Anda di halaman 1dari 9

COPING

Proses yang dilakukan oleh individu secara sadar atau tidak sadar dalam menghadapi
stres dan mengurangi stres disebut coping. Strategi coping dapat berupa mengubah lingkungan
atau situasi serta menyelesaikan masalah yang dihadapi dan dirasakan. Coping yang efektif akan
menghasilkan adaptasi yang menetap dan menghasilkan kebiasaan baru dan perbaikan situai dari
situasi yang lama, sedangkan coping yang tidak efektif akan menyebabkan maladaptif berupa
menyimpangnya keinginan normatif yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan (Rasmun, 2004).
Coping adalah suatu konstruksi penting bagi remaja untuk memahami reaksi terhadap
stresor dan penyesuaian yang mereka alami dalam kehidupan mereka.Coping merupakan struktur
yang kompleks namun layak dinilai karena merupakan titik kritis dari intervensi (Garcia, 2010).
DEFINISI
Coping menurut Folkmann didefinisikan sebagai perubahan pemikiran dan perilaku yang
digunakan oeh seseorang yang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang
disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannnya yang dinilai sebagai streor.
Coping ini terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stresor.
Coping sebagai strategi dan pengelaman ekspresi kemarahan seseorang yang dimanfaatkan
sebagai pedoman mengatur tuntunan yang dihadapi (Burker, 2006).
BENTUK KOPING
Menurut Lazarus & Folkmann (1986), penanganan coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
a. Problem Focused Coping (PFC) adalah strategi kognitif untk penanganan koping dimana
individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi
atau situasi yang menimbulkan stres
b. Emotion Focused Coping (EFC) adalah strategi penanganan stres dimana individu
memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan
menggunakan penilainan defensif.
CARA PENGUKURAN COPING
Pengukuran coping yang paling sering dilakukan dengan menggunakan kuesioner, yang
berisi serangkaian aktivitas coping dan meminta responden menunjukan seberapa sering
aktivitas tersebut untuk mengatasi stresor yang dialaminya belakangan ini. Coping
sebaiknya dilakukan dengan studi jangka panjang (longitudinal) (Davidson et al, 2006).

Coping terhadap xxxx dapat dibedakan menjadi PFC dan EFC. Problrm focused coping
terdiri dari 3 aspek yaitu : konfrontasi, mencari dukungan sosial dan merencanakan pemecahan
masalah, sedangkan EFC terdiri dari 5 aspek, yaitu kontrol diri, membuat jarak, penilaian
kembali secara positif, menerima tanggunga jawab dan lari atau menghindar (Smet, 1994).
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI COPING
Lazarus dan Folkmann (1986) mengemukakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap
strategi coping, yaitu :
a. Usia, dimana orang dewasa lebih sering menggunakan PFC dalam mengurangi stresor
karena individu yakin akan dapat mengubah situasi yang stresful.
b. Jenis kelamin, menurut Hamilton dan Fagot (1988) pria cenderung menggunakan
PFC karena biasanya pria menggunakan rasiao atau logika dan terkadang kurang
emosional, sedangkan wanita lebih cenderung menggunakan EFC.
c. Status sosial dan ekonomi, orang yang memiliki pekerjaan banyak dan sering
melakukan lembur untuk alasan keuangan atau alasan lain dapat meningkatkan
masalah kesehatan yang akan berpengaruh dalam pengambilan tindakan coping.
d. Kesehatan fisik, sumber stres ada di dalam setiap diri individu salah satunya adalah
kesehatan fisik, kesehatan fisik yang kurang baik akan memunculkan tingkat stres
yang berbeda dan akan berpengaruh dalam coping (Smet, 1994).
e. Karakteristik kepribadian, dimana karakteristik kepribadian dapat berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung dalam coping. Conthnya : individu ekstrovert sering
mengeluhkan rasa nyeri.
Selain yang telah dikemukakan oleh Lazarus & Folkman, coping juga dapat
dipengaruhi oleh (Sutrisno & Hany, 2008) :
a. Kesehatan fisik, dimana seorang individu membutuhkan tenaga yang cukup besar
ketika menghadapi stres.
b. Keyakinan atau pandangan positif, seperti keyakinan akan nasib atau external of
control yang mengarahkan seorang individu pada penilaian ketidakberdayaan yang
menurunkan kemampuan strategi coping.
c. Ketrampilan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan mencari inti masalah,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah.
d. Ketrampilan sosial, yaitu kemampuan berkomunikasi dan bertingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat

e. Dukungan sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional


yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga, saudara, teman, serta lingkungan
masyarakat.
f. Materi, yaitu sumber daya berupa uang, barang atau layanan yang bisa dibeli.
Secara alami, disadari maupun tidak disadari seseorang yang menghadapi keadaan stres
dan ketegangan psikologi akan melakukan coping. Coping merupakan suatu respon untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dan dirasakan, respon yang efektif akan
menghasilkan adaptasi menetap dan kebiasaan baru. Keberhasilan coping bergantung pada
keluarga , komunitas dan pelayanan kesehatan (Rasmun, 2004).
OSTEOARTHRITIS
Di Indonesia penyakit ini merupakan penyakit dengan kunjungan tertinggi dari tahun ke
tahun. Prevalensi osteoarthritis di Indonesia yaitu 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60
tahun dan 65% pada usia >61 tahun (Handayani, 2006).
Prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik progresif, osteoarthritis
mempunyai dampak sosial dan ekonomi yang cukup besar. Sekitar satu sampai dua juta orang di
Indonesia menderita cacat karena osteoarthritis (Hamsiadi, 2009).
Osteoarthritis paling sering mengenai lutut, panggul, tulang belakang dan pergelangan
kaki. Pada osteoarthritis lutut terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya
adalah faktor sistemik yaitu usia, jenis kelamin, hormon, genetik, dan penyakit sistemik. Faktor
kerentanan sendi yaitu riwayat kerusakan sendi atau trauma. Faktor lingkungan yaitu pekerjaan,
aktivitas dan status nutrisi (Reijman et al, 2009)
Status nutrisi seseorang berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT). Obesitas atau
overweight merupakan faktor risisko yang penting dalam menentukan onset terjadinya
osteoarthritis lutut. Ada 350 juta orang yang mengalami obesitas (IMT 30 kg/m 2) dan ada 1
juta orang dengan overweight (IMT 25 kg/m 2) di dunia. Diketahui IMT > 27 kg/m2
berhubungan dengan insiden terjadinya osteoarthritis lutut (WHO, 2008).
Osteoarthritis dianggap sebagai penyakit degeneratif, karena usia merupakan salah satu
faktor risikonya, maka dapat disimpulkan bahwa makin bertambah usia makin tinggi
kemungkinan untuk terkena osteoarthritis (Handayani, 2006).
Osteoarthritis pada usia diatas 60 tahun =80% adalah osteoarthritis lutut . Insidensinya
pada usia kurang dari 20 tahun hanya sekitar 10% dan meningkat menjadi lebih dari 80% pada
usia diatas 55 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan di Jawa Tengah diketahui bahwa
prevalensi osteoarthritis lutut mencapai 15,5 % pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur

antara 40-60 tahun (Hamsiadi, 2009). Umumnya pada wanita dan pria terdapat sama banyaknya.
Hanya pada umur di bawah 45 tahun lebih banyak pada pria dan di atas 45 tahun lebih banyk
pada wanita. Prevalensi pada wanita 14,9% dan pada pria 8,7% (Handayani, 2006).
Klasifikasi osteoarthritis berdasarkan grade nya ada 4 yaitu (Klubmann et al, 2008) :
1. Grade 1 : perlunakan dan pembengkakan kartilago, namun tidak terdapat kerusakan pada
permukaan kartilago.
2. Grade II : terdapat fragmentasi dan retakan pada permukaan kartilago dengan diameter
kurang dari 0,5 inchi. Kerusakan kartilago dangkal.
3. Grade III : fragmentasi dan retakan pada permukaan kartilago dengan diameter lebih dari
0,5 inchi. Kerusakan kartilagonya dalam.
4. Grade 4 : erosi kartilagonya mencapai tulang, kerusakan kartilago menyeluruh serta
meliputi kerusakan sendi dan jaringan disekitarnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis osteoarthritis tidak dapat didasarkan hanya pada satu jenis pemeriksaan saja.
Biasanya dilakukan pemeriksaan reumatologi ringkas berdasarkan prinsip GALS (Gait, arms,
legs, spine) dengan memperhatikan gejala dan tanda. Gejala-gejalanya yaitu nyeri sendi, kaku
sendi, krepitasi, bentuk sendi berubah dan gangguan fungsi. Sedangkan tanda-tandanya sebagai
berikut krepitasi, keterbatasan gerak, nyeri tekan pada sendi dan periartikular, tonjolan tulang,
pembengkakan jaringan lunak, pincang, deformitas, kelemahan otot atau atrofi, efusi sendi dan
instabilitas.
Pada osteoarthritis terdapat 3 macam kriteria penegakan diagnosis. BACA IRA
Proses

peningkatan

aktvitas

fibrinogenik

dan

penurunan

aktivitas

fibrinolitik

menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang
menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Hal ini mengakibatkan
dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yangs selanjutnya
menyebabkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel
yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu juga dapat berupa akibat dari
dilepaskannya mediator kimia seperti kinin, prostaglandin yang menyebabkan radang sendi.
Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks

saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular karena proses
remodelling pada trabekula dan subkondrial (Birell et al, 2008).
DUKUNGAN SOSIAL
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang diandalkan pada saat
individu mengalami kesulitan. Dukungan sosial ini mengarah pada variabel tingkat individual,
dan merupakan sesuatu yang dimiliki tiap orang dan dapat diukur dengan pertanyaan tertentu.
Dukungan sosial bisa saja datang dari berbagai pihak, tetapi dukungan sosial yang sangat
bermakna dalam kaitannya dengan masalah kesepian adalah dukungan sosial yang bersumber
dari mereka yang memiliki kedekatan emosiaonal seperti keluarga dan kerabat dekat.
Dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang berasal dari teman, anggota
keluarga, bahkan pemberi perawatan kesehatan yang membantu individu ketika terdapat suatu
masalah. Dukungan sosial merupakan faktor penting dalam promosi dan pemeliharaan kesehatan
umum dalam jangka panjang, berkontribusi terhadap fisik dan kognitif, serta berfungsi dan
mendukung keterlibatan dengan kehidupan. Dukungan sosial sangat berpengaruh tidak hanya
dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan, baik pencegahan dan pengobatan, tetapi juga pada
bagaimana individu dengan masalah medis serius bereaksi dan pulih dari berbagai penyakit.
Penentu lingkungan sosial termasuk dukungan sosial, kekerasan dan pelecehan, dan
pendidikan. Faktor ini mempengaruhi kualitas hidup orang tua untuk mempengaruhi lingkungan
mereka positif atau negatif. Dukungan sosial dapat mengurangi jumlah obat yang dibutuhkan,
mempercepat pemulihan dan memfasilitasi sesuai dengan resimen medis yang ditentukan.
Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh beberapa ahli
dimana dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan
fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai,
diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok
yang berdasarkan kepentingan bersama. Sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang
akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan
secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orangtua, saudara, anak,
kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.(LUBIS).
BENTUK DUKUNGAN SOSIAL

Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan
sosial ke dalam lima bentuk yaitu :
1. Dukungan instrumental (tangible assistance)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan
langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk
dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan
masalahnya yang berhubunagn dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan
terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat kontrol.
2. Dukungan informasional
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang
situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk
mengenali dan mengatasi masalah ydengan lebih mudah.
3. Dukungan emosional
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan
dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah
dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang
dianggap tidak dapat dikontrol.
4. Dukungan Harga Diri
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat,
persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain.
Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
5. Dukungan dari kelompok sosial
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu
kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu
individu akan merasa memiliki teman senasib.
UNS
Dukungan sosial berarti informasi ( tindakan nyata/berupa potensi ) yang membuat
individu berkeyakinan bahwa mereka disayangi, diperhatikan, akan mendapat bantuan dari orang
lain bila mereka membutuhkannya. Dukungan sosial diartikan sebagai sumber coping yang
mempengaruhi situasi yang dinilai stressful (Major, dkk., 1997) dan membuat orang yang stres
mampu mengubah situasi, mengubah arti situasi atau mengubah reaksi emosinya terhadap situasi
yang ada (Thoits, dalam Major, dkk, 1997).
Ada dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu : received support (dukungan yang
diterima) dan perceived support (dukungan yang dirasakan ). Received support artinya perilaku

membantu yang muncul secara alamiah yang diberikan, sedangkan perceived support diartikan
sebagai keyakinan bahwa perilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa received support adalah perilaku membantu yang benar-benar terjadi dan
perceived support adalah perilaku membantu yang mungkin akan terjadi (Barrera, dalam Norris
dan Kaniasty, 1996).
SUMBER DUKUNGAN SOSIAL
Sumber dukungan sosial yang terpenting adalah Keluarga dan Sahabat atau Teman.
1.

Keluarga. Anggota keluarga adalah orang-orang yang berada di lingkungan paling dekat
dengan diri individu yang sangat besar kemungkinannya untuk saling memberikan
dukungan (Levit dkk., 1993). Menurut Argyle (dalam Veiel & Baumann, 1992) bila
individu dihadapkan pada suatu stressor, maka hubungan intim yang muncul karena
adanya sistem keluarga dapat menghambat, mengurangi, bahkan mencegah timbulnya
efek negatif stressor karena ikatan dalam keluarga dapat menimbulkan efek buffering
terhadap dampak stressor. Munculnya efek ini dimungkinkan karena keluarga selalu siap
dan bersedia untuk membantu individu ketika dibutuhkan serta hubungan antara anggota
keluarga memunculkan perasaan dicintai dan mencintai. Intinya adalah bahwa anggota
keluarga merupakan orang-orang yang penting dalam memberikan dukungan

instrumental, emosional, dan kebersamaan dalam berbagai aktivitas maupun minat.


2. Sahabat atau teman. Derajat kepentingan sahabat bagi individu memang berada setelah
anggota keluarga, namun hal ini tidak berarti bahwa dukungan sosial dari sahabat atau
teman kurang bermanfaat. Suatu studi yang dilakukan oleh Argyle & Furnham (dalam
Veiel & Baumann, 1991) menemukan tiga proses utama dimana sahabat atau teman dapat
berperan dalam memberikan dukungan sosial. Proses yang pertama adalah membantu
material atau instrumental. Stres yang dialami individu dapat dikurangi bila individu
mendapatkan pertolongan untuk memecahkan masalahnya. Pertolongan ini dapat berupa
informasi tentang cara mengatasi masalah atau pertolongan berupa uang. Proses kedua
adalah

dukungan

emosional.

Tekanan

emosional

dapat

dikurangi

dengan

membicarakannya dengan teman yang simpatik. Dengan demikian harga diri meningkat,
depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan penerimaan sahabat karib. Proses yang
terakhir adalah integrasi sosial, menjadi bagian dalam suatu aktivitas waktu luang yang

kooperatif dan diterimanya seseorang dalam suatu kelompok sosial dapat menghilangkan
perasaan kesepian dan menghasilkan perasaan sejahtera serta memperkuat ikatan sosial.
Meyerowitz (dalam Smet, 1994) dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada tiga
sumber dukungan sosial yang potensial bagi mereka yang mengalami gangguan
kesehatan serius, yaitu pasangan dan keluarga, teman dan pasien lain yang memiliki
kondisi sama serta dokter dan perawat.
Dengan demikian, dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan (suami/ istri), anakanak atau anggota keluarga yang lain, dari teman, professional, komunitas atau
masyarakat atau dari kelompok dukungan sosial
Burker, E.J. 2006. Religious and Non Religious Coping in Lung Transplant Candidates: Does
Adding God to the Picture Tell Us More. I J B M:6,513
Lazarus RS, Folkman S. 1986. Appraisal, Coping, Health Status and Psychological Symptoms.
Journal of Personality and Social Psychology, 50:3
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Gramedia
Davidson, Gerald C,. Neale, John M., Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Edisi 9.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 8 : 271-337
Garcia, Carolyn. 2010. Conceptualization and Measurement of Coping during Adolescence: A
review of the Literature. J Nurs Schoolarsh. 42(2): 166-185
Rasmun, 2004. Stress. Koping dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah Keperawatan. Edisi 1.
Jakarta : Sagung seto. Hal 29-39
Hamilton, S., Fagot, B.I. 1988. Chronic stress and coping style: A comparison of male and
female undergratuates. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 55. 819-822.

Handayani, R. D. 2008. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Osteoarthritis pada Lansia
di instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji Surabaya. Available at : http:fkm@unair.ac.id
Ikatan Reumatologi Indonesia (IRA). 2004. Panduan Diagnosis dan pengelolaan Osteoarthritis.
5-10. Available at : http://reumatologiindonesia.org
Klubmann, A., Hansjuergen Gebhardt, Falk Liebers, Lars Victor von Engelhardt, Andreas
Daviid, Bertil Buillon dan Monika A Rieger. 2008. Individual and occupational risk factors for
knee osteoarthritis Study protocol of a case control study. BMC Musculosceletal Disorders. 1-8
Birell, F. Dan N. K. Arden. 2008. A View on the Pathogenesis of Osteoarthritis. British Journal
of Reumatology. 47:1452-2460
Reijman, M., H AP Pols, A P Bergink, J M W Hazes, J N Belo, A M Lievense dan S M, A
Bierma-Zienstra. 2006. Body Mass Index Associated With Onset and Progression of
Osteoarthritis of the Knee But not of The Hip: The Rotterdam Study. British Medical Journal. 66:
158-162
WHO. 2008. BMI / Overweight / Obesity / Introduction. Available at : http://apps.who.int

Anda mungkin juga menyukai