Anda di halaman 1dari 31

Responsi

SEORANG WANITA P3A0 46 TAHUN DENGAN


MIOMA UTERI DAN DISPLASIA RINGAN

Oleh :
Aldila Desy K
Fitri Prawitasari

G99122012
G99122047

Arti Tyagita Kusumawardhani

G99122019

Larissa Amanda

G99141092

Pembimbing :
Asih Anggraeni, dr.SpOG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
ABSTRAK

Pendahuluan: Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan


konsistensi padat kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul sehingga dapat
dilepaskan dari sekitarnya, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel. Sampai saat ini
belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga merupakan penyakit
multifaktorial. Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu.

Isi: Seorang P3A0, 46 tahun, datang dengan keluhan perdarahan jalan lahir.
Keluhan dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh keputihan dari
jalan lahir. Pasien menyangkal adanya benjolan di perut. Haid tidak teratur dan
pernah berobat ke dokter dengan keluhan yang sama dan di diagnosis AUB (O).
Penurunan berat badan disangkal. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pada
pemeriksaan abdomen: Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien tidak
membesar, TFU tidak teraba, massa (-). Pada pemeriksaan Inspekulo: v/u tenang,
dinding vagina dalam batas normal, portio dalam batas normal, darah (+),
discharge (-). Pada pemeriksaan vaginal toucher V/U tenang, dinding vagina dbn,
portio licin, OUE tertutup, cavum uteri sebesar telur bebek, darah (+), discharge
(-). Dari USG tampak VU terisi cukup, tampak uterus ukuran 9 x 8 x 8 cm 3.
Tampak gambaran lesi hyperechoic. Whorle like appearance (+), menyokong
gambaran mioma uteri. Pasien kemudian menjalani Total Abdominal Histerektomi
pada tanggal 8 Oktober 2014.
Hasil: Pasien mengeluh keluarnya perdarahan dari jalan lahir. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang dapat ditegakkan diagnosis mioma uteri.
Kesimpulan: Dilakukan Total Abdominal Histerektomi untuk menghilangkan
penyebab penyakit pasien.
Kata kunci: Mioma uteri, miometrium, Total Abdominal Histerektomi
BAB I
PENDAHULUAN
Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun
leiomioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot rahim dan jaringan
ikat di rahim. Tumor ini pertama kali ditemukan oleh Virchow pada tahun 1854.
Mioma uteri merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh spesialis
kandungan/ginekolog (Bozini, 2007).
Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot
rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma belum pernah ditemukan sebelum

terjadinya menarkhe, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma


yang masih tumbuh (Guyton, 2008). Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar
20%-30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma ditemukan 2,39% - 11,7%
pada semua penderita ginekologi yang dirawat (Baziad, 2008).
Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 - 45 tahun
(kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause.
Wanita yang sering melahirkan, sedikit kemungkinannya untuk perkembangan
mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya satu
kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita
yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali. Prevalensi meningkat apabila
ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara (Schorge et al., 2008).
Sebagian besar kasus mioma uteri adalah tanpa gejala, sehingga
kebanyakan penderita tidak menyadari adanya kelainan pada rahimnya.
Diperkirakan hanya 20%-50% dari tumor ini yang menimbulkan gejala klinik,
terutama perdarahan menstruasi yang berlebihan, infertilitas, abortus berulang,
dan nyeri akibat penekanan massa tumor (Djuwantono, 2004).
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi
yang paling efektif masih belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi
mengenai etiologi mioma uteri itu sendiri. Walaupun jarang menyebabkan
mortalitas, namun morbiditas yang ditimbulkan oleh mioma uteri ini cukup tinggi
karena mioma uteri dapat menyebabkan nyeri perut dan perdarahan abnormal,
serta diperkirakan dapat menyebabkan infertilitas. Adanya hubungan antara
mioma dan infertilitas ini telah dilaporkan oleh dua survei observasional.
Dilaporkan sebesar 27 40 % wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.
Dilihat dari pemeriksaan laboratorium, anemia merupakan akibat paling sering
dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya
cadangan zat besi. (Bailliere, 2006).
Pengobatan mioma uteri dengan gejala klinik umumnya adalah tindakan
operasi yaitu histerektomi (pengangkatan rahim) atau pada wanita yang ingin
mempertahankan kesuburannya, miomektomi (pengangkatan mioma) dapat
menjadi pilihan (Djuwantono, 2004).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Mioma Uteri
A. Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari
sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen.
Merupakan struktur yang padat, memiliki pseudokapsul, dan membentuk
nodul kecil maupun besar yang dapat diraba pada dinding otot uterus
tumor ini sering juga disebut fibroid, leiomyoma, atau fibromioma
(Memarzadeh, 2010).
Tumor ini merupakan tumor jinak dan massa pada uterus yang
paling sering ditemui pada pelvis wanita. Mioma ini bisa muncul
single/tunggal, tapi lebih sering dijumpai multipel serta memiliki ukuran
yang bervariasi mulai dari ukuran mikroskopik 1 mm sampai dengan

ukuran yang besar yakni 20 cm, dan mengisi hampir seluruh ruang
abdomen (Memarzadeh, 2010).

B. Anatomi Uterus

Gambar 1. Anatomi Uterus


Uterus berbentuk seperti buah pir yang sedikit gepeng kearah
muka belakang, ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.
Dindingnya terdiri dari otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 77,5 cm, lebar 5,25 cm dan tebal dinding 1,25 cm.
Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi.
Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus dan serviks uteri. Fundus uteri
adalah bagian proksimal dari uterus, disini kedua tuba falopii masuk ke
uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar, pada kehamilan
bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang.
Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri. Serviks uteri
terdiri atas pars vaginalis servisis uteri dan pars supravaginalis servisis
uteri. Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis. Secara
histologis uterus terdiri atas tiga lapisan :

1. Endometrium atau selaput lendir yang melapisi bagian dalam


2. Miometrium, lapisan tebal otot polos berlapis tiga; yang sebelah
luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua
lapisan ini beranyaman
3. Perimetrium, peritoneum yang melapisi dinding sebelah luar.
Endometrium terdiri atas sel epitel kubis, kelenjar-kelenjar dan
jaringan dengan banyak pembuluh darah yang berkelok.
Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti
penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam masa reproduksi.
Dalam masa haid endometrium sebagian besar dilepaskan kemudian
tumbuh lagi dalam masa proliferasi dan selanjutnya dalam masa
sekretorik. Lapisan otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkuler, dan
disebelah luar berbentuk longitudinal. Diantara lapisan itu terdapat lapisan
otot oblik, berbentuk anyaman, lapisan ini paling penting pada persalinan
karena sesudah plasenta lahir, kontraksi kuat dan menjepit pembuluh
darah. Uterus ini sebenarnya mengapung dalam rongga pelvis dengan
jaringan ikat dan ligamentum yang menyokongnya untuk terfiksasi dengan
baik (Wiknjosastro, 2008).
C. Klasifikasi
Klasifikasi mioma uteri dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang
terkena:
1. Lokasi
Cervical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan
infeksi. Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan
gangguan traktus urinarius. Corporal (91%), merupakan lokasi paling
sering terjadi dan seringkali tanpa gejala (Joedosepoetro dan Sutoto,
2008).
2. Lapisan Uterus
Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasinya dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu
a. Mioma submukosum (6,1%)

Berada di bawah endometrium dan tumbuh menonjol ke dalam


rongga uterus, serta mengadakan perlekatan dengan uterus melalui
pedicle/tangkai dan dapat tumbuh menjadi polip, kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks (myoma geburt). Tumor ini
sering

dihubungkan

dengan

abnormalitas

dari

susunan

endometrium dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.


b. Mioma intramural (54%)
Mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium.
Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak
dan terbentuklah semacam kapsul yang mengelilingi tumor. Bila
didalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan
mempunyai bentuk yang berdungkul dengan konsistensi yang
padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih
keatas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
c. Mioma subserosum (48,2%)
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat
pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum
atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus,
sehingga disebut wandering/parasitic fibroid (Joedosepoetro dan
Sutoto, 2008).

Gambar 2. Jenis Mioma Uteri dan Lokasinya


D. Epidemiologi
Mioma Uteri merupakan tumor jinak yang paling sering dijumpai.
Frekuensi mioma sukar ditentukan secara tepat, hal ini disebabkan banyak
penderita dengan mioma tidak mempunyai keluhan apa-apa. Diperkirakan
mioma terdapat pada 20-25% wanita berusia diatas 35 tahun. Di Indonesia
mioma uteri ditemukan kira-kira 2,39-11,7% dari seluruh penderita
ginekologi yang dirawat. Tumor ini terutama ditemukan pada masa
reproduksi. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi
malignansi (<1%). Mioma uteri ini lebih sering dijumpai pada wanita
nulipara atau yang kurang subur. Berdasarkan otopsi Novak menemukan
27 % wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita
yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak lagi. Mioma uteri belum
pernah dilaporkan terjadi sebelum menarki. Setelah menopause hanya
kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh (Joedosepoetro dan Sutoto,
2008)
7

E. Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara
pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada
jaringan mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter
dan faktor hormon pertumbuhan dan Human Placental Lactogen. Para
ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen yang
diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli
mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma
biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil pada saat menopause,
sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi
seperti estrogen dan progesteron. Selain itu juga jarang ditemukan sebelum
menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan kadang mengecil
setelah menopause (Bain, 2011).
Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri
atau memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah
ditemukan banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen
growth factor, insulin growth factor-1, (IGF-1), connexin-43-Gapjunction

protein dan marker proliferasi.


Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi
somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan
kromosom baik secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom
ditemukan pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang
terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).
Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui
secara pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa
mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi
somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos
miometrium. Sel-sel mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor
predisposisi

genetik,

adalah

beberapa

hormon

seperti

estrogen,

progesteron, dan human growth hormon. Dengan adanya stimulasi


estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi di uterus , sehingga
8

menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis endometrium,


sehingga terjadilah pertumbuhan mioma.
Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah
menghasilkan penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri
memiliki abnormalitas kromosom non random. Abnormalitas ini dapat
dibagi menjadi 6 subgrup sitogenik yang utama termasuk translokasi
antara kromosom 12 dan 14, trisomi 12, penyusunan kembali lengan
pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom 10 dan delesi
kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri
memiliki kromosom yang normal (Ciavattini, 2013).
Pengaruh-pengaruh
hormon
dalam
pertumbuhan

dan

perkembangan mioma:
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan
dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase
sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen
di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat
ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut
tertekan selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan
antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan
mioma

dengan

dua

cara

yaitu:

Mengaktifkan

17-Beta

hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada


mioma.
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi
hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat
pada periode ini memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari

mioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik


antara hormon pertumbuhan dan estrogen (Djuwantono, 2004).
Faktor Predisposisi Mioma Uteri
a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50
tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia
dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak
pernah ditemukan (Wiknjosastro, 2005). Pada usia sebelum menarche
kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta akan
turun pada usia menopause (Ganong, 2008). Pada wanita menopause
mioma uteri ditemukan sebesar 10% (Joedosepoetro dan Sutoto, 2008).
b. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma
dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma
uteri (Parker, 2007).
c. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini
mungkin berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi
estrogen oleh enzim aromatase di jaringan lemak (Djuwantono, 2004).
Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini
dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan
pertumbuhan mioma uteri (Parker, 2007).
d. Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya
untuk terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang
tidak pernah hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau
hanya hamil satu kali (Schorge et al., 2008).
e. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan.
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar

10

estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus


(Scott, 2002). Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat
pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko
mioma karena pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan.
(Manuaba, 2003).
F. Patogenesis
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut
teori onkogenik maka pathogenesis mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor,
yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan
mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Dari penelitian
menggunakan glucose-6-phosphatase dehidrogenase diketahui bahwa
mioma berasal dari jaringan yang uniseluler. Transformasi neoplastik dari
miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium
normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor
lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses
pertumbuhan tumor.
Hormon progesteron meningkatkan aktivitas mitotik dan mioma
pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang
terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan
pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis dari tumor.
Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan
produksi matriks ekstraseluler.
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori
genitoblast. Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada
kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada
permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini
dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testosteron.
Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada
mioma lebih banyak didapati dari pada miometrium normal. Menurut

11

Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur
(Joedosepoetro dan Sutoto, 2008).
Perubahan degeneratif pada mioma uteri terdiri dari:
1. Degenerasi benigna
a. Degenerasi atropik
Gejala dan tanda akan berkurang atau menghilang sesuai dengan
mengecilnya ukuran mioma pada saat menopause atau setelah
melahirkan.
b. Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi pada penderita usia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen, dapat terjadi pada
sebagian kecil atau sebagian besar dari massa mioma.
c. Degenerasi kistik
Pencairan daerah yang mengalami hialinisasi, sehingga terbentuk
ruangan-ruangan yang tidak teratur dan berisi cairan seperti agaragar dan dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan
bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma.
d. Degenerasi membatu (Degenerasi kalsifikasi)
Terutama terjadi pada mioma subserosa oleh karena adanya
perubahan (gangguan) dalam sirkulasi terjadi pengendapan garam
kapur pada sarang mioma menjadi keras.
e. Degenerasi merah (carneous degeneration)
Merupakan akibat dari terganggunya sirkulasi darah ke jaringan
mioma sehingga terjadi penumpukan pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah ini sering menimbulkan gejala pada
wanita hamil yaitu demam dan rasa nyeri, dimana tumor pada
uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
f. Degenerasi Septik
Bila sirkulasi darah tidak adekuat dapat terjadi nekrosis bagian
tengah dari mioma yang diikuti dengan terjadinya infeksi dan
akan menimbulkan gejala berupa nyeri akut dan demam.

12

g. Degenerasi Lemak
Jarang ditemukan dan tanpa gejala terjadi setelah degenerasi
hialin dan degenerasi kistik sehingga dikenal dengan sebutan
fibro lipoma.
2. Degenerasi Maligna
Perubahan menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32
0,6% dari seluruh mioma. Ditemukan pada usia 50 tahun ke atas
dengan gejala berupa perdarahan yang abnormal. Pada kebanyakan
kasus, diagnosa dibuat setelah operasi dimana dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi dari massa yang sudah diangkat (Joedosepoetro dan
Sutoto, 2008; Hillard, 2011).
G. Gejala Klinis
Gejala dari mioma bervariasi tergantung dari ukuran, jumlah, dan
lokasinya. Kebanyakan wanita dengan mioma bersifat asimtomatis;
gejala muncul dalam 10-40% wanita yang menderita penyakit ini.
Adapun gejala yang mungkin timbul antara lain :
1. Perdarahan uterus abnormal. Merupakan gejala yang paling sering
dihubungkan dengan mioma uteri, muncul hingga >30% wanita
yang menderita penyakit ini. Tipe perdarahan yang muncul adalah
menorrhagia, perdarahan berlebih saat periode menstruasi (>80
ml). Peningkatan aliran biasanya muncul secara gradual, tapi
perdarahan dapat menyebabkan anemia. Mekanisme pasti
terjadinya peningkatan perdarahan tidak jelas. Faktor-faktor yang
mungkin antara lain nekrosis permukaan endometrium yang ada
diatas mioma submukosa; gangguan kontraksi otot uterus bila
terdapat mioma intramural yang luas; peningkatan luas area
permukaan kavitas endometrium; dan perubahan mikovaskulatur
endometrium (Memarzadeh, 2010; Guaraccia, 2001)
Mekanisme Perdarahan Abnormal pada Mioma Uteri
1. Peningkatan ukuran permukaan endometrium

13

2. Peningkatan vaskularisasi aliran vaskular ke uterus


3. Gangguan kontraktilitas uterus
4. Ulserasi endometrium pada mioma submukosum
5. Kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium
2. Nyeri.

Mioma

yang

tidak

berkomplikasi

biasanya

tidak

menyebabkan nyeri. Nyeri akut dihubungkan dengan fibroid,


biasanya disebabkan oleh torsi pedunculated myoma atau infark
yang progresif menjadi degenerasi carneous dalam mioma. Nyeri
biasanya seperti nyeri kram, bila mioma submukosum dalam
kavitas endometrium bertindak sebagai benda asing. Beberapa
pasien dengan mioma intramural mengeluhkan dismenore yang
muncul lagi setelah beberapa tahun periode menstruasi bebas
nyeri (Memarzadeh, 2010).
3. Tekanan. Begitu mioma membesar, akan memberi rasa seperti rasa
berat pada pelvik atau gejala tekanan pada struktur-struktur
disekitarnya.

Sering kencing, adalah gejala yang sering muncul bila


mioma yang tumbuh menyebabkan penekanan pada kandung
kencing.

Retensi urin, jarang terjadi, biasanya terjadi bila


pertumbuhan mioma menybabkan uterus retroversi terfiksasi
yang mendorong serviks ke anterior dibawah simfisis pubis
di area sudut uretrovesikuler posterior.

Efek tekanan mioma asimtomatis biasanya disebabkan


oleh ekstensi laterla atau mioma intralegamen, yang
menyebabkan obstruksi ureter unilateral dan hidronefrosis.

Konstipasi dan susah defekasi dapat disebabkan oleh


mioma posterior yang besar.

Kompres vaskulatur pelvis oleh uterus yang membesar


dengan hebat dapat menyebabkan varicositis atau edema
ekstremitas bawah (Memarzadeh, 2010).
14

4. Gangguan reproduksi. Infertilitas akibat adanya mioma tidak biasa


terjadi. Infertilitas dapat terjadi bila mioma mempengaruhi
transportasi tuba normal atau implantasi ovum yang terfertilisasi.

Mioma intramural besar yang berlokasi di kornu


dapat menutup pars interstisialis tuba.

Perdarahan kontinyu pada pasien dengan mioma


submukosum dapat mengganggu implantasi; endometrium
diatas mioma dapat tidak mengalami fase-fase seperti
endometrium normal, sehingga merupakan permukaan yang
tidak baik untuk implantasi.

Terdapat peningkatan insiden abortus dan kelahiran


prematur pada pasien dengan mioma submukosum atau
intramural (Stoval, 2011).

Mekanisme Gangguan Fungsi Reproduksi dengan Mioma


Uteri
1. Gangguan transportasi gamet dan embrio
2. Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan uterus
3. Perubahan aliran darah vaskular
4. Perubahan histologi endometrium
5. Kelainan berhubungan dengan kehamilan. Mioma uteri pada 0,3%7,2% kehamilan biasanya muncul sebelum konsepsi dan dapat
meningkat ukurannya selama gestasi.

Insiden abortus spontan lebih tinggi pada wanita


dengan mioma, tetapi mioma merupakan penyebab abortus
yang tidak biasa.

Kelahiran prematur dapat meningkat pada wanita


dengan mioma

15

Dalam trimester ketiga, mioma dapat menjadi faktor

penyebab malpresentasi, obstruksi mekanik, atau distosia


uteri. Mioma-mioma yang besar pada segmen bawah uterus
dapat menghalangi penurunan bagian presentasi janin.
Mioma intramural dapat mempengaruhi kontraksi uterus dan
persalinan normal.
Perdarahan Post Partum (HPP) lebih sering terjadi

pada pasien dengan mioma uteri (Joedosepoetro dan Sutoto,


2008).
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma
lainnya, faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
-

Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif


lama.

Kadang-kadang disertai gangguan haid, perdarahan kontak, buang


air kecil atau buang air besar.

Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah (Bain, 2011; Mansjoer,


2001)

2. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis mioma uteri dapat ditegakkan 95% dari hasil pemeriksaan
fisik. Ukuran uterus diukur sesuai dengan ukuran gestasi dan
ditentukan dengan pemeriksaan abdomen dan pelvik.
Pemeriksaan Abdominal

Mioma uteri dipalpasi sebagai tumor yang ireguler, noduler,


menonjol ke dinding anterior abdomen, dan biasanya padat serta
kencang saat dipalpasi; apabila ada edema akan terasa lembek,
begitu juga bila ada sarkoma, kehamilan, atau perubahan
degeneratif.

Pemeriksaan Pelvik
16

Temuan yang paling sering adalah pembesaran uterus; ukuran


uterus biasanya asimetris dan ireguler. Uterus biasanya bergerak
bebas kecuali bila ada residu PID. Pada mioma submukosum,
pembesaran

uterus

biasanya

simetris.

Beberapa

mioma

subserosum, sangat berbeda dari korpus uteri dan dapat bergerak


bebas, biasanya sering menunjukkan adanya tumor adneksa/ekstra
pelvis. Diagnosa mioma cervical atau mioma submukosum
pedunculated dapat dibuat pada tumor yang ekstensi ke kanalis
cervicalis; biasanya suatu mioma submukosum dapat dilihat pada
cervical os atau introitus (Pfeifer, 2011).
3. Evaluasi dan Studi Diagnostik
Studi diagnostik tambahan lain didasarkan pada presentasi individual
dan pemeriksaan fisik. Pada pasien asimtomatis dengan pemeriksaan
fisik yang sesuai dengan mioma, tidak perlu dilakukan studi diagnosis
tambahan lain.

Hemoglobin/Hematokrit ; dilakukan pada pasien


dengan perdarahan vaginal yang berlebihan. Untuk mengetahui
tingkat kehilangan darah dan keadekuatan penggantian.

Profil koagulasi dan waktu perdarahan ; dilakukan


bila ada riwayat diathesis perdarahan.

Biopsi endometrium ; dilakukan pada pasien dengan


perdarahan uterus abnormal yang diperkirakan anovulatory atau
beresiko tinggi untuk hiperplasia endometrium.

USG ; secara akurat digunakan untuk menilai


dimensi uterus, lokasi mioma, interval pertumbuhan, dan anatomi
adneksa. Namun USG rutin tidak meningkatkan outcome
dibandingkan dengan hanya pemeriksaan fisik saja. Adalah tepat
untuk melakukan USG pelvik pada situasi dimana pengambilan
kesimpulan dengan pemeriksaan fisik sulit atau kurang pasti; bila
pemeriksaan fisik suboptimal seperti dalam kasus obesitas ; atau

17

adneksa patologi, tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan fisik


saja.

MRI: Mioma juga dapat dideteksi dengan MRI,


tetapi pemeriksaan ini lebih mahal dan tidak memvisualisasi
uterus sebaik USG. MRI berguna untuk evaluasi mioma yang
berukuran

besar

karena

ultrasonografi

tidak

dapat

menggambarkannya. Untungnya, leiomiosarkoma sangat jarang


karena USG tidak dapat membedakannya dengan mioma dan
konfirmasinya membutuhkan diagnosa jaringan.

CT scan

merupakan kontraindikasi oleh karena radiasi (Mansjoer, 2001).

Evaluasi cavitas endometrium dengan hysteroscopy


atau hydrosalfingografi bisa digunakan pada pasien dengan
mioma uteri dan infertilitas atau abortus berulang (Pfeifer, 2011)

I. Diagnosis Banding
1. Kehamilan
Pada fibroid dengan degenerasi kistik, uterus membesar dan lunak
sehingga memiliki penampakan klinis yang sama dengan kehamilan.
Berdasarkan

penampakan

payudara,

serviks

yang

lunak,

tes

kehamilan, dan USG menyingkirkan keraguan.


2. Hematometra
Disebabkan oleh stenosis servikal dengan gejala uterus membesar,
amenore primer. USG dan tes kehamilan dapat menyingkirkan
hematometra.
3. Adenomiosis
Gejala klinis hampir sama dengan mioma uteri. Uterus dengan ukuran
12 minggu atau pembesaran ireguler uterus mengarah pada diagnosis
fibroma. Adenomiosis cenderung lebih lunak. USG dapat menegakkan
diagnosis.
4. Uterus bikornus

18

Untuk menegakkan diagnosa dipakai histerogram, histeroskopi, dfan


USG.
5. Endometriosis
Gejala klinis hampir sama, tapi uterus dalam ukuran normal dan
melekat dengan massa pelvis.
6. Kehamilan ektopik
Ektopik yang kronik dengan pelvic hematocele dapat memberikan
kesan fibroid, dengan anamnesa yang baik dan USG dapat
menyingkirkan keraguan
7. Penyakit Radang Panggul Kronik
Riwayat dan gejala klinis mungkin sama, tapi massa radang lebih
lunak dan uterus terfiksir dengan ukuran normal.
8. Tumor jinak ovarium
Subserus atau pedunculated mioma mirip dengan tumor ovarium.
USG dapat menunjukkan asal tumor tapi asal tumor yang sebenarnya
diketahui dari laparotomi.
9. Tumor ganas ovarium
Fibroid dapat didiagnosa sebagai tumor ganas ovarium. Laparotomi
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
10. Karsinoma Endometrium
Dapat timbul bersamaan dengan mioma pada perempuan lanjut usia.
Perlu dilakukan kuretase untuk menyingkirkan keganasan.
11. Miomatous polip
Penonjolan ke dalam ostium uteri dapat menyerupai produk konsepsi
dan kanker serviks. Riwayat penyakit dan biopsi dapat menegakkan
diagnosa (Memarzadeh, 2010; Joedosepoetro dan Sutoto, 2008;
Baziad, 2008)
J. Penatalaksanaan KURANG SYARAT PO
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah.
Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas,

19

lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu
yang membesar secara cepat dan bergejala serta mioma yang diduga
menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi
atas penanganan konservatif dan operatif. Penanganan konservatif bila
mioma berukuran kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala.
Saat ini, penanganan konservatif dengan menggunakan obat yaitu
pemakaian Gonadotropin releasing hormon (GnRH) agonis untuk
memperbaiki gejala klinis yang ditimbulkan mioma uteri. Pemberian
GnRH agonis ini bertujuan untuk mengurangi ukuran mioma dengan jalan
mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Menurut penelitian,
pemberian GnRH agonis selama 6 bulan pada pasien mioma uteri didapati
adanya pengurangan volume mioma sebesar 46%. Efek pemberian baru
terlihat setelah pemakaian 3 bulan. Sedangkan terapi hormonal lain seperti
kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala
perdarahan uterus yang abnormal namun tidak mengurangi ukuran mioma.
Pengobatan operatif meliputi miomektomi dan histerektomi.
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukoum
pada myom geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Pengambilan
sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila tumor
bertangkai. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan
memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 3050%. Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan
terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdominan atau pervaginam.
Yang akhir ini jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor
angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus uteri
akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya
dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis
uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat
kesukaran teknis dalam mengangkat uterus (Edward, 2007; Widjanarko,
2007; Conrad, 2008).

20

OKBMDTB
opeiea
nesons
sramgpa
earar
rt<n>
vik
af1ke1
t4el4
imlu
fguhm
ghag
ang
n

Gambar 3. Bagan Penatalaksanaan Mioma Uteri.

K. Komplikasi
Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar
bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah
pada sarang mioma. Perubahan sekunder tersebut antara lain :
1.

Atrofi
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri
menjadi kecil.

2.

Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi pada penderita berusia lanjut.
Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi
sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah
memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

21

3. Degenerasi kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian
dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang
tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang
luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma.
Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista
ovarium atau suatu kehamilan.
4. Degenerasi membatu (calcereus degeneration)
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya
gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur
pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan
bayangan pada foto rontgen.
5. Degenerasi merah (carneus degeneration)
Perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis :
diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan
vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti
daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada
kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan,
tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan
klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma
bertangkai.
6. Degenerasi lemak
Jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.
Komplikasi yang terjadi pada mioma uteri :
1. Degenerasi ganas.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya
0,32-0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua
sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada
pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan

22

keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila


terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
2. Torsi (putaran tangkai).
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan
demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi
perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.
3. Nekrosis dan infeksi.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang
diperkirakan

karena

gangguan

sirkulasi

darah

padanya

(Joedosepoetro dan Sutoto, 2008).


L. Prognosis
Histerektomi

dengan

mengangkat

seluruh

mioma

adalah

pengobatan kuratif. Miomektomi yang ekstensif dan secara signifikan


melibatkan miometrium atau menembus endometrium, maka diharuskan
SC pada persalinan berikutnya. Mioma yang kambuh kembali setelah
miomektomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3 nya memerlukan
tindakan lebih lanjut (Lumsden, 2002).
II. Lesi Pra Kanker Serviks
A. Definisi
Istilah lesi prakanker leher rahim (displasia serviks) telah di kenal
luas di seluruh dunia, lesi prakanker disebut juga lesi intraepithel servik
(cervical intraepithelial neoplasia/ CIN). Keadaan ini merupakan awal
dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Diawali dengan CIN I
karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN
II, dan kemudian menjadi CIN III dan selanjutnya berkembang menjadi
karsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang
persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang
menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak faktor
yang berpengaruh (Nurwijaya, 2010).
23

Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan yang memiliki displasia


yang rendah dan ringan, tidak selalu berkembang menjadi kanker leher
rahim, karena dapat hilang dan lenyap dengan sendirinya tergantung pada
sistem kekebalan tubuh. Kondisi lesi prakanker diklasifikasikan menjadi :
CIN I adalah displasia ringan, CIN II adalah displasia moderat dan CIN III
adalah displasia parah (Nurwijaya, 2010).
B. Perkembangan Kanker Serviks
Perjalanan penyakit kanker serviks dimulai dari stadium 0 pada
serviks merupakan karsinoma in situ dengan 100 % harapan hidup 5 tahun,
kemudian stadium I terbatas pada uterus dengan 85% harapan hidup 5
tahun, lalu stadium II menyerang luar uterus tapi pelvis tidak dengan 60%
harapan hidup 5 tahun, selanjutnya stadium III meluas ke dinding pelvis
dan atau sebenarnya sepertiga bawah vagina atau hidronefrosis dengan
33% harapan hidup 5 tahun, dan akhirnya stadium IV menyerang mukosa
kandung kemih atau rectum atau meluas keluar pelvis sebenarnya dengan
7% harapan hidup 5 tahun (Price dan Wilson, 2006).

Perkembangan kanker serviks yaitu:


1. Didahului oleh lesi prekanker yang disebut displasia (Cervical
Intraepithel

Neoplasm).

Displasia

ditandai

dengan

adanya

perubahan morfologi berupa gambaran sel-sel imatur, inti sel yang


atipik, perubahan rasio inti/ sitoplasma dan kehilangan polaritas
yang normal. Displasia bukan merupakan suatu bentuk kanker
tetapi akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi (Hacker,
2005).
Displasia

dikelompokkan

lagi

menjadi

berdasarkan

perkembangan luas perubahan morfologi yang terjadi pada epitel


leher rahim. yaitu:

24

a. Displasia ringan (CIN I), pada displasia ringan sel-sel yang


mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian
atas dari lapisan epithelium serviks
b. Displasia sedang (CIN II), pada displasia sedang ditandai
dengan perubahan morfologi sel yang telah mencapai 2/3
bagian dari lapisan atas epithelium serviks
c. Displasia berat (CIN III), pada displasia berat ditandai
dengan lebih banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti,
orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi yang telah
melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun belum
menginvasi jaringan stroma di bawahnya.
2. Perkembangan terakhir adalah bila perubahan displasia berlanjut
hingga menginvasi jaringan stroma di bawahnya, maka perubahan
ini disebut karsinoma in situ atau kanker (Hacker, 2005).

BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang P3A0, 46 tahun, datang dengan keluhan perdarahan jalan lahir.


Keluhan tersebut dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Perdarahan uterus merupakan
gejala klinis yang sering terjadi dan paling penting. Wanita dengan mioma uteri
mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur.
Patofisiologi perdarahan uterus yang abnormal yang berhubungan dengan mioma
uteri menurut penelitian menerangkan adanya disregulasi beberapa faktor
pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek langsung pada fungsi
vaskuler dan angiogenesis. Perubahan ini akan menyebabkan kelainan

25

vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler di dalam uterus. Mekanisme


perdarahan pada mioma uteri yaitu terjadi peningkatan ukuran permukaan
endometrium, yang kemudian akan meningkatkan vaskularisasi aliran vaskuler ke
uterus, sehingga terjadi gangguan kontraktilitas uterus. Selain itu, juga terjadi
kompresi pada pleksus venosus dalam miometrium. Pasien tidak mengeluh
adanya gangguan saat berkemih maupun defekasi. Artinya, mioma tersebut belum
menimbulkan penekanan terhadap organ sekitar. Mioma yang dapat menekan atau
mendesak organ sekitar biasanya berukuran besar.

Selain itu, pasien juga mengeluh keputihan. Keputihan dirasakan kurang


lebih 1 bulan. Keputihan dengan warna agak kekuningan, kental, berbau, tetapi
tidak gatal. Pasien tersebut dilakukan paps smear yang hasilnya adalah displasia
ringan (CIN I). Displasia ringan adalah sel-sel yang mengalami perubahan
morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium serviks.
Perubahan morfologi sel dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Diduga bahwa
human papilloma virus (HPV) memegang peranan penting terhadap terjadinya
perubahan morfologi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang
menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel. Pasien pada kasus ini
menikah ketika usia masih sangat muda, yaitu 17 tahun, dimana pernikahan usia
muda ataupun hubungan seks pada usia muda juga merupakan salah satu faktor
yang dapat mengakibatkan perubahan morfologik sel disebabkan karena sel-sel
tersebut belum mampu menerima rangsangan dari luar. Pada periode usia antara
15-20 tahun merupakan periode yang rentan dan berhubungan dengan kiatnya
proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses
metaplasia tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi
displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan. Selain itu, epitel
serviks wanita cenderung lebih rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik.

26

Pasien ini didiagnosis mioma uteri berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapati keluhan pasien berupa
perdarahan dari jalan lahir yang merupakan gejala yang paling sering ditemukan
pada mioma uteri, walaupun biasanya mioma uteri tidak menimbulkan gejala dan
lebih sering ditemukan saat pemeriksaan ginekologik rutin. Untuk memastikan
perdarahan abnormal tersebut berasal dari mioma, diperlukan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapati supel, nyeri tekan (-), hepar
tidak membesar, lien tidak membesar, TFU

tidak teraba, massa (-). Pada

pemeriksaan inspekulo: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio
dalam batas normal, darah (+), discharge (-). Pada pemeriksaan vaginal toucher
V/U tenang, dinding vagina dbn, portio licin, OUE tertutup, cavum uteri sebesar
telur bebek, darah (+), discharge (-). Dari USG tampak VU terisi cukup, tampak
uterus ukuran 9 x 8 x 8 cm3. Tampak gambaran lesi hyperechoic. Whorle like
appearance (+), menyokong gambaran mioma uteri.
Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah tindakan bedah berupa
histerektomi abdominal total. Pertimbangan dilakukannya histerektomi atau
pengangkatan uterus pada pasien ini adalah karena hasil pemeriksaan patologi
anatomi yang menunjukkan adanya displasia ringan (CIN I). Displasia bukan
merupakan suatu bentuk kanker tetapi akan mengganas menjadi kanker bila tidak
diatasi. Bila terjadi perubahan displasia berlanjut hingga menginvasi jaringan
stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ atau kanker.
Histerektomi yang dilakukan adalah histerektomi abdominal total, yaitu
pengangkatan seluruh bagian uterus, termasuk serviks, berbeda dengan
histerektomi abdominal subtotal, dimana uterus diangkat dengan menyisakan
serviks. Tujuan pembedahan bagi pasien ini juga untuk mencegah timbulnya
karsinoma servisis uteri. Selain itu, faktor lain seperti usia pasien ysang sudah 46
tahun, dan paritas yang sudah cukup juga menjadi pertimbangan dalam hal
penatalaksanaan histerektomi pada pasien ini. Histerektomi dilakukan apabila
terdapat indikasi berupa keluhan menorrhagi, metrorrhagi, keluhan obstruksi pada
traktus urinarius, dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.

27

DAFTAR PUSTAKA
Bailliere. 2006. The epidemiology of uterin leiomyomas. 12: 169-176.
Bain C, Burtin K, McGavigan J. 2011. Fibroids. In: Gynaecology Illustrated 6th
edition. London: Churcill Livingstone; pp: 096-112.
Baziad A. 2008. Endokrinologi Ginekologi. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 151157.
Bozini, N. 2007. History of myomectomy. http://www.scielo.br/scielo.php?
pid=S180759322007000300002&script=sci_arttext. Diakses pada 13
Oktober 2014
Ciavattini A, Giuseppe JD, Stortoni P. 2013. Uterine Fibroids: Pathogenesis and
Interactions

with

Endometrium

and

Endomyometrial

Juction.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3791844/
Diakses tanggal 15 Oktober 2014
Djuwantono T. 2004. Terapi GnRH agonis sebelum histerektomi. Mioma:
Farmacia 3:38-41

28

Guaraccia MM, Rein MS. 2001. Traditional surgical approaches to uerine


fibroids: Abdominal myomectomy and hysterectomy. Clin Obstet and
Gynecol; 46:385-400
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGCHart MD, McKay D. 2000. Fibroids in Gynecology
Ilustrated. London : Churchill Livingstone.
Hacker NF. 2005. Cervical Cancer. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Hillard PA. 2011. Benign Disease of The Female Reproductive Tract : Symptoms
& Signs. In : Berek JS, Adasji EY, editors. Berek &Novaks Gynecology,
15th ed. Baltimore : William & Wilkins; p. 345-361
Joedosepoetro, Sutoto. 2008. Tumor jinak pada alat genital. Dalam : Ilmu
Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp:
336-345.
Lumsden MA. 2002. The role of oestrogen and growth factors in the control of the
growth of uterine leiomiomata. In : R.W. Shaw, eds. Advances in
reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The
Parthenon Publishing Group; 9 20. Diakses 14 Oktober 2014.
http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, eds. Ilmu
Kandungan. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius; 2001 p. 387-8
Manuaba B.G. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi
Edisi Kedua. Jakarta: EGC, pp: 309-312.
Memarzadeh S, Drinville J.S. 2010. Benign Disorders of the Uterine Corpus. In:
Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis and Therapy, A. H.
DeCherney, Ed., McGraw-Hill, 10th edition, New York, pp: 693-701
Nurwijaya, H., Andrijono, Suheimi, H.K., (2010). Cegah dan Deteksi Kanker
Serviks. Jakarta: Gramedia.
Parker WH. 2007. Etiology, syptomatology and diagnosis of uterin myomas. 87:
725-733.

29

Pfeifer, SM. 2011. NMS Obstetri and Gynaecology7th Ed. The Williams &
Wilkins, 30: 339 345
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Schorge JO, et al. 2008. Williams Gynecology. New York, N.Y. McGraw-Hill
Medical.

http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aid=3157679.

Diakses pada 13 Oktober 2014


Stoval DW. 2011. Alternatives to hysterectomy; focus on global endometrial
ablation, uterine fibroid embolization and magnetic resonance-guided
focused ultrasound. Pp: 437-444.
Wiknjosastro H. 2008. Anatomi Panggul dan Isinya. Dalam : Ilmu Kandungan.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 009-011.

30

Anda mungkin juga menyukai