Anda di halaman 1dari 4

Hesti Retno Budi Arini

A2/36
Bagaimana mekanisme kerja obat Ca2+ channel blocker, beta blocker, dan Na blocker?
a. Ca2+ channel blocker:

Mekanisme Kerja secara Umum


Kanal ion kalsium (tipe L atau kanal lambat) memediasi masuknya kalsium
ekstraseluler ke dalam otot polos, sel otot jantung, sel nodal sinoatrial (SA) dan
atrioventricular (AV) sebagai respon terhadap depolarisasi listrik. Pada sel otot polos dan otot
jantung, kalsium adalah pemicu (trigger) untuk kontraksi walaupun dengan mekanisme yang
berbeda. Kanal Ca2+ antagonis, atau disebut juga Ca2+ entry blockers, menghambat fungsi
kanal Ca2+. Pada otot polos pembuluh darah, hal ini menyebabkan relaksasi, khususnya pada
arterial bed. Obat ini juga menghasilkan efek kronotropik dan inotropik negatif pada jantung.
Obat bloker kanal Ca2+ ini memblokir kanal Ca2+ tipe L yang merupakan kanal kalsium
terpenting pada otot jantung dan otot polos. Dengan mengurangi aliran masuknya kalsium
selama potensial aksi, obat ini mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler dan kontraktilitas
otot. Obat ini tidak berhubungan dengan neurotransmisi-bergantung-kalsium atau pelepasan
hormon karena prosenya tidak menggunakan kanal tipe L.
Efek pada Pembuluh Darah
Walaupun ada beberapa keterlibatan ion natrium, depolarisasi sel otot polos vaskuler
sangat bergantung pada aliran Ca2+. Setidaknya ada 3 mekanisme yang menyebabkan
kontraksi sel otot polos vaskuler:
1. Kanal Ca2+ membuka sebagai respon terhadap depolarisasi membran, dan Ca2+
ekstraseluler turun pada derajat elektrokimianya ( 1,5 sampai 120 mm) dalam sel. Setelah
kanal menutup, dibutuhkan beberapa saat sebelum kanal dapat membuka kembali sebagai
respon terhadap stimulus.

2. Kontraksi yang diinduksi oleh agonis dapat terjadi tanpa depolarisasi membran,
menghasilkan pelepasan Ca2+ intraseluler dari retikulum sarkoplasma. Pelepasan Ca2+
intraseluler yang diperantarai reseptor ini memicu aliran masuk Ca2+ ekstraseluler.
3. Kanal Ca2+ yang dioperasikan oleh reseptor memungkinkan masuknya Ca2+ ekstraseluler
sebagai respon okupansi reseptor.
Peningkatan Ca2+ sitosol menyebabkan peningkatan ikatan Ca2+ dengan kalmodulin.
Kompleks Ca2+-kalmodulin mengaktifkan myosin light-chain kinase, yang menyebabkan
fosforilasi miosin. Beberapa fosforilasi juga menginisiasi interaksi aktin dengan miosin dan
kontraksi otot polos. Semua bloker kanal Ca2+ merelaksasi otot halus arteri, tetapi hanya
memiliki sedikit efek pada vena sehingga tidak ada efek signifikan pada cardiac preload.
Efek pada Jantung
Mekanisme kontraksi pada otot jantung berbeda dari otot polos vaskuler di mana untuk kanal
cepat menggunakan ion natrium dan untuk kanal lambatnya menggunakan ion kalsium.
Dalam sel otot jantung, Ca2+ berikatan dengan troponin, menyebabkan efek inhibisi dari
troponin dan memungkinkan kontraksi sebagai akibat interaksi aktin-miosin. Pada kompleks
inilah, bloker kanal Ca2+ dapat menghasilkan efek inotropik negatif.
b. Beta blocker:

Mekanisme Kerja secara Umum


adrenergik reseptor antagonis berefek pada pengaturan sirkulasi melalui beberapa
mekanisme, termasuk kontraktilitas miokardial, detak jantung, dan curah jantung.
Konsekuensi penting pada penggunaan adrenergik reseptor antagonis adalah blokade
reseptor beta di kompleks juxtaglomerular, mengurangi sekresi renin dan produksi

angiotensin II. adrenergik reseptor antagonis dapat menurunkan tekanan darah dengan
mekanisme lain, salah satunya melalui pengubahan kontol sistem saraf simpatik melalui
sistem saraf pusat, mengubah sensitivitas baroreseptor, mengubah fungsi neuron adrenergik
periferal, dan meningkatkan biosintesis prostasiklin.
Efek Farmakologi
Bloker adrenergik ini bervariasi menurut kelarutannya dalam lemak, selektivitas
pada reseptor beta, keberadaan agonis parsial, dan unsur stabilisasi membran. Walaupun
begitu, secara keseluruhan bloker adalah obat antihipertensi yang efektif. Obat golongan
bloker tanpa aktivitas simpatomimetik mengurangi curah jantung dan tahanan perifer,
tanpa perubahan pada tekanan arteri. Tetapi bila pengurangan curah jantung dan tahanan
perifer ini terus-menerus terjadi akan menyebabkan pengurangan tekanan arteri juga.
Sedangkan obat dengan efek simpatomimetik akan menghasilkan penurunan curah jantung
yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat tanpa efek simpatomimetik.
Bloker atau reseptor antagonis tidak selalu menyebabkan retensi air ataupun
natrium, dan pengaturan diuretik juga tidak diperlukan untuk menghindari edema. Tetapi, zat
diuretik tetap memiliki efek aditif antihipertensi ketika dikombinasikan dengan bloker .
Kombinasi bloker , zat diuretik, dan vasodilator efektif untuk pasien yang memerlukan
ketiga obat tersebut. Bloker adalah obat yang paling dipilih untuk mengobati hipertensi
pada kondisi infark miokardia, ischemia, dan gagal jantung kongestif.
c. Na blocker:
Blokade kanal natrium jantung meningkatkan ambang eksitasi (threshold for
excitation) yang membuat jaringan bekerja lebih keras untuk bereksitasi dan melemahkan
perambatan impuls. Bloker kanal natrium dapat menjadi obat antiaritmia dengan cara:
1. Melemahkan konduksi secara menyeluruh sehingga pengiriman impuls digagalkan
2. Mencegah aritmia-aritmia selanjutnya
3. Menekan aktivitas pusat fokus (firing foci)
Tetapi dengan mekanisme kerja tersebut, penggunaan obat bloker Na lama-kelamaan
juga dapat menyebabkan aritmia.

Kesimpulan: Obat Ca2+ channel blocker bekerja dengan menghambat aliran kalsium
intraseluler sehingga kontraktilitas otot jantung dan otot pembuluh darah berkurang.
Sedangkan obat blocker bekerja dengan blokade reseptor beta di kompleks
juxtaglomerular, mengurangi sekresi renin dan produksi angiotensin II, pengubahan kontol
sistem saraf simpatik melalui sistem saraf pusat, mengubah sensitivitas baroreseptor,
mengubah fungsi neuron adrenergik periferal, dan meningkatkan biosintesis prostasiklin
sehingga kontraksi berkurang dan curah jantung ataupun tahanan perifer juga menurun.
Terakhir, obat golongan Na blocker atau sodium blocker mengobati aritmia dengan
melemahkan perambatan impuls. Tetapi pada intinya semua blocker atau antagonis
melakukan blokade dengan menjadi kompetitor dalam mendapatkan active side pada
reseptor.

Sumber:
Goodman dan Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Ed. (2006)
Melmon and Morrelli's Clinical Pharmacology, 4th Ed. (2000)
Katzung and Trevor Pharmacology, 6th Ed. (2001)

Anda mungkin juga menyukai