu, memaksimalkan CPP selama CPR adalah tujuan fisiologis utama.
Karena CPP tidak dapat diukur dengan mudah pada kebanyakan pasien,
penyelamat harus fokus pada komponen tertentu dari CPR yang memiliki bukti
untuk mendukung hemodinamik yang lebih baik atau kelangsungan hidup
manusia.
Lima komponen utama performa tinggi CPR yaitu fraksi kompresi dada
(CCF), tingkat kompresi dada, kedalaman kompresi dada, kembalinya dinding
dada (Residual leaning), dan ventilasi. Komponen CPR ini diidentifikasi karena
kontribusi mereka terhadap aliran darah dan hasil akhirnya.
1. Minimalkan Interupsi: CCF> 80%
Untuk oksigenasi jaringan yang memadai, adalah penting bahwa kesehatan
penyedia meminimalkan gangguan dalam kompresi dada. Oleh karena itu
memaksimalkan jumlah waktu kompresi dada menghasilkan aliran darah. CCF

adalah proporsi waktu kompresi dada yang dilakukan selama cardiac arrest.
Durasi henti jantung didefinisikan sebagai cardiac arrest waktu pertama yang
diidentifikasi sampai saat pengembalian pertama sirkulasi berkelanjutan. Untuk
memaksimalkan perfusi, Pedoman AHA tahun 2010 untuk CPR dan ECC
merekomendasikan meminimalkan jeda dalam kompresi dada. Salah satu metode
untuk meningkatkan CCF agar kemungkinan hidup dapat meningkat adalah
melalui pengurangan jeda preshock.
2. Dada Kompresi Tingkat 100 sampai 120 / menit
Pedoman AHA pada tahun 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan
tingkat kompresi dada 100 /menit. Kompresi dada yang dilakukan kurang dari
standar dapat mengakibatkan penurunan ROSC. Sedangkan frekuensi kompresi
yang diatas standar memungkinkan terjadinya penurunan aliran darah koroner dan
menurunkan presentase kompresi yang tidak sesuai dengan target kedalaman.
Data dari ROC Epistry menunjukkan bahwa adanya hubungan yang berpengaruh
antara tingkat kompresi dan kelangsungan hidup, sehingga menyarankan target
optimal antara 100 dan 120 kompresi per menit.

3. Kedalaman Kompresi Dada 50 mm pada Dewasa


Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen, dan energi yang dikirim ke
jantung dan otak. Pedoman CPR dan ECC merekomendasikan batas minimum
kedalaman untuk kompresi yaitu 2 inci (50 mm) pada orang dewasa.
Meskipun penelitian terbaru menunjukkan bahwa kedalaman 44 mm
pada orang dewasa mungkin cukup untuk memastikan hasil yang optimal, 37
orang dari penelitian menunjukkan bahwa penolong seringkali tidak melakukan
kompresi

dengan

kedalaman

yang

sudah

direkomendasikan.

Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa kompresi pada kedalaman >50 mm dapat


meningkatkan keberhasilan defibrilasi dan ROSC pada dewasa. Sebuah studi yang
meneliti kompresi dada baru-baru ini melakukan penelitian mengenai kedalaman
kompresi dengan kelangsungan hidup dalam kejadian cardiac arrest pada pre
hospital pada orang dewasa dan menyimpulkan bahwa kedalaman <38 mm
dikaitkan dengan penurunan ROSC dan tingkat kelangsungan hidup mungkin

terjadi ketika berbagai kedalaman dianjurkan dan target pelatihan berbeda dari
target kinerja operasional. Kedalaman optimal mungkin tergantung pada faktorfaktor seperti ukuran pasien, tingkat kompresi, dan lingkungan fitur (seperti
kehadiran dari alas yang pendukung).
4. Dinding Dada kembali Penuh: Tidak ada Residual Leaning
Tidak kembalinya dinding dada secara penuh mungkin terjadi ketika
kompresi dada yang dilakukan penolong tidak memungkinkan dada untuk
sepenuhnya kembali pada akhir kompresi, hal ini dapat terjadi jika penyelamat
membungkuk dada pasien, menghambat ekspansi dada penuh. Leaning dikenal
untuk mengurangi aliran darah ke seluruh jantung dan dapat mengurangi aliran
balik vena. Meskipun data mengenai hasil jarang berhubungan dengan leaning,
penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa leaning meningkatkan tekanan
atrium kanan dan mengurangi tekanan perfusi serebral dan koroner, indeks
jantung, dan aliran miokard ventrikel kiri penelitian.
5. Hindari Ventilasi berlebihan: Tingkat <12 Breaths per Menit,
Minimal Dada Naik
Meskipun pengiriman oksigen penting selama CPR, jangka waktu yang
tepat untuk intervensi untuk melengkapi yang oksigen yang sudah ada dalam
darah tidak jelas dan cenderung bervariasi dengan jenis cardiac arrest (aritmia
dibandingkan asphyxial). Tuntutan metabolisme untuk oksigen juga berkurang
secara substansial pada pasien dalam paeriode arrest bahkan selama kompresi
dada. Ketika tiba-tiba terjadi aritmia, kandungan oksigen awalnya cukup, dan
kompresi dada berkualitas tinggi dapat mengedarkan darah beroksigen ke seluruh
tubuh. Studi pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa kompresi tanpa
ventilasi mungkin memadai di awal arrests. Ketika asfiksia adalah penyebab
arrest, kombinasi ventilasi dibantu dan penekanan dada berkualitas tinggi sangat
penting untuk memastikan pengiriman oksigen yang cukup. Ketersediaan oksigen
yang cukup ke dalam darah tanpa menghambat perfusi adalah tujuan dari bantuan
ventilasi selama CPR.
6. Tingkat <12 napas per menit
Rekomendasi pedoman saat ini tingkat ventilasi (Napas per menit)
tergantung pada keberadaan bantuan jalan napas (8 sampai 10 napas per menit),

serta usia pasien dan jumlah penolong yang ada (rasio kompresi-ventilasi 15: 2 vs
30: 2). Rasio menyebabkan tingkat ventilasi antara 6 dan 12 napas per menit.
Penelitian pada hewan telah menghasilkan hasil yang beragam mengenai bahaya
dengan tingkat ventilasi tinggi, tapi ada data yang menunjukkan bahwa ventilasi
pasien yang lebih tinggi lebih bermanfaat. Saat ini direkomendasikan rasio
kompresi-ventilasi dirancang sebagai bantuan memori untuk mengoptimalkan
aliran darah miokard, sementara mempertahankan kadar oksigenasi dan CO2
dalam darah. Pedoman CPR dan ECC dan merekomendasikan tingkat ventilasi
<12 napas per menit untuk meminimalkan dampak tekanan positif ventilasi pada
aliran darah.
7. Peningkatan Minimal Dada: Tekanan Ventilasi Optimal dan Volume
Volume ventilasi harus menghasilkan tidak lebih dari kenaikan dada yang
dapat terlihat.

Ventilasi tekanan positif secara signifikan menurunkan curah

jantung di kedua sirkulasi spontan dan selama CPR. Penggunaan volume tidal
rendah selama berkepanjangan serangan jantung tidak terkait dengan perbedaan
yang signifikan di PaO2. Selain itu, ventilasi tekanan positif dalam saluran napas
yang tidak dilindungi dapat menyebabkan insuflasi lambung dan aspirasi isi
lambung. Kepatuhan paru dipengaruhi oleh kompresi selama cardiac arrest.
G. PEMANTAUAN DAN TANGGAPAN
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "jika anda tidak mengukurnya,
anda tidak dapat memperbaikinya", pepatah ini juga berlaku pada pemantauana
atau pengukuran kualitas CPRberlaku secara langsung untuk memantau kualitas
CPR. Pemantauan kualitas dan kinerja CPR oleh tim penyelamat di lokasi
terjadinya serangan jantung sangat penting untuk ilmu pengetahuan resusitasi dan
praktek klinis. Penelitian telah menunjukkan bahwa penyelamat terlatih sering
memiliki rasio CCF yang buruk, kedalaman kompresi, dan tingkat kompresiventilasi yang terkait dengan outcomes yang buruk. Dengan pemantauan, ada
penjelasan yang optimal tentang jeda preshock, CCF, dan kedalaman kompresi
dada depth. Dengan teknologi baru yang baik, pemantauan parameter CPR selama
resusitasi yang dilakukan oleh peneliti dan dokter sekarang dapat memantau
kualitas CPR secara real time. Mengingat wawasan kinerja klinis dan penemuan
dalam praktek optimal, pemantauan kualitas CPR ini dapat dikatakan salah satu

kemajuan yang paling signifikan pada ilmu resusitasi praktek dalam 20 tahun
terakhir dan salah satu yang harus dimasukkan ke dalam setiap resusitasi dan
setiap program penyelamatan profesional.
Jenis pemantauan kualitas CPR dapat diklasifikasikan (dan diprioritaskan) ke
fisiologis (bagaimana respon pasien) dan kinerja CPR (bagaimana penyelamat
melakukan) metrik. Kedua jenis pemantauan dapat memberikan umpan balik realtime yang baik untuk penyelamat dan seluruh sistem retrospektif umpan balik.
Penting untuk menekankan bahwa jenis pemantauan kualitas CPR tidak saling
eksklusif dan bahwa beberapa jenis dapat (dan harus) digunakan secara
bersamaan.
H. PEMANTAUAN

RESPON

PASIEN

SECARA

FISIOLOGIS

SETELAH RESUSITASI
Data fisiologis selama CPR yang bersangkutan untuk pemantauan
termasuk invasif Data hemodinamik (arteri dan tekanan vena sentral bila tersedia)
dan konsentrasi karbon dioksida end-tidal (EtCO2). Sebagian besar iteratur
eksperimental menetapkan bahwa kelangsungan hidup setelah CPR tergantung
pada distribusi oksigen dan aliran darah miokard selama CPR, dan CPP selama
fase relaksasi kompresi dada adalah penentu utama aliran darah miokard yang
dialirkan selama CPR.
1. Invasif Monitoring: CPP> 20 mm Hg
CPR dewasa yang berkualitas lebih mungkin ketika CPP adalah > 20 mm
Hg dan ketika tekanan darah diastolik adalah > 25-30 mm Hg. Meskipun optimal
CPP belum ditetapkan, para ahli setuju dengan pedoaman AHA 2010 dan ECC
yang memantau pengukuran CPP selama CPR Selain itu, para ahli
merekomendasikan bahwa sasaran fisiologis ini menjadi target utama ketika arteri
dan kateter vena sentral berada di tempat pada saat serangan jantung dan CPR.
Data tidak cukup untuk membuat rekomendasi untuk tujuan CPP untuk bayi dan
anak-anak.
2. Arteri Baris Hanya: Tekanan Arteri Diastolik > 25 mm Hg
Konsisten dengan data eksperimen sebelumnya, studi klinis menunjukkan
bahwa pemberian CPR dewasa yang berkualitas tergantung pada tekanan darah
diastolik yang berada d i> 25 mm Hg. Para ahli merekomendasikan bahwa t arget

fisiologis ini menjadi titik akhir primer ketika kateter arteri di tempat tanpa kateter
vena sentral di saat serangan jantung dan CPR. Pedoman AHA 2010 untuk CPR
dan ECC merekomendasikan "berusaha untuk meningkatkan kualitas CPR dengan
mengoptimalkan parameter kompresi dada atau memberikan vasopressor atau
keduanya" jika tekanan darah diastolik adalah <20 mm Hg. Para ahli
merekomendasikan bahwa untuk tekanan darah diastolik >25 mm Hg untuk
korban gagal jantung dewasa.
3. Kapnografi saja: EtCO2> 20 mm Hg
EtCO2 konsentrasi selama CPR terutama bergantung pada aliran darah
paru

dan

karena

itu

mencerminkan

curah

jantung.

Kegagalan

untuk

mempertahankan EtCO2 di > 10 mm Hg selama CPR dewasa mencerminkan


curah jantung yang buruk dan sangat menentukan keberhasilan resusitasi.
Pedoman AHA

2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan pemantauan

EtCO2 selama CPR untuk menilai aliran darah dalam 2 cara: meningkatkan
kinerja kompresi dada jika EtCO2 adalah <10 mm Hg selama CPR dan
mempertimbangkan peningkatan berkelanjutan ke nilai normal (35 sampai 40
mmHg) sebagai indikator ROSC.

Anda mungkin juga menyukai