Anda di halaman 1dari 6

III. IV.

Gejala klinis
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran dan usia
pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis dapat berupa nyeri punggung
bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan paha posterior, terutama saat
beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan tingkat pergeseran, meskipun mereka
disebabkan ketidakstabilan segmental. Tanda neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat
selip dan melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai untuk pelampiasan
akar saraf (biasanya S1). (Syaiful, 2008)
Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah:
1

Nyeri punggung bawah.


Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi tulang
belakang lumbal.

Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau kelemahan
pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari saraf dapat menyebabkan
hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih.

Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari punggung
bawah.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang dengan

nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari gejala-gejala


tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang umum di L3-4. Gejalagejala radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral dari facet dan ligamen hipertrofi
dan/ atau disk herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi paling sering dan menyebabkan kelemahan
ekstensor halusis longus. Stenosis pusat dan klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau
mungkin tidak ada.
V. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis.
a. Gambaran klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas.
Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin
bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam
pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik.

Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali
jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan
masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.
b. Pemeriksaan fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat ringan.
Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan tulang belakang
berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri
umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri
tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan,
perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara
langsung diatas defek pada tulang belakang.
Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien,
lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada
posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek
dapat diketahui pada posisi tersebut.
Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada
posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau
tidak mungkin dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negatif.
Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda
equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
c. Pemeriksaan radiologis
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis
spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis harus dilakukan
pada posisi tegak/berdiri.
Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral
persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis.
Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal,
membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih
terbuka pada posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri.

Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis
sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan
pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos.
Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak
mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi
MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat
mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik
dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada pasien dengan
spondilolistesis derajat tinggi.
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan persentase pergeseran
vertebra dibandingkan dengan vertebra di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%
5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari tempatnya.
( www.emedicine.medscape.com )

VI. Pemeriksaan penunjang


Berikut

adalah

pemeriksaan-pemeriksaan

yang

menunjang

diagnosis

spondilolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view
radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat memberikan informasi
tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat
spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
b. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT positif maka lesi tersebut
aktif secra metabolik.
c. Computed tomography (CT) scan

CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memeberikan


gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu menegakkan
penyebab spondilolistesis yang lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga dapat
menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis sentralis.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati (stenosis),
yang dapat timbul pada spondilolistesis.
VII. Penatalaksanaan
A. Non operative
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit neurologis
yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise,
pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen pengobatan
spondilolistesis adalah motivasi pasien. (Japardi, 2002)
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:
Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
Analgetik (misalnya NSAIDs).
Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien muda.
Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang diakibatkan oleh
degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
B. Operative
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas, yang gagal
dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi.
Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip

50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun
tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan
simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada adolescent,
dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna
bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip
lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray.
Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis,
habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown
dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak
perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa approach:
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
(Japardi, 2002)

Anda mungkin juga menyukai