Anda di halaman 1dari 16

Portofolio

TETANUS

Disusun oleh
Dr. Stephanie Liusito
Dr. Endriko Toreh
Dr. Nadia Ophelia

Portofolio

BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus ditandai oleh onset akut hipertonus, kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher), serta spasme otot menyeluruh tanpa adanya
penyebab medis lain yang jelas. Meskipun imunisasi bayi dan anak yang luas
telah dilakukan sejak tahun 1940-an, tetanus masih tetap ada di Amerika Serikat.
Saat ini, tetanus terutama menyerang orang dewasa yang lebih tua sebab pada usia
ini banyak yang belum pernah divaksinasi ataupun divaksinasi namun tidak
adekuat.
Tetanus dapat menyerang segala usia, namun prevalensi tertinggi ditemukan
pada bayi baru lahir serta usia muda. Pada tahun 1992, sekitar 578.000 kematian
bayi disebabkan oleh tetanus. Pada tahun 1998, terjadi 215.000 kematian akibat
tetanus, dengan lebih dari setengahnya terjadi di Afrika. Tetanus merupakan
penyakit target oleh World Health Organization (WHO) dalam program
imunisasi. Secara keseluruhan, insiden tetanus pertahun sekitar 0,5-1 juta kasus.
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2002, terdapat 213.000 kematian akibat
tetanus, dan 198.000 di antaranya terjadi pada anak berusia <5 tahun.
Meskipun saat ini tetanus jarang ditemukan, tetanus belum dapat dieradikasi,
sehingga diagnosis dan intervensi dini sangat diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa. Pencegahan merupakan strategi penanganan utama untuk tetanus.

Portofolio

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
II.

DEFINISI
Suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan spasme dan rigiditas otot.
ETIOLOGI
Penyebab tetanus adalah bakteri anaerob pembentuk spora bernama
Clostridium tetani. Basil Gram positif ini ditemukan dalam feses manusia dan
hewan, debu rumah serta di tanah. Spora tahan terhadap panas, kering, dan
desinfektan. Spora dapat dorman selama bertahun-tahun, tetapi jika terkena luka,
spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan toksin.

III.

EPIDEMIOLOGI
C.tetani ditemukan di seluruh dunia pada tanah, benda tidak bergerak, kotoran
binatang, dan seringkali pada kotoran manusia. Tetanus terutama ditemukan pada
negara miskin. Pada negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus
terutama ditemukan pada neonatus dan anak-anak.
Negara berkembang memiliki insiden tetanus serupa dengan Amerika Serikat.
Oleh karena imunisasi tetanus yang meluas, insiden tetanus yang dilaporkan di
Amerika Serikat telah menurun drastis sejak pertengahan 1940-an.
Pengguna heroin, terutama mereka yang menyuntik subkutan terutama
memiliki risiko tinggi terkena tetanus. Quinin yang digunakan untuk melarutkan
heroin merupakan salah satu media yang baik bagi pertumbuhan C.tetani.
Tetanus dapat menyerang baik pria maupun wanita. Tidak terdapat laporan
mengenai predileksi jenis kelamin, kecuali pada keadaan di mana pria lebih
banyak terpajan pada tanah di daerah tertentu. Terdapat perbedaan kekebalan
terhadap tetanus pada pria dan wanita. Secara keseluruhan, pria diyakini lebih
terlindungi dibanding wanita, mungkin akibat vaksinasi tambahan yang diberikan
selama wajib militer atau kegiatan profesional yang mewajibkan vaksinasi. Pada
negara berkembang, kekebalan wanita meningkat sebab tetanus toxoid diberikan

Portofolio

pada usia produktif untuk mencegah tetanus neonatus. Ras tidak mempengaruhi
angka kejadian tetanus.
IV.

PATOGENESIS
Bakteri (spora) masuk melalui luka yang kotor dan terkontaminasi. Untuk
berkembang-biak, spora memerlukan kondisi anaerobik yang spesifik, seperti
luka dengan potensi reaksi oksidasi-reduksi yang rendah (misalnya jaringan sakit
atau mati, benda asing, infeksi aktif). Dalam keadaan ini, selama berkembangbiak spora akan melepaskan toksin. Infeksi oleh C. tetani tampak berbahaya pada
tempat masuknya, sebab bakteri ini tidak mampu memicu reaksi inflamasi kecuali
terjadi koinfeksi dengan organisme lainnya.
Apabila kondisi anaerobik yang tersebut terjadi, spora berkembang dan
menghasilkan 2 toksin berikut:
Tetanolysin, merupakan hemolysin tapa aktivitas patologik yang diketahui
Tetanospasmin, merupakan toksin yang menyebabkan manifestasi klinis
tetanus. Toksin ini merupakan salah satu toksin yang diketahui paling
poten.
Tetanospasmin merupakan protein yang terdiri dari rantai berat dan rantai
ringan. Rantai berat membantu pengikatan tetanospasmin ke presinaps motor
neuron dan juga membentuk jalan bagi rantai ringan untuk memasuki sitosol.
Rantai

ringan

ini

merupakan

protease

dependen-zink

yang

memecah

sinaptobrevin.
Setelah rantai ringan memasuki motor neuron, rantai tersebut berjalan melalui
transpor akson dari tempat kontaminasi menuju medula spinalis dalam 2-14 hari.
Saat toksin mencapai medula spinalis, toksin ini kemudian memasuki neuron
inhibisi sentral. Kemudian rantai ini memotong protein sinaptobrevin, yang
diperlukan dalam pengikatan vesikel berisi neurotransmiter ke membran sel.
Akibatnya, vesikel yang mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
glisin tidak dapat dilepaskan, menyebabkan hilangnya inhibisi pada saraf motorik
dan otonomik, sehingga terjadi hiperaktivitas otonomik seperti kontraksi otot

Portofolio

(spasme) yang tidak dapat dikendalikan pada rangsangan biasa seperti bising atau
cahaya.
Setelah toksin telah terikat pada neuron, toksin tersebut tidak dapat dinetralisir
dengan antitoksin. Pemulihan fungsi saraf dari toksin tetanus memerlukan
pertumbuhan terminal saraf yang baru serta pembentukan sinaps baru.
Tetanus lokal terjadi hanya apabila melibatkan saraf yang menyuplai otot
yang terkena. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan pada
luka menyebar melalui aliran darah dan limfatik menuju berbagai terminal saraf.
Sawar darah-otak mencegah masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem
saraf pusat (SSP).
V.

MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi sekitar 4-14 hari dengan rata-rata 7 hari. Pasien dengan masa
inkubasi <7 hari memiliki manifestasi klinis yang lebih berat. Pasien kadang
mengingat adanya luka, namun banyak pula yang tidak mengetahui adanya luka.
Pasien mungkin datang dengan rasa tidak nyaman di tenggorokan dengan disfagia
(tanda dini). Manifestasi awal dapat berupa tetanus lokal, yang hanya mengenai 1
anggota gerak atau di daerah luka yang terkontaminasi saja. Selanjutnya terjadi
kekakuan otot, dengan pola menurun dari rahang dan otot wajah kemudian
mengenai otot extensor anggota gerak pada 24-48 jam berikutnya.
Disfagia terjadi pada tetanus berat akibat spasme otot faring, dan gejala
biasanya tidak tampal hingga beberapa hari. Spasme refleks terjadi pada
kebanyakan pasien dan dapat dipicu oleh rangsangan dari luar seperti bising,
cahaya, atau sentuhan. Spasme dapat bertahan dalam hitungan detik hingga menit,
dapat menjadi lebih berat dan lebih sering seiring perjalanan penyakit, serta dapat
menyebabkan apnea, fraktur, dislokasi, dan rabdomiolisis. Spasme laring dapat
terjadi kapan saja dan dapat menyebabkan asfiksia.
Gejala lain yang timbul antara lain peningkatan suhu tubuh, berkeringat,
peningkatan tekanan darah, serta episode tachycardia. Kontraksi panjang otot-otot
wajah menyebabkan ekspresi menyeringai yang disebut sebagai rises sardonic us.

Portofolio

Berdasarkan manifestasi klinis, tetanus dapat diklasifikasikan menjadi tetanus


generalisata , lokal atau sefalik.
1. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan yang paling ringan dibandingkan tetanus
lainnya. Biasanya gejala yang muncul berupa rasa kaku, kencang, dan nyeri
pada otot di sekitar luka. Seringkali terjadi spasme dan twitching dari otot
yang terkena. Bentuk ini jarang ditemukan, dan prognosis nya sangat baik.
2. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
Awalnya dapat berupa tetanus lokal yang berkembang luas setelah beberapa
hari. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sangat tergantung dengan jarak lokasi
lesi dengan SSP. Gejala dapat bertahan selama 2 minggu meskipun telah
diberikan terapi antitoksin, sebab transpor antitoksin menuju intra-aksonal
memerlukan waktu. Gejala yang sering muncul antara lain:
Hipertonus otot
Spasme
Trismus (75%), yaitu perasaan kaku pada rahang dan leher. Biasanya

pasien sulit membuka mulutnya


Kaku di leher, bahu, serta ekstremitas (biasanya terekstensi)
Abdomen papan (abdomen terasa keras dan rata)
Risus sarcodinus, yaitu kontraksi pada otot wajah (otot bibir
mengalami retraksi, mata tertutup parsial karena kontraksi M.

orbicularis occuli, alis terelevasi karena spasme otot frontalis


Opistotonus, yaitu kontraksi pada otot punggung sehingga

menyebabkan perubahan bentuk menjadi melengkung


Spasme pada otot-otot pernapasan
Kejang, mirip dengan epilepsi, namun tidak terdapat penurunan

kesadaran, serta pasien biasanya mengalami nyeri yang berat


3. Tetanus sefalik
Tetanus sefalik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala atau wajah.
Periode inkubasi biasanya pendek, hanya sekitar 1-2 hari. Terjadi kelemahan dan
paralisis otot-otot wajah, terutama nervus VII. Pada periode spasme, otot wajah
biasanya berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah dan tenggorokan sehingga

Portofolio

terjadi disartria, disfonia, dan disfagia. Seringkali tetanus sefalik berkembang


menjadi tetanus generalisata. jarang ditemukan. Prognosis biasanya buruk.
VI.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pertanyaan seputar luka sangat penting, terutama waktu terkena luka,

2.

serta waktu dari luka sampai munculnya gejala


Lokasi luka
Jenis luka (kotor atau bersih)
Port dentre lain seperti penggunaan jarum suntik, adanya otitis

media supuratif kronik berulang, dan lainnya


Riwayat imunisasi tetanus

Portofolio

3. Pemeriksaan fisik
Ditemukan tanda dan gejala yang telah disebutkan dalam manifestasi

klinis
Tes spatula
Tes ini merupakan tes sederhana yang dilakukan dengan
menyentuh orofaring dengan spatula. Pada keadaan normal, hal ini
memicu refleks muntah, dan pasien mencoba mengeluarkan spatula
tersebut (tes negatif). Pada tetanus, akan ditemukan refleks spasme
masseter dan akan menggigit spatula (tes positif). Sensitivitas

pemeriksaan ini 94%, dan spesifitas 100%.


4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menunjukkan perubahan.
Pemeriksaan ini tidak memiliki nilai diagnostik, namun dapat membantu
menyingkirkan diagnosis lain. Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah
tidak khas. Leukositosis sedang dapat ditemukan.
Pungsi lumbar tidak diperlukan untuk diagnosis. Cairan serebrospinal
(CSS) biasanya normal, kecuali terdapat peningkatan tekanan terutama saat
spasme. Kadar enzim otot serum seperti kreatin kinase dan aldolase dapat
meningkat.
Saat ini pemeriksaan kadar antitoksin belum tersedia secara luas.
Namun, antitoksin serum >0,01 IU/ml umumnya dianggap bersifat protektif,
sehingga kemungkinan tetanus lebih kurang. Namun, pada kasus yang jarang,
telah dilaporkan terjadi tetanus pada kadar antitoksin yang cukup.
Sebaiknya luka dikultur pada kasus-kasus yang diduga tetanus. Namun
perlu diingat bahwa C. tetani terkadang dapat ditemukan pada pasien dengan
luka meskipun tidak terserang tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur dari
pasien yang mengalami tetanus.
Elektromiografi (EMG) dapat menunjukkan kelainan subunit motorik
dan pemendekan atau hilangnya interval tenang yang biasanya ditemukan
setelah potensial aksi. Tidak terdapat perubahan dalam EKG serta pencitraan
kepala dan punggung.

Portofolio

VII.

TATALAKSANA
Setiap pasien dengan diagnosis tetanus, sebaiknya dinilai dengan skor Philip
untuk menentukan tatalaksana, yang ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Skor Philip untuk pasien tetanus
Faktor

Skor

Masa inkubasi
<48 jam
2-5 hari
6-9 hari
10-14 hari
>14 hari

5
4
3
2
1

Lokasi infeksi
Internal/umbilikal
Kepala/leher/dinding tubuh
Proksimal perifer
Distal perifer
Tidak diketahui

5
4
3
2
1

Portofolio

Riwayat imunisasi
Tidak pernah dapat
Mungkin dapat
>10 tahun
<10 tahun
Imunisasi komplit
Penyulit/penyakit penyerta
Trauma/penyulit yang mengancam nyawa
Trauma berat/penyulit tidak segera mengancam nyawa
Trauma/penyulit tidak mengancam nyawa
Trauma/penyulit ringan
Tidak ada penyulit
Interpretasi skor:
9
: rawat jalan
10-16
: dirawat dalam ruangan biasa
17
: Dirawat di ruang rawat intensif

10
8
4
2
0

10
8
4
2
0

Tujuan penanganan pada pasien dengan tetanus meliputi hal-hal berikut:


1. Terapi suportif awal dan penanganan luka
Pasien sebaiknya dimasukkan di ICU apabila diperlukan. Karena
adanya risiko spasme refleks, ruangan pasien sebaiknya gelap dan tenang.
Prosedur yang tidak perlu sebaiknya dihindari.
Intubasi profilaktik sebaiknya dipertimbangkan secara serius pada
seluruh pasien dengan manifestasi sedang hingga ringan. Intubasi dan
ventilasi diperlukan pada 67% pasien. Pemasangan intubasi endotrakeal dapat
memicu refleks laringospasme berat, sehingga persiapan darurat untuk
mengendalikan jalan napas secara bedah harus dilakukan sebaik mungkin.
Trakeostomi sebaiknya dilakukan pada pasien yang memerlukan intubasi
selama lebih dari 10 hari. Trakeostomi juga dianjurkan setelah onset pertama
kejang umum.
2. Debridemen luka untuk mengeradikasi spora dan mengubah kondisi yang
mendukung pertumbuhan spora

Portofolio

Peningkatan risiko tetanus secara langsung berhubungan dengan


karakteristik luka. Luka baru dengan tepi tajam, vaskularisasi baik, dan tidak
terkontaminasi berisiko rendah menjadi tetanus. Seluruh luka lain dianggap
predisposisi terhadap tetanus. Luka yang paling rentan yaitu luka yang
terkontaminasi, atau disebabkan oleh trauma tumpul atau gigitan. Luka seperti
ini sebaiknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan
debridemen.
Pada banyak kasus, luka yang berperan dalam terjadinya tetanus
tampak bersih. Pada luka seperti ini debridemen tidak begitu memberikan
hasil. Apabila terdapat indikasi debridemen, sebaiknya dilakukan hanya
setelah stabilisasi pasien. Anjuran saat ini yaitu mengeksisi minimal 2 cm
jaringan yang tampak normal di sekitar tepi luka. Abses sebaiknya diinsisi dan
dilakukan drainase. Oleh karena adanya risiko pelepasan tetanospasmin ke
aliran darah, setiap manipulasi luka sebaiknya ditunda hingga beberapa jam
setelah pemberian antitoksin.
3. Menghentikan produksi toksin dalam luka
Digunakan antimikroba untuk mengurangi jumlah bentuk vegetatif C.
tetani (sumber toksin) pada luka. Selama beberapa tahun digunakan penisilin
G, namun saat ini penisilin G bukan lagi merupakan obat pilihan. Penisilin
diketahui merupakan antagonis GABA, serupa dengan toksin tetanus.
Metronidazol 4 x 500 mg memiliki aktivitas antimikroba lebih baik, dan
dihubungkan dengan mortalitas lebih rendah.
Antimikroba lainnya yang telah digunakan yaitu klindamisin,
erotromisin, tetrasiklin, dan vankomisin, namun peran obat-obat ini belum
diketahui pasti.
4. Menetralisir toksin yang belum terikat
Tetanus immunoglobulin (TIG) dianjurkan untuk penanganan tetanus.
Perlu diingat bahwa TIG hanya membantu menghilangkan toksin tetanus yang
belum terikat, dan tidak mempengaruhi toksin yang telah terikat pada ujung
saraf. Diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU IM
dosis tunggal.

Portofolio

5. Mengendalikan manifestasi klinis penyakit


Benzodiazepin saat ini secara luas digunakan untuk terapi simptomatis
tetanus. Diazepam paling sering digunakan, obat ini mengurangi kecemasan,
menimbulkan sedasi dan merelaksasi otot. Sebagai alternatif dapat diberikan
lorazepam. Mungkin dapat diperlukan dosis tinggi (hingga 600 mg/hari).
Untuk mencegah spasme yang bertahan lebih dari 5-10 detik, berikan
diazepam IV, biasanya 10-4- mg per 1-8 jam. Vecuronium, pancuronium,
midazolam dapat digunakan. Apabila spasme tidak dapat dikendalikan dengan
benzodiazepin, blok neuromuskular jangka panjang diperlukan.
Fenobarbital dapat digunakan untuk memperpanjang efek diazepam,
juga dapat digunakan untuk menangani spasme otot berat dan memberikan
sedasi saat pemberian agen blok neuromuskular. Obat lain yang digunakan
untuk mengontrol spasme yaitu baklofen, dantrolene, barbiturat short-acting,
dan chlorpromazine. Propofol dapat digunakan untuk sedasi.
6. Menangani komplikasi
Terapi spesifik untuk komplikasi sistem otonom dan kontrol spasme
harus dimulai. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi
dengan benzodiazepin. Cara pemberian yaitu IV dengan loading dose 5g (atau
75 mg/kg), dilanjutkan dengan infus dengan kecepatan 2-3 g/jam hingga
spasme dapat dikendalikan.
Refleks patela harus diawasi. Arefleksia (hilangnya refleks patella)
terjadi pada batas atas range terapeutik (4 mmol/L). Apabila terdapat
arefleksia, dosis sebaiknya dikurangi. Infus magnesium sulfat tidak
mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik pada dewasa dengan tetanus berat,
namun mengurangi kebutuhan terhadap obat lain dalam pengendalian spasme
otot dan instabilitas kardiovaskular.
Morfin dapat digunakan. Sebelumnya sering digunakan beta blocker,
namun agen ini dapat menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak. Saat
ini hanya esmolol yang dianjurkan.

Portofolio

Hipotensi memerlukan penggantian cairan dan dopamin atau


norepinefrin. Overaktivitas parasimpatik jarang ditemukan, namun apabila
terdapat bradikardi, alat pacu jantung mungkin diperlukan.
7. Diet dan aktivitas
Nutrisi adekuat sangat penting. Pasien sebaiknya tidak diberi makanan
lewat mulut sebab
nutrisi dapat

berisiko aspirasi. Pada pasien dengan keadaan serius,

diberikan melalui pipa nasogastrik. Sebaiknya dilakukan

konsultasi dengan ahli gizi.


Pasien sebaiknya bed rest
Rangsangan

VIII.

di ruangan yang gelap dan tenang.

terkecil sekalipun dapat menyebabkan siklus spasme.

KOMPLIKASI
Komplikasi termasuk spasme pita suara dan spasme otot pernapasan yang
dapat mempengaruhi pernapasan. Pasien mengalami nyeri berat selama setiap
spasme. Selama spasme, jalan napas atas dapat tersumbat, atau terjadi kontraksi
diafragma.
Sebelum 1954, asfiksia akibat spasme merupakan penyebab kematian yang
umum pada pasien tetanus. Namun dengan kemajuan pengobatan saar ini,
kematian jantung mendadak menjadi penyebab utama kematian. Kematian
jantung mendadak dapat terjadi akibat produksi katekolamin berlebihan atau aksi
langsung tetanospasmin pada miokardium.
Infeksi nosokomial sering terjadi pada perawatan lama di rumah sakit. Infeksi
sekunder dapat terjadi dari ulkus dekubitus, hospital-acquired pneumonia, dan
infeksi akibat kateter. Emboli paru merupakan masalah utama pada pengguna
obat-obatan serta pasien berusia lanjut.
Komplikasi lainnya antara lain:
Fraktur tulang panjang
Dislokasi endi glenohumeral dan temporomandibular
Hipoksia dan pneumonia aspirasi
Penggumpalan dalam pembuluh darah paru

Portofolio

IX.

Efek samping instabilias sistem saraf otonom, termasuk hipertensi dan

disritmia jantung
Ileus paralitik, dekubitus, dan retensi urin
Malnutrisi dan stress ucers
Koma, kelumpuhan saraf, neuropati, efek psikologis, dan kontraktur

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu sejak inokulasi spora hingga
gejala pertama, serta waktu sejak gejala pertama hingga spasme tetanik pertama.
Hal-hal berikut ini biasanya ditemukan:
Secara umum, interval waktu yang lebih singkat mengindikasikan tetanus

lebih berat serta prognosis lebih buruk


Pasien biasanya dapat bertahan dari tetanus dan kembali seperti saat

sebelum sakit
Pemulihan pelan dan biasanya terjadi selama 2-4 bulan
Beberapa pasien tetap mengalami hipotonus
Tetanus klinis tidak menyebabkan kekebalan, oleh sebab itu pasien yang
bertahan dari tetanus memerlukan imunisasi aktif dengan tetanus toxoid

untuk mencegah kekambuhan.


Telah dikembangkan skala penilaian untuk beratnya tetanus dan menentukan
prognosis. Pada skala ini, setiap poin yang ditemukan diberikan 1 poin:
Masa inkubasi <7 hari
Waktu onset <48 jam
Tetanus akibat luka bakar, luka bedah, fraktur tertutup, aborsi septik,
umbilikal, atau injeksi IM
Kecanduan narkotik
Tetanus generalisata
Suhu tubuh lebih dari 40C
Takikardi (>120x/m, atau 150x/m pada neonatus)
Keseluruhan skor menggambarkan beratnya penyakit serta prognosis sebagai
berikut:
0-1 : Tetanus ringan, mortalitas <10%
2-3 : Tetanus sedang, mortalitas 10-20%
4 : Tetanus berat, mortalitas 20-40%
5-6 : Tetanus sangat berat, mortalitas >50%

Portofolio

Tetanus sefalik selalu berat atau sangat berat. Mortalitas terutama lebih tinggi
pada pasien berusia >60 tahun (40%) dibanding usia 20-59 tahun (8%). Tingginya
mortalitas berkaitan dengan mesa inkubasi singkat, onset kejang dini, penanganan
terlambat, lesi kontaminasi pada kepala dan leher, serta tetanus pada neonatus.
Derajat tetanus klinis lebih ringan pada pasien yang telah mendapatkan
tetanus toxoid berturut-turut dibanding pasien yang tidak mendapat vaksinasi
adekuat atau tidak divaksinasi sama sekali. Gejala neurologis sisa jarang
ditemukan. Kematian biasanya disebabkan oleh disfungsi otonom seperti
X.

perubahan tekanan darah yang ekstrim, disritmia atau cardiac arrest.


PENCEGAHAN
Pentingnya imunisasi dan booster pada masa kanak-kanak
Terkena tetanus tidak memicu kekebalan tubuh. Pasien dengan riwayat
vaksinasi tetanus toxoid primer sebaiknya mendapatkan dosis kedua 1-2
bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian. Setiap
pasien yang telah mengalami tetanus sebaiknya mendapatkan vaksinasi
tetanus yang lengkap. Diperlukan booster setiap 10 tahun. Meskipun
demikian, kepustakaan lain menyebutkan bahwa tidak perlu menunggu 10
tahun untuk booster, interval 2 tahun bahkan kurang disarankan untuk
mengurangi

kecenderungan

reaktogenisitas

atau

risiko

tinggi

pertusis, kontak dekat dengan bayi, dan tidak dapat menerima vaksinasi

lain saat itu.


Imunisasi pada wanita usia produktif, terutama wanita hamil mengurangi
insiden tetanus neonatal. Antibodi anti tetanus ibu diteruskan ke bayi, dan
imunitas pasif ini dapat efektif hingga beberapa bulan. Tetanus toksoid
diberikan 2 kali selama kehamilan (jarak 4-6 minggu, pada 2 trimester

terakhir), dan sekali lagi pada minimal 4 minggu sebelum persalinan.


Bidan serta pihak-pihak yang membantu persalinan perlu diberikan
pelatihan untuk prosedur aseptik persalinan
Dasar perawatan luka dan pertolongan pertama perlu diajarkan secara luas
Mengenali luka yang berisiko tetanus:
o Luka yang dibiarkan lebih dari 6 jam

Portofolio

o Kedalaman luka >1 cm


o Luka jelas terkontaminasi
o Luka terpajan saliva, feses, iskemik, terinfeksi
o Avulsi, luka tusuk, luka kecelakaan
Pengenalan gejala dan tanda tetanus lokal sedini mungkin
Segera mencari pertolongan medis yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai