TETANUS
Disusun oleh
Dr. Stephanie Liusito
Dr. Endriko Toreh
Dr. Nadia Ophelia
Portofolio
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus ditandai oleh onset akut hipertonus, kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher), serta spasme otot menyeluruh tanpa adanya
penyebab medis lain yang jelas. Meskipun imunisasi bayi dan anak yang luas
telah dilakukan sejak tahun 1940-an, tetanus masih tetap ada di Amerika Serikat.
Saat ini, tetanus terutama menyerang orang dewasa yang lebih tua sebab pada usia
ini banyak yang belum pernah divaksinasi ataupun divaksinasi namun tidak
adekuat.
Tetanus dapat menyerang segala usia, namun prevalensi tertinggi ditemukan
pada bayi baru lahir serta usia muda. Pada tahun 1992, sekitar 578.000 kematian
bayi disebabkan oleh tetanus. Pada tahun 1998, terjadi 215.000 kematian akibat
tetanus, dengan lebih dari setengahnya terjadi di Afrika. Tetanus merupakan
penyakit target oleh World Health Organization (WHO) dalam program
imunisasi. Secara keseluruhan, insiden tetanus pertahun sekitar 0,5-1 juta kasus.
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2002, terdapat 213.000 kematian akibat
tetanus, dan 198.000 di antaranya terjadi pada anak berusia <5 tahun.
Meskipun saat ini tetanus jarang ditemukan, tetanus belum dapat dieradikasi,
sehingga diagnosis dan intervensi dini sangat diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa. Pencegahan merupakan strategi penanganan utama untuk tetanus.
Portofolio
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
II.
DEFINISI
Suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan spasme dan rigiditas otot.
ETIOLOGI
Penyebab tetanus adalah bakteri anaerob pembentuk spora bernama
Clostridium tetani. Basil Gram positif ini ditemukan dalam feses manusia dan
hewan, debu rumah serta di tanah. Spora tahan terhadap panas, kering, dan
desinfektan. Spora dapat dorman selama bertahun-tahun, tetapi jika terkena luka,
spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan toksin.
III.
EPIDEMIOLOGI
C.tetani ditemukan di seluruh dunia pada tanah, benda tidak bergerak, kotoran
binatang, dan seringkali pada kotoran manusia. Tetanus terutama ditemukan pada
negara miskin. Pada negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus
terutama ditemukan pada neonatus dan anak-anak.
Negara berkembang memiliki insiden tetanus serupa dengan Amerika Serikat.
Oleh karena imunisasi tetanus yang meluas, insiden tetanus yang dilaporkan di
Amerika Serikat telah menurun drastis sejak pertengahan 1940-an.
Pengguna heroin, terutama mereka yang menyuntik subkutan terutama
memiliki risiko tinggi terkena tetanus. Quinin yang digunakan untuk melarutkan
heroin merupakan salah satu media yang baik bagi pertumbuhan C.tetani.
Tetanus dapat menyerang baik pria maupun wanita. Tidak terdapat laporan
mengenai predileksi jenis kelamin, kecuali pada keadaan di mana pria lebih
banyak terpajan pada tanah di daerah tertentu. Terdapat perbedaan kekebalan
terhadap tetanus pada pria dan wanita. Secara keseluruhan, pria diyakini lebih
terlindungi dibanding wanita, mungkin akibat vaksinasi tambahan yang diberikan
selama wajib militer atau kegiatan profesional yang mewajibkan vaksinasi. Pada
negara berkembang, kekebalan wanita meningkat sebab tetanus toxoid diberikan
Portofolio
pada usia produktif untuk mencegah tetanus neonatus. Ras tidak mempengaruhi
angka kejadian tetanus.
IV.
PATOGENESIS
Bakteri (spora) masuk melalui luka yang kotor dan terkontaminasi. Untuk
berkembang-biak, spora memerlukan kondisi anaerobik yang spesifik, seperti
luka dengan potensi reaksi oksidasi-reduksi yang rendah (misalnya jaringan sakit
atau mati, benda asing, infeksi aktif). Dalam keadaan ini, selama berkembangbiak spora akan melepaskan toksin. Infeksi oleh C. tetani tampak berbahaya pada
tempat masuknya, sebab bakteri ini tidak mampu memicu reaksi inflamasi kecuali
terjadi koinfeksi dengan organisme lainnya.
Apabila kondisi anaerobik yang tersebut terjadi, spora berkembang dan
menghasilkan 2 toksin berikut:
Tetanolysin, merupakan hemolysin tapa aktivitas patologik yang diketahui
Tetanospasmin, merupakan toksin yang menyebabkan manifestasi klinis
tetanus. Toksin ini merupakan salah satu toksin yang diketahui paling
poten.
Tetanospasmin merupakan protein yang terdiri dari rantai berat dan rantai
ringan. Rantai berat membantu pengikatan tetanospasmin ke presinaps motor
neuron dan juga membentuk jalan bagi rantai ringan untuk memasuki sitosol.
Rantai
ringan
ini
merupakan
protease
dependen-zink
yang
memecah
sinaptobrevin.
Setelah rantai ringan memasuki motor neuron, rantai tersebut berjalan melalui
transpor akson dari tempat kontaminasi menuju medula spinalis dalam 2-14 hari.
Saat toksin mencapai medula spinalis, toksin ini kemudian memasuki neuron
inhibisi sentral. Kemudian rantai ini memotong protein sinaptobrevin, yang
diperlukan dalam pengikatan vesikel berisi neurotransmiter ke membran sel.
Akibatnya, vesikel yang mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
glisin tidak dapat dilepaskan, menyebabkan hilangnya inhibisi pada saraf motorik
dan otonomik, sehingga terjadi hiperaktivitas otonomik seperti kontraksi otot
Portofolio
(spasme) yang tidak dapat dikendalikan pada rangsangan biasa seperti bising atau
cahaya.
Setelah toksin telah terikat pada neuron, toksin tersebut tidak dapat dinetralisir
dengan antitoksin. Pemulihan fungsi saraf dari toksin tetanus memerlukan
pertumbuhan terminal saraf yang baru serta pembentukan sinaps baru.
Tetanus lokal terjadi hanya apabila melibatkan saraf yang menyuplai otot
yang terkena. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan pada
luka menyebar melalui aliran darah dan limfatik menuju berbagai terminal saraf.
Sawar darah-otak mencegah masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem
saraf pusat (SSP).
V.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi sekitar 4-14 hari dengan rata-rata 7 hari. Pasien dengan masa
inkubasi <7 hari memiliki manifestasi klinis yang lebih berat. Pasien kadang
mengingat adanya luka, namun banyak pula yang tidak mengetahui adanya luka.
Pasien mungkin datang dengan rasa tidak nyaman di tenggorokan dengan disfagia
(tanda dini). Manifestasi awal dapat berupa tetanus lokal, yang hanya mengenai 1
anggota gerak atau di daerah luka yang terkontaminasi saja. Selanjutnya terjadi
kekakuan otot, dengan pola menurun dari rahang dan otot wajah kemudian
mengenai otot extensor anggota gerak pada 24-48 jam berikutnya.
Disfagia terjadi pada tetanus berat akibat spasme otot faring, dan gejala
biasanya tidak tampal hingga beberapa hari. Spasme refleks terjadi pada
kebanyakan pasien dan dapat dipicu oleh rangsangan dari luar seperti bising,
cahaya, atau sentuhan. Spasme dapat bertahan dalam hitungan detik hingga menit,
dapat menjadi lebih berat dan lebih sering seiring perjalanan penyakit, serta dapat
menyebabkan apnea, fraktur, dislokasi, dan rabdomiolisis. Spasme laring dapat
terjadi kapan saja dan dapat menyebabkan asfiksia.
Gejala lain yang timbul antara lain peningkatan suhu tubuh, berkeringat,
peningkatan tekanan darah, serta episode tachycardia. Kontraksi panjang otot-otot
wajah menyebabkan ekspresi menyeringai yang disebut sebagai rises sardonic us.
Portofolio
Portofolio
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pertanyaan seputar luka sangat penting, terutama waktu terkena luka,
2.
Portofolio
3. Pemeriksaan fisik
Ditemukan tanda dan gejala yang telah disebutkan dalam manifestasi
klinis
Tes spatula
Tes ini merupakan tes sederhana yang dilakukan dengan
menyentuh orofaring dengan spatula. Pada keadaan normal, hal ini
memicu refleks muntah, dan pasien mencoba mengeluarkan spatula
tersebut (tes negatif). Pada tetanus, akan ditemukan refleks spasme
masseter dan akan menggigit spatula (tes positif). Sensitivitas
Portofolio
VII.
TATALAKSANA
Setiap pasien dengan diagnosis tetanus, sebaiknya dinilai dengan skor Philip
untuk menentukan tatalaksana, yang ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Skor Philip untuk pasien tetanus
Faktor
Skor
Masa inkubasi
<48 jam
2-5 hari
6-9 hari
10-14 hari
>14 hari
5
4
3
2
1
Lokasi infeksi
Internal/umbilikal
Kepala/leher/dinding tubuh
Proksimal perifer
Distal perifer
Tidak diketahui
5
4
3
2
1
Portofolio
Riwayat imunisasi
Tidak pernah dapat
Mungkin dapat
>10 tahun
<10 tahun
Imunisasi komplit
Penyulit/penyakit penyerta
Trauma/penyulit yang mengancam nyawa
Trauma berat/penyulit tidak segera mengancam nyawa
Trauma/penyulit tidak mengancam nyawa
Trauma/penyulit ringan
Tidak ada penyulit
Interpretasi skor:
9
: rawat jalan
10-16
: dirawat dalam ruangan biasa
17
: Dirawat di ruang rawat intensif
10
8
4
2
0
10
8
4
2
0
Portofolio
Portofolio
Portofolio
VIII.
KOMPLIKASI
Komplikasi termasuk spasme pita suara dan spasme otot pernapasan yang
dapat mempengaruhi pernapasan. Pasien mengalami nyeri berat selama setiap
spasme. Selama spasme, jalan napas atas dapat tersumbat, atau terjadi kontraksi
diafragma.
Sebelum 1954, asfiksia akibat spasme merupakan penyebab kematian yang
umum pada pasien tetanus. Namun dengan kemajuan pengobatan saar ini,
kematian jantung mendadak menjadi penyebab utama kematian. Kematian
jantung mendadak dapat terjadi akibat produksi katekolamin berlebihan atau aksi
langsung tetanospasmin pada miokardium.
Infeksi nosokomial sering terjadi pada perawatan lama di rumah sakit. Infeksi
sekunder dapat terjadi dari ulkus dekubitus, hospital-acquired pneumonia, dan
infeksi akibat kateter. Emboli paru merupakan masalah utama pada pengguna
obat-obatan serta pasien berusia lanjut.
Komplikasi lainnya antara lain:
Fraktur tulang panjang
Dislokasi endi glenohumeral dan temporomandibular
Hipoksia dan pneumonia aspirasi
Penggumpalan dalam pembuluh darah paru
Portofolio
IX.
disritmia jantung
Ileus paralitik, dekubitus, dan retensi urin
Malnutrisi dan stress ucers
Koma, kelumpuhan saraf, neuropati, efek psikologis, dan kontraktur
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu sejak inokulasi spora hingga
gejala pertama, serta waktu sejak gejala pertama hingga spasme tetanik pertama.
Hal-hal berikut ini biasanya ditemukan:
Secara umum, interval waktu yang lebih singkat mengindikasikan tetanus
sebelum sakit
Pemulihan pelan dan biasanya terjadi selama 2-4 bulan
Beberapa pasien tetap mengalami hipotonus
Tetanus klinis tidak menyebabkan kekebalan, oleh sebab itu pasien yang
bertahan dari tetanus memerlukan imunisasi aktif dengan tetanus toxoid
Portofolio
Tetanus sefalik selalu berat atau sangat berat. Mortalitas terutama lebih tinggi
pada pasien berusia >60 tahun (40%) dibanding usia 20-59 tahun (8%). Tingginya
mortalitas berkaitan dengan mesa inkubasi singkat, onset kejang dini, penanganan
terlambat, lesi kontaminasi pada kepala dan leher, serta tetanus pada neonatus.
Derajat tetanus klinis lebih ringan pada pasien yang telah mendapatkan
tetanus toxoid berturut-turut dibanding pasien yang tidak mendapat vaksinasi
adekuat atau tidak divaksinasi sama sekali. Gejala neurologis sisa jarang
ditemukan. Kematian biasanya disebabkan oleh disfungsi otonom seperti
X.
kecenderungan
reaktogenisitas
atau
risiko
tinggi
pertusis, kontak dekat dengan bayi, dan tidak dapat menerima vaksinasi
Portofolio