SGD 7
Kadek Lisa Dwi Budayani
1302105009
1302105018
1302105020
1302105042
1302105049
1302105067
Ni Luh Trisnawati
1302105079
1302105085
1302105088
1302105089
1. TUJUAN TUGAS
Setelah mengerjakan tugas mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami
tentang Pemeriksaan Fisik Organ Sensori Persepsi.
2. URAIAN TUGAS
Buatlah resume mengenai pemeriksaan fisik pada sistem sensori persepsi yang
meliputi:
1. Pemeriksaan pupil
2. Pemeriksaan visus dengan snellen chart (termasuk pemeriksaan pada orang
3.
4.
5.
6.
7.
buta huruf)
Tes lapang pandang
Tes buta warna
Tes pendengaran (rinne, weber & swabach)
Tes pengecapan
Tes penciuman
PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan Pupil
Pupil adalah lubang di pusat iris mata. Lubang itu bisa mengembang dan menguncup
seiring dengan aktivitas muskulus dilatators dan muskulus sfingter pupilae. Pupil norma
memiliki diameter yang berkisar antara 2-6 mm. rata-rata diameter pupil adalah 3,5 mm.
pupil yang sempit atau mengecip disebut dengan miosis dan pupil yang melebar disebut
dengan midriasis. Pada keadaan nyeri, ketakutan dan cemas akan terjadi midriasis,
sedangkan dalam keadaan tidur, koma yang dalam dan tekanan intracranial yang
meninggi terjadi miosis. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil meliputi 1) observasi bentuk
dan ukuran pupil, 2) perbandingan pupil kanan dan kiri, 3) pemeriksaan refleks pupil.
a. Alat dan Bahan
: pen light
b. Tahap persiapan
:
Identifikasi kebutuhan pemeriksaan pupil pada klien
Identifikasi adanya faktor kontraindikasi
Jelaskan tujuan, prosedur, waktu, dan hal yang harus dilakukan klien
Siapkan pen light
Cuci tangan
c. Prosedur pemeriksaan pupil
Lihat diameter pupil klien (normal 3,5 mm)
Bandingkan diameter pupil mata kanan dan kiri (isokor atau anisokor)
Lihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak
Atur pencahayaan ruangan tempat pemeriksaan, ruangan sedikit digelapkan
Beritahu klien untuk memandang jauh kedepan, agar refleks pupil akomodatif
tidak mempengaruhi hasil tes reaksi pupil terhadap cahaya
Periksa reflek pupil terhadap cahaya langsung :
Sorotkan cahaya kearah pupil lalu amati ada tidaknya miosis dan amati apakah
pelebaran pupil segera terjadi ketika cahaya dialihkan dari pupil.
Periksa reflek pupil terhadap cahaya tidak langsung
Amati perubahan diameter pupil pada mata yang tidak disorot cahaya ketika
mata yang satunya mendapatkan sorotan cahaya langsung.
(misalnya 20/40). Nilai pertama adalah jarak tes dalam kaki antara kartu Snellen dan
pasien, dan nilai kedua adalah baris huruf terkecil yang dapat dibaca mata pasien dari
jarak tes. Bila pasien dapat membaca sampai baris paling bawah maka visusnya 6/6
atau normal. Bila tidak bisa membaca sampai baris paling bawah maka pasien akan
dinilai sampai barisan mana yang dapat dibacanya misalnya 20/60 berarti bahwa
mata pasien hanya dapat membaca dari jarak 20 kaki huruf yang cukup besar untuk
klien
mengenai
prosedur
pemeriksaan,
seperti
pemeriksaan
dengan
menggunakan E-chart pemeriksa menjelaskan pada pasien bahwa saat tes dimulai dan
pemeriksa mulai menunjuk salah satu E-chart tersebut, pasien harus menyebutkan
kearah mana kaki dari E-chart misalnya kaki E-chart kearah bawah, atas, kiri atau
kanan. Sedangkan untuk pemeriksaan visus yang dilakukan pada anak kecil yang
belum mengetahui huruf-huruf dapat menggunakan Figure seperti gambar-gambar
binatang.
Gambar : E-chart
Total blindness
: tidak mampu melihat secara total
Hemianopsia
: tidak mampu melihat sebagian lapang pandang
Homonymous hemianopsia
Homonymous quadratanopsia
Intepretasi
Dikatakan normal apabila klien dan pemeriksa mampu melihat jari pemeriksa
secara bersamaan.
4. Tes Buta Warna
Dengan menggunakan buku ishihara, lakukan tes buta warna dengan cara
meminta penderita membaca dan menyebutkan angka yang tampak pada setiap
halaman buku. Pemeriksaan ishihara merupakan uji untuk mengetahui adanya defek
penglihatan warna, didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu
dengan berbagai ragam warna.
Metode Ishihara yaitu metode yang dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat
suatu kelainan buta warna didasarkan pada pengunaan kartu bertitik-titik. Kartu ini
disusun dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna.
Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna dengan memakai satu seri gambar
titik bola kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar pseudokromatik), sehingga
dalam keseluruhan terlihat warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan
penglihatan warna melihatnya. Penderita buta warna atau dengan kelainan penglihatan
warna dapat melihat sebagian ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang
diperlihatkan. Pada pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar
yang diperlihatkan dalam waktu 10 detik. Penyakit tertentu dapat terjadi ganguan
penglihatan warna seperti buta warna merah dan hijau pada atrofi saraf optik, optik
neuropati toksi dengan pengecualian neuropatiiskemik, glaukoma dengan atrofi optik
yang muncul lebih jelas dibandingkan dengan warna merah-hijau. Tapi ada juga
beberapa kelompok orang yang sangat jarang yang menderita buta warna total dan
tidak bisa membedakan variasi warna sama sekali. Biasanya, itu disertai dengan
kerusakan pusat penglihatan.
Plat No. 2-5 : orang normal akan membacanya 8 (no.2), 6 (no.3), 29 (no. 4) dan 57
(no.5). Mereka yang menderita gangguan penglihatan merah-hijau akan membacanya
3 (No.2), 5(No.3), 70 (No.4) dan 35 (No.5). Mereka yang buta warna tidak bisa
membaca nomor apapun. Plat nomor 2, 3, 4 dan 5 terlihat pada gambar 3, 4, 5, 6.
Plat No. 6-9 : Orang normal akan membacanya 5 (No.6), 3 (No.7), 15(No.8) dan 74
(No.9). Mereka yang menderita gangguan penglihatan merah-hijau akan membacanya
2 (No.6), 5 (No.7), 17 (No.8) dan 21 (No.9). Mereka yang buta warna tidak bisa
membaca nomer apapun. Plat nomer 6, 7, 8 dan 9 terlihat pada gambar 7, 8, 9 dan 10
Plat No.26 &27 :Dalam menemukan lilitan garisgaris antara dua x, orang normal
akan
yang parah hanya garis ungu yang ditemukan, dan untuk kasus protanomalia yang
ringan, kedua garis dapat ditemukan, namun garis ungu lebih mudah untuk diikuti.
Untuk kasus deuteranopia dan deuteranomalia yang parah hanya garis merah yang
ditemukan, dan untuk deuteranomalia yang ringan kedua garis dapat ditemukan,
namun garis merah lebih mudah diikuti. Plat nomer 26 dan 27 terlihat pada
gambar 27 dan 28.
No.28 &29 :Dalam menemukan lilitan garis antara dua x, sebagian besar dari
penderita gangguan panglihatan merah-hijau akan mengikuti garis. Tapi sebagian
besar orang normal dan buta warna tidak bisa mengikuti garisnya. Plat nomer 28
dan 29 terlihat pada gambar 29 dan 30.
Plat No.30 &31 :dalam menemukan lilitan garis antara dua x, orang normal
menemukan garis hijau kebiru-biruan, tapi sebagian besar orang dengan
gangguan penglihatan warna tidak bisa mengikuti garis atau mengikuti garis tapi
berbeda garis dengan yang normal. Plat nomer 30 dan 31 terlihat pada gambar 31
dan 32.
Plat No.32 &33 :dalam menemukan lilitan garis antara dua x, orang normal akan
menemukan garis orange, tapi sebagian besar penderita gangguan penglihatan
warna tidak bias mengikuti garis atau mengikuti garis tapi berbeda garis dengan
yang normal. Plat nomer 32 dan 33 terlihat pada gambar 33 dan 34
Plat No 34 &35 :Dalam menemukan lilitan garis antara dua x, orang normal akan
menemukan garis yang menghubungkan warna hijau kebiru-biruan dan hijau
kekuning-kuningan. Dan penderita gangguan penglihatan merah-hijau menemukan
garis yang menghubungkan warna hijau kebiru-biruan dengan ungu, dan orang
buta warna tidak bisa menemukan garis. Plat nomer 34 dan 35 terlihat pada gambar
35 dan 36
Plat No.36 &37 :Dalam menemukan lilitan garis antara dua x, orang normal akan
menemukan garis yang menghubungkan warna ungu dan orange, dan penderita
gangguan penglihatan merah-hijau menemukan garis yang menghubungkan warna
ungu dan hijau kebiru-biruan, dan orang buta warna tidak bisa menemukan garis.
Plat nomer 36 dan 37 terlihat pada gambar 37 dan 38
Plat No. 38 :Dalam menemukan lilitan garis antara dua x, orang normal dan
penderita
Mesin Inferensi
Mesin Inferensi disusun untuk menangani penalaran dengan menggunakan isi daftar
aturan berdasarkan urutan tertentu. Pada sistem pakar kebutaan warna ini
menggunakan mekanisme inferensi untuk pengujian aturan dengan teknik penalaran
maju (Forward Reasoning) Selama proses konsultasi antara sistem dan User, mesin
Inferensi menguji aturan satu demi satu. Saat tiap aturan diuji sistem pakar akan
mengevaluasi apakah kondisinya benar atau salah. Semua jawaban atas kondisi benar
atau salah disimpan, kemudian aturan berikutnya diuji. Proses ini akan berulang
sampai seluruh basis aturan teruji dengan berbagai kondisi.
Interpretasi :
Tes Rinne (+) : bila masih terdengar
Tes Rinne (-) : bila tak terdengar lagi
b. Tes Webber
Tes Webber adalah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dan telinga kanan. Prosedur pemeriksaannya yaitu :
Beritahu klien tujuan dari pemeriksaan yaitu untuk membandingkan daya
transport melalui tulang di telinga kanan dan kiri klien
Getarkan garpu tala kemudian diletakkan di dahi, rahang bawah atau di ubun-ubun
klien
Interpretasi :
Normal : kiri dan kanan terdengar sama keras atau tidak ada lateralisasi
Kelainan : bila terdapat tuli konduktif maka akan lateralisasi ke telinga
yang mengalami gangguan. Bila terdapat tuli sensori neural maka aka nada
Intepretasi
Normal : suara garputala sama dengan pemeriksa
Schwabach memendek : bila pemeriksa masih dapat mendengar
garputala
Schwabcah memanjang
garputala
6. Tes Pengecapan
Lidah sebagai indera pengecap mempunyai taste buds yang meliputi seluruh
permukaannya. Taste buds mengandung beberapa reseptor rasa yaitu asam, asin,
manis, pahit, dan umami. Sensitivitas indera pengecap dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya adalah kebiasaan merokok yang merupakan potensi paling besar
menyebabkan sensitivitas indera pengecap menurun.
Alat dan bahan : gula, kopi, garam, asam
Tahap persiapan
Identifikasi kebutuhan pemeriksaan pengecapan pada klien
Identifikasi adanya faktor kontraindikasi
Jelaskan tujuan, procedure, waktu dan hal yang perlu diperhatikan klien
Siapkan posisi duduk pada klien
Pemeriksaan sensorik
Minta pemeriksa menjulurkan lidah
Letakkan gula, garam atau sesuatu yang pahit pada sebelah kiri dan kanan
2/3 bagian depan lidah
Minta penderita untuk menuliskan apa yang dirasakannya pada secarik
kertas.
Pada saat dilakukan pemeriksaan, klien diharapkan terus menjulurkan lidah,
klien tidak diperkenankan bicara dan tidak diperkenankan menelan.
Interpretasi :
o Normal : respon klien sesuai dengan cita rasa yang di tes
o Kelainan :
Ageusia : hilangnya daya pengecapan
Hipogeusia : berkurangnya pengecapan
Pargeusia : respon klien berbeda dengan rasa yang di tes
Hemigeusia : gangguan pengecapan dari separuh lidah
7. Tes Penciuman
Indera penghidu atau pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I),
sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf
trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama.
Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas.
Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os
etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi
pembauan dan atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak
mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang
telah basi.
a. Alat dan bahan
b. Tahap persiapan
Identifikasi kebutuhan pemeriksaan penciuman pada klien
nervus
salah satu tanda yang mendukung adanya neoplasma pada lobus frontalis
cerebrum.
Anosmia yang bersifat bilateral tanpda ditemukan adanya kelainan pada
rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya
meningioma pada cekungan olfaktrorius pada cerebrum. Gangguan ini dapat
berupa penurunan daya penciuman (hiposmia)
Keadaan hiperosmia, terjadi peningkatan kepekaan penciuman.
Parosmia yaitu pengenalan yang salah dari bau
Kakosmia yaitu persepsi yang abnormal dari bau yang tidak menyenangkan
(dengan atau tanpa substrat yang sebenarnya menjadi berbau).
Halusinasi olfaktorik merupakan persepsi bau yang palsu. Umumnya
halusinasi bau berupa bau busuk dan harum (bunga).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. diambil dari : (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34540/7/Cover.pdf)
diakses tanggal 31 0ktober 2014
Anonim. diambil dari :
(http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_215Patofi%20siologi%20dan%20Diagnosis
%20Buta%20Warna.pdf ) diakses pada tanggal 31 Oktober 2014
Anonim. diambil dari :
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7570&val=545&title)
diakses
Mirawati, Diah Kurnia., Widjojo, Sutejo., Suroto., Sudomo, Agus., dkk. Buku Pedoman
Keterampilan Klinis Pemeriksaan Neurologi. Surakarta : Bagian Ilmu Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama