Anda di halaman 1dari 12

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Apendisitis
2.1.1.Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(perkiraan dari 2-20 cm). Apendiks terbentuk selama bulan ke 5 kehamilan.
(Santacroce, 2010). Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan meyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. (Sjamsuhidajat,
2004).
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolom asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan letak apendiks. (Sjamsuhidajat, 2004).
Persarafan parasimpatis berasal dari n.vagus yang mengikuti a.mensenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis
X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.2.Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogensis apendisitis.
(Sjamsuhidajat, 2004).

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated


lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.3.Epidemiologi Apendisitis Akut
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga desebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi. (Sjamsuhidajat, 2004).
Angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik. (Price, 2005).
2.1.4.Etiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan limfa, fekalit ( faex= tinja,
lithos= batu), tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E.histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan-makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidajat, 2004).

2.1.5.Patogenesis
Apendiks veriformis merupakan sisa apeks sekum yang belum diketahui
fungsinya pada manusia. Struktur ini berupa tabung yang panjang, sempit (sekitar 69 cm), dan mengandung arteria apendikularis yang merupakan suatu arteria
terminalis (end-artery). (Price, 2005).
Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada dinding abdomen di bawah
titik McBurney. Titik McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka
superior kanan ke umbilikus. Titik tengah garis ini merupakan tempat pangkal
apendiks. (Price, 2005).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks veriformis. (Grace, 2007).
Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen, yang biasanya
disebabkan fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Penyumbatan
pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan
ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebabkan terjadinya oklusi
arteria terminalis (end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung
terus, biasanya menyebabkan nekrosis, gangren, dan perforasi. Penelitian terakhir
menunjukan bahwa ulserasi mukosa berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih
sering daripada sumbatan lumen. Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun
sampai sekarang diperkirakan oleh virus. Akhir- akhir ini penyebab infeksi yang
paling diperkirakan adalah Yersinia enterocolitica. (Lindseth, 2005).
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh
adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah
dikenal dengan infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan


bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
mengalami eksaserbasi (ex= awalan untuk arti keluar, acerbus= pahit; penyakit
tambah berat lagi) akut. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.6.Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. (Sjamsuhidajat, 2004). Untuk mendiagnosis
dengan akurat apendisitis akut sering kali sulit. Kasus klasik ditandai dengan rasa
tidak nyaman ringan di daerah periumbilikus, diikuti anoreksia, mual dan muntah,
nyeri tekan kuadran kanan bawah yang dalam beberapa jam berubah menjadi rasa
pegal dalam atau nyeri di kuadran kanan bawah. Demam dan leukositosis terjadi
pada awal perjalanan penyakit. (Crawford, 2007). Umumnya nafsu makan menurun.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya
terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbukan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
rangsangan dindingnya. (Sjamsuhidajat, 2004).
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan
letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Pada bayi, 80- 90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
(Sjamsuhidajat, 2004).

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut
yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah perforasi. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak di rasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.7.Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 10C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan
awah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut
tanda Rovsing (maha guru ilmu bedah, Denmark). Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan
nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan
sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan
pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari
uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai
dengan

pergeseran

(Sjamsuhidajat, 2004).

uterus,

terbukti

proses

bukan

berasal

dari

apendiks.

Peristalsis usus sering normal; peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas dengan lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas
mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk
melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. (Sjamsuhidajat,
2004).
2.1.8.Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis berdasarkan klinis, namun sel darah putih (hampir selalu


leukositosis) dan CRP (biasanya meningkat) sangat membantu.

Ultrasonografi untuk massa apendiks dan jika masih ada keraguan untuk
menyingkirkan kelainan pelvis lainnya (misalnya kista ovarium).

Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium


sebelum dilakukan apendisektomi pada wanita muda.

CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih
mungkin. (Grace, 2007).

2.1.9.Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding lelaki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang
mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalian interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain. (Sjamsuhidajat, 2004).
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut bila diagnosis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
pengamatan setiap 1-2 jam. (Sjamsuhidajat, 2004).
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bisa meningkatkan
akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.
(Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.10.Diagnosis banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.

Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului


rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.

Demam Dengue. Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip
peritonitis. Di sini didapatkan hasil test positif untuk Rumpel (Rumpel,
Theodor, 1862-1923, dokter, jerman) Leede, trombositopenia, dan hematokrit
yang meningkat.

Limfadenitis Mesenterika. Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului


oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan
disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan.

Kelainan Ovulasi. Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin


memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

10

Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada
tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin
dapat mengganggu selama dua hari.

Infeksi Panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis


akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian
bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai
keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di
panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika
perlu untuk diagnosis banding.

Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid


dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus
kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan
pada kuldosentesis didapatkan darah.

Kista Ovarium Terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang


tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok
vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat menentukan diagnosis.

Endometriosis Eksterna. Endometrium di luar rahim akan memberikan


keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi
terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

Urolitis Pielum/ Ureter Kanan. Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya
riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau
urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering
disertai dengan demam tinggi, mengigil, nyerikostovertebral di sebelah
kanan, dan piuria.

Penyakit Saluran Cerna Lainnya. Penyakit lain yan perlu diperhatikan


adalah peradangan di perut, seperti diverkulitis Meckel, perforasi tukak
duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, diverkulitis kolon,

11

obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid,


dan mukokel apendiks. (Sjamsuhidajat, 2004).

2.1.11.Tata laksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas tindakan paling tepat dan merupakan satusatunya pilihan yang paling baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa dan apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. (Sjamsuhidajat,
2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dilakukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus
halus. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.1.Massa Periapendikuler. Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa
atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat
terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
masih mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan

12

pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik


sambil diawasi sehu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
angka leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri
di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau
abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum,
penyakit Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan
diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis biasanya terdapat pada anamnesis yang
khas. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.2.Tatalaksana
Apendektomi direncanakan pada infltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia
lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya. (Sjamsuhidajat, 2004).
Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendektomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah. (Sjamsuhidajat,
2004).
2.1.12.3.Apendisitis Perforata

13

Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita di atas usia 60
tahun. Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah
gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks
berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif
sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang
sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.4.Diagnosis
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri takan dan defans muskuler di seluruh perut,
mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus menurun
sampai menghilang karena ileus paralitik. Abses rongga peritoneum bisa terjadi
bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisasi disuatu tempat, paling sering di rongga
pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam
harus dicurigai abses, ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya kantong
nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan membantu
membedakannya. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.5.Tatalaksana
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan. (Sjamsuhidajat, 2004).
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang
adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini mulai
banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi.

14

Rongga abdomen bisa dibilas dengan mudah. Dilaporkan hasilnya tidak berbeda
dibanding dengan laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya lama rawat lebih pendek
dan secara kosmetik lebih baik. (Sjamsuhidajat, 2004).
Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan
pemasangan penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila
sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang penyalir
intraperitoneal karena justru menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.
(Sjamsuhidajat, 2004).

Anda mungkin juga menyukai