Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Kolestasis didefinisikan sebagai hambatan aliran empedu, dengan manifestasi sebagai


conjugated hyperbilirubinemia disertai hambatan bahan-bahan (seperti bilirubin, asam
empedu dan kolesterol) dan secara histopatologis terlihat penumpukan empedu di dalam
hepatosit dan bilier. Kadar bilirubin direk > 1mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5
mg/dL atau > 20% dari kadar bilirubin total apabila kadar bilirubin total lebih dari 5
mg/dL. 1
Akibat penumpukan empedu di sel hati, bayi terlihat ikterik, urin berwarna lebih gelap
dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul. Kolestasis harus dipikirkan sebagai
salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir bila ikterus menetap setelah bayi berusia
2 minggu.2
Penyebab kolestasis pada bayi ini sangat beragam, berupa penyakit atau kelainan
fungsional. Diantaranya adalah infeksi, kelainan genetik, kelainan metabolik yang
menimbulkan kolestasis intrahepatik yang disebut kolestasis hepatoseluler atau berbagai
kelainan yang mempengaruhi saluran bilier ekstrahepatik yang disebut juga kolestasis
obstruktif yang dapat berupa kolestasis obstruktif intrahepatik atau kolestsis obstruktif
ekstrahepatik. Lebih dari 90% penyebab kolestasis obstruktif adalah atresia bilier yang
memerlukan tindakan operasi dini.3
Kolestasis menunjukan suatu keadaan yang patologis pada hepatobilier, betapapun
ringannya ikterus tersebut. Oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan intensif sedini
mungkin agar dapat mencegah kerusakan hati yang permanen dan progresif. Pada atresia
bilier bila intervensi bedah dilakukan kurang dari 8 minggu, angka keberhasilannya
adalah 80% sedangkan pembedahan yang dilakukan pada usia lebih dari 12 minggu angka
keberhasilanya hanya 20%. Tanpa intervensi bedah, rata-rata usia kematian adalah 12
bulan. Pada saat ini dengan intervensi bedah dini sejumlah 36-56% pasien hidup sampai
usia 5 tahun. Bila pasca operasi, aliran empedu hanya mengalami perbaikan parsial,
paling tidak anak mendapat kesempatan tumbuh dan berkembang sebaik mungkin
sebelum diputuskan perlu tidaknya dilakukan transplantasi hati. 4
Dari data yang dihimpun bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, sebagian besar kolestasis pada bayi adalah jenis Kolestasis Intrahepatik (KIH),
yaitu sebesar 60%. Mayoritas KIH disebabkan oleh infeksi pada masa prenatal. Terdapat

kasus KIH akibat infeksi virus yang sembuh dengan sendirinya. Namun jika disebabkan
oleh infeksi kuman yang berat (sepsis) maka diperlukan terapi antibiotika yang tepat. Ada
pula kasus KIH yang disebabkan oleh gangguan metabolisme yakni metabolisme
karbohidrat, protein, lemak atau asam empedu. Sedangkan kasus Kolestasis Ekstrahepatik
(KEH) pada bayi-bayi Asia sebagian besar disebabkan oleh atresia bilier, yaitu gangguan
pada saluran empedu, dimana saluran itu tidak dapat dipakai mengeluarkan bahan-bahan
yang seharusnya dibuang ke tinja. Bisa juga diakibatkan oleh kista saluran empedu yang
memicu berbagai komplikasi termasuk pecahnya kista dan kematian. 5
Penanganan bayi kolestasis merupakan suatu masalah yang cukup kompleks karena
penyebabnya sangat bervariasi dan sebagian besar masih belum jelas patogenesisnya.
Oleh karena itu tugas klinisi dalam menghadapi kolestasis adalah menegakkan kolestasis
sedini mungkin, melakukan evaluasi diagnostik sedini mungkin untuk mengetahui
penyebabnya (intra atau ekstrahepatik), intervensi dini untuk mencegah komplikasi. 4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Hati dan Empedu


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.400 garam atau 3%
berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur dan
tercetak oleh struktur sekitarnya.
Hati sangat penting dalam metabolisme bahan makanan antara lain :1
1. Hati berperan dalam mempertahankan kadar gula darah dengan jalan
membentuk dan menyimpan glikogen. Glikogen dibentuk dari glukosa,
levulosa, galaktosa dan laktosa. Hati dapat juga merubah asam amino
glikogenik dan gliserol menjadi dekstrosa, yang kemudian dirubah menjadi
glikogen (glikogenesis). Sedangkan glokogen dapat dirubah oleh hati menjadi
glukosa sesuai dengan kebutuhan (glikogenolisis).
2. Tempat sintesis dan oksidasi lemak. Hampir semua lemak dimetabolisir di
dalam hati. Zat lemak yang dipadukan dengan lesitin akan membentuk
posfolipid yang mudah diangkut dan dalam keadaan siap pakai. Kolesterol
dibuat di hati dari asam asetat, sedangkan esternya merupakan gabungan
kolesterol dengan asam lemak. Lipoprotein plasma yang mengangkut
trigliserida juga dibuat di hati. Hati bersama-sama dengan ginjal memecahkan
asam lemak berantai panjang menjadi benda-benda keton. Benda keton ini
akan banyak dihasilkan oleh tubuh pada masa kelaparan. Benda keton akan
dikeluarkan bersama air kemih.
3. Ureum dibuat di hati dan merupakan deaminasi protein. Zat protein seperti
fibrinogen, globulin dan protrombin dibuat di hati.
4. Vitamin A, C dan D disimpan di hati. Hati juga mengolah bahan baku vitamin
A (provitamin A) menjadi vitamin A. Riboflavin, vitamin E dan K juga
disimpan di hati.
5. Hati berfungsi juga sebagai pembentuk darah terutama pada masa neonatus
dan hati juga merupakan cadangan penyimpanan zat besi.

6. Hati berfungsi sebagai penawar racun yang membahayakan tubuh serta


berupaya agar bahan tersebut dapat dikeluarkan dengan segera.

2.2 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di sistem retikuloendotelial.
Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin yang mana. Globin akan
digedrasi menjadi asam amino dan akan kembali ke sirkulasi, sedangkan heme akan
dioksidasi oleh heme oksigenase menjadi biliverdin, Fe dan karbon monoksida.
Kemudian biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin indirek / tak terkonjugasi oleh
enzim biliverdin reduktase. Semua proses tersebut terjadi di limpa. Bilirubin indirek
kemudian dibawa ke hati melalui aliran darah. Karena sifatnya yang tidak larut dalam
air maka dibutuhkan ikatan dengan albumin.2
Bilirubin ini mempunyai daya larut yang tinggi terhadap lemak dan kecil sekali
terhadap air, sehingga pada reaksi van den Bergh, zat ini harus dilarutkan dahulu
dalam akselerator seperti methanol atau etanol, oleh karena itu disebut bilirubin
indirek. Zat ini sangat toksik terutama untuk otak. Pengikatan dengan albumin
merupakan upaya tubuh untuk menyingkirkan bilirubin indirek dari tubuh dengan
segera. Daya ikat albumin-bilirubin (kapasitas ikat total) berkisar 3-4 mg/dl. Obat
seperti asetil salisilat, tiroksin dan sulfonamid dapat mengadakan kompetisi terhadap
ikatan ini. Bilirubin indirek mudah memasuki hepatosit berkat adanya protein
akseptor sitoplasmik Y dan Z hepatosit. Proses tersebut dapat dihambat oleh anion
organic seperti asam flavasidik, beberapa bahan kolestogarafik.4
Dalam hepatosit bilirubin akan diikat oleh asam glukoronat yang berasal dari asam
uridin diposfoglukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transferase. Hasil
gabungan ini larut dalam air, sehingga disebut bilirubin direk atau bilirubin terikat
(conjugated bilirubin). Selain dalam bentuk diglukoronida dapat juga dalam bentu
ikatan monglukoronida atau ikatan dengan glukosa, xylosa dan sulfat. Bilirubin
konjugasi dikeluarkan melalui proses yang tergantung dari energi ke dalam system
bilier. Bilirubin yang diekskresikan ke dalam usus akan dirubah menjadi sterkobilin.
Enzim glukoronil transferase diinduksi oleh fenobarbital. Fenobarbital juga menabah
protein akseptor Y. Estrogen dan progestin yang berasal dari ibu dan steroid dapat

menghambat konjugasi bilirubin dalam hati. Bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
dikeluarkan melalui membran kanalikuli ke saluran empedu. Proses ini terbatas (rate
limiting process). Obat seperti klopromazin dapat memblokade proses ini demikian
juga adanya bendungan ekstrahepatal dan kerusakan sel hati. Bila terjadi blokade,
maka bilirubin direk akan mengalami regurgitasi sehingga kembali ke dalam plasma.4
Bilirubin direk ditampung dalam kantong empedu yang kemudian dikeluarkan ke
dalam saluran pencernaan. Dalam saluran ini bilirubin direk akan direduksi oleh
bakteri menjadi urobilinogen. Sebagian urobilinogen akan diserap oleh usus, masuk
ke dalam darah dan selanjutnya akan dikeluarkan oleh ginjal bersama air kemih.
Bilirubin direk sebagian besar diserap oleh ileum terminal secara aktif, sebagian kecil
yang tidak diserap masuk ke dalam kolon, dirusak oleh bakteri usus manjadi bilirubin
indirek. Sebagian dari bilirubin ini diserap secara pasif oleh kolon melalui vena porta
bilirubin ini memasuki hati dan dikeluarkan lagi ke dalam system bilier (sirkulasi
enterohepatik).4

2.3 Definisi

Kolestasis adalah hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi
hati, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dan
penumpukan garam empedu.1,2,3,4 Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zatzat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol
di dalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier. Kolestasis
bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari berbagai penyakit.4
2.4 Epidemiologi

Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis
neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1
antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. 4
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377

(34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%),


hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34
(3,1%).4
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal
hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista
hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).4
DI Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar selama
periode Januari 1992 - November 1993 tercatat 33 kasus kolestasis, terdiri dari 26
(76,5%) kasus kolestasis intrahepatik dan 8 (23,5%) kasus kolestasis ekstrahepatik.
Laki-laki 22 kasus (64,7%) dan perempuan 12 kasus (35,2%). Usia < 3 bulan 28 kasus
(82,4%), usia 3-6 bulan 4 kasus (11,8%) dan usia > 6 bulan 2 kasus (5,8%). Usia
termuda 9 hari dan tertua 8 bulan.1

2.5 Klasifikasi
Penyebab kolestasis pada bayi sangat bervariasi, tetapi umumnya memberikan
manifestasi klinis yang serupa.2 Secara garis besar, kolestasis terbagi atas 2
kelompok2,4 : 1) kolestasis intrahepatal, kelainan terdapat di hepatosit dan elemen
duktus bilier intrahepatik, 2) kolestastis ekstrahepatik, obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik.
2.5.1 Kolestasis intrahepatal1,2,4
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis
saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik
(hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka
kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya
saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan
hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Carolis disease mengenai
kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati

maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum
transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali
fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai
saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali,
dan tanda-tanda hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal
dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan
paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract. Contoh dari
sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan
haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975
merupakan penyakit multiorgan pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang
(butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu
yang sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala
organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan
kerusakan pada saluran empedu.
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan
aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit,
fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah
sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus,
bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon
hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal
hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,
endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang
serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler
dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan
kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa
akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik
tidak dapat ditemukan.

2.5.2 Kolestasis ekstrahepatal1,2,4

Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama CMVdan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir,
aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu.
10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi
dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier
sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan
menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound
terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak
jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik,
kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran
empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi
bilier..Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan
proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam
duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi
langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

Tabel 2.1. Etiologi Kolestasis Pada Bayi 1,2


1. Kolestasis Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain
a.

Displasia intrahepatik (sindrom Alagille)

b.

Sindroma Zellwegwr (Sindroma serebrohepatorenal)

c.

Intrahepatic bile duct paucity

B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil (pada hati dan

ginjal
2. Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino : tyrosinemia
2. Kelainan metabolisme lipid : penyakit wolman, Nieman-Pick dan penyakit
Gaucher
3. Kelainan metabolisme karbohidrat : galaktosemia, fruktosemia, glikogenosis
4. Kelainan metabolisme asam empedu
5. Penyakit metabolik tidak khas, antara lain : defisiensi 1-antitripsin, fibrosis
kistik, hipopituitarisme idiopatik, hipotiroidisme.
D. Hepatitis
1. Infeksi (hepatitis pada neonatus) antara lain TORCH, virus hepatitis B, virus
hepatitis C, Reovirus tipe 3
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan
endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal : Trisomi E, sindroma Down, sindroma Donahue
(Leprechaunisme)
F. Lain lain : Histiositosis X, renjatan atau hiperperfusi, obstruksi intestinal,
sindroma polisplenia, lupus neonatal.
II Kelainan Ekstrahepatik
A. Atresia bilier
B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
C. Perforasi spontan duktus bilier
D. Massa (neoplasma, batu)
E. Inspissated bile syndrome

10

2.6 Patofisiologi

Pembentukan empedu merupakan fungsi sekresi dari hepar. Sel-sel hepatosit


mensekresikan empedu sebanyak 500-1500 ml/hari, dengan komposisi terbanyak (90%)
terdiri dari garam empedu, lesitin dan kolesterol, sisanya mengandung sedikit bilirubin,
asam lemak dan garam anorganik (10%). Khusus bilirubin merupakan pigmen yang
berasal dari buangan atau sisa sel-sel darah merah yang sudah rusak atau mati, yang
dalam kondisi normal akan memberikan warna atau pigmen pada feses.3,5
Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu.
Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan
darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu.
Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif
memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler,
mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter
pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan ke
dalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab
terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit
ke dalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.4
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia
menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran
empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi. 3,4
Penumpukan bilirubin beserta produk empedu lainnya pada kulit dan mukosa akan
menyebabkan warna kulit dan mukosa (seperti sclera mata) menjadi kuning (kuning
muda pada tipe metabolik dan kuning kehijauan pada tipe obstruktif) dan terasa gatal,

11

sehingga tidak jarang ditemukan pula bekas luka garukan pada kulit penderita kolestasis.
Penumpukan bilirubin di ginjal akan diekskresikan melalui urine sehingga warna kencing
penderita kolestasis tampak gelap atau kemerahan seprti air teh. Sedangkan feses
penderita tampak berwarna pucat keputihan seperti dempul (disebut dengan steatorrhea)
oleh karena pigmen bilirubin yang memberi warna pada feses tidak bisa diekskresikan ke
usus halus, feses banyak mengandung lemak dan berbau busuk oleh karena lemak yang
berada di dalam makanan/usus halus tidak dapat dicerna oleh bantuan empedu.3,4,5
Kekurangan empedu di dalam usus halus juga menyebabkan terganggunya penyerapan
nutrient yang larut dalam lemak, antara lain kalsium serta vitamin A, D, E dan K. Jika
terjadi kolestasis yang persisten, maka penderita akan mengalami defisiensi nutrient
tersebut di atas, dengan manifestasi klinis berupa osteoporotik pada jaringan tulang
(kekurangan kalsium dan vitamin D), mudah terjadi pendarahan akibat terganggunya
proses pembekuan darah (kekurangan vitamin K), dan gangguan penglihatan serta kulit
menjadi kering bersisik (kekurangan vitamin A dan E).5
Gejala-gejala penyerta yang kadang timbul selain gejala utama di atas antara lain, nyeri
perut terutama pada regio hipokondrium kanan, mual dan muntah serta kehilangan nafsu
makan, atau demam, tergantung penyebab dan penyakit yang mendasarinya.5

2.7 Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinik utama pada kolestatis neonatal adalah
ikterus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasi
klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin.2,5
Pada sebagian besar kasus ikterus pada sklera lebih dahulu dijumpai dibandingkan
dengan gejala klinis lainnya, kondisi ini bisa terjadi pada level bilirubin terkonjugasi
sedikitnya 2 mg/dL. Pada level bilirubin terkonjugasi yang lebih tinggi, urine berwarna
gelap dapat dijumpai akibat adanya filtrasi bilirubin ke dalam urin. Cutaneus jaundice
tidak akan nampak sebelum level bilirubin mencapai 5 mg/dL atau lebih.6
Pada pasien dengan kolestasis, gejala lain yang sering muncul adalah timbulnya rasa gatal

12

yang hebat akibat peningkatan asam empedu. Pada konsentrasi yang tinggi (5 kali lipat
dari reference range), timbunan asam empedu ini akan menyebabkan rasa gatal yang amat
mengganggu hingga pasien sulit tidur atau berkonsentrasi. Bayi yang belum bisa
menggaruk akan menjadi sangat rewel (iritabel) sebagai respon terhadap gatal yang
dirasakan.1,2,6
Pada kronik kolestasis, deposit kolesterol yang disebut xantoma dapat terbentuk pada
kulit. Ini merupakan gejala klinis yang menunjukkan telah terjadi kolestasis yang berat.
Karena rendahnya aliran empedu pada pasien dengan kolestasis, pasien ini mungkin juga
akan mengalami defisiensi pemecahan dan menyerapan lemak. Pasien ini akan
menunjukkan hambatan pertumbuhan dan akan mengalami defisiensi vitamin larut lemak
dan steatorrhea. 6

KOLESTASIS

Retensi/Regurgitasi

Konsentrasi asam empedu


intraluminal sedikit

Asam empedu
Pruritus
Hepatotoksik
Bilirubin
Ikterus
Kolesterol
Xantelasma
Hiperkolesterolemia
Penumpukan trace elements
(tembaga dll)

Malabsorpsi

Lemak
Malnutrisi
Retardasi pertumbuhan
Vitamin larut dalam lemak
A : kulit tebal, rabun senja
D : Osteopenia
E : Degenerasi neuromuskuler
K : Hipoprotrombinemia
Diare/steatorea

Penyakit hati progresif (sirosis bilier)

Hipertensi porta

Hipersplenisme

Ascites
Perdarahan (varises)
Gambar 2.1. Manifestasi Umum kolestasis1,2,4

Gagal Hati
13

2.8 Diagnosis

Kolestasis dapat ditegakkan dengan memeriksa kadar bilirubin direk dan bilirubin total.
Apabila bilirubin total <5 mg/dl namun bilirubin direk >1 mg/dl maka atau bila bilirubin
total >5 mg/dl dengan bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total maka dapat
ditegakkan sebagai kolestasis. Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah
membedakan antara kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sedini mungkin, dan
untuk mengetahui sekuelenya. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik akan
meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia
atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa. Selain itu kita dapat segera
mengatasi komplikasi umum kolestasis seperti koagulopati (hipoprotrombinemia atau
defisiensi vitamin K) dan malabsorpsi lemak. 2,4
2.8.1 Anamnesis 2,4
1.

Riwayat keluarga : Bila ada saudara kandung pasien yang menderita kolestasis, maka
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik metabolik (fibrosis kistik atau
defisiensi l-antitripsin). Atresia bilier jarang mengenai saudara pasien yang lain.
Harus diketahui pula ada tidaknya hubungan keluarga antara ayah dan ibu.

2.

Riwayat kehamilan dan kelahiran : riwayat obstetri ibu (infeksi TORCH, hepatitis B,
dan infeksi lain), berat badan lahir, infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, dan
riwayat pemberian nutrisi parentera. Bayi atresia bilier biasanya lahir dengan berat
badan normal, sedangkan bayi dengan kolestasis intrahepatik biasanya lahir dengan
berat badan rendah.

2.8.2 Pemeriksaan fisik


Empat gejala utama yang sering ditemukan pada penderita kolestasis adalah
ikterus/jaundice, urine yang berwarna gelap/kemerahan, gatal pada seluruh tubuh dan
feses yang berwarna pucat keputihan seperti dempul.5

14

Gejala-gejala tersebut di atas disebabkan oleh karena pigmen bilirubin yang seharusnya
dikeluarkan ke usus halus mengalami sumbatan, yang mengakibatkan bilirubin masuk ke
aliran darah sistemik dan terakumulasi pada target organ.5,6
Warna kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap
bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.5,6
Pada kolestasis intrahepatik umumnya bayi tampak sakit berat dan dapat disertai dengan
kelainan non hepatik seperti katarak, wajah dismorfik, kalsifikasi intrakranial, stenosis
pulmonal, tonus lemah, atau gejala infeksi perinatal lain.2
Pada atresia bilier, ikterus muncul sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3-5. Tinja
akolik

timbul

lebih

awal

daripada

timbulnya

tinja

akolik

pada

kolestasis

intrahepatik.Tetapi pada atresia bilierpun, kadang-kadang ditemukan tinja yang


berpigmen. Di lain pihak, kolestasis intrahepatik yang berat juga dapat menyebabkan
tinja yang akolik.2
Pada atresia bilier biasanya terdapat hepatomegali dengan konsistensi keras, dapat
disertai splenomegali. Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm
dibawah arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang
teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus
kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul
Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti
hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang
besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin
suatu fibrosis hepar kongenital. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena
portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada keadaan lanjut, terjadi sirosis bilier dan bayi
akan mengalami gagal tumbuh, defisiensi nutrisi, dan hipertensi porta. Perlu diperiksa
adanya penyakit ginjal polikistik. Pada 25% penderita atresia bilier ditemukan
malformasi kongenital lainnya seperti polisplenia, malrotasi, penyakit jantung kongenital,
dan situs inversus visera. Pada atresia bilier juga dapat ditemukan kelainan duktus
pankreatikobilier yang dianggap turut berperan terhadap terjadinya kolestasis.2,4

15

Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk


membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik 82% dari 133
penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi hati. 1,2,4

Tabel 2.2. Kriteria klinis untuk membedakan intrahepatik dan ekstrahepatik 1,2,4
Data klinis

Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis

Kemaknaan

Intrahepatik (P)
Warna tinja selama dirawat
- Pucat

79%

26%

0.001

- Kuning

21%

74%

Berat lahir (gr)

3226 45*

2678 55*

0.001

Usia tinja akolik (hari)

16 1.5*

30 2*

0.001

13

47

12

35

Konsistensi normal

63

47

Konsistensi padat

24

1Fibrosis porta

94%

47%

2Proliferasi duktuler

86%

30%

3Trombus empedu
intraportal

63%

1%

Gambaran klinis hati


3. Normal
4. Hepatomegali**:
0.001

Konsistensi keras
Biopsi hati***

*MeanSD; **Jumlah pasien; ***Modifikasi Moyer


Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik, maka sebagai
upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan untuk melakukan pengumpulan tinja 3

16

porsi dalam wadah berwarna gelap. Porsi pertama antara jam 06 - 14, porsi kedua jam 14
- 22, dan porsi ketiga jam 22 - 06. Pada saat tinja dikumpulkan, pemberian kolestiramin
dihentikan. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tetap dempul, maka kemungkinan
besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Pada kolestasis intrahepatik,
umumnya warna dempul pada pemeriksaan tinja 3 porsi akan berfluktuasi.1,2
2.8.3 Pemeriksaan penunjang2,6,7
Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Secara garis besar,
Kolestasis
pemeriksaan
dapat
dibagi menjadi
kelompok,
yaitutidak
pemeriksaan
Anamnesis
: Riwayat
penyakit3 dalam
keluarga
ada, berat lahir normal
Klinis : keadaan umum baik, tidak dismorfik
1. Laboratorium
dan khusus
untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
Tinja 3 porsi rutin
: dempul,
tidak berfluktuasi
Laboratorium
rutin
(darah,
urin, tinja,
dan: bilirubin
keringat)direk > 6 mg/ml, SGOT/SGPT < 10x, GGT > 10x
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati
TIDAK
YA
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.
Kolestasis
Intrahepatik?
Infeksi, kelainan metabolisme, genetik

Kolestasis ekstrahepatik?

Pemeriksaan penyaring
Metabolik
Analisis kromosom
Infeksi serologis
Kultur
Petanda hepatitis

USG
(Patensi duktus biliaris)
TIDAK
Atresia bilier?

Ikuti sampai sembuh

Scintigrafi
(patensi duktus biliaris?)
(usia > 1 bulan)

Tidak Paten

Kolestasis intrahepatik
Lakukan Pemeriksaan dan
ikuti sampai sembuh

Paten

Biopsi Hati

Kolestasis Intrahepatik

Gambaran atresia bilier


TIDAK

YA

Lakukan Pemeriksaan dan


ikuti sampai sembuh

YA
17

Gambar.2.2
Algoritmik
diagnosis kolestasis
pada bayi, terutama atresia bilier
Kolestasis
Intrahepatik
Sirosis Bilier

2.9 Pemeriksaan Penunjang


2.9.1 Laboratorium
a. Pemeriksaan rutin :2,6
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbiliruhinemia fisiologis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati termasuk transaminase serum (SGOT,
SGPT, gamma glutamil transferase), alkali fosfatase, waktu protrombin dan
tromboplastin, ureum, kreatinin, elektroforesis protein, bilirubin urin, asam empedu
serum, empedu dalam tinja. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi
total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10x dengan peningkatan GGT <5x, lebih
mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, bila peningkatan SGOT <5x
dengan peningkatan GGT >5x, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik (tabel 4)
Tetapi kadar GGT yang rendah, tidak mennyingkirkan kemungkinan atresia bilier.
Tabel 2.3. Data Laboratorium awal pada bayi kolestasis1,2
Kolestasis Intrahepatik

Kolestasis Ekstrahepatik

Bilirubin Total (mg/dL)

12.1 9.6

10.2 4.5

Bilirubin Direk (mg/dL)

8.0 6.8

6.2 2.6

SGOT ( peningkatan dari N )

> 10 x

<5x

SGPT (peningkatan dari N )

> 10 x

<5x

GT (peningkatan dari N )

<5x

>5x

b. Pemeriksaan khusus1,2,7
Sebagian ahli menganggap pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi sebagian lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini
tidak lebih baik dari pemeriksaan tinja, 3 porsi. Oleh karena itu, saat ini, DAT tidak
terlalu sering dikerjakan. Tetapi ada yang menyatakan bahwa kepekaannya dapat

18

ditingkatkan dengan mengumpulkan cairan duodenum selama 24 jam. Pasien minum


seperti biasa dan cairan duodenum diambil setiap jam. Spesimen terakhir diambil setclah
pemberian (minyak jagung untuk merangsang kontraksi kandung empedu). Bila setelah
24 jam, tidak diperoleh empedu, maka kemungkinan atresia bilier sebesar 78%. Ahli lain
mengkombinasi pemeriksaan DAT dengan pemeriksaan sintigrafi. Pemeriksaan
penunjang awal pada kolestasis intrahepatik adalah pemeriksaan serologis TORCH,
petanda hepatitis B (bayi dan ibu), serta kadar l-antitripsin dan fenotipenya. Sedangkan
pemeriksaan lainnya dilakukan atas indikasi seperti pemeriksaan hormon tiroid, asam
amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat reduktor di urin, galaktosa-l-fosfat uridil
transferase. uji klorida keringat, dan pemeriksaan kromosom.

KOLESTASIS INTRAHEPATIK

INFEKSI
Titer serologis
TORCH ibu dan
bayi
Petanda hepatitis B,
C, ibu dan bayi
Kultur darah
Tes VDRL

METABOLIK
1. Kelainan yang diturunkan
- Galaktosemia
Riwayat keluarga
Substansi reduksi di urin
UDPG 1-transferase di eritrosit
- Defisisensi alfa 1 antitripsin
yang rendah atau (-) dengan
fenotif yang mneyokong
- Cystic fibrosis
Riwayat keluarga
Uji keringat
- Kelianan endokrinologi
Atas indikasi
2. Didapat
- Kolestasis akibat nutrisis
parenteral total
Hentikan pemberian TPN

IDIOPATIK
Sindrom hepatitis neonatal
Pastikan dengan biopsi
hati perkutaneus
Fibrosis hati kongenital
Pastikan dengan biopsi
hati
Kolestasis intrahepatik
familial
Kadar kolesterol serum
normal atau rendah
Pastikan dengan biopsi
hati

Gambar 2.3 Algoritmik diagnosis kolestasis intrahepatik

19

2.9.2 Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi2,6,7
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dipuasakan selama 4 jam. Tidak ditemukannva
kandung empcdu, atau kandung empedu yang kecil mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia
bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal.
Thoeni (1990) mengemukakan bahwa akurasi diagnostik USG 77%, dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam tiga fase yaitu pada keadaan puasa, saat
minum, dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum, kandung empedu
berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%), atresia bilier dapat disingkirkan. Selain
itu, pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi adanya kista duktus koledokus, batu kandung
empedu, tumor.
Dengan demikian, pemeriksaan ultrasonografi merupakan prosedur yang sederhana dan
noninvasif, yang sedapat mungkin dikerjakan terhadap semua bayi kolestasis.
b. Sintigrafi hati2,6,7
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemeriksaan sintigrafi dengan isotop

99

Tc-DISIDA

dianggap sebagai baku emas upaya diagnosis dini atresia bilier.


Sebelum pemeriksaan dilakukan, diberikan fenobarbital 5 mg/kg/hari (peroral, dibagi
dalam 2 dosis), selama 5 hari. Fenobarbital akan meningkatkan ekskresi isotop sehingga
diharapkan akurasi pemeriksaan juga meningkat.
Pada hepatitis, pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi dengan
ekskresinya ke usus normal. Pada atresia bilier, proses pengambilan isotop normal tetapi
dalam waktu >6 jam, tidak ditemukan ekskresi ke usus. Dilain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum dan
menyebabkan angka positif palsu sebesar 20%.
Untuk meningkatkan sensitifitas dan spesifisitasnya pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke 10.
Indeks hepatik >5, dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks

20

hepatik <4,3 merupakan petunjuk kuat atresia bilier12.


Tehnik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis
sebesar 98,4%. Pada atresia bilier, jumlah isotop dalam cairan duodenum < 3000
sedangkan pada kolestasis intrahepatik, jumlahnya > 3000 bahkan dapat mencapai >
7000.
c.Pemeriksaan kolangiografi2,6,7
Pemeriksaan ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangiography Pancreatography )
merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasis non surgikal (seperti hepatitis neonatal dan sindrom Alagille). Tetapi
prosedur ini jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum dengan instrumen yang
canggih, dan teknis pelaksanaan yang sulit.
Setelah dilakukan berbagai uji diagnostik, tidak jarang, diagnosis atresia bilier masih
tetap meragukan. Dalam hal ini, dapat dilakukan kolangiografi operatif dengan anestesi
lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih lanjut dengan anestesi umum.
Pemeriksaan ini terutama efektif untuk menilai atresia bilier tipe I'.
2.9.3. Biopsi hati2,6,7
Gambaran histopatologis hati dapat membantu menentukan perlu tidaknya laparatorni
eksplorasi. Bahkan beberapa penulis beranggapan bahwa ganibaran histopatologis hati
merupakan upaya diagnostik atresia bilier yang paling dapat diandalkan. Seorang ahli
patologi yang berpengalaman. dapat meningkatkan akurasi diagnosis menjadi 90-95%.
Pada hepatitis neonatal umumnya ditemukan infiltrat inflamasi di lobulus yang disertai
dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobuler yang kacau. Selain itu
ditemukan sel raksasa, fibrosis porta, dan proliferasi duktus ringan. Gambaran
histopatologis yang menunjang diagnosis atresia bilier adalah proliferasi duktus bilier dan
sumbatan empedu, fibrosis porta dan edema, tetapi arsitektur lobulernya masih normal.
Histopatologis hati pada atresia bilier dapat dibagi menjadi 5 stadium :
I. Stadium I : proliferasi duktus bilier, granula pigmen empedu di hepatosit, dan
sumbatan empedu interseluler;

21

II. Stadium II : daerah porta tampak membulat dan membengkak, disertai dilatasi
pembuluh limfe, dan proliferasi duktuler di daerah marginal porta (usia 4-7 minggu).
III. Stadium III : mulai terjadi fibrosis di daerah porta dan periporta disertai dengan
meluasnya proliferasi duktuler ke periporta. Infiltrat inflamasi berkurang;
IV. Stadium IV : Terjadi pada usia > 10 minggu. Fibrosis periporta meluas ke parenkim
sekitarnya, struktur duktuler berkurang. sedangkan lumen duktus yang masih ada
tampak melebar dan tersumbat empedu. Duktus interlobuler mengalami kolangitis
fibrosa dengan penyempitan lumen yang tidak beraturan;
V. Stadium V : terjadi pada usia > 12 minggu. Menunjukkan suatu proses progresif
sirosis bilier sekunder yang ditandai dengan regenerasi noduler di parenkim dan
fibrosis septal perinoduler. Bila gambaran histopatologis hati telah menunjukkan
adanya sirosis, maka keadaan ini merupakan indikasi kontra operasi korektir.
Gambaran histologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi dini
Namun, tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.

2.10 Penatalaksanaan

Penanganan kolestasis mencakup beberapa aspek yang luas. Dari segi gizi masalah utama
adalah pemberian makanan yang adekuat untuk menunjang penderita tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, selain menghindari akibat buruk adanya gangguan
metabolisme asam empedu. Pertumbuhan merupakan hal yang sangat penting karena
tidak hanya menggambarkan pengobatan yang berhasil, tetapi juga pertumbuhan yang
baik diperlukan untuk persiapan pencangkokan hati bila nanti diperlukan. Terjadinya
malnutrisi dapat diakibatkan pelbagai faktor. Menurunnya asupan makanan akibat
anoreksia, penyakit yang hilang timbul, rasa sakit, asites dan mungkin defisiensi Zn
akibat terganggunya aliran empedu, tidak saja dapat mengakibatkan kerusakan hepatosit
tetapi juga akan mengganggu penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak.8 Dasar pengobatan kolestasis terdiri atas 3 bagian utama,8
1.

Pengobatan yang memperbaiki aliran empedu

22

2.

Pengobatan nutrisi

3.

Pengobatan etiologik

2.10.1 Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa bertujuan untuk1,2,8


a.

Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan :
i.

Fenobarbital 5 mg/kg/hari dibagi dua dosis, peroral.1,2


Banyak peneliti yang mengatakan bahwa fenobarbital dapat merangsang
pembentukan enzim dan memperbaiki fungsi Na+-K+ ATP-ase. Enzim ini
berguna dalam proses pernasukan garam empedu dari sunusoid ke hepatosit
kemudian masuk ke kanalikulus. Fenobarbital mempunyai efek merangsang
sitokrom 450 yang akan mengakibatkan hidroksilasi asam empedu. Fenobarbital
juga merangsang UDP glukoronil transferase yang akan menyebabkan
peningkatan pembentukan glukorinide asam empedu yang mudah larut sehingga
pengeluaran zat tersebut melalui empedu dan urin meningkat meskipun hal ini
tidak berperan penting sekali. Selain itu fenobarbital berguna mengurangi rasa
gatal.1,2,4,8

ii. Kolestiramin 1 g/kg/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.1,2
Kolestiramin adalah zat yang dapat menyerap asam empedu dan anion lain di
dalam lumen usus yang akan menurunkan pemasukan asam empedu dari usus.
Manfaat ini lebih menonjol manakala diberikan setelah makan. Zat ini lebih
rentan terhadap asam empedu yang hidrofobik dan toksis dibandingkan dengan
asam empedu yang hidrofilik yang kurang bahkan tidak toksis. Anti gatal juga
ada pada kolestiramin tapi mekanisme kerjanya tidak jelas oleh karena tidak ada
hubungan antara adanya asam empedu di dalam serum maupun di dalam kulit
dengan gatal-gatalnya. Kolestiramin biasanya diberikan bersama-sama air buah

23

atau makanan lain. Sebaiknya 2 jam setelah dan sebelum pemberian kolestiramin
tidak diberikan obat apapun. Efek samping kolestiramin yaitu bertambahnya
steatorea akibat menurunnya asam empedu, kontipasi asidosis metabolik
hiperkloremik. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita atresia bilier dan
penderita yang telah mengalami operasi Roux-en Y portoenterostomi, karena
akan menyebabkan kolangitis mekanik akibat sumbatan oleh karena adanya
penumpukan kolestiramin pada saluran cerna.4,8
b.

Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan


Asam ursodeoksikolat, 3-10 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis, peroral.1,2 Asam
ursodeoksikholat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokholat yang
hepatotoksik.1,2

Asam

ursodeoksikolat

(AUDK)

adalah

7-Beta-epimer

kenodioksikolat yang bersifat lebih hidrofilik dan kurang begitu toksis dibandingkan
dengan asam empedu lainnya.

8,9

AUDK yang diberikan secara oral menghambat

masuknya asam empedu yang lebih toksis melalui ileum terminal. Hal ini akan
menyebabkan menurunnya ekskresi asam kolat dan kenodeoksikolat, yang berarti
bahwa absorbsi kedua zat itu menurun. Litokolat jauh lebih sulit larut dalam air
dibandingkan dengan AUDK, sehingga AUDK lebih cepat memasuki parenkim hati
daripada litokolat. Oleh karena itu litokolat akan segera didorong keluar kembali
oleh ursodeoksikolat sehingga hati dilindungi dari asam empedu yang toksik.8,9
Ursodeoksikolat mempunyai sifat detergen lemah oleh karena itu dapat merangsang
aliran empedu tidak saja ke arah kanalikulus (osmotic choleresis) tetapi juga
kehadiran zat itu di dalam sel hati akan memeras air dan elektrolit ke dalam
kanalikulus. Itulah sebabnya ursodeoksikolat disebut zat kloretik (chloretic agent).8,9
AUDK adalah asam empedu yang juga mempunyai sifat membantu pencernaan
lemak. Pada kolestasis, terjadi penurunan asam empedu, sehingga ursodeoksikolat
dapat menggantikan fungsi empedu terutama dalam proses absorpsi lemaak. Enzimenzim

pankreas

dan

pengosongan

kantong

empedu

dapat

dipacu

oleh

ursodeoksikolat. Upaya ini berfungsi untuk membantu pencernaan agar berjalan


lancar, selain itu ursodeoksikolat dapat merangsang pengeluaran bikarbonas sehingga
suasana di dalam duodenum menjadi basa yang memungkinkan enzim-enzim

24

pencernaan bekerja optimal. AUDK juga dapat merangsang sekresi bilirubin, yang
menyebabkan metbolisme bilirubin berjalan lancar. Oleh karena itu ursodeoksikolat
dalam memperbaiki aliran empedu serta membantu pencernaan nutrien dengan baik
sehingga proses tumbuh kembang berjalan dengan mulus. 8,9
Selain itu AUDK mungkin mempengaruhi MHC (Major Histocompatibility
Complex). Sel hati yang sakit akan mengeluarkan APC (Antigen Presenting Cell)
berupa molekul MHC kelas I yang diduga bermanfaat dalam mengundang sel
limfosit T sitotoksis untuk menghancurkan sel yang tercemar. Kehadiran antigen
MHC kelas I pada permukkan hepatosit dapat membantu menerangkan terjadinya
nekrosis pada daerah periportal dan globuler pada penyakit sirosis bilier primer.
Ursodeoksikolat dapat menekan ekspresi antigen MHC kelas I pada hepotasit, oleh
karena itu target sel untuk sitotoksis juga berkurang sehingga kerusakan jaringan hati
dapat dihindari. 8,9
c.

Mencegah perkembangan menjadi sirosis dengan memberikan


Colchicine (antifibrotik) 0,025 mg/kg/hari peroral1,2,8

d.

Bila telah terjadi gagal hati akibat sirosis, maka penanganannya sesuai dengan situasi
dan kondisi.1,2

e.

Terapi etiologik kolestasis intrahepatik yang dapat diobati dengan terapi


medikamentosa.1,8
Mencari penyebab kolestasis memerlukan sarana dan biaya yang tidak kecil, selain
itu banyak penyebab kolestasis yang belum diketahui. Penyebab kolestasis dibagi
dalam 2 golongan yaitu : golongan pertama yang dapat diobati misalnya
tuberkulosis, toksoplasmosis, herpes dan sepsis, selain penyakit metabolisme Cu
seperti penyakit Wilson. Adapun yang tidak dapat diobati misalnya hepatitis B, C,
defisiensi alfal anti tripsin dan lain-lain.8
Untuk mengobati tuberkulosis hati harus diperhatikan obat-obatan yang tidak
hepatotoksis. Sedangkan pengobatan terhadap toksoplasmosis biasanya diberikan
spiramisin dengan dosis 50 mg/kg /hari dibagi dalam 3 dosis.8
Untuk penyakit herpes diberikan asiklovir, diberikan dosis 1/2 dosis dewasa/kg/hari

25

untuk anak di bawah 2 tahun.8 Untuk mengatasi sepsis seyogyanya penderita


mendapat antibiotika yang adekuat, sedangkan penderita yang menunjukkan test
CMV IgG meningkat, IgM yang positif sedang dicoba pemberikan isoprinosin
dengan dosis 50 mg/kg/hari.8

2.10.2 Terapi nutrisi

Pengobatan nutrisional menjadi hal yang sangat perlu untuk menghindari gejala sisa yang
permanen dan memperbaiki kualitas hidup. Yang paling mencolok yaitu gangguan
pencernaan lemak serta vitamin-vitamin yang larut di dalamnya sebagai akibat
menurunnya produksi asam empedu kreatinin, kadar serum Ca dan P dan juga kadar
serum 25 OHD.1,2,8
Oleh karena itu terapi nutrisi bertujuan untuk memungkinkan anak untuk tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin.1 Maka dilakukan :
1.

Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglicerides (MCT) untuk


mengatasi malabsorbsi lemak,

2.

Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak, dengan memberikan


tambahan 1,2,8:
a.

Vitamin A 10.000 U/hari, dengan zinc 1 mg/kg

b.

Vitamin D 5000-8000 lU vitamin D2 atau hidroksikolekalsiferol 3-5ug/kg/hari

c.

Vitamin E (-tocopherol acetate) 150 U/hari


Kekurangan vitamin E akan menyebabkan penyakit neuromuskuler degeneratif
yang progresif. vitamin E dan esternya sangat memerlukan asam empedu untuk
proses penyerapannya. Pada kolestasis yang mengalami defisiensi vitamin E
bersama-sama dengan hiperlipidemia akan menghasilkan kadar vitamin E dalam
serum yang normal akibat adanya hiperlipidemia di atas. Vitamin E berguna
sebagai anti oksidan terhadap zat yang membahayakan jaringan tubuh.
Vitamin E berguna pada penderita yang berat dan sedang menunggu

26

transplantasi hati, karena zat tersebut akan menghindari prepusi jaringan akibat
defisiensi vitamin E.
d.

Vitamin K (yang larut dalam air) 2,5 - 5 mg/hari


Ada 3 macam vitamin K yaitu vitamin K1 (Phylloquinone), vitamin K2
(menaquinone) dan vitamin K3 (menadione). Kekurangan vitamin ini dapat
dilihat manakala waktu protrombin memanjang melebihi waktu parsial
trombpiastin. Pada penderita kolestasis kronik dengan kadar bilirubin yang
menetap dan aliran empedu yang buruk perlu dilakukan pengobatan vitamin K
dengan dosis 2,5 - 5 mg yang diberikan 2 - 7 kali seminggu. Pemberian ini
mutlak harus diberikan manakala penderita akan menjalani operasi.

e.

Kalsium dan fosfor, bila dianggap perlu.

2.10.3 Terapi bedah2

Segera setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, dilakukan intenvensi bedah


portoenterostomi terhadap atresia bilier yang dapat dikoreksi yaitu tipe I dan II.
Di negara maju, dilakukan transplantasi hati terhadap penderita
1.

Atresia bilier tipe III

2.

Telah mengalami sirosis

3.

Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh-kembang yang sangat terhambat

4.

Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran asam


empedu.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis


kolestasis pada bayi. Bila semua pemeriksaan yang diperlukan telah dilakukan tetapi
diagnosis atresia bilier masih meragukan, maka Fitzgerald (1986), menganjurkan untuk
melakukan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut:
5. Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk > 4 mg/dI atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital dan dilakukannya uji prednison selama 5

27

hari
6. GGT meningkat lebih dari 5 kali,
7. Tidak ada defisiensi l-antitripsin,
8. Pada sintigrafi tidak ditemukan ekskresi ke usus.

2.11 Prognosis
Kolestasis menunjukkan suatu keadaan patologis pada hepatobilier betapapun ringannya
ikterus tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan intensif sedini mungkin
agar dapat mencegah terjadinya kerusakan hati yang permanen dan progresif. Prognosis
kolestasis intrahepatik tergantung dari penyakit penyebab dan banyaknya kerusakan sel
sel hati. Kolestasis yang terjadi oleh karena sepsis, prognosisnya baik. Pada kasus
kolestasis ekstrahepatil seperti atresia bilier misalnya, bila intervensi bedah dilakukan
pada umur < 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 80% sedangkan pembedahan yang
dilakukan pada usia > 12 minggu angka keberhasilannya hanya 20%. Tanpa intervensi
bedah, rata-rata usia kematian adalah 11 bulan, dan 99% pasien meninggal pada usia 2
tahun. Pada saat ini, dengan intervensi bedah dini sejumlah 36-56% pasien hidup sampai
usia 5 tahun. Bila pasca operasi aliran empedu hanya mengalami perbaikan parsial, paling
tidak anak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebaik mungkin,
sebelum diputuskan perlu tidaknya transplantasi hati.1,2,10

28

Anda mungkin juga menyukai