Anda di halaman 1dari 23

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR


NOMOR 6 TAHUN 2003
TENTANG
IRIGASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang:
a.
bahwa perubahan sistem Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi,
sangat berpengaruh terhadap kebijakan pengelolaan irigasi;
b.
bahwa kebijakan pengelolaan irigasi yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1986 tentang Irigasi di Jawa Timur,
sudah tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah;
c.
bahwa sehubungan dengan maksud tersebut pada huruf a dan b, perlu mengatur
kembali mengenai irigasi dengan menetapkan ketentuan-ketentuannya dalam
Peraturan Daerah.
Mengingat:
1.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur
Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang mengadakan Perubahan
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 dalam hal Pembentukan Propinsi
Jawa Timur;
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043);
3.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
5.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman (Lembaran
Negara Nomor 1347);
6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
7.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
9.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4048);

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

22.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Dampak Lingkungan;


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 52 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4095);
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 77 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4106);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 41 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 143 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4156);
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan kualitas air dan
pengendalian Pencemaran air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 529/KPTS/M/2001
tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi kepada
Perkumpulan Petani Pemakai Air;
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2001 tentang Pedoman
Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 298/KMK.02/2003 tentang Pedoman
Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota;
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelolaan Irigasi
Propinsi dan Kabupaten/Kota;
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 17 Tahun 1994 tentang Penyerahan
sebagian urusan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Dalam Bidang
Pekerjaan Umum Pengairan kepada Daerah Tingkat II (Lembaran Daerah tanggal
2 Mei 1996 Nomor 3 Tahun 1996 Seri D);
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 23 Tahun 2000 tentang Dinas
Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah tanggal 2
Oktober 2000 Nomor 22 Tahun 2000 Seri D).

Dengan persetujuan,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG IRIGASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.

11.

12.
13.
14.

15.
16.
17.
18.
19.

Daerah adalah Propinsi Jawa Timur.


Pemerintah Propinsi adalah Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Jawa Timur.
Dinas adalah Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur.
Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa
Timur.
Pejabat yang ditunjuk adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas yang diberi
tugas untuk melaksanakan penyelenggaraan di bidang irigasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat HIPPA adalah istilah
umum untuk kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai
air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara
demokratis, sesuai tingkatannya yang terdiri dari Gabungan HIPPA, Induk HIPPA
atau Federasi HIPPA.
Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat Gabungan
HIPPA adalah wadah Kelembagaan dari sejumlah HIPPA yang memanfaatkan
fasilitas Irigasi, yang bersepakat bekerja sama dalam pengelolaan pada sebagian
daerah irigasi atau pada tingkat sekunder.
Induk Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut Induk HIPPA adalah
wadah kelembagaan dari sejumlah Gabungan HIPPA yang memanfaatkan fasilitas
irigasi, yang bersepakat, bekerja sama dalam pengelolaan pada satu daerah
irigasi atau pada tingkat induk/primer.
Federasi Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut Federasi HIPPA
adalah Wadah Kelembagaan antar Induk Gabungan HIPPA dalam satu wilayah
daerah irigasi.
Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air adalah Forum Musyawarah dalam rangka
melaksanakan koordinasi tata pengaturan air di wilayah kerja Badan Koordinasi
Wilayah (BAKORWIL) Propinsi Jawa Timur.
Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi adalah tim yang berfungsi membantu Gubernur
dalam koordinasi pengelolaan irigasi di Jawa Timur, yang beranggotakan
Dinas/Instansi/Badan Hukum yang terkait dengan kegiatan irigasi, perguruan
tinggi, LSM dan pemerhati irigasi.
Sumber Air adalah tempat/wadah air baik yang terdapat pada, diatas, maupun
dibawah permukaan tanah.
Air Irigasi adalah semua air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
hujan dan air laut yang dimanfaatkan di darat untuk keperluan irigasi.
Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian,
yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi air tanah, irigasi pompa dan
irigasi tambak.
Daerah Irigasi adalah kesatuan Wilayah yang mendapat air dari satu jaringan
irigasi lintas Kabupaten/Kota.
Jaringan Irigasi adalah : Saluran, bangunan, bangunan pelengkap, dan daerah
sempadan irigasi yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan
air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian,
penggunaan dan pembuangannya, yang melayani lebih dari satu Kabupaten/Kota.

20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

29.
30.
31.

32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.

Jaringan Utama adalah jaringan irigasi yang berada dalam satu sistem irigasi,
terdiri dari bangunan utama, saluran induk primer, saluran sekunder, bangunan
dan bangunan pelengkapnya serta daerah sempadan irigasi.
Bangunan Utama adalah bangunan pengambilan air untuk keperluan irigasi yang
berada pada sungai dapat berupa bendung tetap, bendung gerak, bendungan,
pengambilan bebas.
Petak Irigasi adalah petak lahan yang memperoleh air irigasi.
Penyediaan Air Irigasi adalah penentuan banyaknya air persatuan waktu dan saat
pemberian air yang dipergunakan untuk menunjang pertanian.
Pembagian Air Irigasi adalah penyaluran air dalam jaringan utama.
Pemberian Air Irigasi adalah penyaluran alokasi air dari jaringan utama ke petak
tersier dan kwater.
Penggunaan Air Irigasi adalah pemanfaatan air dilahan pertanian.
Pembuangan/drainase adalah pengaliran kelebihan air irigasi yang sudah tidak
dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.
Forum Koordinasi Daerah Irigasi adalah wadah konsultasi dan komunikasi dari
dan antar HIPPA, Petugas Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota serta
Penggunaan Air Irigasi lainnya dalam rangka pengelolaan irigasi pada suatu
daerah irigasi yang bersifat multiguna, dibentuk atas dasar kebutuhan dan
kepentingan bersama.
Pembangunan Jaringan Irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan
irigasi diwilayah tertentu yang belum ada jaringan irigasinya atau penyediaan
jaringan irigasi untuk menambah luas areal pelayanan.
Pengelolaan Irigasi adalah segala usaha pendayagunaan air irigasi yang meliputi
operasi dan pemeliharaan, pengamanan, rehabiliiasi dan peningkatan Jaringan
Irigasi.
Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah kegiatan pengaturan air dan
jaringan irigasi yang meliputi penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan,
dan pembuangannya, termasuk usaha mempertahankan kondisi jaringan irigasi
agar tetap berfungsi dengan baik.
Pengamanan Jaringan Irigasi adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kerusakan Jaringan Irigasi yang disebabkan oleh daya rusak air, hewan
atau ulah manusia guna mempertahankan fungsi jaringan irigasi.
Garis Sempadan irigasi adalah batas pengamanan bagi saluran dan atau
bangunan pada jaringan irigasi.
Daerah sempadan Irigasi adalah kawasan sepanjang kiri kanan saluran Irigasi
Utama yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi jaringan irigasi.
Rehabilitasi Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna
mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.
Peningkatan Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi dengan
mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi guna
meningkatkan fungsi dan pelayanan irigasi.
Manajemen Aset Irigasi adalah kegiatan inventarisasi, audit, perencanaan,
pemanfaatan, pengamanan asset irigasi dan evaluasi.
Audit Pengelolaan Irigasi adalah kegiatan pemeriksaan kinerja pengelolaan irigasi
yang meliputi aspek organisasi, teknis, dan keuangan, sebagai bahan evaluasi
manajemen aset irigasi.

39.
40.

41.

42.

43.
44.
45.

Pemberdayaan Himpunan Petani Pemakai Air/Gabungan Himpunan Petani


Pemakai Air adalah upaya penguatan peningkatan kemampuan dan penyerahan
kewenangan pengelolaan irigasi.
Penguatan Himpunan Petani Pemakai Air/Gabungan Himpunan Petani Pemakai
Air adalah upaya Pembentukan Himpunan Petani Pemakai Air sebagai badan
hukum yang otonom dan mempunyai hak dan wewenang atas pengelolaan irigasi
diwilayah kerjanya.
Peningkatan Kemampuan Himpunan Petani Pemakai Air/Gabungan Himpunan
Petani Pemakai Air adalah upaya untuk memfasilitasi Himpunan Petani Pemakai
Air dalam mengembangkan kemampuan sendiri di bidang teknis, keuangan,
administrasi dan organisasi, agar dapat mengelola daerah irigasi secara mantap,
mandiri dan berkelanjutan dalam proses yang dinamis dan bertanggung jawab,
sesuai perjanjian penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, rencana
pengelolaan Irigasi tahunan dan rencana manajemen aset.
Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi adalah Pelimpahan hak, wewenang
dan tanggung jawab dari Pemerintah Propinsi melalui Pemerintah Kabupaten/Kota
kepada Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air untuk mengatur pengelolaan
irigasi dan pembiayaan diwilayah kerjanya.
Kemandirian adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berdasarkan
potensi yang dimiliki tanpa ketergantungan kepada pihak lain.
Hak Guna Air Irigasi adalah hak yang diberikan kepada Gabungan Himpunan
Petani Pemakai Air, Badan Hukum, Badan Sosial, Perorangan dan Pemakai Air
Irigasi lainnya untuk memakai air Irigasi guna menunjang usaha pokoknya.
Izin Pengambilan Air Irigasi adalah izin yang diberikan oleh Pejabat yang
mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan irigasi kepada pemegang hak
guna air irigasi untuk mengambil air irigasi guna menunjang usaha pokoknya.
BAB II
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2

Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh,


terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya petani.
Pasal 3
Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan untuk mencapai
hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 4
(1)

Pengelolaan irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan


masyarakat petani dan dengan menempatkan HIPPA sebagai pengambil

(2)

keputusan dan pelaku utama dalam pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung
jawabnya;
Untuk mencapai yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemberdayaan lembaga
HIPPA secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Pasal 5

(1)

(2)
(3)

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan irigasi yang efektif dan efesien


serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat
petani, pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air
permukaan dan air bawah tanah secara terpadu;
Untuk mewujudkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
prinsip satu sistem irigasi, satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan
kepentingan pengguna di bagian hulu, tengah dan hilir secara seimbang;
Untuk mencapai pemanfaatan jaringan irigasi yang optimal, maka
penyelenggaraan pengelolaan irigasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak
yang berkepentingan.
Pasal 6

(1)
(2)

(3)

Keberlanjutan sistem Irigasi dilaksanakan dengan dukungan keandalan air irigasi,


prasarana irigasi yang baik, dan menunjang peningkatan pendapatan petani;
Dalam rangka menunjang peningkatan pendapatan petani sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan mengantisipasi
modernisasi pertanian dan diversifikasi usaha tani dengan dukungan penyediaan
sarana dan prasarana sesuai kebutuhan;
Untuk mendukung efisiensi dan keandalan air irigasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan dengan:
a.
membangun waduk dan atau waduk lapangan.
b.
mengendalikan kualitas dan kwantitas air.
c.
mengupayakan jaringan drainase yang layak.
d.
memanfaatkan kembali air dari saluran pembuangan/drainase;
e.
mentaati pola dan jadwal tanam yang telah ditetapkan.
BAB IV
KEWENANGAN
Pasal 7

(1)

(2)

Pemerintah Propinsi berwenang dalam pengelolaan irigasi meliputi:


a.
bangunan utama pada sungai lintas Kabupaten/Kota;
b.
jaringan irigasi utama pada irigasi lintas;
c.
jaringan irigasi yang diserahkan kewenangan pengelolaannya oleh
Kabupaten/Kota;
Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) Pemerintah Propinsi dapat bekerjasama
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau dengan HIPPA.
Pasal 8

Dalam hal jaringan irigasi yang melewati lebih dari 1 (satu) Propinsi, Pemerintah Propinsi
yang bersangkutan melakukan kerjasama pengelolaan irigasi dengan melibatkan
Kabupaten/Kota dan Gabungan HIPPA yang bersangkutan;
Pasal 9
(1)
(2)

Penetapan jaringan utama ditetapkan oleh Gubernur atau usul Kepala Dinas;
Tata cara dan mekanisme serta penetapan jaringan utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB V
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 10

(1)

(2)
(3)
(4)

(1)
(2)

Lembaga pengelola irigasi meliputi instansi Pemerintah Propinsi, Pemerintah


Kabupaten/Kota, HIPPA atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan
pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya dalam perencanaan,
pembangunan, operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan, dan
pembiayaan jaringan irigasi;
HIPPA dapat membentuk Gabungan HIPPA sampai tingkat daerah irigasi sebagai
lembaga yang berwenang untuk mengatur pengelolaan daerah irigasi sebagai
satu kesatuan pengelolaan;
Dalam rangka koordinasi pengelolaan di Daerah irigasi, yang jaringan utamanya
berfungsi multiguna, dapat dibentuk Forum Koordinasi Pengelolaan Irigasi yang
anggotanya terdiri dari berbagai pihak secara partisipatif;
Mekanisme kerja antar lembaga pengelola irigasi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Gubernur.
Pasal 11
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air Irigasi untuk berbagai keperluan,
dikoordinasikan melalui Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air atau lembaga/Tim
koordinasi Pengelola Irigasi yang dibentuk oleh Gubernur;
Lembaga koordinasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi membantu Gubernur dalam peningkatan kinerja pengelolaan
irigasi, terutama pada bidang penyediaan air irigasi bagi tanaman dan untuk
keperluan lainnya;
BAB VI
PEMBERDAYAAN HIPPA
Pasal 12

(1)
(2)

Pemerintah Propinsi memfasilitasi Pemberdayaan HIPPA yang meliputi penguatan


kelembagaan, penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dan peningkatan
kemampuan dalam bidang teknis pengelolaan irigasi;
Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Gubernur.
BAB VII
PENYERAHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 13
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Pemerintah Propinsi menyerahkan kewenangan pengelolaan irigasi kepada HIPPA


yang berbadan hukum;
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi sebagaimana tersebut pada ayat (1)
dilakukan pada tingkat daerah irigasi atau sebagian daerah irigasi;
Pelaksanaan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dilakukan secara
demokratis dan dengan kesepakatan tertulis sesuai prinsip satu sistem irigasi satu
kesatuan pengelolaan;
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi tidak termasuk penyerahan asetnya;
Kewenangan pengelolaan irigasi pada daerah irigasi multiguna, penyerahannya
dilaksanakan dengan kesepakatan bersama antara Gubernur, Bupati/Walikota,
HIPPA dan pengguna air irigasi lainnya;
Pemerintah Propinsi dapat mengambil kembali kewenangan pengelolaan irigasi
yang telah diserahkan kepada HIPPA apabila berdasarkan audit pengelolaan
irigasi dinyatakan gagal, dan dituangkan dalam berita acara;
Pedoman penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Gubernur.
BAB VIII
POLA PENGATURAN AIR IRIGASI
Bagian Pertama
Hak Guna Air Irigasi
Pasal 14

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Setiap penggunaan air irigasi harus terlebih dahulu mendapatkan hak guna air
irigasi;
Hak Guna Air Irigasi diberikan terutama untuk kepentingan pertanian dengan tetap
memperhatikan kepentingan usaha lainnya
Hak Guna Air Irigasi diberikan berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air pada
daerah pelayanan tertentu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang;
Pembagian dan pemberian air irigasi ditingkat Daerah Irigasi dilaksanakan oleh
HIPPA bersama dengan Pejabat yang ditunjuk berdasarkan prinsip keadilan dan
keseimbangan serta berdasarkan musyawarah para pihak yang berkepentingan;
Pemerintah Propinsi mengupayakan ketersediaan, pengendalian, dan perbaikan
mutu air irigasi.
Pasal 15

(1)

Hak Guna Air Irigasi bagi lahan yang telah ditetapkan karena kepentingan umum
yang lebih utama dan bersifat sementara dapat diizinkan dipergunakan untuk

(2)

kepentingan tersebut berdasarkan ketersediaan dan sesuai dengan prioritas


pengguna air yang telah ditetapkan dengan memperhatikan waktu, ruang, jumlah
dan mutu;
Perubahan Hak Guna Air Irigasi ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 16

(1)
(2)

(3)
(4)

Hak Guna Air Irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diberikan
dalam bentuk izin pengambilan air irigasi oleh Gubernur;
Pemegang izin pengambilan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan jaringan irigasi yang telah ada dengan syarat:
a.
mengikuti sistem distribusi air yang telah ditetapkan untuk daerah irigasi
tersebut;
b.
ikut secara aktif memelihara fungsi jaringan beserta bangunannya;
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dialihkan pada pihak lain;
Tata cara dan mekanisme memperoleh izin pengambilan air irigasi dan Hak Guna
Air Irigasi diatur dengan Keputusan Gubernur.
Bagian Kedua
Penyediaan Air Irigasi
Pasal 17

(1)
(2)

(3)
(4)

Rencana penyediaan/alokasi air irigasi disusun berdasarkan rencana tata tanam


dan pembagian air tahunan yang telah disahkan oleh Komisi Irigasi
Kabupaten/Kota;
Penyediaan air irigasi diarahkan untuk mencapai hasil produksi pertanian yang
optimal dengan tetap memperhatikan keperluan untuk pernukiman, peternakan,
perikanan air tawar, industri dan kelestarian lingkungan hidup dalam suatu daerah
irigasi atau antar daerah irigasi;
Dalam penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau
Kepala Dinas mengusahakan optimalisasi penyediaan air dalam satu daerah
irigasi maupun antar daerah irigasi;
Bila terjadi kebakaran atau bahaya umum lainnya, air irigasi diutamakan untuk
menanggulangi bahaya dimaksud.
Pasal 18

Pada kondisi ketersediaan air terbatas, Gubernur menetapkan penyesuaian alokasi air
bagi pemegang hak guna air sesuai asas keadilan dan keseimbangan.
Bagian Ketiga
Pembagian dan Pemberian Air Irigasi
Pasal 19
(1)

Rencana pembagian air untuk jaringan irigasi yang bersifat multiguna ditetapkan
setiap tahun atas dasar musyawarah antara HIPPA, Pemerintah Propinsi dan

(2)

Pengguna Air lainnya melalui Forum Koordinasi Pengelolaan Irigasi;


Pemanfaatan kelebihan air irigasi di suatu daerah irigasi untuk keperluan tanaman
diluar lahan yang telah ditetapkan dan atau untuk keperluan lainnya dapat
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Dinas.
Pasal 20

(1)

(2)

Dalam hal terjadi tangkis putus dan atau kerusakan bangunan irigasi dan
bangunan pelengkapnya, untuk menghindari kerusakan yang lebih berat, Kepala
Dinas atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk sementara mengurangi atau
menghentikan penyaluran air pada saluran irigasi dimana kerusakan itu terjadi;
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera diberitahukan kepada
Komisi Irigasi setempat dan dilaporkan kepada Gubernur.
Bagian Keempat
Penggunaan Air Irigasi
Pasal 21

Penggunaan air irigasi hanya diperkenankan dengan mengambil air dari saluran tersier,
saluran kwarter atau pada tempat pengambilan lain yang telah ditetapkan oleh Kepaia
Dinas atau Pejabat yang ditunjuk bersama HIPPA.
Bagian Kelima
Drainase
Pasal 22
(1)

(2)

(3)

Untuk mengatur air irigasi secara baik yang memenuhi syarat-syarat teknik irigasi
dan pertanian maka pada setiap pembangunan jaringan irigasi disertai dengan
pembangunan jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan
irigasi yang bersangkutan;
Air irigasi yang disalurkan kembali kesuatu sumber air melalui jaringan drainase
harus dilakukan upaya pengendalian atau pencegahan pencernaran agar
memenuhi
syarat-syarat
kualitas
tertentu
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
HIPPA wajib ikut serta menjaga kelangsungan fungsi jaringan drainase
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
PEMBANGUNAN JARINGAN IRIGASI
Pasal 23

(1)

Rencana induk pengembangan irigasi Propinsi disusun berdasarkan rencana


pengembangan sumberdaya air dan rencana tata ruang wilayah serta
memperhatikan pelestarian sumberdaya air dan ditetapkan dengan Rencana
Strategis;

(2)

Rencana induk pengembangan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didasarkan pada kesepakatan bersama antar sektor, antar wilayah, dan antara
Pemerintah Propinsi, masyarakat dan petani, serta pihak lain yang
berkepentingan.
Pasal 24

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

(6)

Pembangunan jaringan utama diselenggarakan oleh Gubernur berdasarkan


rencana induk pengembangan irigasi yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalarn pasal 23 ayat (1);
Pemerintah Propinsi menyelenggarakan pembangunan jaringan utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kesepakatan dengan
masyarakat;
Pembangunan jaringan irigasi tersier diselenggarakan oleh HIPPA diwilayah
kerjanya;
Pemerintah Propinsi menyelenggarakan pembangunan jaringan irigasi untuk
perluasan area) irigasi diluar wilayah kerja HIPPA berdasarkan kesepakatan
dengan HIPPA dan masyarakat setempat;
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dapat memfasilitasi pembangunan dan
pengembangan jaringan dan perluasan areal irigasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berdasarkan kesepakatan dengan HIPPA dan tetap memperhatikan prinsip
kemandirian;
Badan hukum, badan sosial, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan
lain yang memanfaatkan sumber air dan atau jaringan irigasi dan telah
mendapatkan hak guna air irigasi wajib membangun sendiri jaringan irigasi
berdasarkan rencana induk pengembangan irigasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1).
BAB X
OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI
Bagian Pertama
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab
Pasal 25

(1)
(2)
(3)

HIPPA memiliki wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam operasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi di wilayah kerjanya;
Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang berfungsi multiguna
diselenggarakan oleh HIPPA melalui koordinasi dengan para pengguna air irigasi
lainnya dalam Forum Koordinasi Daerah Irigasi;
Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial,
perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung
jawab pihak yang bersangkutan.
Pasal 26

Untuk penyelenggaraan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dikelola oleh

HIPPA, Pemerintah Propinsi memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan dengan
memperhatikan prinsip kemandirian.
Bagian Kedua
Pengeringan Jaringan Irigasi
Pasal 27
(1)
(2)

(3)

HIPPA bersama dengan Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan waktu dan
bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan untuk keperluan pemeriksaan dan
atau perbaikan;
Waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang akan dikeringkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus ditentukan secara tepat dan
diberitahukan kepada pengguna selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum
pelaksanaan pengeringan;
Untuk masa pengeringan yang lebih lama dari 2 (dua) minggu hanya dapat
dilaksanakan dengan kesepakatan bersama antar pengguna.
Bagian Ketiga
Pengamanan Jaringan Irigasi
Pasal 28

Dalam rangka operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, HIPPA, badan hukum, badan
sosial, perorangan, dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya bersama-sama
Pemerintah Propinsi bertanggung jawab melakukan pengamanan jaringan irigasi untuk
menjamin kelangsungan fungsinya .
Pasal 29
(1)
(2)

(3)

Sebagai usaha pengamanan jaringan irigasi beserta bangunan-bangunannya


ditetapkan garis sempadan irigasi untuk pendirian bangunan dan untuk
pembuatan pagar;
Garis sempadan Irigasi untuk mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diukur dari tepi atas saluran untuk yang tidak bertanggul atau kaki tangkis
saluran/bangunan/ Jalan Inspeksi bagian luar dengan jarak :
a.
5 (lima) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4
m3/detik atau lebih;
b.
3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1
sampai 4m3/detik;
c.
2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan
kurang dari 1m3/detik.
Garis sempadan irigasi untuk membuat pagar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diukur dari tepi atas saluran yang tidak bertanggul atau dari kaki tangkis
saluran/bangunan/jalan inspeksi bagian luar dengan jarak:
a.
3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana tersebut
pada ayat (2) huruf a;
b.
2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana tersebut

c.

pada ayat (2) huruf b;


1 (satu) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana tersebut
pada ayat (2) huruf c.
BAB XI
REHABILITASI DAN PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI
Pasal 30

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

HIPPA memiliki wewenang tugas dan tanggung jawab dalam rehabilitasi dan
peningkatan jaringan irigasi di wilayah kerjanya;
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi memberikan bantuan dan fasilitasi kegiatan
rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian;
Rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial,
perorangan, dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan
Perubahan dan atau pembongkaran jaringan irigasi yang mengubah bentuk dan
fungsi jaringan harus mendapat izin dari Gubernur;
Pendirian, perubahan dan atau pembongkaran bangunan-bangunan lain selain
dari yang dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berada didalam, diatas maupun
yang melintasi saluran irigasi harus mendapat izin dari Gubernur;
Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus
mempertimbangkan masukan dari Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi Propinsi
Jawa Timur.
BAB XII
INVENTARISASI DAERAH IRIGASI
Pasal 31

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Inventarisasi daerah irigasi meliputi kegiatan pencatatan/pendataan fisik, kondisi


dan fungsi jaringan irigasi, ketersediaan air, areal pelayanan serta lembaga
pengelolaan irigasi;
Inventarisasi daerah irigasi merupakan salah satu persyaratan dalam penyerahan
kewenangan pengelolaan irigasi;
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama HIPPA
melakukan inventarisasi daerah irigasi sesuai kewenangannya;
Pemerintah Propinsi melaksanakan kompilasi data dan menetapkan daftar
inventarisasi daerah irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun dan
ditetapkan oleh Gubernur setiap 5 (lima) tahun sekali.
BAB XIII
AUDIT PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 32

(1)

(2)
(3)

Pemerintah Propinsi melakukan audit pengelolaan irigasi untuk menjamin


kesesuaian
antara
pelaksanaan
pengelolaan
dengan
peraturan
perundang-undangan bidang irigasi dan kesepakatan yang mengikat antara
Pemerintah Propinsi dan HIPPA;
Audit pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setiap tahun dengan didampingi HIPPA;
Tata cara dan mekanisme mengenai pelaksanaan audit pengelolaan irigasi akan
diatur tebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB XIV
MANAJEMEN ASET IRIGASI
Pasal 33

(1)
(2)

(3)

(4)
(5)

Perencanaan manajemen aset jaringan irigasi merupakan kegiatan rencana


pelaksanaan serta pembiayaan operasi dan pemeliharaan rehabilitasi, dan
peningkatan serta keberlanjutan fungsi jaringan irigasi;
Rencana manajemen aset jaringan irigasi yang kewenangan pengelolaannya
sudah diserahkan, disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama HIPPA dan
pengguna air irigasi lainnya dan dibahas oleh Komisi Irigasi berdasarkan hasil
inventarisasi dan berita acara penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi;
Rencana manajemen aset pada jaringan irigasi yang kewenangan pengelolaannya
belum diserahkan, disusun oleh Pemerintah Propinsi bersama HIPPA dan
pengguna air irigasi lainnya berdasarkan hasil inventarisasi dan dibahas oleh Tim
Koordinasi Pengelolaan Irigasi Propinsi Jawa Timur;
Rencana manajemen aset jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota;
Rencana manajemen aset jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Gubernur;
Pasal 34

(1)
(2)

Gubernur atau Kepala Dinas melaksanakan evaluasi manajemen aset jaringan


irigasi setiap 5 (lima) tahun sekali;
Gubernur atau Kepala Dinas berdasarkan hasil evaluasi manajemen aset
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperbaharui rencana manajemen
aset.
BAB XV
PEMBIAYAAN
Pasal 35

(1)
(2)

Pembiayaan pembangunan jaringan irigasi utama ditanggung oleh Pemerintah


Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan kesepakatan;
Masyarakat yang akan memperoleh manfaat karena adanya bangunan jaringan
irigasi dimaksud pada ayat (1) dapat diikut sertakan dalam pembiayaan untuk
pembangunan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya;

(3)
(4)
(5)

Pembiayaan pengelolaan irigasi yang telah diserahkan, menjadi tanggung jawab


HIPPA di wilayah kerjanya secara otonom dan mandiri;
Dengan memperhatikan prinsip kemandirian, Pemerintah dan Pemerintah Propinsi
dapat membantu dalam penyediaan dana pengelolaan irigasi yang telah
diserahkan berdasarkan kesepakatan dengan HIPPA;
Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial,
perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung
jawab pihak yang bersangkutan.
Pasal 36

(1)

(2)
(3)
(4)

Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35


ayat (4) disalurkan rnelaiui dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota setelah
mendapatkan rekomendasi dari Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi Propinsi Jawa
Timur;
HIPPA berhak mengajukan usulan dana pengelolaan irigasi kepada Komisi Irigasi
Kabupaten/Kota;
Prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota ditentukan oleh Komisi
Irigasi berdasarkan prinsip keadilan dan transparansi;
Penggunaan dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi dari Komisi Irigasi.
BAB XVI
KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI
Pasal 37

(1)

(2)

Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat sesuai dengan


kewenangannya mempertahankan sistem irigasi secara berkelanjutan dengan
mewujudkan kelestarian sumber daya air, melakukan pemberdayaan HIPPA,
mencegah alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain dan mendukung
peningkatan pendapatan petani;
Untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Gubernur atau Kepala Dinas melakukan pengaturan, dan bersama Pemerintah
Kabupaten/Kota serta masyarakat melakukan penegakan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan irigasi.
BAB XVII
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Pasal 38

(1)
(2)

Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan


pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan irigasi
termasuk alih fungsi lahan;
Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan
kegiatan penertiban, pengawasan dan pengamanan terhadap prasarana jaringan
irigasi dan menegakkan peraturan perundang-undangan bidang irigasi yang

berlaku.
Pasal 39
Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota HIPPA, badan hukum, badan
sosiai, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menyediakan
informasi pengelolaan irigasi dan memberikan dukungan dalam pelaksanaan
pengendalian dan pengawasan.
BAB XVIII
LARANGAN-LARANGAN
Pasal 40
Dalam rangka menjaga kelestarian air dan jaringan irigasi dilarang :
a.
menyadap air dari sungai dan saluran pembawa, selain pada tempat yang sudah
ditentukan;
b.
membuang benda-benda padat dengan atau tanpa alat-alat mekanis yang dapat
berakibat menghambat aliran, mengubah sifat air serta merusak jaringan irigasi;
c.
membuat galian
atau
membuat selokan
sepanjang
saluran
dan
bangunan-bangunannya pada jarak tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya
kebocoran dan dapat mengganggu stabilitas saluran dan bangunan-bangunannya;
d.
menggembalakan, menambatkan atau menahan hewan atau ternak di dalam
daerah sempadan saluran;
e.
merusak dan atau mencabut rumput atau tanaman yang ditanam pada
tangkis-tangkis saluran dan bangunan yang berguna untuk konservasi;
f.
membudidayakan tanaman pada tangkis-tangkis saluran, berem dan alur-alur
saluran;
g.
menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan cara apapun;
h.
mendirikan bangunan di dalam daerah sempadan saluran kecuali bangunan yang
mendukung pelaksanaan pengelolaan irigasi.
Pasal 41
Tanpa izin Gubernur atau Kepala Dinas, dilarang :
a.
mengadakan perubahan dan atau pembongkaran bangunan-bangunan dalam
jaringan irigasi maupun bangunan pelengkapnya;
b.
mendirikan, mengubah ataupun membongkar bangunan-bangunan lain dari pada
yang tersebut pada huruf a, yang berada didalam, diatas maupun melintasi
saluran irigasi;
c.
membuang limbah/benda-benda cair yang dapat mengubah kwalitas air di jaringan
irigasi;
d.
mengambil bahan-bahan galian C berupa pasir, kerikil, batu atau hasil alam yang
serupa dari jaringan irigasi.
BAB XIX
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 42
Terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 40 huruf c dan h serta Pasal
41 huruf b dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pembongkaran bangunan.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 43
(1)
(2)

Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 14 ayat 1, 16, 21, 29 ayat (2)
dan (3), 40 dan 41, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XXI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 44

Selain oleh pejabat penyidik umum, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43, dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 45
(1)

(2)

Dalam melaksanakan tugas penyidikan para pejabat sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 44, berwenang :
a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b.
melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c.
menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
dari tersangka;
d.
melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e.
mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.
memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h.
mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan
hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
i.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1986 tentang Irigasi di Jawa Timur dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 47
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai
pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 48
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur.
Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 13 Oktober 2003
GUBERNUR JAWA TIMUR
ttd.
IMAM UTOMO. S
Diundangkan di Surabaya
Pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS DAERAH
PROPINSI JAWA TIMUR
ttd.
H. SOEKARWO, SH, M.Hum
LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2003 NOMOR 2 TAHUN 2003
SERI E.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR
NOMOR 6 TAHUN 2003
TENTANG
IRIGASI
I.

PENJELASAN UMUM

Menyadari bahwa peran sektor pertanian dalam struktur dan perekonomian


asional sangat srategis dan kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air, maka
jasi sebagai salah satu sektor pendukung keberhasilan pembangunan pertanian
ikan tetap mempunyai peran yang sangat penting.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan di tetapkan bahwa Pemerintah menetapkan tatacara pembinaan dalam
rangka kegiatan Pengairan menurut bidangnya masing-rnasing sesuai dengan
fungsi-fungsi dan peranannya termasuk di dalamnya bidang irigasi.
Dalam rangka reformasi bidang irigasi serta sejalan dengan perubahan 5
paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan
Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2001 tentang Irigasi. Pada dasarnya reformasi bidang irigasi ditekankan
pada upaya pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI) yang mencakup:
redefinisi wewenang, tugas, dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi,
pemberdayaan mayarakat petani pemakai air, pengaturan penyerahan
kewenangan pengelolaan irigasi, pendanaan pengelolaan irigasi, serta
keberlanjutan sistem irigasi.
Khususnya dalam penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, pelaksanaannya
tidak dapat dipisahkan dari kebijakan yang tertuang pada PKPI tersebut di atas.
Bahwa Propinsi Jawa Timur sebelum di berlakukannya Otonomi Daerah, telah
menyerahkan urusan irigasi kepada Kabupaten sebagai tindak lanjut Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 dan telah di tetapkan melalui Peraturan Daerah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 17 Tahun 1994 tentang Penyerahan
sebagian urusan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dalam bidang
Pekerjaan Umum Pengairan kepada Daerah Tingkat II.
Sebagian urusan di bidang Pekerjaan Umum Pengairan diserahkan dari
pemerintah Daerah Tingkat I kepada Daerah Tingkat II adalah urusan irigasi pada
daerah irigasi yang secara utuh berada dalam wilayah kerja Daerah Tingkat II yang
bersangkutan (bagi daerah irigasi yang lintas kewenangan pengelolaannya tetap
pada Pemerintah Propinsi).
Dengan di berlakukannya Undang-undang 22 Tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun
2001 tentang irigasi, maka dalam penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi
Pemerintah Propinsi Jawa Timur menyesuaikan dengan paradigma baru yaitu
pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI).
Didalam Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA) Propinsi Jawa Timur
2001-2005 yang telah di tetapkan melalui Perda Propinsi Jawa Timur Nomor 19
Tahun 2001, bahwa salah satu strategi pembangunan Propinsi Jawa Timur dalam
percepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan produktifitas dilaksanakan
melalui salah satu program yaitu ketahanan pangan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, meningkatkan produktifitas serta
meningkatkan pendapatan petani di daerah, maka di dalam pelayanan irigasi
harus beroientasi antara lain: kepada kebutuhan petani, pemberdayaan
masyarakat petani dalam mengelola air dan jaringan irigasi di wilayah kerjanya
serta penggalian sumber pendapatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
petani.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas dan dalam rangka memperjelas


kewenangan pengelolaan irigasi oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota,
maka perlu diatur dan ditetapkan didalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur.
II.

PENJELASAN PASAL
Pasal 1 s.d. 3 :
Cukup jelas.
Pasal 4 ayat (1) :

Ayat (2):

Pengelolaan Jaringan Irigasi Lintas Kabupaten/Kota yang


bukan Saluran Induk akan diserahkan kepada HIPPA sesuai
kondisi dan kemampuan HIPPA yang bersangkutan serta
persyaratan yang telah ditetapkan. Pengelolaan Irigasi yang
menjadi tanggung jawab HIPPA adalah satu atau sebagian
Daerah
Irigasi
tertentu
yang
sudah
diserahkan
pengelolahannya secara demokratis dari Pemerintah Propinsi
kepada HIPPA.
Pemberdayaan HIPPA secara berkesinambungan dan
berkelanjutan
adalah
memfasilitasi,
mengembangkan
kemampuan HIPPA di bidang teknis, keuangan, managerial,
administrasi organisasi, secara mantap menjadi organisesi
yang mandiri, dan memberikan kemudahan/peluang untuk
membentuk Unit Usaha ekonomi secara demokratis.

Pasal 5 :

Cukup jelas.

Pasal 6 ayat (1):

Keberlanjutan sistem irigasi dapat berlangsung jika didukung


dengan :
a.
keandalan air irigasi yaitu kondisi/keadaan dimana air
irigasi dapat tersedia dalam jumlah, waktu, tempat dan
mutu sesuai dengan kebutuhan tanaman produksi yang
optimal. Keandalan air irigasi sistem irigasi untuk
menghasilkan produksi yang optimal. Keandalan air
irigasi merupakan keandalan menghadapi keadaan
kekurangan
dan
kelebihan
air
yang
dapat
menyebabkan terjadinya penurunan produksi;
b.
prasarana irigasi yang baik berfungsi sesuai dengan
kebutuhan petani, pengguna teknologi tepat guna, dan
berwawasan lingkungan.
Cukup jelas.

Ayat (2) s.d.(3):


Pasal 7 ayat (1) :

Ayat (2):

Propinsi berwenang dalam pengelolaan bangunan utama di


sungai yang meliputi bangunan pengambilan untuk daerah
irigasi lintas maupun non lintas Kabupaten/Kota yang berada
pada sungai yang melintasi Kabupaten/Kota.
Cukup jelas.

Pasal 8 s.d. 11 :

Cukup jelas.

Pasal 12 ayat (1):

Pemberdayaan HIPPA pada wilayah kerja dalam satu

Ayat (2) :
Pasal 13 ayat (1):

Ayat (2) :

Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah


Kabupaten/Kota dan yang wilayah kerjanya lintas
Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Penguatan HIPPA adalah kegiatan yang mencakup fasilitasi
pembentukan HIPPA secara demokratis dan mendorong
terbentuknya HIPPA sebagai badan hukum yang mempunyai
hak dan wewenang atas pengelolaan irigasi di wilayah
kerjanya.
Sedangkan peningkatan kemampuan HIPPA adalah kegiatan
fasilitasi antara lain pelatihan, bimbingan, pendampingan,
penyuluhan, dan kerjasama pengelolaan, yang dilaksanakan
secara terus menerus dan berkesinambungan.
Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan
kemampuan HIPPA di bidang teknis, keuangan, manajerial
administrasi dan organisasi sehingga dapat mengelola daerah
irigasi secara mandiri dan berkelanjutan.
Cukup jelas.
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dari Pemerintah
Propinsi kepada HIPPA melalui Pemerintah Kabupaten/Kota
merupakan suatu kepastian yang dilaksanakan dalam satu
rangkaian kegiatan pemberdayaan HIPPA. Pengelolaan
jaringan irigasi lintas kabupaten/Kota akan diserahkan kepada
HIPPA sesuai kondisi dan kemampuan HIPPA yang
bersangkutan serta persyaratan yang telah ditetapkan, kecuali
saluran induk/primer yang rawan konflik kepentingan.
Penyerahan kewenangan pengeiolaan irigasi dilaksanakan
pada daerah irigasi yang telah terbentuk :
a.
Federasi HIPPA yang mempunyai wilayah kerja
satu daerah irigasi;
b.
Induk HIPPA pada daerah pelayanan primer; atau
c.
Gabungan HIPPA pada daerah pelayanan sekunder
sesuai kesepakatan yang dicapai antara Pemerintah
Propinsi dengan HIPPA yang bersangkutan Adapun
bagi HIPPA yang telah diserahi kewenangan ternyata
belum mampu mengelola irigasi secara mandiri,
Pemerintah Propinsi tetap berkewajiban memberikan
bantuan dan fasilitasi dalam bentuk kerjasama
pengelolaan sesuai kesepakatan bersama.
Bentuk kesepakatan, pemberian bantuan, dan fasilitasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dilakukan
secara dialogis, transparan, dan akuntabel.
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi tidak
termasuk penyerahan aset jaringan irigasi sehingga
aset jaringan tetap merupakan milik Pemerintah
Propinsi.
Sebagian daerah irigasi adalah daerah pelayanan irigasi

Ayat (3) :

Ayat (4) s.d.(7):


Pasal 14 ayat (1):

sekunder atau daerah pelayanan irigasi primer.


Kesepakatan tertulis adalah dokumen yang memuat peran,
hak wewenang, dan tanggung jawab HIPPA tingkat daerah
irigasi dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan irigasi
setelah penyerahannya dan ditandatangani oleh Pemerintah
Daerah dan ketua Perkumpulan HIPPA tingkat daerah irigasi.
Cukup jelas.
Hak guna air irigasi terutama dimaksudkan untuk mem berikan
kepastian dan perlindungan kepada masyarakat petani
pemakai air.

Ayat (2):

Cukup jelas.

Ayat (3):

Pemberian hak guna air irigasi memperhatikan potensi


sumber air di wilayah irigasi tersebut dengan maksud
memberikan kepastian bagi petani dalam merencanakan jenis
tanaman yang dikehendaki.
Sumber air meliputi air permukaan dan air bawah tanah.

Ayat (4) s.d.(5) :

Cukup jelas.

Pasal 15 s.d. 16 :

Cukup jelas.

Pasal 17 ayat (1):

Perencanaan penyediaan air irigasi tahunan disesuaikan


dengan ketersediaan yang didasarkan pada tempat, waktu,
jumlah, dan mutu yang diperlukan sesuai kebutuhan bagi
semua tanaman menurut tata tanam yang telah disepakati.

Ayat (2) s.d. (4):

Cukup jelas

Pasal 18 s.d 27:

Cukup jelas

Pasal 28

Guna menjamin kelangsungan fungsi jaringan irigasi maka


HIPPA, badan hukum, badan sosial, perorangan, dan pemakai
air irigasi untuk keperluan lainnya bersama-sama dengan
masyarakat di sekitar jaringan irigasi dan Pemerintah Daerah
melakukan upaya pengamanan jaringan irigasi dari
kerusakan- kerusakan yang timbul akibat daya rusak air,
manusia, dan atau hewan.

Pasal 29

Pasal 30 ayat (1) :


Ayat (2) :

Cukup jelas
Cukup jelas
Bantuan dan fasilitasi dalam rehabilitasi dan peningkatan
jaringan irigasi kepada HIPPA dituangkan dalam rencana

kerja, pembagian tugas, pelaksanaan dan pembiayaannya


disepakati bersama antara HIPPA dan Pemerintah Daerah
atau pihak lain.
Pihak lain adalah perorangan, badan hukum, dan badan
sosial.
Ayat (3) s.d.(6): Cukup jelas
Pasal 31 ayat (1)

: Kegiatan inventarisasi yang dimaksud meliputi pengumpulan,


pengolahan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemutakhiran
data serta informasi lain yang ada kaitannya dengan jaringan
irigasi.
Inventarisasi dilaksanakan pada seluruh daerah irigasi yang
akan digunakan antara lain dalam penyusunan alokasi air
dalam rangka hak guna air irigasi, perhitungan alokasi dana
pengelolaan irigasi, dan sebagai dasar perencanaan dan
pengendalian.

Ayat (2) s.d.(5): Cukup jelas


Pasal 32 ayat (1)

: Cukup jelas

Ayat (2)

: Dalam hal melakukan audit kelembagaan, keuangan, dan


teknis pelaksanaan pengelolaan irigasi, Pemerintah Daerah
didampingi HIPPA melakukan penelusuran jaringan irigasi
dan pengawasan kinerja jaringan irigasi.

Pasal 33 ayat (1)

: Hasil perencanaan manajemen aset akan digunakan


sebagai bahan penyusunan program pengelolaan irigasi.

Ayat (2) s.d.(5): Cukup jelas.


Pasal 34 s.d. 36

: Cukup jelas.

Pasal 37 ayat (1)

: HIPPA ikut menjaga keberlanjutan dari fungsi jaringan


irigasi dan menyelenggarakan pengelolaan irigasi yang
baik dalam kegiatan pembangunan, rehabilitasi, ataupun
peningkatan jaringan irigasi yang dilaksanakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan secara
partisipasi, dengan menempatkan HIPPA sebagai
pengambil keputusan sejak tahap perencanaan sampai
dengan tahap pelaksanaannya.
: Cukup jelas.

Ayat (2)

Pasal 38 s.d. 48 : Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai