Fraktur adalah Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia
Anderson Price 1985). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 2000 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
2005:543)
B. Etiologi
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan
lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada underlying disesase dan hal ini disebut dengan fraktur
patologis.
C. Insidensi
Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding
dengan patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah.
Deskripsi fraktur
1. Berdasarkan keadaan luka
a. Fraktur tertutup (Closed Fraktur) bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (Open/ Compound Fraktur) bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
2. Berdasarkan garis patah
a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi
yang lain, jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.
b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain,
jadi masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi
pada anak-anak yang lazim di sebut dengan Greenstick Farcture.
3. Berdasarkan jumlah garis patah
a. Simple fraktur bila hanya terdapat satu garis patah.
b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling
berbungan/ bertemu.
c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling
berhubungan dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang
sama, misalnya fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
4. Berdasarkan arah garis patah
a. Fraktur melintang.
b. Farktur miring.
c. Fraktur spiral.
d. Fraktur kompresi.
e. Fraktur V/ Y/ T sering pada permukaan sendi.
Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan dalam patah tulang:
a. Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.
b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah
dan 1/3 distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi medial, tengah,
lateral.
c. Dislokasi fragmen tulang:
- Undisplaced.
- Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.
- Fragmen distal memutar.
- Kedua fragmen saling mendekat dn sejajar.
- Kedua fragmen saling menjauhi dan sumbu sejajar.
4. Gerakan
a. Aktif (tidak bisa fungsio laesa).
b. Pasif gerakan abnormal.
E. Patofisiologi
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum
tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan
keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan
syok hipovolemik.
Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah
cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang
mengakibatkan syok neurogenik.
Kerusakan pada kulit dan jaringan lainnya dapat timbul oleh karena trauma atau
mecuatnya fragmen tulang yang patah. Apabila kulit robek an luka memiliki
hubungan dengan tulang yang patah maka dapat mengakibatkan kontaminasi sehingga
resiko infeksi akan sangat besar.
Sedangkan kerusakan pada system persarafan, akan menimbulkan kehilangan sensasi
yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah yang cidera.
F. Penatalaksanaan
Pada fraktur femur tertutup
1. Dilakukan traksi dengan metode ekstensi Buck atau didahului pemakaran Thomas
splint
2. Tungkai ditraksi dalam keadaan ekstensi
3. Pengobatan non-operatif / operatif. (pada anak-anak biasanya non-operatif)
Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering metode perkin dan metode balance skeletal
traction, pada anak dibawah 3 tahun digunakan traksi kulit Bryant, sedang pada anak
usia 3 13 tahun dengan traksi Russell.
1. Metode Perkin
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor dengan steinman
pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4 bantal. Tarikan pertama 12
mgg lebih sampai terbentuk kalus yang cukup kuat. Sementara itu tungkai bawah
dapat dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
2. Metode Balance Skeletal Traction
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor dengan steinman
pin. Paha ditopang dengan Thomas spint, sedang tungkai bawah lebih sampai
nail.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau cara tertutup. Cara terbuka yaitu dengan
menyayat kulit fasia sampai ke tulang yang patah. Pen dipasang secara retrograd. Cara
interlocking nail dilakukan tanpa menyayat di daerah yang patah. Pen dimasukkan melalui
ujung trokanter mayor dengan bantuan image intensifier. Tulang dapat direposisi dan pen
dapat masuk ke dalam fragmen bagian distal melalui guide tube. Keuntungan cara ini tidak
menimbulkan bekas sayatan lebar dan perdarahan terbatas.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Pemeriksaan dengan sinar X (rontgen) dapat membuktikan fraktur tulang.
2) Scan tulang dapat membuktikan adanya fraktur stress.
3) arteriogram dialakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4)
(perdarahan bermakana pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple.
Peningkatan
jumlah
SDP
adalah
respon
stress
normal
setelah
trauma.
fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan fraktur
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Keterbatasan, kehilangan fungsi pada bagian yang mengalami fraktur.
b. Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari stress).
Penurunan tekanan darah akibat dari kehilangan darah. Penurunan jumlah nadi pada bagian
yang sakit, pemanjangan dari capilarry refill time, pucat pada bagian yang sakit.
Terdapat masaa hematoma pada sisi sebelah yang sakit.
d. Neurosensori
Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada bagian yang
sakit.
Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.
e. Kenyamanan
Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri akibat dari
kerusakan sistem syaraf.
f. Keamanan
Laserasi kulit , perdarahan, perubahan warna.
g. Studi diagnostic
X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.
Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan
mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan. Ateriogram: Mungkin
Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah yang mengalami trauma.
CBC: Mungkin mengalami peningkatan dari Hct, Peningkatan WBC merupakan hal yang
normal setelah mengami trauma.
Creatinine: Trauma pada otot meningkatkan pembuangan creatininke ginjal.
3. Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskotinuitas jaringan tulang,
jaringan lunak di sekitar tulang
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan
adanya penurunan rasa nyeri, pengendalian terhadap spasme dan cara berelaksasi.
Rencana:
1.
Pertahankan
2.
Bantu
3.
posisi
dan
Monitor
atau
imobilisasi
tinggikan
dan
pada
akstrimitas
kaji
bagian
yang
karakteristik
yang
terkait.
mengalami
injuri.
dan
lokasi
nyeri.
Jelaskan
6.
Kaji
pada
pasien
setiap
kemampuan
akan
klien
melakukan
dalam
suatu
ROM
tindakan.
ekstrimitasnya.
7. Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi
nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).
8.
Kolaborasi
dalam
pemberian
analgetik,
antispamodik.
jaringan
oleh
batu,
mekanik
obstruksi,
inflamasi.
secara
normal,
dan
bebas
dari
tanda-tanda
obstruksi.
Rencana:
1.
Monitor
intake
dan
output
dan
kaji
untuk
meningkatkan
karakteristik
konsumsi
urine.
minum.
4. Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di
lakukan
pemeriksan.
5. Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan
adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan
pemberian antibiotik.
7. Observasi keadaan umum pasien, status mental, perilaku dan kesadaran.
c. Resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan (defisit) berhubungan dengan post
obstruktif deurisis, nausea vomiting.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan (defisit) selama di lakukan
tindakan keperawatan.
Rencana:
1. Monitor intake dan output cairan.
2. Kaji dan catat bila terjadi nausea vomiting.
3. Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra indikasi.
4. Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary refill time).
5. Kaji berat badan setiap hari jika memungkinkan.
6.
Kolaborasi
dalam
pemberian
cairan
intra
vena
sesuai
indikasi,
antiemetik.