KKLDGiliSulatGiliLawang
PengembanganSistemObservasiuntukKawasanPesisir
BalaiRisetdanObservasiKelautan
BadanRisetKelautandanPerikanan
DepartemenKelautandanPerikanan
TA2007
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia (mega biodiversity) dan termasuk dalam kawasan CTC (Coral Triangle
Center). Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik dalam bentuk
keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat
berharga, untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Tingginya keanekaragaman
hayati perairan tersebut dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan
rakyat Indonesia bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan memperhatikan
karakteristik dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, serta mengacu pada setiap
peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 75% terdiri dari perairan
pesisir dan lautan, dengan luas perairan sekitar 5,8 juta km2 (3,1 juta km2 lautan teritorial
dan archipelago, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Secara geografis
kepulauan dan perairan Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis karena terletak
antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan antara Benua Asia dan Australia,
termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat dan Paparan Sahul di bagian timur.
Sejalan dengan tugas pokok Departemen Kelautan dan Perikanan cq. Dirketorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat konservasi dan Taman Nasional
Laut memiliki misi dan tanggung jawab untuk mendorong dan memfasilitasi daerah untuk
mengembangkan program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dalam skala kecil
maupun besar khususnya dalam mekanisme penentuan zonasinya.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan paradigma baru, disamping
kawsan konservasi nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam hal ini Pemerintah
Daerah berkewajiban mengatur sumberdaya alam laut di wilayahnya melalui Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 menyatakan
bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayahnya.
Pengelolaan sumberdaya alam laut menjadi hal yang penting di daerah oleh karenanya
rencana pengelolaan KKLD Gili Lawang dan Gili Sulat perlu disusun berdasarkan kajian
ilmiah, mengacu kepada pedoman pembentukan Kawasan Konservasi Laut dan sesuai
kebutuhan daerah. Balai Riset dan Observasi Kelautan SEACORM (South East Asia Center
for Ocean Research and Monitoring) sebagai salah satu UPT dari Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan merasa perlu mengadakan kajian lebih lanjut
dalam memberikan rekomendasi guna penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah
khususnya di Lombok Timur (Gili Sulat dan Gili Lawang).
1.2.TUJUAN
Kegiatan ini bertujuan untuk :
Studi lokasi dan kelayakan potensi sumberdaya kelautan dalam rangka penentuan
zonasi KKLD dengan data insitu.
Penentuan zonasi kawasan konservasi dengan mengintegrasi data satelit dan aplikasi
dengan program Marxan.
1.3.SASARAN
Sasaran dari kegiatan ini adalah mengetahui potensi sumberdaya pesisir guna
pelaksanaan penentuan kawasan konservasi laut daerah sehingga diharapkan dapat
terwujud suatu kawasan pengelolaan sumberdaya laut secara efisien dan
berkesinambungan dengan melihat carrying capacity KKLD khususnya di Gili Lawang dan
Gili Sulat.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI KEGIATAN
Secara administratif, Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang dengan luas wilayah masingmasing 694 ha dan 483 ha merupakan bagian dari Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia,
yang terletak sebelah timur dari pusat Desa Sambelia. Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang
merupakan kawasan hutan lindung yang berupa hutan mangrove.
Berdasarkan peritungan dari citra satelit Ikonos diperoleh informasi luasan Gili Sulat serta
jenis penutupan lahannya (tabel 1), yaitu :
Jumlah (ha)
2.409
2.236
641.630
47.599
0.775
178.688
35.666
909.003
Sedangkan berdasarkan perhitungan dari citra satelit ikonos diperoleh informasi luasan
Pulau Gili Lawang serta jenis penutupan lahannya (Tabel 2), yaitu :
Jumlah (ha)
21.367
5.996
13.028
369.023
35.682
1.932
181.254
40.892
909.003
Oleh karena Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang pada umumnya merupakan kawasan
mangrove, sehingga daerah ini tidak berpenghuni atau tidak didiami secara menetap,
kecuali pada saat-saat tertentu, hanya disinggahi oleh para nelayan yang menangkap ikan di
lokasi sekitar pulau-pulau tersebut.
Mata pencaharian penduduk Desa Sambelia pada umumnya adalah sebagai petani sawah
dan petani lahan pekarangan seperti tembakau, kelapa, umbi-umbian, dan kacangkacangan. Sedangkan masyarakat yang bermata pencaharian nelayan umumnya bertempat
tinggal di wilayah pantai terutama di Labuhan Pandan dan Sugian (Tekalok Dalam).
Rendahnya tingkat perekonomian masyarakat juga dapat dilihat dari kondisi perumahan
terlihat bahwa sebagian besar 5,77% terdiri atas rumah dengan tipe sederhana, 25,82%
rumah permanen, dan 21,41% sisanya merupakan rumah semi permanen.
Penduduk Desa Sambelia umunya etnis Sasak. Etnis Sasak merupakan penduduk asli Desa
Sambelia. Selain itu terdapat juga etnis lain seperti Bugis, Mandar, Makassar dan Jawa. Etnis
Bugis, Mandar dan Makassar mendominasi profesi nelayan, sementara etnis Sasak lebih
banyak mengembangkan perikanan budidaya seperti tambak udang dan tambak kepiting.
Dari total jumlah penduduk Kecamatan Sambelia mayoritas memeluk agama Islam.
Sebagian kecil masyarakat lainnya memeluk agama Hindu sejumlah 108 jiwa; agama
Kristen/Khatolik 35 jiwa; dan agama Budha 4 jiwa.
Pulau Gili Sulat dab Gili Lawang mempunyai jarak yang cukup dekat baik dengan mainland
(Kecamatan Sambelia), Ibukota Kabupaten (Selong) dan Ibukota Propinsi (Mataram). Dari
Pulau Gili Sulat maupun Gili Lawang ke mainland dapat dicapai dalam waktu 10 30 menit
dengan menggunakan perahu bermotor 25 PK. Sedangkan dari pulau ke Ibukota Kabupaten
dapat ditempuh dalam waktu 40 60 menit dan dari Pulau ke Ibukota Propinsi dapat
ditempuh dalam waktu 2,5 3 jam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Mangrove
Mangrove merupakan jenis tumbuhan pantai yang secara spesifik tumbuh subur di
sepanjang pantai beriklim tropis dan sub tropis yang terlindung dengan membentuk formasi
di sepanjang pantai yang hidupnya dari hasil perpaduan antara daratan dan lautan.
Tumbuhan ini memiliki sistem perakaran menonjol yang disebut akar napas (pneumatofor)
yang mampu beradaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen. Karena itu
tumbuhan mangrove memperoleh sumber makanan dari dua alam yakni air laut (laut
pasang) dan air tawar ditambah bahan makanan pendukung dari endapan debu hasil erosi
sungai yang memperkaya sedimen dan mineral pada daerah rawa-rawa dimana mangrove
tumbuh.
Beberapa jenis mangrove yang dikenal di Indonesia antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api
(Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera).
Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh di antara garis pasang
surut tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang pada dataran koral mati yang diatasnya
ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur dan berkembang
biak di daerah tropis dan keberadaannya sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber
daya disebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah
pantai adalah sebagai penyambung dan penyeimbang darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan,
hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau kearah laut melalui mangrove.
Batasan hutan mangrove menurut Samingan (1993) adalah hutan yang terutama tumbuh
pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang
surut air laut. Ciri-ciri hutan bakau menurut Soerianegara dan Indrawan (1980) adalah :a.
Tidak terpengaruh iklim, b. Terpengaruh pasang surut, c. Tanah ditenggelami air laut, tanah
lumpur atau berpasir terutama tanah liat, d. Tanah rendah pantai, e. Hutan tidak
mempunyai strata tajuk.
Hutan mangrove dikenal beberapa jenis antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia),
Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Di Indonesia mangrove dikenal sebagai hutan
pasang surut atau hutan bakau yang umumnya tumbuh pada daerah yang tanahnya
berlumpur, berlempung atau berpasir.
Vegetasri hutan mangrove di Indonesia ada sekitar 47 jenis tumbuhan yang spesifik
mangrove dimana berbagai jenis satwa liar hidup diantaranya terancam punah seperti
Harimau Sumatera, Bekantan, Wilwo (Mycte ria Cinerea), Bubut Hitam (Centropus
Nigrorufus) dan Bangau Tongtong (Leptoptilus Javanicus), serta tempat persinggahan bagi
burung-burung migran.
Manfaatnya secara ekologis mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning
grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies
lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh
di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan
ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini
bersifat deskriptif.
Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk
mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa
membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi. Istilah lain yang umum digunakan
untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV).
Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi
obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang
gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam
membedakan obyek.
Pemetaan penutup lahan diperoleh dari hasil klasifikasi multispektral citra digital. Klasifikasi
multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi
tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria yaitu nilai
spektral pada beberapa saluran sekaligus. Tiap obyek cenderung memberikan pola respon
spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin teliti
hasil klasifikasi multispektral tersebut.
Klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai pixel representatif tiap obyek
secara sampling. Nilai pixel dari tiap sampel tersebut digunakan sebagai masukan dalam
proses klasifikasi. Ekstraksi informasi penutup lahan dikerjakan berdasarkan warna pada
citra komposit, analisis statistik dan analisis grafis. Analisis statistik digunakan dengan
memperhatikan nilai rerata, standar deviasi, varians, dan kovarians, dari setiap kelas sampel
yang diambil guna menentukan keterpisahan sampel. Analisis grafis digunakan untuk
melihat sebaran piksel-piksel suatu kelas yang diasumsikan sebagai kelas yang homogen
apabila piksel-piksel yang diambil sebagai sampel, bergerombol dalam satu gugus, dengan
memperhatikan posisi gugus sampel dalam diagram pencar.
Dalam mengkelaskan nilai-nilai spektral citra menggunakan banyak feature tersebut, dikenal
istilah klasifikasi teracu (supervised classification) dan klasifikasi tak teracu (unsupervised
classification). Istilah 'klasifikasi teracu digunakan, karena metode ini mengelompokan nilai
pixel berdasarkan informasi penutup lahan aktual di pemukan bumi, sedangkan istilah
'klasifikasi tak teracu' digunakan, karena proses pengkelasannya hanya mendasarkan pada
infomasi gugus-gugus spektal yang tidak bertumpang susun, pada ambang jarak (threshold
distance) tertentu, dan saluran-saluran yang digunakan.
Informasi yang diperoleh dari proses pengkelasan nilai-nilai spektral bukan merupakan tipe
penggunaan lahan, melainkan berupa klas penutup lahan. Berdasarkan hal tersebut,
penamaan sampel mengacu pada posisi sampel dalam feature,space, dan diarahkan pada
penyusunan klas-klas spektral seperti pada diagram pencar. Dengan mengacu diagram
pencar tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat suatu trend atau kecenderungan obyek
permukaan bumi meliputi vegetasi, air dan tanah bahkan dapat dibedakan kondisi kerapatan
vegetasi secara horisontal (ground cover) dan vertikal (Leaf Area Index)
3.2. Terumbu Karang
Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan
dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang
membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu
(karang ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat Gili Lawang
Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir TA 2007
zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur
yang kemudian dikenal reef building corals,sedangkan kelompok kedua tidak dapat
membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan nonreef building corals yang secara
normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).
Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu karang (polip) yang dapat
hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni
membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri
hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur
tersebut disebut terumbu
Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang dibentuk oleh proses geologi alam.
Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan informasi kecenderungan
bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona dengan memperhatikan faktor jarak
ekosistem terhadap daratan (pulau) ataupun terhadap laut lepas. Charles Darwin (1842)
mengemukakan tiga perbedaaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman
Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang
pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke
arah laut terbuka.Terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), berada jauh dari pantai yang
dipisahkan oleh goba (lagoon) dengan kedalaman 40 70 meter. Umumnya terumbu
karang ini memanjang menyusuri pantai. Atol (atolls), yang merupakan karang berbentuk
melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan
melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak.
Bentuk Pertumbuhan Karang
Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas
cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan,
sedimen, subareal exposure dan faktor genetik.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan nonAcropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non- Acropora terletak pada
struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit,
sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit.
Faktor yang Mempengaruhi Bentuk Pertumbuhan
Jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung pada kondisi lingkungan atau habitat
tempat karang itu hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh
suatu jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karangkarang kecil yang umumnya berbentuk masif dan submasif.
Lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang. Karang masif lebih
banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus. Gelombang berpengaruh
terhadap perubahan bentuk koloni terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung dari
gelombang (leeward zones) memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang,
berbeda pada gelombang yang kuat (windwardzones) kecenderungan pertumbuhan
berbentuk percabangan pendek, kuat, merayap atau submasif. Secara umum ada empat
faktor dominan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan
hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure.
A irborne
O bservation
R ecieving S ystem
Processing S ystem
Target O bservation
U ser System
10
Gambar 2. Reflektansi berbagai objek dipermukaan bumi pada suatu panjang Panjang gelombang
dan band spektral satelit penginderaan jarak jauh (Sumber : Trisakti. B, dkk (2003))
11
BAB IV
HASIL SURVEY
4.1. MANGROVE
Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengelilingi pulau untuk mendapatkan lokasi plot
(cek poin). Jumlah cek poin yang didapat adalah 64 titik, yaitu 25 titik di Gili Lawang dan 39
titik di Gili Sulat (Gambar 4). Tujuannya adalah mendapatkan gambaran sekilas mengenai
karakteristik hutan mangrove di kedua pulau. Plot, yang merupakan transek 10m x 10m,
dilakukan di beberapa lokasi yang memiliki zonasi tertentu atau perubahan jenis vegetasi.
Tiga pengukuran yang dilakukan, yaitu kerapatan, basal area (dominasi) dan probabilitas
species per plot (frekuensi). Namun karena keterbatasan waktu, hanya tercapai 19 plot,
yaitu 14 plot di Gili Lawang dan 5 plot di Gili Sulat (Gambar 5).
12
13
Rhizophora apiculata
Rhizophora
mucronata
Rhizophora stylosa
Bruguiera
gymnorrhiza
Aegiceras floridum
Aegiceras
corniculatum
Sonneratia alba
Sonneratia
caseolaris
Xylocarpus
mekongensis
Lumnitzera
racemosa
Pemphis acidula
Avicennia marina
Ceriops sp
14
Pada sisi timur, kedua pulau juga memiliki struktur komunitas serupa, yaitu jenis mangrove
yang lebih bervariasi dan beberapa terlihat sangat tua (Gambar 5). Pantai terluar didominasi
oleh genus Rhizophora (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora
Gambar 8. Struktur komunitas hutan mangrove di pantai sisi timur pada saat pasang.
Komunitas hutan mangrove yang berbeda ini bertemu disuatu zona transisi dimana terdapat
komunitas peralihan, yaitu suatu komunitas gabungan antara dua komunitas tersebut. Di
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat Gili Lawang
Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir TA 2007
15
lokasi ini genus Rhizophora berkelompok dengan genus Sonneratia dan Aegiceras, yang
hanya umum ditemukan di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang.
Gambar 11. Zonasi hutan mangrove di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang
16
Gambar 12. Zonasi hutan mangrove di sisi barat Gili Sulat dan Gili Lawang
Lokasi
Luas (Ha)
Kondisi
Gili Sulat
663,50
Rusak sedang
Gili Lawang
423,36
Rusak sedang
Tabel 3. Luas hutan mangrove menurut sumber dari Ditjen RLHS, Dephut
(2002). Data ini belum diklarifikasi kembali dalam survey karena belum
tersedianya data citra.
Study mengenai perkembangan kondisi hutan mangrove dapat dilakukan dengan komparasi
kerapatan terdahulu dengan sekarang. Kegiatan ini memerlukan data citra satelit yang dicek
dengan data lapangan. Dari data citra terdahulu, terlihat perbedaan tutupan lahan
dibandingkan dengan data lapangan terakhir. Namun kegiatan ini belum dapat dilakukan
karena belum tersedianya data citra terbaru.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat Gili Lawang
Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir TA 2007
17
ca
ot
sp
sa
rk
dc
cr
abr
aen
atb
adg
Asm
Nen
Nsm
Nm
Nbr
Nfo
Nmu
Fire
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
Site II Gili
Sulat
+
+
+
+
+
+
+
-
Lc
Sft
Blue
Op
Fanwhip
An
Can
Keterangan : + (ada), - (tidak ada)
+
+
-
10
20
30
40
-5
-10
-15
-20
Gambar 16. Profile Transek pada Site I Gili Sulat
19
0
lc
sf t
blu
e
fa Op
nwh
ip
An
Ca
n
nm
0
ne
n
ns
m
cr
ab
r
ae
n
at
b
ad
g
as
m
nm
0
rk
sa
0
sp
ca
ot
fi r
dc
11
nf
13
nb
Jumlah
33
Gambar 17. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site I Gili Sulat
nbr
34%
nm
5%
nfo
7%
nsm
2%
nmu
2%
nen
3%
ca
7%
aen
6%
ot
1%
abr
11%
cr
13%
dc
2%
sp
7%
Gambar 18. Persent Cover Benthic Life Form pada Site I Gili Sulat
20
Kedalaman
0
0
10
20
30
40
-5
-10
-15
Jumlah
44
16
Gambar 20. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site II Gili Sulat
f a Op
nwh
ip
An
Ca
n
ue
bl
lc
sf t
r
nf
o
nm
u
f ir
e
nm
cr
ab
r
ae
n
at
b
ad
g
as
m
ne
n
ns
m
dc
0
rk
sp
sa
0
ot
ca
nb
21
An sp cr
2% 2% 2%
abr
20%
aen
10%
sft
55%
nen
2%
nbr
2%
nm
5%
Gambar 21. Persent Cover Benthic Life Form pada Site II Gili Sulat
Kedalaman
0
-5
10
20
30
40
-10
-15
-20
-25
22
8
1
fa Op
nwh
ip
An
Ca
n
ue
bl
lc
sft
rk
dc
cr
ab
r
ae
n
at
b
ad
g
as
m
ne
n
ns
m
sp
sa
ca
ot
18
11
nb
r
nf
o
nm
u
f ir
e
14
nm
Jumlah
35
nmu
1%
ca ot
4% 2%
dc
14%
nfo
37%
cr
11%
nbr
8%
nm
4%
abr
19%
Gambar 24. Persent Cover Benthic Life Form pada Site III Gili Lawang
23
0
0
10
20
30
40
Kedalaman (m)
-5
-10
-15
-20
-25
14
10
8
An
Ca
n
at
b
ad
g
as
m
cr
ab
r
ae
n
bl
ue
fa Op
nwh
ip
dc
rk
0
sa
ot
sp
ca
lc
sft
nb
r
nf
o
nm
u
f ir
e
ne
n
ns
m
nm
Jumlah
10
Gambar 26. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site IV Gili Lawang
24
nfo
5%
ca
10%
nbr
20%
ot
1%
sp
5%
rk
1%
dc
15%
nm
1%
nsm
11%
cr
8%
nen
4% atb
5%
abr
14%
Gambar 27. Persent Cover Benthic Life Form pada Site IV Gili Lawang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non acropora
foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non acropora branching (nbr) pada
site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili
Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%.
Konservasi
Terumbu karang
Mangrove a
Mangrove b
Mangrove c
Lamun
Benthos
SPF
2
2
1,5
0,75
1,25
1,5
Cost
Kampung
Sebaran sedimen
Jalur layar
Bom Ikan
Dive site
Shelter
Skor
1
2
1
2
1
1
Kedua fitur tersebut didasarkan pada tabel ketetapan nilai dibawah ini :
25
Gambar 28. Flow Chart Running Marxan (Sumber : TNC CTC Modul 3 Pengantar Marxan, 2007)
26
Tabel 7. Data kualitas air laut Di Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat
Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Lokasi
G Lawang
G Lawang
G Lawang
G Lawang
G Lawang
G Lawang
G Lawang
G Sulat
G Sulat
G Sulat
G Sulat
G Sulat
G Sulat
G Sulat
TS
42350
43390
43560
42610
43760
35660
43160
43240
44050
42870
55850
55290
42920
43350
Nitrat
0,163
0,142
0,144
0,145
0,15
0,141
0,165
0,127
0,133
0,17
0,14
0,14
0,21
0,213
Nitrit
0,031
0,032
0,039
0,031
0,035
0,031
0,035
0,029
0,032
0,046
0,029
0,032
0,029
0,032
Phosfat
0,233
0,231
0,216
0,242
0,239
0,226
0,221
0,231
0,239
0,231
0,247
0,234
0,237
0,239
Amonia
0,222
0,229
0,237
0,221
0,212
0,208
0,217
0,231
0,207
0,231
0,229
0,217
0,203
0,226
27
Tabel 8. Baku Mutu Air Laut Peruntukan Wisata Bahari Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun
2004
No
Parameter
Satuan
Fisika
1
2
Suhu
Kecerahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
pH
Salinitas
DO
Amoniak Bebas
Fosfat
Nitrat
Sulfida
Minyak dan Lemak
BOD5
Baku mutu
c
m
30
>6
%o
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
7-8.5
Alami
>5
Nihil
0.015
0.008
Nihil
1
10
Kimia
Tabel 9. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota laut Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004
No
Parameter
Satuan
Baku mutu
Fisika
o
Alami
Coral 28-30
Mangrove 28-32
Lamun 28-30
Coral>5
Mangrove
Lamun >3
Suhu
Kecerahan
pH
Salinitas
%o
3
4
5
6
7
8
9
10
DO
Amoniak Bebas
Fosfat
Nitrat
Sulfida
Minyak dan Lemak
BOD5
Pestisida
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
g/l
7-8.5
Alami
Coral 33-34
Mangrove s/d 34
Lamun 33-34
>5
0.3
0.015
0.008
0.01
1
20
0.01
1
2
plankton
Bakteri Total
Sel/100 ml
MPN/100 ml
Tidak bloom
1000
m
Kimia
Biologi
Kualitas perairan disekitar Gili Lawang dan Gili Sulat akan ditinjau dari dua sisi pemanfaatan
yaitu untuk kepentingan ekowisata dan kepentingan dari pertumbuhan biota laut. Pada
pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD
tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat
untuk peruntukan biota laut masih dibawah ambang batas, jadi masih baik untuk berbagai
macam biota laut. Sedangkan kandungan Ammonia yang berada disekitar perairan Gili
Lawang sudah diatas ambang batas.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat Gili Lawang
Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir TA 2007
28
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil survey yang didapat tingkat kerapatan mangrove di Pulau Gili Lawang dan Pulau
Gili Sulat terdapat di sisi utara masing-masing pulau, Keanekaragaman spesies mangrove di
kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan
salinitas sekitar 34-35 . Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera
merupakan genus dominan. Keragaman genus mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua
pulau.
Sedangkan terumbu karang berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat
dominasi dari coral non acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral
non acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20%
secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%.
Berdasarkan hasil olahan software Marxan didapatkan hasil no take zone terdapat
di hampir sebagian Pulau Gili Lawang, ini disebabkan karena : pada sisi barat Pulau terdapat
coral rubble/karang mati dan terumbu karang yang masih dalam/sementara proses recovery
juga adanya fitur Cost ; jalur layar, kampung, sebaran sedimen, bom ikan, dive site, dan
shelter sebagai faktor pembatas dalam menentukan kawasan/zona inti dalam hal ini No
take zone.
Dan untuk pengukuran kualitas air laut pada pengujian di sekitar perairan Gili
Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal
karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk biota laut masih dibawah
ambang batas.
29
BAB VI
TAHAPAN SELANJUTNYA
Kegiatan di lokasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang
(Lombok Timur) telah dilaksanakan. Secara ruang lingkup kegiatan ini telah melaksanakan
pengumpulan data Oseanografi (model arus), Kualitas perairan, mangrove, dan terumbu
karang serta permodelan dengan menggunakan program MARXAN guna rekomendasi
penentuan kawasan KKLD.
Tahapan selanjutnya untuk kegiatan ini adalah observasi dan kajian pemanfaatan kawasan
konservasi laut di Gili Sulat dan Gili Lawang dan yang direncanakan pelaksanaannya pada
tahun 2008. Adapun cakupan kegiatan selanjutnya adalah :
1. Pembuatan media coral farming (sexual reproduction methods).
2. Pengukuran parameter fisikokimia dan analisa kualitas air laut serta pola arus
nutrien (Nutrient flow).
Dengan adanya kegiatan tahap lanjutan diharapkan akan memiliki hasil yang tidak hanya
berorientasi terhadap penentuan zonasi kawasan konservasi, tetapi juga dapat memberikan
kontribusi dalam menjaga daya dukung (carrying capacity) serta tersedianya data parameter
fisikokimia air laut dan pola arus nutrien (Nutrient flow).
30
DOKUMENTASI
PELAKSANAAN SURVEY
31
Transek mangrove
32