Anda di halaman 1dari 3

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Dalam penegakan diagnosis pasien dengan gangguan


kejiwaan diperlukan metode penegakan yang bersifat multiaksial.
Diagnosis multiaksial sendiri maksudnya adalah metode penegakan
yang memandang sutu bentuk gangguan secara holistik / melihat
dari keseluruhan aspek. Hal ini dikarenakan penyebab dari
gangguan kejiwaan yang seringkali melibatkan banyak faktor,
seperti diantaranya; faktor biologis, fisiologis, dan sosial.
Diagnosis multiaksial mengandung 5 aksis, sebagai berikut;

AKSIS I

AKSIS II

AKSIS III
AKSIS IV
AKSIS V

: Gangguan psikiatrik yang utama


Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis
: Ada/tidaknya retardasi mental
Ada/tidaknya gangguan kepribadian
: Kondisi medis umum komorbid AKSIS I
: Stressor psikososial yang diduga memicu AKSIS I
: Penilaian fungsi secara global

Untuk AKSIS V (Penilaian fungsi secara global) dilakukan dengan


berpedoman pada system scoring dari Global Assessment of
Functioning Scale. Untuk menegakkan diagnosis pada pasien, perlu
ditetapkan penilaian pada pasien berdasarkan kondisi pasien dan
hasil anamnesis maupun aloanamnesis yang didapat. Berikut ini
adalah score penilaian dari Global Assessment of Functioning Scale;
91-100

:
tidak
ada
gejala,
dapat
menyelesaikan/mengendalikan setiap masalah, aktif
dalam banyak kegiatan.

81-90

: gejala sangat minimal, aktif dalam banyak


kegiatan, merasa puas pada sebagian besar
hidupnya, masalah yang terjadi hanya masalah
ringan sehari-hari.

71-80

: tampak ada gejala, dapat merespon baik stressor


psikososial, tidak lebih dari kesulitan ringan dalam
hal sosial, pekerjaan, dan sekolah.

61-70

: beberapa gejala ringan (mood menurun, insomnia),


beberapa kesulitan dalam hal sosial, pekerjaan, dan
sekolah, tetapi keseluruhan masih baik.

51-60

: gejala menengah, sering ada serangan panik,


kesulitan ringan dalam hal sosial, pekerjaan, dan
sekolah.

41-50

: gejala berat (ide bunuh diri, obsesi pada ritual,


mencuri) dengan kesulitan berat dalam hal sosial,
pekerjaan, dan sekolah.

31-40

: gangguan dalam berkomunikasi (tidak logis, tidak


relevan), gangguan berat dalam hal sosial,
pekerjaan, dan sekolah, serta sering mengalami
kegagalan.

21-30

: tingkah laku dikendalikan oleh delusi dan


halusinasi, gangguan serius pada komunikasi
(inkoheren), percobaan bunuh diri, ketidakmampuan
untuk
melakukan
berbagai
kegiatan
(hanya
berbaring tanpa pekerjaan).

11-20

: sering membahayakan diri sendiri dan orang lain,


kesulitan untuk mempertahankan hygiene diri.

1-10

: kedaruratan persisten karen sering membahayakan


diri dan orang lain, ketidakmampuan menjaga
hygiene diri, mencoba bunuh diri dan keinginan
untuk mati.

HALUSINASI
Halusinasi merupakan persepsi terhadap stimulus yang
sebenarnya tidak ada/persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya
rangsangan/stimulus dari luar. Halusinasi dapat terjadi pada
berbagai modalitas sensori seperti; halusinasi visual, halusinasi
auditorik, halusinasi olfaktori, halusinasi gustatory, dll.
Pasien pada skenario mengalami halusinasi auditorik, dimana
berdasarkan scientific review, halusinasi auditorik dapat terjadi
dikarenakan adanya aktivitas spontan pada area auditorik primer
(Broadman
40,41)
sehingga
menyebabkan
terjadinya
misinterpretasi oleh area auditorik sekunder (Broadman 29).
Akibatnya orang tersebut seolah-olah mendengarkan suara yang
sebenarnya tidak ada (halusinasi auditorik).
Berdasarkan sumber penelitian dari Jepang, terbukti bahwa
kejadian stress yang meningkat atau meningkatnya tingkat
kecemasan seseorang dapat semakin memperberat kejadian
halusinasi auditorik ini.
Pasien dengan gangguan halusinasi auditorik kemungkinan
besar penyebabnya adalah adanya gangguan kejiwaan seperti
psikosis, namun dalam penegakkan diagnosis perl dipertimbangkan
kemungkinan diagnosis lainnya seperti karena induksi obat maupun
karena adanya gangguan organik. Dikarenakan penatalaksanaannya
yang sangat berbeda ketika etiologinya berbeda, maka penegakkan
diagnosisnya harus akurat.

Anda mungkin juga menyukai