Anda di halaman 1dari 26

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.

2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


UNTUK PENDIDIKAN INKLUSI BAGI MAHASISWA PROGRAM STUDI
PG/PAUD FKIP UNIVERSITAS TADULAKO
Hj. Shopyatun AR
Ikhlas Rasido
Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako
Abstrak
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah; 1) meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan tentang anak berkebutuhan khusus bagi mahasiswa program
studi PG/PAUD, 2) untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap pendidikan
inklusi, 3) menghasilkan bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan
inklusi yang pada akhirnya menjadi buku ajar ber-ISBN. Desain penelitian
merupakan penelitian pengembangan yang dilaksanakan secara bertahap, melalui
5 (lima) tahapan, yaitu; 1) analisis kebutuhan berupa pengetahuan dan
keterampilan mahasiswa terhadap anak berkebutuhan khusus, serta sikap
mahasiswa terhadap pendidikan inklusi, 2) penyusunan draft bahan ajar, 3) uji
coba draft bahan ajar, 4) evaluasi draft bahan ajar, 5) produk akhir. Metode
pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian
berupa; a) angket, b) wawancara, c) studi literatur. Teknik analisis data adalah
analisis deskriptif berbentuk persentase, sedangkan penyususunan bahan ajar
dilakukan melalui analisis isi. Hasil penelitian menemukan peningkatan sebesar
56% jumlah mahasiswa mampu menjabarkan definisi anak berkebutuhan khusus,
69% jumlah mahasiswa yang mampu menjabarkan jenis-jenis anak berkebutuhan
khusus, 76% jumlah mahasiswa mampu memahami dan melakukan identifikasi
anak berkebutuhan khusus, 57% jumlah mahasiswa mampu melakukan
pengelompokan anak berkebutuhan khusus, dan 32% jumlah mahasiswa mampu
membuat pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Sikap mahasiswa Program
Studi PG/PAUD terhadap pendidikan inklusi adalah; 1) 83% mahasiswa pada
program studi PG/PAUD bersikap negatif atau menolak pendidikan inklusi
berdasarkan faktor pengetahuan tentang konsep pendidikan inklusi, 2) 87%
bersikap negatif menolak pendidikan inklusi berdasarkan faktor pengalaman
berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, 3) berdasarkan faktor kebutuhan
belajar, 65% mahasiswa ingin mengetahui secara mendalam tentang anak
berkebutuhan khusus, 4) 88% mahasiswa belum pernah mengikuti seminar dan
pelatihan tentang anak berkebutuhan khusus membentuk sikap negatif mereka
menolak pendidikan inklusi. Dari 16 indikator pengukuran tingkat kepuasan
mahasiswa pada Program Studi PG/PAUD menunjukkan tingkat kepuasan
mahasiswa di atas 56% terhadap bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk
pendidikan inklusi.
Kata Kunci: Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap Mahasiswa, Pendidikan
Inklusi, Berkebutuhan Khusus, Buku Ajar
31

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan inklusi di Indonesia telah dipayungi oleh kebijakan
pemerintah yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun
2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Peraturan menteri tersebut
memuat dengan lengkap rambu-rambu mengenai pendidikan inklusi mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaan. Salah satu hal yang signifikan tercatat dalam
Peraturan Menteri tersebut adalah mengenai kewajiban pemerintahan daerah
kabupaten/kota

untuk

menunjuk

minimal

satu

sekolah

yang

harus

menyelenggarakan pendidikan inklusi. Namun demikian, pendidikan inklusi


tidak cukup hanya minimal satu sekolah saja di setiap kabupaten/kota tetapi
keterlibatan banyak sekolah yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan
khusus. Hal ini disebabkan kerena fenomena anak berkebutuhan khusus tiap
tahunnya menunjukkan atau mengalami peningkatan jumlah. Data penelitian di
bawah ini menunjukkan peningkatan jumlah anak berkebutuhan khusus dari
tahun ke tahun.
Ekowarni (2003) menyebutkan data dari unit Psikiatri Anak (daycare)
RSUD Dr.Soetomo Surabaya adanya peningkatan (sebesar 3.33%) jumlah pasien
anak ADHD dengan berbagai karakteristik dari tahun 2000 ke tahun 2001.
Secara rinci, terdapat 30

jumlah anak

dengan ADHD yang tanpa disertai

gangguan lain (32,96%), 15 anak dengan ADHD dan gangguan tingkah laku
(16.48%), 8 anak dengan spektrum autis (8.79%), 12 anak dengan ADHD dan
epilepsi (13.19%), 13 anak dengan ADHD dan gangguan berbahasa (14.28%), 6
anak dengan ADHD dan kecerdasan batas ambang (6.59%) dan 2 anak dengan
ADHD dan antisosial (2.20%).
Data Balitbang Direktorat Pendidikan Luar Biasa pada tahuin 2006
yang menyoroti gangguan emosi dan perilaku anak, secara umum menemukan
bahwa dari 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai
rapornya kurang dari 6, dinyatakan 33% mengalami gangguan emosi dan
perilaku (dalam Mahabbati, 2010). Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh
32

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

dr.Dwijo,Sp.KJ pada tahun 2000-2004, dari 4.015 siswa usia 6-13 tahun di 10
SD wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat menunjukkan prevalensi 26,2%
anak ADHD berdasarkan kriteria DSM IV (dalam Mahabbati, 2010).
Peningkatan jumlah anak berkebutuhan khusus tersebut tidak seiring
dengan pelayanan pendidikan inklusi. Merujuk data dari Direktorat PSLB tahun
2007 menyebutkan bahwa jumlah Anak Berkebutuhan Khusus yang sudah
mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari
populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak. Ini artinya masih terdapat
sebanyak

65,3%

Anak

Berkebutuhan

Khusus

yang

masih

terseklusi,

termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan. Bahkan angka tersebut


diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang
digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem
pendataan (dalam Sunaryo, 2009).
Sementara itu, sekolah yang telah menyelenggarakan pendidikan
inklusi ternyata masih banyak yang menemui kendala dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusi. Berdasarkan hasil penelitian (Sunardi 2009, dalam Suyanto,
2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota
Bandung, secara umum saat terdapat lima kelompok issue dan permasalahan
pendidikan inklusi di tingkat sekolah, yaitu : pemahaman dan implementasinya,
kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support system.
Lebih spesifik, dari lima kelompok isu permasalahan pendidikan inklusi di
tingkat sekolah khususnya di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
menurut Adnan, dkk (2012) adalah para pendidik anak usia dini di lembaga
PAUD sebagai tangan kedua setelah orang tua di rumah, masih banyak yang
mengalami kesulitan dalam mengenali anak berkebutuhan khusus dengan
berbagai

karakteristiknya,

sehingga

mengakibatkan

sulitnya

anak-anak

bekebutuham khusus ini diterima di lembaga PAUD untuk belajar bersama


dengan anak lain. Tentu ini sangat bertentangan dengan konsep pendidikan
untuk semua dan konsep pendidikan sedini mungkin.

33

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

B. Rumusan Masalah
Fenomena anak berkebutuhan khusus tiap tahunnya menunjukkan atau
mengalami peningkatan jumlah. Meningkatnya jumlah anak berkebutuhan
khusus setiap tahunnya tidak seiring dengan pelayanan pendidikan inklusi.
Sementara sekolah yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusi ternyata
masih banyak yang menemui kendala dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusi. Salah satu kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi
disebabkan oleh faktor pendidik anak usia dini di lembaga PAUD. Pendidik anak
usia dini di lembaga PAUD sebagai tangan kedua setelah orang tua di rumah,
masih banyak yang mengalami kesulitan dalam mengenali anak berkebutuhan
khusus dengan berbagai karakteristiknya, sehingga mengakibatkan sulitnya
anak-anak bekebutuhan khusus ini diterima di lembaga PAUD untuk belajar
bersama dengan anak lain. Tentu ini sangat bertentangan dengan konsep
pendidikan untuk semua dan konsep pendidikan sedini mungkin.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa Program Studi
PG/PAUD terhadap anak berkebutuhan khusus.
2. Mengembangkan sikap positif (menerima) mahasiswa Program Studi
PG/PAUD terhadap pendidikan inklusi.
3. Mengembangkan bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan
inklusi.
II. Kajian Pustaka
A. Identifikasi Dini Dan Assessmen Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan
dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak dikatakan
berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam
dirinya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan
khusus sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami
anak. Untuk mengetahui anak berkebutuhan khsusus melalui proses identifikasi.

34

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

Identifikasi dini anak berkebutuhan khusus dimaksudkan sebagai suatu


upaya untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku)
seawal mungkin dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil
dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang
perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi:
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
2. Tunanrungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan anggota tubuh/gerakan
4. Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
5. Tunagrahita
6. Anak lamban belajar
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau
diskalkulia)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
B. Pendidikan Inklusi
Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun
2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa:
Pendidikan

inklusif

adalah

sistem

penyelenggaraan

pendidikan

yang

memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan


dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran. Sementara Pasal 2 peraturan tersebut dijelaskan
bahwa Pendidikan inklusif bertujuan: (1) memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya; (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

35

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana


yang dimaksud pada huruf a.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat
dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut (Ashman, 1994 dalam Elisa
dan Wrastari, 2013):
1. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di
kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas Reguler dengan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di
kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktuwaktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing
khusus.
5. Kelas Khusus dengan Berbagai; pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler.
6. Kelas Khusus Penuh
Anak berkebutuhan khusus yang belajar di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler.
Untuk menentukan model sekolah inklusi seperti yang disebutkan di
atas

dilaksanakan

berkebutuhan khusus.

36

berdasarkan

hasil

identifikasi

dan

assessmen

anak

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

C. Pengetahuan

Dan

Keterampilan

Mahasiswa

Terhadap

Anak

Berkebutuhan Khusus
Pengetahuan dan keterampilan mahasiswa terhadap anak berkebutuhan
khusus berdasarkan level atau tingkatan taksonomi Bloom. Pada penelitian ini
level atau tingkatan konsep anak berkebutuhan khusus yang ingin dicapai
mahasiswa berada pada level C1 (mampu medeskripsikan atau menjabarkan
suatu konsep) sampai dengan level C3 (mampu mengaplikasikan atau
menerapkan suatu konsep). Level atau tingkat taksonomi Bloom pada level C1
sampai dengan C3 konsep anak berkebutuhan khusus yang ingin dicapai
mahasiswa adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami pengertian anak berkebutuhan anak khusus
2. Mengetahui dan memahami jenis-jenis anak berkebutuhan anak khusus
3. Memahami dan terampil mengelompokkan anak berkebutuhan khusus
4. Memahami dan terampil membuat pembelajaran anak berkebutuhan khusus
D. Sikap Mahasiswa Terhadap Pendidikan Inklusi
Thurstone memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek
negatif terhadap suatu objek psikologis (Edwards, 1957 dalam Azwar, 2010).
Lebih lanjut Thurstone menjelaskan bahwa sikap merupakan sebuah proses
antara positif atau negatif yang disebabkan oleh suatu stimulus (Thurstone,
1931; Allport, 1935; Green and Goldfried, 1965 dalam Cacioppo and Berntson,
1994). Heri Purwanto (1998) menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi sikap
positif dan negatif. Sikap positif adalah kecenderungan tindakan yang berupa
mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap
negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai objek tertentu.
Sikap mahasiswa terhadap pendidikan inklusi adalah gambaran yang
positif atau negatif dari komitmen mahasiswa dalam mengembangkan anak
berkebutuhan

khusus

yang

menjadi

tanggung

jawabnya

dan

juga

menggambarkan sejauh mana anak berkebutuhan khusus di terima di sebuah


sekolah. Melalui sikap positif dari mahasiswa, anak berkebutuhan khusus akan
mendapat lebih banyak kesempatan dalam bidang pendidikan untuk belajar
37

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

bersama teman sebayanya, dan akan lebih mendapatkan keuntungan pendidikan


semaksimal mungkin (Olson, 2003). Sikap mahasiswa yang negatif
menggambarkan harapan yang rendah terhadap anak berkebutuhan khusus di
kelas inklusi (Elliot, 2008).
Faktor yang mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap pendidikan
inklusi di adopsi dari penelitian Elisa, S & Wrastari, AT. (2013), yaitu:
1) Faktor pengetahuan Mahasiswa
Konsep terhadap anak berkebutuhan khusus bergantung pada jenis hambatan
anak, tingkat keparahan hambatan, dan kebutuhan anak akan pendidikan.
Selain itu pengetahuan mahasiswa yang memiliki konsep inklusi sebagai
konsep penyatuan dan penyetaraan kemampuan anak berkebutuhan khusus
dengan anak non berkebutuhan khusus akan memberikan dukungan penuh
terhadap pendidikan inklusi.
2) Faktor Pengalaman
Mahasiswa yang memiliki pengalaman di tempat terapi lebih memiliki
kedekatan dengan anak berkebutuhan khusus dan lebih memahami
kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Begitu pula mahasiswa yang
memiliki kerabat anak berkebutuhan khusus lebih dekat dengan anak
berkebutuhan khusus akan memiliki keyakinan bahwa hak semua anak
sama.
3) Kebutuhan belajar
Mahaiswa yang memiliki keinginan untuk belajar menangani dan
memahami anak berkebutuhan khusus memiliki rasa sayang dan senang
kepada anak berkebutuhan khusus
4) Pelatihan
Mahasiswa yang pernah mengikut seminar dan pelatihan merubah
pandangannya

terhadap

anak

berkebutuhan

khusus

bahwa

anak

berkebutuhan khusus juga memiliki kelebihan


Dalam penelitian ini, keempat faktor itulah yang dijadikan ukuran untuk
menilai sikap mahasiswa terhadap pendidikan inklusi. Sikap itu bisa menjadi
positif atau menerima pendidikan inklusi dan bisa pula menjadi negatif atau
38

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

menolak pendidikan inklusi.


III. Metode penelitian
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian
pengembangan melalui 5 (lima) tahapan. Berikut ini merupakan gambar alur
penelitian yang terdiri dari 5 (lima) tahapan:
Gambar 3.1
Alur Penelitian
ANALISIS KEBUTUHAN :
Pengetahuan & Keterampilan Mahasiswa
terhadap anak berkebutuhan khusus
Sikap Mahasiswa terhadap Pendidikan Inklusi

PENYUSUNAN DRAFT BAHAN AJAR


Anak Berkebutuhan Khusus untuk Pendidikan Inklusi

UJI COBA DRAFT BAHAN AJAR

Anak Berkebutuhan Khusus untuk Pendidikan Inklusi

EVALUASI DRAFT BAHAN AJAR

Anak Berkebutuhan Khusus untuk Pendidikan Inklusi

PRODUK AKHIR BAHAN AJAR


Anak Berkebutuhan Khusus Untuk Pendidikan Inklusi

B. Subyek Penelitian
Subjek penelitian melibatkan seluruh staf pengajar berjumlah 6 orang
dan mahasiswa Program Studi PG/PAUD semester VII dan yang sedang

39

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

menyelesaikan tugas akhir berjumlah 30 Orang. Lokasi tempat dilaksanakannya


penelitian adalah Program Studi PG/PAUD FKIP Universitas Tadulako
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitiani ini metode pengumpulan data yang digunakan
melalui teknik purposive sampling.
D. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
maka penelitian ini menggunakan berbagai instrumen penelitian berupa: a)
angket, b) wawancara, c) studi literatur.
E. Analisa Data
Untuk mengungkap pengetahuan dan keterampilan mahsiswa terhadap
anak berkebutuhan khusus, serta sikap mahasiswa terhadap pendidikan inklusi,
teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dalam bentuk
persentase, sedangkan dalam penyusunan bahan ajar teknik analisis datanya
melalui analisis isi.
IV. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Pengetahuan

dan

Keterampilan

Mahasiswa

terhadap

Anak

Berkebutuhan Khusus
Hasil penelitian pada tabel di bawah ini menunjukan pengetahuan dan
keterampilan awal mahasiswa tentang konsep anak berkebutuhan khusus
dalam bentuk persentase
Tabel 4.1 Persentase
Pengetahuan dan Keterampilan Awal Mahasiswa
Tentang Anak Kebutuhan Khusus
No

Pengetahuan dan Keterampilan


Tentang Anak Berkebutuhan
Khusus

Tidak Tahu/
Tidak Terampil
(%)

Tahu/
Terampil
(%)

Mengetahui
dana
memahami
pengertian anak berkebutuhan anak

73

27

40

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

khusus
Mengetahui dan memahami jenisjenis anak berkebutuhan anak
khusus
Memahami dan terampil melakukan
identifikasi anak berkebutuhan
khusus

88

12

100

Memahami
dan
mengelompokkan
berkebutuhan khusus

terampil
anak

100

Memahami dan terampil membuat


pembelajaran
untuk
anak
berkebutuhan khusus

100

2. Sikap Mahasiswa Terhadap Pendidikan Inklusi


Hasil penelitian pada tabel di bawah ini menunjukan bentuk sikap
mahasiswa yang terdiri dari sikap positif yaitu sikap menerima terhadap
pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus dan sikap negatif yaitu
sikap menolak terhadap pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus.
Baik sikap positif maupun sikap negatif terhadap pendidikan inklusi
diformulasikan ke dalam bentk persentase.
Tabel 4.2 Persentase
Sikap Mahasiswa Tehadap Pendidikan Inklusi
Sikap
%
No

Faktor Pembentuk Sikap

Pengetahuan tentang
konsep pendidikan inklusi.

Negatif
(Tidak Tahu/Tidak
Menerima)
83

Positif
(Tahu/Menerima)

Pengalaman berhubungan
dengan anak berkebutuhan
khusus

87

13

Kebutuhan belajar

35

65

17

41

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

Pelatihan
anak
berkebutuhan khusus

88

12

3. Rancangan dan Uji Coba Bahan Ajar Pendidikan Inklusi Untuk Anak
Berkabutuhan Khusus.
Rancangan bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan
inklusi disusun berdasarkan tingkat pengetahuan dan keterampilan awal
mahasiswa mengenai anak berkebutuhan khusus, serta sikap mereka terhadap
penerimaan pendidikan inklusi, serta diperkaya dengan studi literatur yang
diperoleh melalui buku referensi maupun hasil penelitian lain yang mengkaji
tentang anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusi. Kemudian disusun
sebuah draft bahan ajar dengan merujuk pada taksonomi bloom. Tujuannya
adalah agar draft bahan ajar ini dapat diukur sejauh mana kelayakannya yang
dapat dilihat dari hasil pembelajaran mahasiswa. Setelah draft bahan ajar
tersebut rampung, langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba
(mengajarkan) kepada 30 orang mahasiswa Program Studi PG/PAUD. Setelah
diuji coba (diajarkan) kepada 30 orang mahasiswa Program Studi PG/PAUD,
pada akhir pembelajaran mahasiswa diberikan tes untuk menguji pengetahuan
dan keterampilan mereka tentang konsep anak berkebutuhan khusus. Hasil tes
menemukan terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa
mengenai konsep anak berkebutuhan khusus. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan itu ditunjukkan pada tabel di bawah ini dalam bentuk
persentase.
Tabel 4.3 Persentase
Pengetahuan dan Keterampilan Mahasiswa Tentang Anak Kebutuhan Khusus
Setelah Uji Coba Bahan Ajar
NO

Pengetahuan dan Keterampilan


Tentang Anak Berkebutuhan Khusus

Mengetahui dan memahami pengertian


anak berkebutuhan anak khusus

42

Tidak Tahu/
Tidak
Terampil
17

Tahu/
Terampil
83

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

Mengetahui dan memahami

jenis-jenis

19

81

14

76

43

57

68

32

anak berkebutuhan anak khusus


3

Memahami

dan

terampil

melakukan

identifikasi anak berkebutuhan khusus


4

Memahami

dan

mengelompokkan

anak

terampil
berkebutuhan

khusus
5

Memahami

dan

terampil

membuat

pembelajaran untuk anak berkebutuhan


khusus
4. Evaluasi Rancangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus Untuk
Pendidikan Inklusi
Untuk Evaluasi rancangan bahan ajar pendidikan inklusi untuk anak
berkebutuhan khusus dengan menggunakan angket dan wawancara. Angket
diberikan kepada mahasiswa, sedangkan wawancara dengan mewawancarai
teman sejawat kemudian dianalisis melalui analisis isi
Pada tabel di bawah ini menunjukkan tingkat kepuasan mahasiswa
terhadap bahan ajar Anak Berkebutuhan Khusus untuk Pendidikan Inklusi
Untuk dalam bentuk persentase.
Tabel 4.4 Persentase Tingkat Kepuasan Mahasiswa
Terhadap Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk Pendidikan Inklusi

No

Indikator
Kepuasan
Mahasiswa

Cakupan
materi

Sistematika

Sangat
Tidak
Memuas
kan
(%)
10

15

Tidak
Memuaskan
(%)

Memuaskan
(%)

Sangat
Memuaskan
(%)

12

65

13

25

56

14

43

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

penyajian
3

Manfaat
materi

11

13

64

12

Relevansi
materi

11

20

67

12

Kemuktahira
n materi

12

14

63

11

Tingkat
pemahaman
terhadap
materi

10

20

57

13

Kesesuaian
penyampaian
dengan tujuan

10

27

58

15

Kesesuaian
penyampaian
dengan
karakteristik
peserta

10

10

67

13

Rasio latihan
dengan teori

11

68

12

10

Penggunaan
media

14

65

13

11

Penggunaan
contoh

12

19

57

12

12

Interaksi
penyaji
dengan
peserta

11

11

67

11

13

Alokasi waktu
untuk

12

11

67

10

14

Ketuntasan
materi yang

73

14

44

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

dijelaskan
15

Kesempatan
untuk
menyampaika
n gagasan

71

11

16

Kesesuaian
waktu dengan
strategi yang
digunakan

75

11

Sementar itu, hasil evaluasi dari teman sejawat terhadap rancangan


bahan

ajar

pendidikan

Inklusi

Untuk

anak

berkebutuhan

khusus

menghasilkan beberapa kekurangan, yaitu:


a) Masih banyak ditemukan kalimat dengan kesalahan dalam pengetikan
b) Masih ada kalimat yang sulit dipahami, bermakna ganda, bias.
c) Mempertimbangkan

untuk

menyertakan

gambar

atau

contoh

mendeskripsikan jenis-jenis anak berkebutuhan khusus.


5. Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus Untuk Pendidikan Inklusi
Bahan ajar anak berkebutuhan khusus dalam penelitian ini diperuntukan
bagi para calon pendidik PAUD yang ada di program studi PG/PAUD FKIP
Universitas Tadulako. Bahan ajar tersebut disusun secara praktis dapat
digunakan untuk mengidentifikasi dan menyikapi anak berkebutuhan khusus
yang dihadapi pendidik.
Bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan inklusi terdiri
dari dua bagian yang tak terpisahkan. Pada bagian pertama, untuk pokok
bahasan pertama, berisikan konsep tentang berbagai jenis anak berkebutuhan
khusus, yang meliputi anak dengan keterlambatan perkembangan; anak
dengan keterbelakangan mental; anak dengan gangguan emosional dan
perilaku; anak dengan gangguan spektrum autis; anak dengan kesulitan
belajar; anak berbakat, Untuk pokok bahasan kedua, berisikan bagaimana
mengidentifikasi anak berkebutuhan

khusus, dan pokok bahasan ketiga,

berisikan metode dan strategi membantu anak berkebutuhan khusus. Pada


45

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

bagian kedua bahan ajar ini, memuat tentang konsep pendidikan inklusi untuk
pokok

bahasan

pertama.

Pokok

bahasan

kedua

memuat

landasan

penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dan untuk pokok bahasan ketiga


memuat implementasi pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan Khusus.
Pada setiap pokok bahasan selalu diawali dengan deskripsi materi pokok
bahasan, kompetensi pembelajaran, waktu, metode dan proses pembelajaran.
Pada akhir bagian untuk setiap pokok bahasan disertai dengan latihan.
Tujuannya adalah untuk mengukur pencapaian kompetensi pembelajaran
mahasiswa. Bahan ajar ini juga dilengkapi dengan berbagai instrumen.
Instrumen tersebut berupa; 1) instrumen untuk mengidentifikasi anak
berkebutuhan khusus, 2) instrumen deteksi dini gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas, serta 3) formulir kuesioner untuk deteksi anak
dengan autism. Instrumen-instrumen tersebut dimasukkan ke dalam bagian
lampiran pada bahan ajar ini.
B. Pembahasan
Menarik untuk disimak bahwa pada awalnya pengetahuan mahasiswa
tentang anak berkebutuhan khusus sangatlah minim. Dari 5(lima) indikator
yang digunakan untuk menguji pengetahuan mereka tentang anak berkebutuhan
khusus, hanya dua indikator yang memperoleh angka persentase walaupun
angka persentase tersebut rendah.
Indikator pertama berupa pertanyaan apakah mereka mengetahui dana
memahami pengertian anak berkebutuhan anak khusus? Dari hasil penelitian
diperoleh 73% mahasiswa mengatakan tidak tahu.
Untuk indikator kedua berupa pertanyaan apakah mahasiswa
mengetahui dan memahami jenis-jenis anak berkebutuhan anak khusus. Dari
hasil penelitian menemukan 88% mahasiswa tidak mengetahuinya.
Sedangkan untuk indikator ketiga apakah mahasiswa memahami dan
terampil melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus? Hasil penelitian
menemukan tak satupun mahasiswa memahami dan memiliki keterampilan
melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus.
Begitu pula dengan indikator keempat apakah mahasiswa memahami
46

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

dan terampil mengelompokkan anak berkebutuhan khusus? Hasil penelitian


menemukan tak satupun mahasiswa memahami dan terampil mengelompokkan
anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan untuk indikator kelima, apakah mahasiswa memahami dan
terampil membuat pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus? Jawaban
hasil penelitian menemukan tak satupun mahasiswa memahami dan memiliki
keterampilan tersebut.
Merujuk dari hasil penelitian di atas, dapat juga dikatakan bahwa
tingkat pengetahuan dan keterampilan mahasiswa tentang anak berkebutuhan
khusus berada pada level atau tingkatan C1 berdasarkan taksonomi Bloom.
Level atau tingkatan C1 mengindikasikan kemampuan mahasiswa hanya
sebatas mampu menjabarkan suatu pengertian atau mendefinisikan suatu
konsep. Itupun hanya sebagian kecil mahasiswa yang memiliki kemampuan
tersebut.

Untuk indikator mengenai apakah mahasiswa mengetahui dana

memahami pengertian anak berkebutuhan anak khusus? hasil penelitian


menemukan 27% mahasiswa yang memiliki jawaban mengetahui dan
memahami konsep tersebut. Untuk indikator kedua berupa pertanyaan apakah
mahasiswa mengetahui dan memahami jenis-jenis anak berkebutuhan anak
khusus. Dari hasil penelitian menemukan 12% mahasiswa mengetahuinya.
Begitu pula dengan sikap mahasiswa terhadap pendidikan inklusi
sangatlah minim. Di bawah ini dijabarkan 4 (empat) faktor pembentuk sikap
positif (menerima) dan sikap negatif (menolak):
a) Pengetahuan tentang konsep pendidikan inklusi
Pengetahuan mahasiswa tentang konsep terhadap anak berkebutuhan khusus
bergantung pada jenis hambatan anak, tingkat keparahan hambatan, dan
kebutuhan anak akan pendidikan, konsep inklusi sebagai konsep penyatuan
dan penyetaraan kemampuan anak berkebutuhan khusus dengan anak non
berkebutuhan khusus mempengaruhi sikap mereka terhadap pendidikan
inklusi. Dari hasil penelitian menemukan 83% mahasiswa pada program
studi PG/PAUD bersikap negatif atau menolak pendidikan inklusi. Angka

47

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

tersebut juga menunjukkan tingkat pengetahuan mahasiswa yang rendah


tentang pendidikan inklusi.
b) Pengalaman berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus
Mahasiswa yang memiliki pengalaman di tempat terapi lebih memiliki
kedekatan dengan anak berkebutuhan khsusus dan lebih memahami
kebutuhan anak berkebutuhan khusus, memiliki kerabat anak berkebutuhan
khusus lebih dekat dengan siswa anak berkebutuhan khusus, memiliki
keyakinan bahwa hak semua anak sama. Dari hasi penelitian menemukan
bahwa 87 % bersikap negatif atau menolak pendidikan inklusi. Angka
tersebut menggambarkan hanya 23% mahasiswa yang memiliki pengalaman
berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Kebutuhan belajar
Mahasiswa yang memiliki keinginan untuk belajar menangani dan
memahami anak berkebutuhan khusus memiliki rasa sayang dan senang
kepada anak berkebutuhan khusus. Dari hasil penelitian ini menemukan 65%
mahasiswa ingin mengetahui secara mendalam (belajar) tentang anak
berkebutuhan khusus. Angka tersebut sebenarnya sangat menggembirakan.
Oleh karena ada kemauan dari mahasiswa untuk belajar lebih jauh tentang
anak berkebutuhan khusus.
d) Pelatihan anak berkebutuhan khusus
Mahasiswa yang pernah ikut seminar dan pelatihan mendapatkan
motivasiddiri yang positif terkait anak berkebutuhan khusus. Mahasiswa
yang pernah ikut seminar dan pelatihan merubah pandangannya terhadap
anak berkebutuhan khusus. Dari hasil penelitian menemukan 88%
mahasiswa memiliki sikap negatif atau menolak pendidikan inklusi angka
tersebut juga berarti sebagain besar mahasiswa belum pernah mengikuti
seminar atau pelatihan tentang anak berkebutuhan khusus.
Penelitian yang dilakukan oleh Elisa, S & Wrastari, AT. (2013)
menemukan bentuk sikap guru yang terdiri dari sikap positif yaitu sikap
menerima terhadap pendidikan inklusi dan sikap negatif yaitu sikap menolak
terhadap pendidikan inklusi. Faktor yang mempengaruhi sikap tersebut, yaitu:
48

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

1. Faktor guru yang terdiri dari latar belakang guru, pandangan terhadap anak
berkebutuhan khusus, tipe guru, tingkat kelas, keyakinan guru, pandangan
sosio-politik, empati guru, dan gender.
2. Faktor pengalaman yang terdiri dari pengalaman mengajar anak berkebutuhan
khusus dan pengalaman kontak dengan anak berkebutuhan khusus.
3. Faktor pengetahuan yang terdiri dari level pendidikan guru, pelatihan,
pengetahuan, dan kebutuhan belajar guru.
4. Faktor lingkungan pendidikan yang terdiri dari dukungan sumber daya,
dukungan orang tua dan keluarga, dan sistem sekolah.
Merujuk pada penelitian di atas terdapat kesamaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Elisa, S & Wrastari, AT. (2013) untuk faktor pandangan
terhadap anak berkebutuhan khusus, pengetahuan, pengalaman kebutuhan
belajar. Namun terdapat perbedaan yang tidak ditemukan dalam penelitian
tersebut. Perbedaan tersebut adalah persentase sikap positif (menerima) dan
sikap negatif (menolak) pendidikan inklusi.
Dalam penelitian terdahulu tidak dijelaskan seberapa besar sikap positif
(menerima) dan sikap negatif (menolak) terhadap pendidikan inklusi. Sedangkan
dalam penelitian ini ditemukan persentase sikap positif (menerima) dan sikap
negatif (menolak) terhadap pendidikan inklusi.
Dari hasil penelitian menemukan 83% mahasiswa pada program studi
PG/PAUD bersikap negatif atau menolak pendidikan inklusi berdasarkan faktor
pengetahuan tentang konsep pendidikan inklusi. Artinya bahwa ketidaktahuan
mahasiswa tentang konsep pendidikan inklusi mempengaruhi pandangan mereka
terhadap pendidikan inklusi dimana sebagian besar mahasiswa memiliki sikap
negatif atau menolak pendidikan inklusi.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa 87% bersikap negatif
menolak pendidikan inklusi berdasarkan faktor pengalaman berhubungan dengan
anak berkebutuhan khusus. Artinya bahwa belum berpengalamannya mahasiswa
berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus menjadi dasar terbentuknya
sikap mereka menolak pendidikan inklusi.

49

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

Sedangkan berdasarkan faktor kebutuhan belajar, dari hasil penelitian


menemukan 65% mahasiswa ingin mengetahui secara mendalam (belajar)
tentang anak berkebutuhan khusus. Angka tersebut menggambarkan sebagian
besar mahasiswa memiliki keinginan untuk belajar tentang anak berkebutuhan
khusus.
Untuk faktor pelatihan, dari hasil penelitian menemukan 88%
mahasiswa belum pernah mengikuti seminar dan pelatihan tentang anak
berkebutuhan khusus sehingga mempengaruhi sikap negatif mereka menolak
pendidikan inklusi.
Setelah dilakukan uji coba darft bahan ajar pendidikan inklusi untuk
anak berkebutuhan khusus, terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan
mahasiswa tentang konsep anak berkebutuhan khusus.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa tentang konsep
anak berkebutuhan khusus yang diukur melalui 5 (lima) indikator sebagai
berikut:
1. Pemahaman definisi atau pengertian anak berkebutuhan anak khusus
Persentase jumlah mahasiswa yang mampu menjabarkan definisi atau
pengertian anak berkebutuhan khusus meningkat sebesar 83%. Sebelum
dilakukan uji coba bahan ajar, persentase jumlah mahasiswa yang mampu
menjabarkan definisi atau pengertian anak berkebutuhan khusus sebesar 27%.
Berarti terjadi peningkatan sebesar 56% jumlah mahasiswa yang mampu
menjabarkan definisi atau pengertian anak berkebutuhan khusus.
2. Pemahaman jenis-jenis anak berkebutuhan anak khusus
Persentase jumlah mahasiswa yang mampu menjabarkan jenis-jenis anak
berkebutuhan khusus meningkat sebesar 81%. Sebelum dilakukan uji coba
bahan ajar, persentase jumlah mahasiswa yang mampu menjabarkan definisi
atau pengertian anak berkebutuhan khusus sebesar 12%. Berarti terjadi
peningkatan sebesar 69% jumlah mahasiswa yang mampu menjabarkan jenisjenis anak berkebutuhan khusus.
3. Pemahaman dan keterampilan melakukan identifikasi anak berkebutuhan
khusus
50

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

Persentase jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau


melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus meningkat sebesar 76%.
Sebelum dilakukan uji coba bahan ajar, persentase jumlah mahasiswa yang
mampu memahami dan menerapkan atau melakukan identifikasi anak
berkebutuhan khusus sebesar 0%. Berarti terjadi peningkatan sebesar 76%
jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau melakukan
identifikasi anak berkebutuhan khusus.
4. Pemahaman dan keterampilan mengelompokkan anak berkebutuhan khusus
Persentase jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau
melakukan pengelompokan anak berkebutuhan khusus meningkat sebesar
57%. Sebelum dilakukan uji coba bahan ajar, persentase jumlah mahasiswa
yang mampu memahami dan menerapkan atau melakukan pengelompokan
anak berkebutuhan khusus sebesar 0%. Berarti terjadi peningkatan sebesar
57% jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau
melakukan pengelompokan anak berkebutuhan khusus.
5. Pemahaman

dan

keterampilan

membuat

pembelajaran

untuk

anak

berkebutuhan khusus
Persentase jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau
membuat pembelajaran anak berkebutuhan khusus meningkat sebesar 32%.
Sebelum dilakukan uji coba bahan ajar, persentase jumlah mahasiswa yang
mampu memahami dan menerapkan atau membuat pembelajaran anak
berkebutuhan khusus sebesar 0%. Berarti terjadi peningkatan sebesar 32%
jumlah mahasiswa yang mampu memahami dan menerapkan atau membuat
pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa bahan ajar yang
dirancang sudah memenuhi kriteria suatu bahan ajar yang baik. Dimana ukuran
sebagai bahan ajar yang baik adalah seberapa banyak mahasiswa mampu
mencapai tujuan pembelajaran dari bahan ajar tersebut.
Hasil evaluasi tingkat kepuasan mahasiswa terhadap bahan ajar anak
berkebutuhan khusus untuk pendidikan inklusi berdasarkan 16 indikator
kepuasan mahasiswa terhadap bahan ajar anak berkebutuhan khusu untuk
51

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

pendidikan inklusi, menghasilkan angka yang cukup signifikan. 16 indikator


kepuasan mahasiswa itu meliputi:
a) Cakupan materi, tingkat kepuasan di atas 65%
b) Sistematika penyajian, tingkat kepuasan di atas 56%
c) Manfaat materi, tingkat kepuasan di atas 64%
d) Relevansi Materi, tingkat kepuasan di atas 67%
e) Kemuktahiran materi, tingkat kepuasan di atas 63%
f)

Tingkat pemahaman materi, tingkat kepuasan di atas 56%

g) Kesesuaian penyampaian dengan tujuan, tingkat kepuasan di atas 58%


h) Kesesuaian penyampaian dengan karakteristik peserta, tingkat kepuasan di
atas 58%
i)

Rasio latihan dengan teori, tingkat kepuasan di atas 68%

j)

Penggunaan media, tingkat kepuasan di atas 65%

k) Penggunaan contoh, tingkat kepuasan di atas 57%


l)

Interaksi dengan peserta, tingkat kepuasan di atas 67%

m) Alokasi waktu, tingkat kepuasan di atas 67%


n) Ketuntasan materi, tingkat kepuasan di atas 73%
o) Kesempatan menyampaikan gagasan, tingkat kepuasan di atas 71%
p) Kesesuaian waktu dengan strategi, tingkat kepuasan di atas 75%
Walaupun demikian, bahan ajar ini masih perlu dikembangkan untuk
lebih meningkatkan kualitas dalam proses belajar dan mengajar. Sehingga pada
akhirnya akan menjadi suatu bahan ajar yang komprehensif dan dapat dijadikan
rujukan bagi mahasiswa di program studi PG/PAUD Universitas Tadulako pada
khususnya maupun mahasiswa di universitas lain pada umumnya.
Bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan inklusi terdiri
dari dua bagian yang tak terpisahkan. Pada bagian pertama, untuk pokok bahasan
pertama berbicara mengenai definisi atau pengertian anak berkebutuhan khusus,
pokok bahasan kedua berbicara mengenai jenis anak berkebutuhan khusus yang
meliputi

anak

dengan

keterlambatan

perkembangan;

anak

dengan

keterbelakangan mental; anak dengan gangguan emosional dan perilaku; anak


dengan gangguan spektrum autis; anak dengan kesulitan belajar; anak berbakat,
52

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

pada pokok bahasan ketiga memuat bagaimana mengidentifikasi anak


berkebutuhan khusus, dan pokok bahasan keempat berisikan metode dan strategi
membantu anak berkebutuhan khusus.
Pada bagian kedua, untuk pokok bahasan pertama berisikan tentang
konsep pendidikan inklusi, untuk pokok bahasan kedua memuat landasan
penyelenggaraan pendidikan inklusi, sedangkan untuk pokok bahasan ketiga
berbicara tentang implementasi pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan
khusus. Untuk setiap pokok bahasan diawali dengan deskripsi materi pokok
bahasan, kompetensi lulusan, waktu, metode dan proses pembelajaran.
Pada akhir bagian untuk setiap pokok bahasan disertai dengan latihan
yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana pencapaian kompetensi mahasiswa
dalam pembelajaran. Bahan ajar ini juga dilengkapi dengan berbagai instrumen
pengukuran anak berkebutuhan khusus. Instrumen itu terdiri dari; 1) instrumen
untuk mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, 2) instrumen deteksi dini
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, serta 3) formulir kuesioner
untuk deteksi anak dengan autism.
V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa tentang
konsep anak berkebutuhan khusus, yaitu:
a) Peningkatan

sebesar

56%

jumlah

mahasiswa

yang

mampu

menjabarkan definisi atau pengertian anak berkebutuhan khusus.


b) Peningkatan

sebesar

69%

jumlah

mahasiswa

yang

mampu

menjabarkan jenis-jenis anak berkebutuhan khusus.


c) Peningkatan sebesar 76% jumlah mahasiswa yang mampu memahami
dan menerapkan atau melakukan identifikasi anak berkebutuhan
khusus.

53

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

d) Peningkatan sebesar 57% jumlah mahasiswa yang mampu memahami


dan menerapkan atau melakukan pengelompokan anak berkebutuhan
khusus.
e) Peningkatan sebesar 32% jumlah mahasiswa yang mampu memahami
dan menerapkan atau membuat pembelajaran anak berkebutuhan
khusus.
2. Sikap mahasiswa Program Studi PG/PAUD terhadap pendidikan inklusi
adalah
a) 83% mahasiswa pada program studi PG/PAUD bersikap negatif atau
menolak pendidikan inklusi berdasarkan faktor pengetahuan tentang
konsep pendidikan inklusi. Artinya bahwa ketidaktahuan mahasiswa
tentang konsep pendidikan inklusi mempengaruhi pandangan mereka
terhadap pendidikan inklusi dimana sebagian besar mahasiswa
memiliki sikap negatif atau menolak pendidikan inklusi.
b) 87% bersikap negatif menolak pendidikan inklusi berdasarkan faktor
pengalaman berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus. Artinya
bahwa belum berpengalamannya mahasiswa berhubungan dengan
anak berkebutuhan khusus menjadi dasar terbentuknya sikap mereka
menolak pendidikan inklusi.
c) Sedangkan berdasarkan faktor kebutuhan belajar, dari hasil penelitian
menemukan 65% mahasiswa ingin mengetahui secara mendalam
(belajar) tentang anak berkebutuhan khusus. Angka tersebut
menggambarkan sebagian besar mahasiswa memiliki keinginan untuk
belajar tentang anak berkebutuhan khusus.
d) Untuk faktor pelatihan, dari hasil penelitian menemukan 88%
mahasiswa belum pernah mengikuti seminar dan pelatihan tentang
anak berkebutuhan khusus sehingga mempengaruhi sikap negatif
mereka menolak pendidikan inklusi.
3. Pengetahuan dan keterampilan yang rendah yang dimiliki mahasiswa pada
program studi PG/PAUD tentang konsep anak berkebutuhan memberikan
andil terbesar terbentuknya sikap negatif atau menolak terhadap
54

Tri Sentra Jurnal Ilmu Pendidikan Vol.2 Edisi 4 Juli-Desember 2013

pendidikan inklusi.
4. Dari 16 indikator pengukuran tingkat kepuasan mahasiswa menunjukkan
tingkat kepuasan mahasiswa program studi PG/PAUD di atas 56%
terhadap bahan ajar anak berkebutuhan khusus untuk pendidikan inklusi.
B. Saran
1. Kajian tentang pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khsusus di
masukkan dalam kurikulum Program Studi PG/PAUD sebagai mata
kuliah pilihan.
2. Menyempurnakan kalimat dengan kesalahan dalam pengetikan
3. Menggunakan kalimat yang mudah dipahami, dan tidak bermakna ganda,
lebih opersional.
4. Menyertakan gambar atau menggunakan contoh dalam mendeskripsikan
jenis-jenis anak berkebutuhan khusus.

Daftar Pustaka
Adnan, Evita, dkk. 2012. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Bahan Ajar Diklat
Berjenjang: Diklat Dasar. Direktorat Pembinaan Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan PAUD NI Direktorat Jenderal PAUD NI Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan
American Psychiatric Association.1994. Diagnotic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. Washsington DC: APA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen, dan Direktorat P L B. (2007). Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas.
Elliot, S. 2008. The Effect of Teachers' Attitude Toward Inclusion on the Practice
and Success Levels of Children with and without Disabilities in
Physical Education. International Journal of Special Education
Ekowarni, Endang. 2003. Teori Modifikasi Perilaku, Diet, dan Obat untuk
Penangan Perilaku Hiperaktivitas pada Anak Dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Jurnal ANIMA, Vol. 18.
Nomor 2

55

Hj. Shofyatun AR & Ikhlas Rasido, Pengembangan Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus.

Elisa, S & Wrastari, AT. 2013. Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau
Dari Faktor Pembentuk Sikap. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Surabaya: Jurnal Psikologi Perkembangan Dan PendidikanVol. 2, No.
01, Februari 2013
Fanu, J.L. 2006. Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak. Yogyakarta:
Think
Florian, Leni 2008. Special or Inclusive Education: Future Trends. Dalam British
Journal of Special Education.
Hildayani, dkk. 2009. Penanganan Anak Berkelainan (Anak dengan Kebutuhan
Khusus. Jakarta: Universitas Terbuka.
Mahabbati, Aini. 2010, Pendidikan Inklusif Untuk Anak Dengan Gangguan Emosi
Dan Perilaku (Tunalaras). Jurnal Pendidikan Khusus (JPK) ISSN
1858-0998 Vol.7, No.2, November 2010
Hwang, Yoon-Suk. 2010. Attitudes towards inclusion: gaps between belief and
practice. International Journal of Special Education.
Sunaryo, 2009. Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan
Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Jurusan
PLB FIP UPI.

56

Anda mungkin juga menyukai