Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR

ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 3
1.3 Tujuan...................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Sanitasi.................................................................................................. 4
2.2 Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures).........................4
2.2.1 S P O Sanitasi................................................................................................... 4
2.2.2 Tujuan SPO Sanitasi.........................................................................................5
2.2.3 Manfaat SPO Sanitasi dalam Menjamin Sistem Keamanan Produksi Pangan.5
2.2.4 Delapan Kunci Persyaratan Sanitasi.................................................................5
2.3. Pengolahan Hasil Perikanan...................................................................................8
2.4 Sanitasi Industri Seafood........................................................................................ 11
2.4.1

Pertimbangan Konstruksi dengan Prinsip Sanitasi.......................................12

2.4.2 Persyaratan Lokasi.......................................................................................... 12


2.4.3 Persyaratan Konstruksi Bangunan..................................................................12
2.4.4 Lantai............................................................................................................... 12
2.4.5 Plafon.............................................................................................................. 13
2.4.6 Dinding dan Jendela........................................................................................ 13
2.4.7 Pintu Masuk..................................................................................................... 13
2.4.8 Peralatan Pengolahan.....................................................................................13
2.5 SUMBER KONTAMINASI.......................................................................................13
2.5.1 Prinsip Sanitasi................................................................................................ 14
2.6 Jadwal Pembersihan............................................................................................. 15
2.7 Perlakuan High Hydrostatic Pressure (Hidrostatik Tekanan Tinggi).......................15
2.8 Penanganan Limbah.............................................................................................. 16
2.9 Pengolahan Hasil Perikanan..................................................................................16
2.9.1 PERSYARATAN BAHAN BAKU.......................................................................16
2.10 Analisis kebijakan mutu dan keamanan pangan produk perikanan......................18

BAB III PENUTUP............................................................................................................ 19


3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 19
3.2 Saran...................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar atau primer bagi manusia.
Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan
dikonsumsi semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi sekedar
mengatasi rasa lapar, tetapi semakin kompleks. Konsumen semakin sadar bahwa
pangan merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi, seperti protein,
karbohidrat, vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan tubuh. Dewasa ini masyarakat
semakin selektif dalam menentukan kebutuhan akan makanan dengan pertimbangan
adalah faktor keamanan makanan Ikan dan produk perikanan serta bahan hasil laut
(seafood) merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan, jika tidak
ditangani dengan baik, maka dampak yang dapat ditimbulkan akan sangat merugikan.
Kerugian tersebut akan mencakup kerugian materil bagi perusahaan, juga kesehatan
masyarakat yang mengkonsumsinya, dll.
Produk perikanan yang diproduksi oleh industri pengolahan Indonesia banyak
ditolak oleh negara-negara lain, seperti Jepang, Amerika, bahkan pernah terjadi
pengembalian produk hasil perikanan Indonesia, karena diduga jumlah bakteri yang
terkandung dalam produk tersebut melebihi batas yang dapat diterima.
Maka dari itu untuk menangani produk perikanan diperlukan ketelitian dalam
setiap tahap proses produksi, terutama sanitasi. Dengan penanganan sanitasi yang baik
dan benar, juga disesuaikan dengan bahan makanan yang diolah, maka produk yang
akan dihasilkan mempunyai kualitas yang tidak diragukanlagi.
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya sanitasi mengakibatkan
industri makanan, terutama produk perikanan cukup mengalami kesulitan untuk bersaing
pada skala internasional. Pengolahan ikan dan cold storage ditinjau dalam hubungan
dengan persyratan kebersihan.Pengamatan dilakukan selama periode tertentu, selain
sampling bakteriologis biasa juga dilakukan swabbing method.
.
Sanitasi sangat penting dalam industri seafood, produksi dengan menggunakan
metode yang tepat akan dapat memberikan konsumen makanan yang memiliki kualitas
tinggi dan sehat. Karena ketentuan ini mencakup fasilitas dan tempat bekerja maka
perencanaan produksi yang tepat dan benar harus dipertimbangkan sebaik mungkin.
Setiap tahap produksi dan distribusi ke konsumen harus terjamin sehingga produk
tersebut tetap sehat ( Stanfield, 2003).
Hygiene makanan pada prinsipnya adalah langkah langkah pelaksanaan
pengawasan terhadap sanitasi suatu produk makanan yang dimulai dari proses produksi,
penyimpanan, pengolahan, sampai pada penghidangan. Dengan demikian konsumen
akan mendapat makanan dengan kualitas yang baik dan terhindar dari bahaya yang
dapat ditimbulkan dari makanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengetahui macam-macam kontaminan yang dapat mencemari bahan pangan
hasil laut dan olahannya
2. Mengetahui pengelolaan sanitasi untuk bahan pangan laut (Seafood)
3. Mengetahui cara pemulihan produk hasil laut
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan
dan prinsip sanitasi dalam pengolahan produk makanan hasil laut (Seafood).

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sanitasi
Sanitasi dan higienis merupakan kondisi yang mencerminkan kebersihan dan
kesehatan, yang juga menjadi persyaratan untuk menghasilkan produk yang aman
(bebas dari sesuatu yang menyebabkan penyakit atau menyebabkan orang menjadi
sakit). Sanitasi industri perikanan merupakan suatu pengawasan seluruh kondisi dan
praktek di dalam perusahaan sehingga hasil perikanan yang diolah bebas dari
mikroorganisme penyebab penyakit serta bebas dari benda-benda asing lainnya. Unsurunsur penting suatu program sanitasi yang efektif dari setiap industri perikanan adalah
sebagai berikut : (1) Manajemen harus memahami segala kebutuhan untuk sanitasi yang
baik, (2) Konstruksi dan lokasi pabrik harus sesuai, (3) harus tersedia suplai air bersih
yang cukup, (4) harus tersedia tempat pencucian ikan yang cukup, (5) setiap permukaan
meja/tempat kerja/proses pengolahan harus halus dan rata agar mudah dibersihkan, (6)
harus tersedia fasilitas sanitary (tempat membersihkan diri) yang cukup, (7) harus
memiliki kebiasaan kesehatan personal yang baik dari setiap pekerjanya dan (8) harus
memiliki program pengawasan terhadap serangga dan hama lainnya yang efektif.
Pengertian sanitasi dan higiene hasil perikanan adalah upaya pencegahan
terhadap kemungkinan terhadap bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik
pembusukan dan patogen pada hasil perikanan, peralatan dan bangunan yang dapat
merusak hasil perikanan dan membahayakan manusia. Persyaratan tersebut meliputi
persyaratan bahan baku, bahan tambahan dan bahan pembantu, operasi pembersihan
dan higiene.
Sedangkan praktek higienis yang benar pada penanganan produk pangan,
termasuk hasil perikanan, merupakan hal penting yang kritis, karena manusia merupakan
salah satu sumber utama dari mikroorganisme penyebab penyakit. Misalnya
bakteri Staphylococcus
aureus penghasil
toksin
yang
dapat
menyebabkan Staphylococcal Food Poisoning bagi orang yang mengkonsumsi makanan
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri ini dapat mencemari makanan dari pekerja
yang kulitnya mengalami infeksi atau luka, apabila selama penanganan dan pengolahan
kondisi higienisnya tidak dilakukan dengan baik. Demikian pula manusia merupakan
pembawa (carrier) beberapa jenis mikroba patogen lainnya, misalnya penyebab penyakit
tipus, disentri dan hepatitis, sehingga seluruh pekerja yang menangani maupun
melakukan kegiatan pengolahan hasil perikanan harus memahami betul mengenai
sanitasi dan higiene ini.
Dalam hal menjaga sanitasi yang baik, maka pencucian merupakan hal yang
sangat penting untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang pada produk perikanan
yang dihasilkan. Sisa-sisa pengolahan yang tertinggal/menempel pada alat-alat
pengolahan merupakan salah satu sumber kontaminasi yang harus dicegah, sehingga
perlu dilakukan pencucian terhadap setiap alat yang digunakan. Pencucian dilakukan 2
tahap, yaitu tahap pencucian untuk menghilangkan kotoran, sisa-sisa darah, daging,
minyak pelumas dan lain-lain, biasanya dengan menggunakan deterjen; serta tahap
sanitasi atau disinfeksi untuk mendapatkan kriteria bersih secara mikrobiologi, dilakukan
dengan menggunakan bahan-bahan disinfektan seperti khlorin.
2.2 Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures)
2.2.1 S P O Sanitasi
Secara umum Pre-requisite program adalah hal-hal yang berkaitan dengan
operasi sanitasi dan hygiene pangan suatu proses produksi atau penanganan pangan
yang dikenal dengan GMP. Penerapan Pre-requisite program harus didokumentasikan
dalam SPO Sanitasi.
1. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan pada Penerapan Pre-requisite Program

Program harus terdokumentasi


Identifikasi semua langkah dalam operasi yang kritis terhadap keamanan dan
mutu pangan
Terapkan prosedur kontrol yang efektif pada setiap tahap operasi
Monitor prosedur kontrol untuk menjamin efektifitasnya
Pelihara pencatatan yang baik dan review prosedur pengendalian (secara
periodik atau jika ada perubahan operasi)

2.2.2 Tujuan SPO Sanitasi


Tujuan SPO Sanitasi adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi
memahami :
1) bahwa program higiene dan sanitasi akan meningkatkan kualitas sehingga
tingkat keamanan produk meningkat, seirama dengan menurunnya kontaminasi
mikroba
2) peraturan GMP mengharuskan digunakan zat tertentu yg aman & efektif
3) tahapan dalam higiene dan sanitasi
4) persyaratan minimum penggunaan klorine pd air pendingin (khusus industri
pengolahan pangan)
5) pengaruh faktor pH, suhu, konsentrasi disinfektan pada hasil akhir sanitasi
6) masalah potensial yang timbul jika sanitasi dan higiene tidak dijalankan
2.2.3 Manfaat SPO Sanitasi dalam Menjamin Sistem Keamanan Produksi Pangan
1) Memberikan jadwal pada prosedur sanitasi
2) Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan
3) Mendorong perencanaan yg menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan
4) Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya masalah
5) Menjamin setiap personil mengerti sanitasi
6) Memberi sarana pelatihan yg konsisten bagi personil
7) Meningkatkan praktek sanitasi dan kondisi di unit usaha
2.2.4 Delapan Kunci Persyaratan Sanitasi
NSHATE (1999) mengelompokkan prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan
dalam SPO Sanitasi menjadi 8 Kunci persyaratan Sanitasi, yaitu :
Kunci 1. Keamanan air
Kunci 2. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dgn bahan pangan
Kunci 3. Pencegahan kontaminasi silang
Kunci 4. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
Kunci 5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Kunci 6. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
Kunci 7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan
kontaminasi
Kunci 8. Menghilangkan hama dr unit pengolahan
2.2.4.1. Kunci 1. Keamanan air
Air merupakan komponen penting dlm industri pangan yaitu sebagai bagian dari
komposisi; untuk mencuci produk; membuat es/glazing; mencuci peralatan/sarana lain;
untuk minum dan sebagainya. Karena itu dijaga agar tidak ada hubungan silang antara
air bersih dan air tidak bersih (pipa saluran air hrs teridentifikasi dengan jelas).
Sumber air yang digunakan dalam industri pangan : 1)Air PAM, biasanya memenuhi
standar mutu ; 2)Air sumur, peluang kontaminasinya sangat besar, karena adanya banjir,
septictank, air pertanian dan sebagainya; 3)Air laut (digunakan industri perikanan) harus
sesuai dengan standar air minum, kecuali kadar garam.
Monitoring keamanan air :
Air PAM : bukti pembayaran dari PAM, fotokopi hsl analisa air dari PAM. Bila ragu
disarankan untuk dianalisa tambahan dari lab penguji terakreditasi

Air sumur : dilakukan sebelum usaha bisnis dimulai. Pengujian kualitas air dari lab.
penguji pangan yang terakreditasi
Air laut: harus dilakukan lebih sering dari air PAM/sumur; dengan inspeksi secara
visual/organoleptik.
Tindakan Koreksi :
Harus segera lakukan tindakan koreksi bila terjadi atau ditemukan adanya
penyimpangan. Misal : dengan penyetopan saluran, stop proses produksi untuk
sementara; tarik produk yang terkena
Rekaman :
Dilakukan pada setiap monitoring, serta bila terjadi tindakan koreksi
Bentuk rekaman : rekaman monitoring periodik, rekaman periodik inspeksi plumbing,
rekaman monitoring sanitasi harian
2.2.4.2. Kunci 2. Kondisi dan Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan
Pangan
Monitoring :
Kondisi permukaan yang kontak dengan pangan : dilakukan dengan inspeksi visual
terhadap permukaan
Kebersihan dan sanitasi permukaan yang kontak dengan pangan : apakah terpelihara
Tipe dan konsentrasi bahan sanitasi : dengan test strips/kits. Verifikasi dilakukan dengan
pengujian mikrobial permukaan secara berkala
Kebersihan sarung tangan dan pakaian pekerja. : apakah dalam kondisi baik
Tindakan koreksi :
Bila terjadi konsentrasi sanitiser bervariasi setiap hari maka harus memperbaiki / ganti
peralatan dan melatih operator
Observasi pertemuan dua meja, bila terisi rontokan produk maka pisahkan agar mudah
dibersihkan
Bila meja kerja menunjukkan tanda korosi maka perbaiki / ganti meja yang tidak korosi
Rekaman :
Dilakukan pada setiap monitoring dan bila terjadi koreksi

Bentuk rekaman : monitoring periodik, rekaman monitoring sanitasi harian / bulanan


2.2.4.3. Kunci 3. Pencegahan Kontaminasi Silang
Kontaminasi silang sering terjadi pada industri pangan akibat kurang
dipahaminya masalah ini. Beberapa hal untuk pencegahan kontaminasi silang adalah :
tindakan karyawan untuk pencegahan, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi,
disain sarana prasarana.
Monitoring :
Pemisahan yg cukup antara aktivitas penanganan dan pengolahan bahan baku dengan
produk jadi
Pemisahan yang cukup produk-produk dlm penyimpanan
Pembersihan dan sanitasi area, alat penangan dan pengolahan pangan
Praktek higiene pekerja, pakaian dan pencucian tangan
Praktek pekerja dan peralatan dalam menangani produk
Arus pergerakan pekerja dalam pabrik dan unit usaha perlu diatur alirannya baik
Tindakan koreksi :
Bila pada monitoring terjadi ketidak sesuaian yang mengakibatkan kontaminasi silang
maka stop aktivitas sampai situasi kembali sesuai; ambil tindakan pencegahan terjadinya
pengulangan; evaluasi keamanan produk, jika perlu disposisi ke produk lain, reproses
atau dibuang bila produk terkontaminasi
Rekaman :
Dokumentasikan koreksi yg dilakukan
Rekaman periodik saat dilakukan monitoring

2.2.4.4. Kunci 4. Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi dan Toilet


Kondisi fasilitas cuci tangan, toilet dan sanitasi tangan sangat penting untuk
mencegah terjadinya kontaminasi terhadap proses produksi pangan. Kontaminasi akibat
kondisi fasilitas tersebut akan bersifat fatal, karena diakibatkan oleh bakteri patogen.
Monitoring :
Mendorong program pencucian tangan untuk mencegah penyebaran kotoran dan
mikroorganisme patogen pada area penanganan, pengolahan dan produk pangan
Koreksi :
Perbaiki atau isi bahan perlengkapan toilet dan tempat cuci tangan
Buang dan buat larutan baru jika konsentrasi bahan sanitasi salah
Observasi catatan tindakan koreksi ketika kondisi sanitasi tidak sesuai
Perbaiki toilet yang rusak
Rekaman :
Rekaman yang dapat dilakukan untdk menjaga kunci sanitasi : kondisi dan lokasi fasilitas
cuci tangan, toilet; kondisi dan ketersediaan tempat sanitasi tangan, konsentrasi bahan
sanitasi tangan, tindakan koreksi pada kondisi yang tidak sesuai
2.2.4.5. Kunci 5. Proteksi dari Bahan-Bahan Kontaminan
Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa produk pangan, bahan pengemas, dan
permukaan kontak langsung dengan pangan terlindung dari kontaminasi mikrobial, kimia
dan fisik.
Monitoring :
Yang perlu dimonitor : bahan-bahan berpotensi toksin dan air yang tidak saniter.
Dilakukan dlm frekuensi cukup, saat dimulai produksi dan setiap 4jam
Observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
Tindakan koreksi :
Hilangkan bahan kontaminasi dari permukaan;
Perbaiki aliran udara suhu ruang untuk mengurangi kondensasi;
Gunakan air pencuci kaki dan roda truk sebelum masuk ruang prosesing;
Pelatihan
Buang bahan kimia tanpa label dll.
2.2.4.6. Kunci 6. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang
benar
Monitoring :
Tujuan monitoring ini adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari kontaminasi.
Beberapa hal yg hrs diperhatikan dalam pelabelan: Nama bahan/larutan dlm wadah;
nama dan alamat produsen/distributor; petunjuk penggunaan; label wadah untuk kerja
hrs menunjukkan : a) Nama bahan/larutan dalam wadah
b) Petunjuk penggunaannya
Penyimpanan bahan yang bersifat toksin seharusnya :
a) tempat dan akses terbatas;
b) memisahkan bahan food grade dengan non food grade;
c) jauhkan dari peralatan dan barang-barang kontak dengan produk;
d) penggunaan bahan toksin harus menurut instruksi perusahaan produsen;
e) prosedur yang menjamin tidak akan mencemari produk.
Waktu monitoring : frekuensi yang cukup; direkomendasikan paling tidak sekali sehari;
observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
Tindakan Koreksi :
Bila terjadi ketidak sesuaian pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin,
maka koreksinya antara lain :
a) pindahkan bahan toksin yg tdk benar penyimpanannya;
b) kembalikan ke pemasok bahan yg tdk diberi label dgn benar;
c) perbaiki label;

d) buang wadah rusak;


e) periksa keamanan produk,
f) diadakan pelatihan
Rekaman :
Rekaman kontrol sanitasi periodik; rekaman kontrol sanitasi harian; log informasi harian
2.2.4.7. Kunci 7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat
mengakibatkan kontaminasi
Tujuan dari kunci 7 ini adalah untuk mengelola personil yang mempunyai tanda-tanda
penyakit, luka atau kondisi lain yang dapat menjadi sumber kontaminasi mikrobiologi.
Monitoring :
Untuk mengontrol kondisi kesehatan yang dapat menyebabkan kontaminasi mikrobiologi
pada pangan, bahan pengemas, dan permukaan kontak dengan pangan.
Beberapa tanda kesehatan yang perlu perhatian pada monitoring : diare, demam,
muntah, penyakit kuning, radang tenggorokan, luka kulit, bisul dan dark urine
Tindakan Koreksi :
Tindakan yang harus dilakukan oleh manajemen: memulangkan/mengistirahatkan
personil, mencover bagian luka dengan impermeable bandage
Rekaman :
Data kesehatan hasil pemeriksaan kesehatan reguler dan rekaman tindakan koreksi bila
terjadi penyimpangan.
2.2.4.8. Kunci 8. Menghilangkan Hama dari Unit Pengolahan
Tujuan dari kunci 8 ini adalah : menjamin tidak adanya pest (hama) dalam bangunan
pengolahan pangan.
Beberapa pest yang mungkin membawa penyakit :
a) Lalat dan kecoa : mentransfer Salmonella, Streptococcus, C.botulinum,
Staphyllococcus, C.perfringens, Shigella
b) Binatang pengerat : sumber Salmonella dan parasit
c) Burung : pembawa variasi bakteri patogen Salmonella dan Listeria
Monitoring :
Tujuan monitoring untuk mengkonfirmasikan bahwa hama (pest) telah dikeluarkan dari
area pengolahan seluas-luasnya dan prosedur diikuti untuk menjegah investasi.
Monitoring dilakukan dengan inspeksi visual, tempat persembunyian tikus, alat
perangkap tikus, alat menjaga kebersihan dan memfasilitasi pengawasan.
Koreksi :
Misal, setelah gunakan pestisida dan perangkap, lalat kembali masuki ruang pengolahan,
maka tambahkan air curtain di atas pintu luar dan pindahkan wadah buangan
Rekaman :
Rekaman kontrol sanitasi periodik dan rekaman kontrol sanitasi harian.
(Winarno dan surono.2002)
2.3. Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia yang memiliki sumber daya ikan ( SDI ) yang cukup berlimpah dan
orientasi perdagangannya yang masih mengandalkan ekspor sudah tentu akan
berhadapan dengan persaingan yang cukup ketat dari para eksportir lainnya utamanya
adalah dari negara-negara dunia ke tiga.
Selain berhadapan dengan para pesaing, ekspor perikanan kita ke negaranegara pengimpor hasil perikanan utama di dunia ( EU dan USA ) juga akan berhadapan
dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keamanan makanan ( food safety )
antara lain perusahaan eksportir diwajibkan untuk menerapkan standar sanitasi &
hygienenya di unit-unit pengolahannya.
Apalagi dengan telah disepakatinya perjanjian-perjanjian WTO dimana Indonesia
yang juga telah ikut meratifikasinya, di dalam salah satu perjanjiannya terutama yang
terkait dengan perjanjian di bidang pertanian ( Agreement on Agriculture/ AOA ) terkait

juga dengan peraturan yang mengatur perdagangan dunia mengenai perlindungan


kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dikenal dengan istilah Sanitary
and Pythosanitary ( SPS ).
Meskipun kebijakan pemerintah mengenai mutu telah dicanangkan sejak tahun
70-an, dimana pada saat itu banyak produk hasil perikanan Indonesia mengalami
penahanan ( detention ) dan bahkan penolakan ( reject ) oleh negara importir hanya
karena mutunya dianggap tidak layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat mereka.
Namun untuk lebih meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia mau tidak mau
program-program yang tujuannya untuk peningkatan mutu harus tetap dijalankan dan
diperbaharui seiring dengan kemajuan jaman dan perkembangan teknologi khususnya
yang menyangkut program Sanitasi & Hygienenya.
Dalam dunia perikanan khusus di industry makanannya atau seafood
penggunaan istilah yang berkaitan dengan kebersihan, ada yang menggunakan istilah
Sanitasi ( FDA ) atau Hygene ( EC/EU ) dan Sanitasi & Hygiene ( SEAFDEC dan
PMMT/Indonesia ). Apapun istilah yang digunakan intinya adalah mengenai kebersihan
untuk memberi perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
sebagaimana tertuang dalam aturan mengenai Sanitary and Pythosanitary ( SPS ) yang
ada di World Trade Organization ( WTO ).
Prosedur dan Standar Hygiene atau juga sering disebut Praktek Hygiene yang
Baik ( Good Hygenic Practices/GHP ) atau Praktek Berproduksi yang Baik ( Good
Manufacturing Practices/ GMP ) telah diterapkan sejak lama secara terus menerus
( continued ). Dan dianggap merupakan alat yang cukup esensial/ efektif dapat
membantu melakukan pengawasan dalam hal menjamin kualitas/ mutu produk yang
dihasilkan ( tool in traditional food control ).
Bahkan sampai saat ini dalam sistem pengawasan yang sudah mulai
memasukkan masalah lingkungan dan konsep-konsep pengawasan yang dianggap
modern seperti HACCP, sanitasi atau hygiene masih terus digunakan dan bahkan
menjadi persyaratan yang wajib ( pre -quisite ) sebelum HACCP itu boleh diterapkan
( Legal requirement oleh FDA/USA , 2001 ).
Berdasarkan definisinya, Good Hygenic Practices ( GHP ) itu adalah suatu
tindakan atau praktek-praktek yang dilakukan yang berkaitan dengan persyaratan untuk
memberikan jaminan terhadap keamanan makanan ( food safety ) yang diproses
dalam setiap tahapan produksi (CAC, 2001).
Sedangkan menurut FDA /USA,
Seafood HACCP Regulation ( 1995 ), bagi perusahaan pengolahan hasil perikanan
( seafood ) dipersyaratkan disetiap unit pengolahannya harus dalam kondisi yang saniter
dan bagaimana caranya atau prosedurnya harus dituangkan dalam suatu Standard
yang disebut Sanitation Standard Operating Procedures ( SSOPs). Adapun definisi dari
SSOP tersebut adalah bahwa disetiap dokumen pelaksanaan GMP untuk pelaksanaan
sanitasi dan hygiene yang dipersyaratkan harus sesuai dengan peraturan yang ada dan
sesuai untuk pengawasan makanan dalam rangka untuk memberi jaminan keamanan
makanan ( food safety ).
Mengingat bahwa definisi yang terdapat baik berdasarkan Codex ( GHP )
maupun FDA ( GMP/ SSOP ) mempunyai pengertian dan maksud yang sama, maka
dalam penulisannya salah satu dari kedua istilah tersebut dapat dipergunakan. Istilah
yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah istilah yang digunakan oleh FDA,
mengingat bahwa dalam implementasi atau penerapan/ pelaksanaan kegiatan sanitasi
dan hygiene di Indonesia sudah menggunakan istilah GMP/SSOP.
Pemahaman dan praktek-praktek yang benar dalam penerapan GMP/SSOP
menjadi salah satu kunci dalam menghasilkan produk perikanan yang sesuai dengan
kebutuhan pasar. Industrialisasi perikanan yang menjadi program pemerintah haruslah
sejalan dengan konsep Seafood Hygiene dimana food safety dan security menjadi
prioritas utama demi terciptanya pangsa pasar produk perikanan internasional yang
kondusif.
Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional
terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi para nelayan/
petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang
sangat potensial. Dengan kandungan lokal yang sangat tinggi, volume ekspor produk

perikanan hampir tidak terpengaruh oleh dampak krisis moneter bahkan cenderung
menunjukkan laju peningkatan. Industri pengolahan hasil perikanan merupakan suatu
kegiatan perikanan yang terintegrasi dengan kegiatan perikanan lainnya, produksi
(penangkapan dan budidaya) dan pemasaran dengan tujuan penyediaan pangan dan
non-pangan. Industri ini merupakan suatu kegiatan yang memberikan nilai tambah dari
hasil kegiatan penangkapan dan budidaya. Oleh karena itu pengembangan industri
pengolahan hasil perikanan mempunyai nilai yang strategis bagi pengembangan industri
perikanan, dapat memberikan manfaat finansial maupun ekonomi. Produksi produk
olahan Indonesia baik produk tradisional maupun modern pada tahun 2003 sebanyak
1.129.083 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Jumlah produksi tersebut
didominasi oleh produk-produk olahan tradisional yang mengalahkan produk olahan
modern. Produk olahan tradisional tersebut berturut-turut mulai dari jumlah produksi
tertinggi sampai terendah yakni ikan asin/ kering, ikan pindang, ikan asap, terasi, peda,
dan kecap ikan. Sedangkan produk olahan modern yaknin produk beku, kaleng, dan
tepung ikan. Data
produksi produk olahan ikan laut secara nasional tahun 2000-2001 beserta kenaikan
rata-ratanya disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.
Produksi ikan olahan perikanan laut menurut hasil olahan tahun 2000-2001
(ton)
Produk
2000
2001
Kenaikan rata-rata (%)
Ikan asin/kering
Pindang
Terasi
Ikan peda
Kecap ikan
Ikan asap
Lainnya awetan

576.433
66.259
16.576
7.881
11
34.150
8.417

554.155
133.856
21.565
13.424
458
33.690
27.571

Produk
2000
Kenaikan rata-rata (%)
Pembekuan
Pengalengan
Tepung Ikan
Jumlah

305.244
21.227
1.640
1.037.838

-3,86
102,02
30,1
70,33
4.063,64
-1,35
227,56
2001

306.861
25.299
12.204
1.129.083

0,53
19,18
644,15
8,79

Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003)


Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Ditjen Perikanan Tangkap (2001) jumlah unit
pengolahan tradisional pada tahun 2000 sebanyak 12.967 unit dengan rincian sebagai
berikut :
(1) pengeringan/ penggaraman 7.365 unit (57 %),
(2) pengasapan 2.976 unit (23 %), dan
(3) pemindangan 1.082 unit (8 %).
Unit-unit pengolahan tradisional ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
unit pengolahan modern. Karakteristik tersebut umumnya dianggap sebagai penyebab
sulit berkembangnya unit usaha ini. Lebih lanjut Ditjen Perikanan Tangkap (2001)
menyebutkan karakteristik dari pengolahan tradisional adalah sebagai berikut :

(1) kemampuan pengetahuan pengolah rendah dengan ketrampilan yang diperoleh


secara turun temurun,
(2) tingkat sanitasi dan higienis rendah, sesuai dengan keadaan lingkungan disekitarnya
yang umumnya tidak memiliki sarana air bersih,
(3) permodalannya sangat lemah,
(4) peralatan yang digunakan sangat sederhana, dan
(5) pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal.
2.4 Sanitasi Industri Seafood
Sanitasi sangat penting dalam industri seafood, produksi dengan menggunakan
metode yang tepat akan dapat memberikan konsumen makanan yang memiliki kualitas
tinggi dan sehat. Karena ketentuan ini mencakup fasilitas dan tempat bekerja maka
perencanaan produksi yang tepat dan benar harus dipertimbangkan sebaik
mungkin.Setiap tahap produksi dan distribusi ke konsumen harus terjamin sehingga
produk tersebut tetap sehat.Sanitasi yang efektif memberikan kontribusi terhadap kualitas
seafood yang diinginkan.Seafood sangat mudah terserang mikroorganisme pembusuk
dan penyebab penyakit.
Selain itu, kita perlu mengetahui tentang karakteristik berbagai jenis tanah,
senyawa pembersihan dan sanitizer yang efektif, ketersediaan peralatan pembersihan
dan prosedur sanitasi yang efektif. Setiap Negara harus mempunyai jaminan kesehatan
terhadap produk yang akan diproduksi. Faktor penting lainnya adalah tingkat kesadaran
konsumen akan pentingnya nilai gizi, manfaat dan kondisi pengolahan semua makanan
termasuk makanan hasil laut. Lingkungan di lokasi pabrik makanan hasil laut dapat
berkontribusi terhadap pencemaran dalam pabrik, serta kontaminasi ke produk.Peralatan
pengolahan, kemasan, dan ruang bekerja dapat menjadi sumber kontaminasi.Sanitasi
yang efektif bertujuan untuk mengurangi kontaminasi. Bahan baku dan lingkungan
pengolahan merupakan sumber kontaminasi Listeria monocytogenes. Meskipun bakteri
patogen dapat dimusnahkan dalam pengolahan melalui pasteurisasi dan proses termal,
tetapi pada makanan olahan dan makanan siap saji bakteri tersebut dapat saja tumbuh
kembali.
Penanganan ikan segar oleh para nelayan biasanya dimulai segera setelah ikan
diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah dan kadang-kadang
kurang memperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Suwedo H (1993) bahwa salah satu cara mempertahankan kesegaran
ikan dapat dilakukan dengan memelihara ikan tetap hidup atau dengan menurunkan suhu
ikan mati. Bahkan menurut UNDP, FAO (1991) bahwa perawatan, kebersihan dan
pendinginan adalah kunci untuk memanen hasil tangkapan yang berkualitas baik .

Tabel 3.
Masalah mutu dan keamanan pangan produk perikanan dan kelautan
berdasarkan penyebab dan tahapan kegiatan
Tahapan Kegiatan
Penyebab
Proses alamiah
Pencemaran
Kesalahan proses
Handling abuse

Bahan baku
Pembusukan, oksidasi,
Histamin
Logam berat,
Biotoksin, patogen,
pestisida
Handling abuse

Selama pengolahan
Pembusukan,oksidasi,
histamin
Patogen

Selama penyimpanan
dan distribusi
Pembusukan, oksidasi,
histamin
Patogen

Under/over process,
against GMP
(dekomposisi vitamin,
nutisi, sifat fisik &
fungsional), efek

buruk (senyawa,
karsinogenik)
Kesengajaan

Antibiotik, hormon
pertumbuhan, formalin

Formalin, peroksida,
pewarna, anti jamur

Sumber: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan (2004)
2.4.1 Pertimbangan Konstruksi dengan Prinsip Sanitasi
Suatu pabrik yang dirancang dengan prinsip higienis akan dapat meningkatkan sanitasi
pada bahan pangan dan secara dramatis meningkatkan efisiensi dan efektivitas program
sanitasi itu sendiri. Akan tetapi suatu perencanaan desain yang baik tidak akan dapat
memberikan perlindungan terhadap infeksi atau kontaminasi mikroba lainnya kecuali
disertai dengan proses pemeliharaan dan sanitasi. Di dalam suatu operasi yang higienis,
pihak pengelola atau tim manajemen perlumemastikan tentang keamanan tempat
pengolahan dengan baik dan harus selalu waspada terhadap praktek sanitasi yang tidak
efektif untuk semua fasilitas fisik, unit operasi, karyawan, dan bahan.
2.4.2 Persyaratan Lokasi
Lokasi yang bersih dan menarik sangat diperlukan.Kebersihan tempat harus
dipertahankan untuk dapat memuaskan citra publik, untuk mempromosikan perusahaan
dan industri.Hal penting pertama yang dinilai dari sebuah lokasi adalah untuk pengaturan
personil dan kepada masyarakat, sehingga terkesan baik dengan kondisi bersih, rapi,
dan pabrik yang teratur.Kondisi tempat pabrik sering mencerminkan bagaimana praktek
higienis pada pabrik tersebut.Menurut US Food and Drug Administration (FDA), daerah
yang tidak baik drainasenya dapat berkontribusi terhadap pencemaran produk makanan
melalui kotoran rembesan atau bawaan makanan dan dapat menyebabkan terseedianya
lingkungan yang kondusif untuk proliferasi mikroorganisme dan serangga.
Jalan, pekarangan atau tempat parkir yang terlalu berdebu merupakan daerah yang
berpotensi sebagai sumber kontaminasi yang dapat mengenai makanan. Tempat
pembuangan sampah yang tidak sesuai, peralatan, dan potongan gulma atau rumput
disekitar bangunan pabrik kemungkinan besar juga dapat menyebabkan tersedianya
tempat berkembang biak untuk hewan pengerat, serangga, dan hama lainnya. Lokasi
harus dilengkapi dengan sarana pembuangan limbah dari pabrik seafood.Lokasi ini juga
wajib menyediakan air bersih dalam jumlah yang cukup untuk operasi pabrik. Jika air
diambil dari sumur, maka perlu dilakukan analisis
kandungan mineral dan cemaran mikroba, dan air harus memenuhi standar yang
ditetapkan sesuai badan regulasi. Setelah penggunaan air, ketentuan yang memadai
harus dibuat untuk debit air limbah.
kandungan mineral dan cemaran mikroba, dan air harus memenuhi standar yang
ditetapkan sesuai badan regulasi. Setelah penggunaan air, ketentuan yang memadai
harus dibuat untuk debit air limbah.
2.4.3 Persyaratan Konstruksi Bangunan
Persyaratan konstruksi bangunan berkaitan dengan pertimbangan untuk
pengolahan seafood.Konstruksi harus terbuat dari bahan yang tahan/tidak menyerap air
dan mudah dibersihkan serta tahan terhadap korosi dan kerusakan lainnya. Tempat yang
terbuka harus dilengkapi dengan udara atau jala layar untuk mencegah masuknya
serangga, tikus, burung, dan hama lainnya. Berbagai tahapan konstruksi bangunan akan
memberikan pedoman dalam mendirikan fasilitas yang higienis.
Berikut ini merupakan syarat kontruksi bangunan penyimpanan makanan hasil laut
2.4.4 Lantai
Lantai harus dibuat dari material yang tahan, seperti beton atau ubin tahan air.
Bahan harus tahan lama dengan permukaan yang dapat mencegah akumulasi puing-

puing, tetapi tidak terlalu halus karena dapat menyebabkan tergelincir dan jatuh.Lantai
dengan permukaan agak kasar atau penggunaan partikel abrasif tertanam dapat
mengurangi kecelakaan. Permukaan yang sering digunakan adalah Waterbased acrylic
epoxy resin yang tahan lama, nonabsorbent, mudah-ke-permukaan yang bersih yang
dapat lebih tahan dua kali lipat. Bahan harus mengandung bahan kasar untuk
memberikan permukaan tahan selip.Meskipun biaya hampir penghalang, asam lantai
bata diketahui memuaskan dan tahan lama.Lantai harus menggunakan keramik agar
ikannya terlihat lebih jelas.
2.4.5 Plafon
Plafon harus dibuat sekurang-kurangnya setinggi 3 m di wilayah kerja dengan
bahan yang tahan kelembaban.Salah satu bahan yang dapat diterimaPortland-semen
plester, dengan sendi disegel oleh leksibel sealing compound.Plafon palsu mencegah
puing dari atas kepala pipa, mesin, dan balok dari jatuh ke terpapar produk.Plafon
harus dibuat jaraknya tidak begitu tinggi agar lampunya semakin terang terhadap ikan.
2.4.6 Dinding dan Jendela
Dinding harus halus dan rata dengan bahan nonabsorbent seperti kaca ubin,
bata mengkilap, permukaan halus Portlandcement plester, atau nonabsorbent lain, dan
bahan beracun.Dinding beton harus halus.Meskipun lukisan tidak disarankan, sebuah
nontoxic cat yang tidak diterapkan berbasis.Jendela kusen, jika ada, harus miring pada
posisi sudut 45 derajat untuk mengurangi akumulasi puing- puing.
2.4.7 Pintu Masuk
Pintu masuk harus dibuat dari bahan yang resistant dan terpasang dengan erat
disolder atau dilas jahitan.Double-entry pintu harus disediakan untuk di luar pintu masuk,
serta tirai di luar pintu di daerah pengolahan.Selain itu pintu masuk harus ada air untuk
membersihkan sepatu yang digunakan oleh para pekerja.
2.4.8 Peralatan Pengolahan
Peralatan pengolahan harus tahan lama, dan halus agar mudah
dibersihkan.Permukaan harus bebas dari lubang, retak, dan bersisik.Peralatan harus
dirancang untuk mencegah kontaminasi produk dari pelumas, debu, dan sampah
lainnya.Ditambah lagi desain higienis agar dapat dengan mudah dibersihkan, peralatan
harus dipasang dan dipelihara untuk memudahkan pembersihan permukaan peralatan
dan sekitarnya.Selain itu konstruksi logam juga cukup penting, untuk melindungi seafood
atau produk lainnya yang dapat dimakan harus digunakan stainless steel.Papan
pemotongan harus dibuat dari bahan yang keras, tidak keropos, tahan
kelembaban.Peralatan tersebut juga harus mudah untuk dibersihan.
2.5 SUMBER KONTAMINASI
. Lingkungan pada lokasi pengolahan seafood dapat berkontribusi terhadap
kontaminasi ke produk makanan.Sumber kontaminasi lainnya adalah peralatan
pengolahan, kontainer, dan kontak permukaan. Program Sanitasi yang efektif ini penting
untuk mengurangi kontaminasi dan untuk memantau efektivitas program ini. Ikan mentah
dan sumber pengolahan merupakan lingkungan yang berpotensi untuk terkontaminasi
Listeria monocytogenes
Meskipun patogen ini dapat dihancurkanmelalui pasteurisasi danpengolahan
thermal,
sering
dimasak,
produk
siap
makan
sebagai
post-processing
kontaminasi.Seafood melibatkan begitu banyak varietas daging, jumlah kontaminasi
bervariasi antar spesies.Awal kontaminasi bersumber dari produk mentah, terutama jika
produk tersebut tidak layak dan disebabkan penanganan yang tidak sehat ketika dikapal
atau truk.Pendinginan tertunda setelah mortem dan penanganan yang tidak tepat antara
waktu mortem dan pengolahan dapat mengakibatkan dekomposisi dan menghasilkan
mikroba.
Kualitas seafood yang bebas dari cemaran mikroba, akan mendapatkan hasil yang
memuaskan untuk diproses jika:

Pendinginan dimulai segera setelah mortem.

Pendinginan dengan menurunkan suhu produk hingga 10C dalam waktu 4 jam.

Pendinginan lanjutan kira-kira 1C. Menyimpan ikan pada 27C atau lebih tinggi
selama 4 jam, dengan pendinginan lanjutan ke 1C, akan memberikanproduk yang
hanya dapat tahan selama 12 jam.
2.5.1 Prinsip Sanitasi

Program sanitasi seafood harus mencakup penanganan sanitasi yang tepat serta
menejemen personalia yang baik.
1. Pemeriksaan Faktor Kritis pada Sanitasi
Stanfield (2003) menyarankan bahwa faktor kritis yang perlu diperhatikan ketika
melakukan pemeriksaan sanitasi dari pabrik pengolahan ikan segar atau beku yaitu:

Mencari tanda-tanda kerusakan yang disebabkan oleh hewan pengerat,


serangga, burung, atau binatang peliharaan di dalam pabrik.

Amati praktek karyawan termasuk praktek higienis, kebersihan pakaian, dan


penggunaan larutan pembersih tangan yang tepat.

Periksa untuk menentukan apakah ikan diperiksa saat diterima dan selama
pengolahanterjadi dekomposisi, bau yang menyimpang, dan parasit.

Tentukan apakah peralatan dicuci dan disanitasi siang hari dan pada awal dan
akhir dari siklus produksi harian.

Periksa untuk menentukan apakah ikan tersebut dicuci dengan semprotan


setelah pengeluaran isi dan secara berkala selama proses sebelum kemasan.

Tentukan metode dan kecepatan beku dari ikan beku dan produk ikan segar.

Periksa penggunaan rodentisida dan insektisida untuk meyakinkan bahwa


tidak ada terjadi kontaminasi.

Amati penanganan mulai dari kapal hingga pengemasan dan amati kondisi
tidak baik yang signifikan
2. Pemeriksaan Proses Produksi
Berikut ini merupakan saran pemeriksaan produk menurut Stanfield (2003) yaitu:
a. Rencana aliran dan prosedur manufaktur harus dievaluasi.
b. Pengolahan peralatan harus dievaluasi untuk konstruksi, bahan, dan
kemudahan pembersihan.
c. Peralatan pembersihan dan prosedur sanitasi harus diamati dan dievaluasi
untuk menentukan kecukupannya.
d. Semua prosedur pemotongan diamati dan dievaluasi.
e. Sumber air harus ditentukan dan dievaluasi untuk memastikan bahwa hanya air
yang layak diminum yang digunakan.
f. Jika terjadi keterlambatan produksi yang lama selama pengolahan ikan pada
suhu kamar, maka produk harus diperiksa apakah terjadi dekomposisi.
g. Semua langkah penanganan dalam pengolahan yang berpotensi menyebabkan
kontaminasi harus diperiksa.
h. Waktu dan suhu selama pengolahan harus ditentukan.
i. Jika harus dilakukan pemukulan atau breading dari ikan, proses tersebut harus
ditinjau ulang dengan hati-hati, termasuk suhu dan kemungkinan sumber
kontaminasi.
j. Kepatuhan dengan cara produksi makanan yang baik (GMP) harus dievaluasi
pada akhirnya bertanggung jawab untuk program sanitasi yang efektif dan
memproduksi produk yang sehat, tetapi harus disertai juga dengan karyawan yang dilatih
untuk menjaga lingkungan yang bersih. Karyawan harus diperintahkan untuk memiliki

pengetahuan produk makanan hasil laut dan teknik sanitasi yang layak secara memadai,
sehingga mereka sudah mengetahui mengenai pentingnya efek sanitasi.Setiap karyawan
yang menderita sakit menular seharusnya tidak bekerja di sekitar daerah pengolahan,
bahkan selama pembersihan.Pabrik pengolahan seafood harus memiliki satu atau lebih
karyawan yang bertanggung jawab untuk pemeriksaan semua peralatan sehari-hari dan
daerah pengolahan agar kondisi higienis.Setiap kekurangan dalam hal sanitasi harus
diperbaiki sebelum operasi produksi dimulai.
2.6 Jadwal Pembersihan
Jadwal pembersihan dengan langkah pembersihan yang berurutan merupakan
hal yang penting.Jadwal harus diadopsi untuk setiap area pabrik dan harus
diikuti.Peralatan yang digunakan secara kontinu, seperti conveyor, flumes, mesin filleting,
adonan dan mesin breading, kompor, dan tunnel freezer, harus dibersihkan pada akhir
setiap shift produksi. Jika daerah tersebut bukan daerah yang terrefrigasi, maka mesin
adonan dan peralatan lainnya yang kontak dengan susu atau produk telur harus
dibersihkan selama interval waktu 4-jam dengan pengeringan adonan, menyiram
reservoir adonan dengan air bersih, dan kemudian menambahkan senyawa pembersih.
Pada akhir shift produksi, peralatan ini harus dibongkar, dan semua bagian harus
dibersihkan dan disterilkan.
Bagian berikut ini, seperti alat portabel, harus disimpan di luar dari lantai di lingkungan
yang bersih untuk melindungi dari cipratan air, debu, dan sumber kontaminasi lainnya.
Langkah-langkah berikut berlaku saat membersihkan industri pengolahan seafood:
1) Tutup peralatan listrik dengan polietilen atau equivalen film.
2) Bersihkan puing-puing sisa yang besar dan menempatkannya di wadah.
3) Secara manual atau secara mekanis hilangkan tupukan tanah dari dinding dan
lantai dengan scraping, menyikat, atau dengan perlakuan lainnya.
4) Lepaskan peralatan yang diperlukan.
5) Melakukan tindakan prerinse untuk pembasahan dan penghapusan dan air yang
larut pada puing-puing besar, dengan air pada suhu 40 C atau lebih rendah.
Penentuan suhu sangat berpengaruh. Suhu tinggi dapat menyebabkan
denaturasi residu seafood dan protein lain.
6) Terapkan suatu senyawa pembersih yang efektif terhadap tanah organik .Suhu
larutan pembersih seharusnya tidak melebihi 55 C.
7) Setelah senyawa pembersih telah diterapkan dan diberikan sekitar 15 menit
untuk membantu dalam penghapusan tanah, bilas peralatan dan daerah dengan
air yang 55 hingga 60 C. air panas lebih efektif dalam menghilangkan lemak,
minyak, dan bahan anorganik, membersihkan senyawa membantu dalam
emulsifikasi padatan ini. Selain itu, suhu air yang lebih tinggi memberikan
kontribusi terhadap energi yang lebih tinggi biaya dan kondensasi lebih lanjut
tentang peralatan, dinding, dan langit-langit.
8) Periksa peralatan dan fasilitas untuk efektif membersihkan, dan kekurangan
benar.
9) Pastikan pabrik sanitasi melalui aplikasi dari sebuah pembersih.
10) Hindari kontaminasi selama pemeliharaan dan penyetelan peralatan dengan
mewajibkan pekerja untuk membawa pembersih dan menggunakannya di mana
mereka harus bekerja.
2.7 Perlakuan High Hydrostatic Pressure (Hidrostatik Tekanan Tinggi)
Pengolahan High hydrostatic pressure (HHP) adalah teknik perlakuan yang layak
untuk digunakan dalam mengurangi kontaminasi mikroorganisme patogen untuk
memperpanjang umur simpan produk pangan tersebut.HHP telah diterapkan pada
berbagai makanan, termasuk seafood, jus buah, saus, dan daging.Dong et al. (2003)
menemukan bahwa HHP efektif dalam membunuh mikroorganisme dalam fillet ikan
mentah, namun timbulnya efek yang signifikan padawarna dan tampilan keseluruhan
produk membatasi penerapannya pada pengolahan ikan pada pasar ikan mentah.
Flick (2003) menunjukkan bahwa HHP memberikan keuntungan dalam pemrosesan
seafood seperti mengurangi waktu proses, kesegaran yang tetap, rasa, tekstur,
penampilan, dan warna, dan perubahan fungsional yang lebih rendah dibandingkan

pengolahan termal tradisional. HHP pada 250-300 MPa selama 120 detik membatasi
banyak dari risiko penyakit (seperti Vibrio parahaemolyticus,V. kolera, dan V. vulnificus)
terkait dengan konsumsi kerang mentah (Cook, 2003).
Penggunaan Ozon, Ozon dibutuhkan dalam akuakultur untuk membersihkan air dan
membantu dalam penyaringan dan untuk proses pendingin air. Unit produksi yang
tersedia dengan menggunakan konsentrat oksigen dari udara menggunakan pressure
swing absorption (PSA), menggunakan udara langsung, atau memancing oksigen murni
dari sumber lain (Clark, 2004). Cara yang paling umum adalah PSA, karena umpan gas
harus dikeringkan lagi (untuk mencegah pembentukan yang tidak diinginkan oleh- produk
dari pembentukan ozon) dan proses pengeringan mirip dengan proses konsentrasi.
2.8 Penanganan Limbah
Pengelolaan limbah, termasuk daur ulang produk limbah seafood, merupakan hal
penting. Selain pertimbangan ekonomi, sistem pemulihan yang efektif dapat memberikan
kontribusi untuk operasi yang lebih higienis.Hazard Analisis Critical Control Point Model
Peraturan pengolahan makanan hasil laut, yang menjadi efektif pada tanggal 18
Desember 1997, mengharuskan pabrik pengolahan seafood domestik dan ekspor (luar
negeri) menerapkan sistem kontrol pencegahan untuk keamanan pangan yang dikenal
sebagai Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).
Konsep dasar HACCP adalah untuk:
1.Mengidentifikasi bahaya keamanan pangan karena tidak adanya kontrol yang
cenderung terjadi dalam produk, dan
2.Menetapkan kontrol pada operasi-operasi dalam proses yang akan menghilangkan
atau memperkecil kemungkinan dengan mengidentifikasi bahaya yang akan terjadi.
Standar HACCP adalah acuan bagi teknik pengendalian kualitas industri makanan dan
minuman.Pada beberapa negara, HACCP ini telah diadopsi sejak 10 tahun lalu.
2.9 Pengolahan Hasil Perikanan
Pengolahan hasil perikanan adalah kegiatan yang dilakukan secara bertahap,
berurutan, bersih serta higienik, dan memenuhi persyaratan mutu guna mengubah bahan
mentah hasil perikanan menjadi produk akhir. Sebagaimana produk pangan lainnya,
persyaratan pengolahan produk perikanan pada dasarnya harus mengikuti Good
Manufacturing Practices (GMP) yaitu cara produksi pangan olahan yang baik
sebagaimana diatur oleh Kepmenkes RI No. 23/Men.Kes/SK/I/1978. Hal ini mau tidak
mau harus dilakukan mengingat semakin ketatnya persyaratan ekspor hasil perikanan,
terutama ke pasar Uni Eropa. Oleh karena itu semua Unit Pengolah Ikan yang pasarnya
untuk ekspor, saat ini
harus menerapkan GMP,Standar ... Operationing
Procedure (SSOP) serta Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP). Hal-hal yang
menjadi ruang lingkup GMP meliputi : lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, alat produksi,
bahan, proses pengolahan, produk akhir, laboratorium, karyawan, wadah dan
pembungkus, label, penyimpanan maupun pemeliharaan. Selain harus menerapkan GMP
untuk mendapatkan mutu produk yang memenuhi syarat, juga perlu diperhatikan adanya
persyaratan atau selera konsumen baik untuk tujuan lokal maupun ekspor, termasuk
persyaratan higienik, yang berkaitan dengan jaminan kesehatan mutu produk. Untuk
pengolahan produk perikanan, pada bab ini diuraikan secara umum mengenai
persyaratan bahan baku (hasil perikanan segar dan limbah pengolahan), sanitasi dan
higienis serta Good Manufacturing Practices(GMP).
2.9.1 PERSYARATAN BAHAN BAKU
Bahan mentah yang dapat digunakan sangat beragam jenisnya seperti ikan, udang,
kodok, teripang, bekicot, rumput laut dan sebagainya yang mempunyai ukuran, bentuk
dan sifat yang berlainan. Demikian pula produk olahan dari limbah hasil perikanan harus
memperhatikan persyaratan bahan baku limbah yang digunakan. Cara pengolahan
bahan mentah tersebut berbeda-beda sehingga persyaratannya pun berbeda pula.

2.9.1.1 Bahan mentah ikan.


Kesegaran bahan mentah ikan merupakan faktor utama yang menentukan mutu dan
daya awet produk yang diolah. Hasil perikanan yang baru dipanen, cepat sekali
mengalami penurunan mutu yang menjurus ke arah penguraian dan pembusukan.
Penyebab utama penurunan mutu adalah aksi enzimatik, kimiawi dan bakterial, dan
sangat dipengaruhi oleh faktor suhu. Segera setelah ditangkap, hasil perikanan akan
menurun mutu kesegarannya apabila penanganannya tidak benar yang ditandai dengan
terjadinya perubahan sifat organoleptiknya, yaitu : rupa, bau, citarasa dan teksturnya.
Hanya bahan mentah yang baik yang boleh digunakan untuk tujuan pemasaran segar
atau untuk diolah selanjutnya. Bahan mentah ikan yang rusak atau menurun
kesegarannya, busuk atau tercemar, sehingga tidak baik untuk makanan manusia, tidak
boleh digunakan sebagai bahan mentah untuk pengolahan. Oleh karena itu, bahan
mentah perlu dilindungi sejak ditangkap hingga saat di terima di pabrik untuk diolah.
Pengamanan bahan mentah dilakukan dengan cara penangkapan yang tepat (ikan tidak
luka atau cacat fisik). Pada jenis ikan tertentu (sidat, kepiting atau lobster, udang,
kerang-kerangan) ketentuan persyaratan mutu menuntut keharusan penanganan hidup
sebelum diolah di pabrik. Jenis ikan tersebut sesudah mati, cepat sekali mengalami
penurunan mutu dan membusuk serta menghasilkan senyawa yang dapat
membahayakan kesehatan, sehingga ketika masih hidup harus dilakukan penanganan
yang baik dan benar. Hal ini dilakukan selama pemasaran maupun sebelum dimasak
atau diolah. Atau kalau tidak, maka ikan tersebut harus cepat didinginkan, dibekukan
atau dimasak pendahuluan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk
penyebab kemunduran mutu. . Penanganan hidup dilakukan dengan mengepak dalam
keranjang atau dalam wadah kedap air berisi air tawar atau air laut.
Ikan yang masih segar memiliki penampilan yang menarik dan mendekati kondisi ikan
baru mati. Ikan tampak cemerlang, mengkilap keperakan sesuai jenisnya. Permukaan
tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak
mudah lepas, perut padat dan utuh, sedangkan lubang anus tertutup. Mata ikan
cembung, cerah dan putih jernih, tidak berdarah dengan pupil hitam. Insang masih
tampak merah cerah dan tidak berlendir. Jika berlendir, lendir tersebut hanya sedikit, tipis,
dan bening. Ikan masih lentur atau kaku dengan tekstur daging pejal, lentur, dan jika
ditekan cepat pulih. Bau segar atau sedikit agak amis. Jika kondisi semacam itu masih
dapat dikenali dengan baik, maka ikan dapat dikategorikan sebagai ikan yang masih
segar dan bermutu tinggi. Jika tidak, maka ikan dicurigai sudah kurang segar lagi.
2.9.1.2 Bahan mentah rumput laut.
Rumput laut banyak dimanfaatkan sebagai bahan mentah produk pangan, farmasi
maupun produk non pangan lainnya (pakan, bahan kimia dan lain-lain). Berdasarkan
penggunaan (kesesuaian produknya) umumnya rumput laut dibedakan menjadi rumput
laut penghasil agar-agar (agarophytes), penghasil karaginan (carraggeenophytes) dan
penghasil alginat (alginophytes). Karaginan dibedakan dengan agar berdasarkan
kandungan sulfatnya; karaginan mengandung minimal 18% sulfat sedang agar-agar
hanya mengandung 3-4%. Jenis rumput laut penghasil agar antara lain
adalah Gracillaria, Gelidium, Gelidielladan Gelidiopsis. Jenis-jenis rumput laut penghasil
karaginan
antara
lain
adalah Eucheuma,
Chondrus,
Gigartina,
Hypnea,
Iradea dan Phyllophora,
yang
semuanya
termasuk
rumput
laut
merah.
SedangkanSargassum dan Turbinaria dikenal sebagai rumput laut penghasil alginat. Hal
yang penting diperhatikan pada rumput laut sebagai bahan baku adalah umur yang tepat
(sesuai jenis dan lokasi pertumbuhannya) untuk dipanen dimana kandungan
fikokoloidnya (agar-agar, karaginan atau alginat) terdapat dalam jumlah maksimal.
Rumput laut jenis Eucheuma dapat dipanen setelah tanaman berumur 1,5-2 bulan,
diameterthallus kurang
lebih
1
cm,
warna thallus hijau
atau
merah
tua.
Sedangkan Gracillaria dapat dipanen setelah tanaman berumur 3 bulan (panen
berikutnya 2 bulan), diameter thallus kurang lebih 2 mm, panjang thallus20-30 cm dan
warna thallus hijau atau merah tua. Setelah dipanen rumput laut dibersihkan dari
tumbuhan lain yang menempel serta benda-benda asing lainnya seperti kerikil, koral,
kerang, tali rafia, plastik dan lain-lain, kemudian dijemur di atas para-para, dan harus
dihindarkan dari pengaruh embun dan hujan. Pengeringan yang tidak sempurna

menyebabkan terjadinya fermentasi dan bau busuk, sehingga mengakibatkan mutu hasil
ekstraksinya (terutama rendemen dan kekuatan gelnya) menjadi rendah.
laut hasil kegiatan panen di atas masih belum siap untuk diolah. Terhadap rumput laut di
atas sebelum disimpan menjadi bahan yang siap untuk diolah, harus dilakukan pencucian
dan pengeringan kembali untuk mendapatkan rumput laut yang lebih bersih dengan
kadar air yang lebih rendah. Hal ini dilakukan karena rumput laut kering yang diperoleh
pada saat panen masih banyak mengandung pasir dan garam (2-3%) dan karena garam
bersifat higroskopis memungkinkan kadar airnya meningkat lagi. Untuk pencucian dan
perendaman rumput laut jenis Eucheuma, Gelidium dan Hypneabiasanya digunakan air
laut bersih selama sekitar 2 jam, kemudian dijemur sampai kering. Sedangkan untuk
rumput laut Gracillaria pencucian cukup dengan menggunakan air tawar dan diikuti
dengan pengeringan/penjemuran. Pencucian rumput laut Sargassum dilakukan dengan
menggunakan air laut kemudian diikuti dengan perendaman dalam larutan KOH 2%
untuk mempertahankan kadar alginat dan menghilangkan garam-garam mineral, setelah
itu dicuci dengan air bersih dan dijemur sampai kering. Rumput laut kering yang diperoleh
selanjutnya dikemas dalam karung, plastik, goni atau karton yang bersih dan tidak
tercemar bahan kimia yang berbahaya kemudian disimpan dalam gudang yang bersih
dan kering/tidak lembab.
2.9.1.3 Bahan mentah limbah pengolahan.
Limbah pengolahan hasil perikanan sebagai bahan mentah adalah hasil samping dari
proses produksi/pengolahan hasil perikanan yang masih dapat dimanfaatkan untuk diolah
lebih lanjut menjadi produk yang memiliki nilai tambah.Beberapa contoh limbah
pengolahan yang bisa dimanfaatkan adalah limbah pembekuan/pengolahan udang dan
rajungan (diolah lebih lanjut menjadi kitin/kitosan), limbah pengolahan fillet ikan (kulitnya
untuk gelatin dan kulit tersamak), limbah pengalengan ikan (untuk tepung ikan) dan lainlain.
Sebagaimana bahan mentah lainnya, persyaratan utama limbah untuk dapat diolah
lebih lanjut menjadi produk yang berkualitas tinggi adalah harus memiliki kesegaran yang
prima dan dalam hal tertentu harus terhindar dari kerusakan fisik (misalnya kulit ikan
yang akan disamak). Apabila limbah pengolahan hasil perikanan akan dimanfaatkan lebih
lanjut, maka harus sesegera mungkin diolah atau kalau tidak, harus segera didinginkan
atau dibekukan. Sebagai langkah awal, terhadap limbah harus dilakukan pencucian untuk
menghilangkan kotoran, darah, lemak, atau bahan-bahan lain yang tidak diinginkan
kemudian diikuti dengan pendinginan atau pengeringan atau pengolahan lebih lanjut.
Dalam hal tertentu apabila limbah akan dilakukan proses reduksi melalui
pengeringan/penjemuran maka harus dipastikan bahwa cuaca sedang baik. Sedangkan
limbah krustasea untuk pengolahan kitin/kitosan sebaiknya dilakukan perendaman
menggunakan larutan NaOH encer sebelum dikeringkan, yang dimaksudkan untuk
menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk maupun untuk mencegah gangguan tikus
atau serangga lainnya. Pengemasan dan penyimpanan limbah sebelum diolah lebih
lanjut harus dilakukan dengan baik dan benar.
2.10 Analisis kebijakan mutu dan keamanan pangan produk perikanan
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui kebijakan jaminan mutu dan
keamanan pangan produk perikanan bagi produk hasil perikanan. Analisis dilakukan
terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik pemerintah pusat
terutama sejak diberlakukannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
Kep.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan maupun
pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah yang terkait dengan kebijakan mutu
dan keamanan pangan khususnya usaha perdagangan dan pengolahan hasil perikanan. .
Beberapa jenis Penanganan dan pengolahan hasil laut (Seafood) :
1. Penanganan dan Pengolahan Ikan asin/ kering
2. Penanganan dan Pengolahan Terasi dan Rebon
3. Penanganan dan Pengolahan Kerupuk Ikan

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan
kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Lokasi yang bersih dan
menarik sangat diperlukan. Kebersihan tempat harus dipertahankan untuk dapat
memuaskan citra publik, untuk mempromosikan perusahaan dan industry. Konstruksi
harus terbuat dari bahan yang tahan/tidak menyerap air dan mudah dibersihkan serta
tahan terhadap korosi dan kerusakan lainnya. Lantai harus dibuat dari materi yang
tahan, seperti beton atau ubin tahan air. Plafon harus dibuat sekurang-kurangnya 3 m
tinggi di wilayah kerja dengan bahan tahan kelembaban. Dinding harus halus dan
rata dengan bahan nonabsorbent seperti kaca ubin, bata mengkilap, Pintu masuk
harus dibuat dari bahan yang rustresistant dengan erat disolder atau dilas jahitan.
Peralatan pengolahan harus tahan lama, dan halus agar mudah dibersihkan.
Permukaan harus bebas dari lubang, retak, dan bersisik. Lingkungan pada lokasi
pabrik seafooddapat berkontribusi terhadap kontaminasi dalam produk makanan.
Sumber kontaminasi lainnya adalah peralatan pengolahan, kontainer, dan kontak
permukaan. Program sanitasi makanan hasil laut harus mencakup penanganan
sanitasi yang tepat serta menejemen personalia yang baik. Pengelolaan limbah,
termasuk daur ulangproduk limbah seafood, merupakan hal penting yang terus
meningkat.

3.2 Saran
Saran sangat diharapkan oleh kelompok dalam upaya memperbaiki hasil tulisan.

DAFTAR PUSTAKA

Cook, D.W. 2003. Sensitivity of vibrio species and phosphatebuffered saline and
in oysters to high-pressure processing. J Food Prot 66: 2276
Flick, G.J. 2003. High pressure processing-Improve safety and extend freshness
without sacrificing quality. Unpublished data. Virginia Polytechnic Institute & State
University
riyadi.putut.2006. analisis kebijakan keamanan pangan produk hasil perikanan di
pantura jawa tengah dan DIY.http://eprints.undip.ac.id/15287/1/putut_har_
riyadik4a001022.pdf diakses : 22 april 2015
Stanfield, P. 2003. Seafood Processing: Basic Sanitation Practices In Food plant
Sanitation. eds. Y.H. Hui, et al., 543. Marcel Dekker, Inc, New York.
susiwi.2009.
(sanitation standard operating procedures) s p o sanitasi
.http://file.upi.edu/direktori/fpmipa/jur._pend._kimia/195109191980032susiwi/susiwi-30._dokumentasi_ssop.pdf diakses : 22 april 2015

Anda mungkin juga menyukai