Anda di halaman 1dari 8

1.

Feminisme liberal
Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki
kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa berpartisipasi dalam
masyarakat merupakan kunci untuk memajukan status perempuan. Setiap manusia demikian
menurut mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula
pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar
mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan
setara dengan lelaki. Salah satu tokohnya yaitu Naomi Wolf, sebagai Feminisme Kekuatan
yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini
perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal
mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.
Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak
produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Intinya liberal-feminis
mengangkat hak perempuan sebagai bahasannya.

2. Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
perjuangan separatisme perempuan. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas
kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an,
utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan lakilaki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan
gerakan ini adalah sesuai namanya yang radikal. Aliran ini bertumpu pada pandangan
bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme
radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
The personal is political menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan
prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke
permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada
feminis radikal.

3. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuh karena
adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya
mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya

kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

4. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak
Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme. Feminisme sosialis berjuang untuk
menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas
harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu
masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik
terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus
disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis
kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme
marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah
sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung.

5. Feminisme postcolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan
perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban
penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi
fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik,
pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.

Konsep Marxis atas sifat manusia adalah manusia menciptakan cara sendiri untuk
dapat tetap hidup. Manusia menciptakan dirinya dalam proses yang sengaja, atau yang
dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk mentransformasi dan memanipulasi alam.
Dalam suatu doktrin yang biasanya yang diberi istilah materisalisme historis, Marx
menegaskan, Modus produksi dari kehidupan sosial mengkondisikan proses umum
kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan
eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial menentukan kesadaran mereka. Komentar
bahwa Pekerjaan perempuan tidak pernah selesai bagi feminis Marxis adalah lebih dari
sekedar afomisme, komentar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan.
Karena itu feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi,
sementara laki-laki tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan
perempuan dan citra diri perempuan.
Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan
membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah
perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan
kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi
pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan
yang diperjualbelikan). Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan
majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja.
Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja harus memilih antara
dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis
Marxis berpendapat bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga
untuk dijual lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas.
Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis
menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara 2 kelompok yaitu pekerja (miskin dan tidak
memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan). Ketika dua kelompok ini, yang
punya dan yang tidak, menjadi sadar akan dirinya sebagai kelas maka perjuangan kelas secara
tidak terhindarkan akan menimbulkan dan pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan
kelas ini. Kelas tidak begitu saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh
orang-orang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Pentingnya kelas tidak dapat
diabaikan. Ketika sebagai kelompok manusia menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai
kelas, kelompok ini mempunyai kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan
fundamentalnya. Ada kekuatan dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang
yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama
seperti orang-orang yang mengeksploitasinya. Allen Wood dalam bukunya Karl Marx
mengungkapkan pembagian kelas dapat menimbulkan kebencian dan sifat yang
tersegmentasi serta terspesialisasi dari proses kerja, dimana eksistensi manusia akan
kehilangan kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu pertama, manusia teralienasi
dari produk kerja, kedua teralienasi dari diri mereka sendiri, ketiga teralienasi dari manusia
lainnya dan keempat teralienasi dari alam.

Ann Foreman berpendapat, jika alienasi pada perempuan sangatlah mengganggu karena
perempuan mengalami dirinya bukan sebagai Diri, melainkan sebagai Liyan. Karena itu,
feminis Marxis ingin menciptakan dunia tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai
manusia yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagai
orang yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu membuat keluarga atau
temannya bahagia. Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang
memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya.
Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun
struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan
potensi kemanusiaannya secara penuh.
Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, menekankan bahwa
ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah
tangga si perempuan, Engels memaknai keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi
perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi
bahwa masyarakat berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal,
masyarakat yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik.
Point utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di masa lalu, status itu diperoleh dari
posisinya di dalam rumah tangga, pusat produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi
di luar rumah yang melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional
berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru.
Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan
pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan di dalam
masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga baru inilah, menurut Engels, suami
berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya.
Menurut Margareth Benston, perempuan pada awalnya adalah produsen dan hanya
merupakan konsumen sekunder. Sesungguhnya perempuan merupakan kelas yaitu kelas
manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang
diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Kunci bagi pembebasan perempuan adalah
sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Menurut Benston, memberikan peluang bagi seorang
perempuan untuk memasuki industri publik tanpa secara bersamaan mensosialiasikan
pekerjaan domestik berarti menjadikan kondisi perempuan lebih teropresi. Feminis sosialis
pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas pemikiran Marxis yang
buta gender dan kecenderungan Marxis untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh
di bawah pentingnya opresi terhadap pekerja. Feminis sosialis mengklaim bahwa kapitalis
tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan
ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka juga berubah. Perempuan
harus menjalani dua perang, untuk dapat terbebas dari opresi.
Seorang feminis sosialis kontemporer, Iri Young mentransformasi teori feminis
Marxis menjadi teori feminis sosialis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan
yaitu posisi perempuan di dalam keluarga dan tempat kerja, peran reproduksi dan seksual
perempuan, dan juga peran produktif perempuan. Allison Jaggar seorang feminis sosialis
berpendapat dalam bukunya Feminist Politics and Human Nature, dengan cara yang sama
seorang buruh dialienasi atau dipisahkan dari produk yang dihasilkannya, tubuhnya. Buruh
juga perlahan-lahan teralienasi dari tubuhnya, tubuhnya mulai terasa seperti benda semata,
sekedar mesin untuk mengeluarkan tenaga untuk bekerja. Motherhood, seperti seksualitas

juga merupakan pengalaman yang mengalienasi perempuan. Perempuan dialienasi dari


produk pekerjaan reproduksinya, ketika orang lain yang menentukan, memutuskan, tentang
berapa banyak anak yang akan dikandung dan dilahirkannya. Jaggar menekankan, perempuan
harus memahami bahwa di dalam struktur patriakal kapitalis abad 20, opresi terhadap
perempuan terwujud dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang,
terutama dirinya sendiri. Hanya jika perempuan memahami sumber sesungguhnya dari
ketidakbahagiaannya mereka, perempuan akan berada di dalam posisi untuk melawannya.

Kelemahan dan kekuatan Teori Marxis


Feminis Marxis beranggapan bahwa opresi di tempat kerja lebih utama daripada
opresi perempuan. Kelas lebih penting daripada gender, karena itu feminis Marxis tidak
melihat adanya opresi yang dapat terjadi pada perempuan pekerja di tempat kerja. Teori
feminis marxis cenderung buta gender. Teori feminis Marxis belum menjelaskan secara
lengkap opresi yang terjadi di dalam keluarga (terhadap istri, anak dan suami), sebagai akibat
dari posisi mereka sebagai pekerja di tempat kerja.
Kekuatan teori feminis Marxis, melihat tingkatan opresi dari berbagai sudut
politik, masyarakat, ekonomi dan tentang manusia. Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia
yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia
yang utuh dan terintegrasi bukan terfragmentasi. Dengan adanya cita-cita ini dapat
menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar opresi
yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama.

Kelemahan dan kekuatan teori feminis sosialis


Feminis sosilais tidak menekankan peran ras dan umur yang bermain dalam
sistem kesejahteraan sebagai hal yang dapat menjadi alasan opresi terhadap perempuan,
sebagai contoh pada ras dan umur perempuan afrika yang harus melewati rintangan birokrasi
yang panjang .
Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang opresi perempuan di dalam
keluarga dan posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarki, bukan semata-mata karena
sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika sistem patriarki turut dihancurkan.
Perlu adanya revolusi Marxis untuk menghancurkan masyarakat kelas dan revolusi feminis
untuk menghancurkan sistem sex/gender ( Juliet Mitchel dalam bukunya Womans state).

Analisis

Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan sama
dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang membentuk mereka seperti sekarang,
artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang
dibentuk oleh laki-laki dan masyarakat patriakal yang menyebabkan perempuan teropresi
dari dunia kerja dan di dalam keluarga. Masyarakat patriakal menjadikan perempuan sebagai
alat produksi, laki-laki sebagai pemilik atau pengguna alat. Kapitalis adalah laki-laki, yang
memiliki cara pandang maskulin. Sehingga menyebabkan perempuan dalam masyarakat
kapital hanya sebagai objek pekerja, laki-laki sebagai majikan melihat hasil produksi
perempuan di luar rumah (publik) dan di dalam rumah sebagai barang yang tidak bernilai
guna. Secara sosial, ekonomi dan pilitik, laki-laki menyebabkan perempuan teropresi.
Saya sepakat jika dikatakan dalam teori ekonomi marxis, bahwa dalam masyarakat
kapitalis terjadi hubungan kekuasaan, tetapi tidak sependapat jika dikatakan juga terjadi
hubungan pertukaran. Hubungan kekuasaan jelas terjadi antara perempuan sebagai pekerja
dan laki-laki sebagai majikan. Hubungan pertukaran tidak pernah terjadi sebenarnya, karena
nilai guna yang ditukarkan dari hasil kerja (produksi) perempuan tidak pernah bernilai sama
atau setara dengan hasil yang seharusnya diperoleh. Menurut saya, pada tataran ini, yang
terjadi adalah hubungan perbudakan. Pendapat saya ini pun sekaligus membantah pendapat
feminis liberal tentang kontraktual yang dilakukan pekerja.
Saya cenderung sepakat dengan feminis Marxis dalam melihat sistem kontrak
dalam pekerjaan, bahwa tidak ada kontrak kerja yang bebas atau benar-benar disepakati oleh
perempuan sebagai pekerja. Saya percaya, bahwa kontrak yang dilakukan bukan pilihan
bebas dan sadar dari perempuan, tekanan selalu ada pada posisinya sebagai pekerja. Pada
posisi sebagai single parent, misalnya, dimana perempuan sebagai penanggung jawab tunggal
keluarga dengan terpaksa harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensi
intelektualitasnya dan tenaganya, untuk memenuhi kebutuhan produksi rumah tangganya.
Menurut saya, perempuan pada berbagai kelas (borjuis-proletar) pasti mengalami
opresi yang sama beratnya untuk persoalan di dalam rumah, namun akan berbeda pada
persoalan di tempat kerja. Perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja, dan perempuan
borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa teropresi dari dalam rumah yang
bisa persis sama bentuknya dengan di tempat kerja, maka perempuan borjuis harusnya dapat
merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan
tersendiri dalam masyarakat harus menyatukan energi positifnya dalam hubungan sisterhood
yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan.

Marxis menurut saya kurang detail melihat jenis dan model opresi yang dialami perempuan
di tempat kerja. Jenis opresi yang dirasakan perempuan di tempat kerja sebagai pekerja,
bukan saja masalah upah kerja, namun perempuan dapat saja mengalami kekerasan sexual

berupa pemaksaan hubungan sex yang dilakukan majikan terhadap pekerja, kekerasan psikis,
dimana majikan dapat dengan sewenang-wenang memukul perempuan pekerja ketika hasil
produksi yang diharapkan tidak sesuai, yang semuanya pasti berdampak pada psikologi
perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan berlipat ganda ketika perempuan harus
berperan ganda sebagai penghasil produk di rumah yang tidak mendapat dukungan dari lakilaki (suami). Sistem patriakal harus dihapuskan untuk membebaskan perempuan dari opresi.
Lingkungan yang pertama-tama harus diubah adalah rumah tangga sebagai pusat terjadinya
opresi. Berbarengan dengan itu, sistem dan struktur negara kapitalis harus diubah.
Perjuangan perempuan untuk adanya penghargaan terhadap nilai tukar pekerjaan yang
dilakukannya di dalam rumah dalam bentuk penyediaan fasilitas oleh negara harus
didukung, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan yang murah bagi perempuan, fasilitas
pengasuhan anak di tempat kerja serta fasillitas lainnya yang dapat menunjang pekerjaan
perempuan.

Refleksi

Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi perempuan usaha
kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat memungkinkan perempuan
sebagai pengelola usahanya (manajer) menjadi majikan terhadap usahanya sendiri. Namun
sistem patriakal dan cara pandang laki-laki yang belum berubah, membawa panderitaan baru
bagi perempuan, dimana laki-laki sebagai suami (bukan pengelola usaha) justru bertindak
sebagai majikan dan pengelola usaha bagi usaha yang dijalankan istrinya (perempuan). Lakilaki tetap memposisikan perempuan sebagai istri, yang dapat diatur menurut kehendak nya.
Kepemilikan aset (usaha) adalah milik istri namun penguasaannya berada di tangan suami
(laki-laki). Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya.
Dalam pengambilan keputusan tentang barang yang akan di jual dan hasil dari
usaha, juga masih ditentukan dan diatur oleh laki-laki. Perempuan usaha kecil tidak memiliki
akses dan kontrol. Kondisi ini diperparah dengan sistem nilai patriakal yang turut dianut oleh
negara dalam bentuk akses kredit pada perbankan, dimana perempuan yang memiliki dan
mengelola sendiri usahanya, tetap tidak dapat mendapatkan pelayanan kredit jika akan
mengakses haknya, kecuali atas persetujuan suami. Walaupun perempuan menjadi tulang
punggung keluarga secara ekonomi, namun tidak dapat menjamin hak-haknya dapat
terpenuhi secara utuh. Hak atas tubuhnya pun, dalam hal ini hak reproduksi untuk
menentukan kehamilan dan jumlah anak, ditentukan oleh suami dan dokter (laki-laki ).
Perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap reproduksinya. Istri teralienasi dari
produk pekerjaan reproduksinya.

Sebagai perempuan pekerja, pengelola usaha mandiri, perempuan seharusnya


berhak untuk mengmbnagkan usahanya dengan berjejaring dengan perempuan dan
masyarakat lainnya, namun hak perempuan untuk mendapatkan akses informasi, hak untuk

berkumpul dan berorganisasi , yang telah dijamin negara dalam pasal 27 dan pasal 28 UUD
1945, tidak dapat terimplementasi . Sistem sex/gender yang telah berakar di dalam
msyarakat, keluarga dan negara, menjadikan UUD tersebut hanya sebagai penghias sistem
ketatanegaraan. Peran dan posisi perempuan di dalam rumah tidak akan berubah jika cara
pandang laki-laki, masyarakat, perempuan lainnya dan negara tetap dengan cara pandang
maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan
diperluas pada semua bidang kehidupan. Rumah, keluarga, masyarakat, media dan negara
bertanggungjawab terhadap setiap penderitaan yang dialami oleh perempuan. Patriarki yang
menyebabkan sistem sex/gender yang tidak adil dan setara harus dihancurkan.

Anda mungkin juga menyukai