Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan


neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat
fatal (kematian).1,2
Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun
berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat
mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan
sekitar 800.000 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan
penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas,
tetapi komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik. 3
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan
yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan
penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
2.1.1 Definisi
Tetanus merupakan suatu gangguan neuromuskuler akut berupa peningkatan
tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari
kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1,2
2.1.2 Mikrobiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimanamana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.1,2,3 Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang
khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak,
dan merupakan bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan
tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat
bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari,
spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 100 0C, dan bahkan
pada otoklaf 1200C selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak
jarang ditemukan pada feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi
dalam bentuk vegetatifnya .1,2,3 dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.

Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa)
berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom
dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial
bersifat homolog. 3

Gambar 1. Clostridium Tetani4


Clostridium tetani menghasilkan dua
eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan
pasti. Tetanoospasmin adalah neurotoksin dan menyebabkan manifestasi klinis tetanus.
Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah satu toksin yang paling kuat dikenal.
Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah 2,5 nanogram per kilogram berat
badan manusia.1,2

2.1.3 Epidemiologi

Tetanus terjadi di seluruh dunia tetapi yang paling sering ditemui di daerah-daerah
padat penduduk, tempat yang panas, iklim lembab dengan tanah kaya akan bahan
organik. Organisme ditemukan terutama di tanah dan usus saluran hewan dan manusia.5

Gambar 2. Penyebaran kasus tetanus di USA (2001-2008)5

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.6
Transmisi terutama oleh luka yang terkontaminasi (dengan atau tanpa gejala),
baik itu luka besar ataupun kecil. Data-data terbaru melaporkan bahwa proporsi yang
lebih tinggi dari pasien memilikiluka ringan, mungkin karena luka berat lebihdikelola
dengan baik. Tetanus bisa didapat oleh tindakan operasi, luka bakar, luka tusukan yang
dalam, luka robek,otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan hewan,aborsi, dan

kehamilan.3
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada
semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000
(85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan
20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100
kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit
7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.5,6,7
2.1.4 Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk
manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan
secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang, akhirnya menyebar ke SSP. 1,2
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan
glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada
tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke

sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,
metabolisme,

hemodinamika,

hormonal,

saluran

cerna,

saluran

kemih,

dan

neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,


hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. 1,2,3,6
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai
gnada dengan berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da)
dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap
protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang
menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran
saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang
dipengarugi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya
dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika
otkisn yang dihasilkan banyak, ia dpat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi
untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar
ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal.1,2,3
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf
otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk
dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal

terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih


jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme
yang tidak jelas. 1,2,3
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai
ringan.

Efek

toksin

dihasilkan

melalui

pencegahan

lepasnya

neuritransmiter.

Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel


intraseluler yang mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan
metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga
mencegah perlepasan neurotrnasmiter. 1

Gambar 3. Mekanisme neurotoksin botulinum7

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah
toksin menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
perlepasan neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih
panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga
dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan
asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas
toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus,
efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada
ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme
dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik,
myopati yang terjadi setelah pemulihan.1,3
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi.
Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan
antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat
fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali
karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan
otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,3

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya


kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma
yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus
berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di
dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf
terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam
sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada
semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang
panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan
ekstremitas pada tetanus generalisata. 1,3
Sistem pernapasan
Rigiditas otot dan spasme dari dinding dada, diafragma, dan abdomen dapat
mengakibatkan defek restriktif. Spasme faring dan laring juga sebagai penyebab gagal
napas. Penurunan mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk oleh karena rigiditas,
spasme dan efek sedasi memungkinkan terjadi atelektasis dan meningkatnya resiko
pneumonia. Ketidakmampuan menelan dari adanya saliva berlebihan dan sekresi mukus
brochial, adanya spasme laring, penigkatan tekanan intrabdominal, sering menyebabkan
aspirasi. Dapat terjadi ketidakefektifan dari ventilasi sehingga konsekuensinya dapat
terjadi hipoksia sedang hingga berat.

Sistem kardiovaskular
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada
tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena adanya kendala etik, perjalanan
penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis,
edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi
sistem kardio-respirasi, serta pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat
inotropic mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

Renal
Pada kondisi tetanus derajat berat dapat mengakibatkan penurunan dari laju
filtrasi glomerulus dan menurunnya fungsi tubulus ginjal. Penyebab paling sering dari
gagal ginjal dalam hal ini adalah adanya dehisrasi, sepsis, rhabdomiolisis, perubahan dari
aliran darah ginjal oleh katekolamin. Dapat juga terjadi karena poliuri atau oliguria, oleh
adanya instability autonomic. Dari gambaran histologi menunjukkan normal atau adanya
nekrosis tubular akut.3
Gangguan Metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat
dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan

adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan
serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolism anaerob
dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
2.1.5 Manifestasi klinis
Tetanus biasanya berhubung dengan adanya fokal luka. Kontaminasi luka
terhadap tanah, pupuk, besi berkarat dapat menimbulkan tetanus. Dapat juga berasal dari
luka bakar, ulkus, ganggren, luka gigitan ular, otitis media, sepsis aborsi, proses
kelahiran, injeksi intramuskular, dan pembedahan. Keadaan ini biasa terjadi pada luka
ringan mencapai lebih dari 50% karena tidak cukup dalam hal penanganan luka tersebut.3
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,
kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan
masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah
mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka
yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus

lokal tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf
kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus
memperhatikan apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala
tetanus. Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan
terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka
mulut (trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku
leher dan kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus
sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita
terganggu dengan proses menelan. 1,2,8
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak
terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa
nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan
anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi
berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan

kegagalan

pernapasan

serta gangguan

keseimbagan

cairan

dan

elektrolit.1,2,8
Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset
setelah trauma adalah 7 hari. 1,2
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang
terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher
menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan
respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat.
Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh. 1,2
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi
berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga
menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus
menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.
Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme
faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi
dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot
di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh
tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka
di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya,
daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya
tinggi.
Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan
resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan
meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi
(high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik. 1,2
Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan
tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus.
Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI,

iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus
yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1,2
Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan
dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
Namun demikian secara umum prognosismya baik.

1,2

Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan
paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1,2
2.1.6 Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan
dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan

rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah
2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena
tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu samapi 4 minggu. 1,2,3
2.1.7 Derajat Keparahan Tetatus
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Seperti
skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Namun sistem yang paling sering dipakai
adalah sistem yang dilaporkan oleh Ablett.1
Tabel 1. Skoring Tetanus berdasarkan Ablett1
I (ringan)

Trismus
ringan
sampai
sedang,
spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau
tanpa disfagia.

II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas yang nampak


jelas, spasme singkat ringan sampai
sedang, gangguan pernafasan sedang
dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30
x/ menit, disfagia ringan.

III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata,


spasme dan kejang spontan berkepajangan,
yang berlangsung lama. Gangguan
pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit,
kadang apnea, disfagia berat dan takikardia
> 120x/menit. Terdapat peningkatan
aktivitas saraf otonom yang moderat dan
menetap.

IV (sangat berat)

Gambaran tingkat III disertai gangguan


saraf otonom berat dimana dijumpai
hipertensi berat dengan takikardi berselang

dengan hipotensi relatif dan bradikardia,


salah satunya dapat menetap.

Tabel 2. Skoring Tetanus berdasarkan Dakar13


Prognostic Factor

Score 1

Score 0

Incubation Period

< 7 days

7 days or unknown

Period of onset

< 2 days

2 days

Entry site

Umbilicus, burn, uterine,

All others plus unknown

open fracture, surgical


wound, IM injection
Sapsms

Present

Absent

Fever

>38.40C

< 38.40C

Tachycardia

Adult > 120 beats/min

Adult > 120 beats/min

Neonate > 150 beats/min

Neonate > 150 beats/min

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut :

Skor 0 - 1

: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%:

Skor 2 - 3

: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas10 - 20%

Skor 4

: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20 - 40%

Skor 5 - 6

: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas >

50%

Tabel 3. Sistem skoring tetanus berdasarkan Phillips13

Tabel 4. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia13

2.1.8 Diagnosis Tetanus


Diagnosis tetanus mutlak berdasarkan pada gejala klinis; tidak memerlukan
konfirmasi dari hasil laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa, membutuhkan
setidaknya

satu

dari

tanda-tanda

berikut:

trismus

(ketidakmampuan

untuk

membukamulut) atau risus sardonicus (spasme berkelanjutan dari otot-otot wajah); atau
kontraksi otot yang menyakitkan. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayatcedera atau
luka, tetanus juga dapat terjadi pada pasien yang tidak mampu mengingat lukaatau cedera
yang spesifik.1,5

Tetanus tidaklah mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang
telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret

luka baiknya dilakukan kultur, pada kasus yang dicurigai tetanus. Biakan anaerob dari
jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme, tetapi kultur positif bukan
merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan
tetanus.1,5
Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil normal. Elektromiogram
mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan nonspesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin
meningkat. Kadar antitoksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini
tetanus tida mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar
antitoksin yag protektif.1,5
2.1.9 Diagnosis Banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sulit. Sekali
dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat
imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus
dan kesadaran yang tetap normal.11
Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana

adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar


protein meningkat dan glukosa menurun.

Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.


Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.

Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium


dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang
dijumpai trismus.

Retropharyngeal abses

Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

Tonsillitis berat

Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.

Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom


ektrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.

Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis
leher dan spondilitis leher.

Tabel 5. Diagnosis Banding Tetanus11

2.1.10 Pencegahan
Imunisasi Aktif
Tetanus Toksoid
Tetanus toksoid mengandung formaldehyde-treated toxin. Terdapat dua tipe dari
toksoid tetanus yang tersedia; absorbed toxoid (alumunium salt precipitated) dan fluid
toxoid. Meskipun jumlah seroconversi hampir sama, absorbed toxoid lebih disukai karena
respon antitoksin mencapai titer yang lebih tinggi dan memiliki waktu paruh yang lebih
lama dari pada fluid toxoid.12

Tetanus toxoid tersedia dalam sediaan tunggal, dikombinasi dengan diphteria


toxoid menjadi pediatric diphteria-tetanus toxoid (DT) atau adult tetanus-diphteria (Td)
juga dikombinasi dengan vaksin pertusis aselular menjadi DtaP atau Tdap. Tetanus
toksoid juga tersedia dalam kombinasi DtaP- HepB-IPV (Pediatrix) dan DtaP-IPV/Hib
(Pentacel). Formulasi pediatri (DT dan DtaP) mengandung jumlah yang hampir sama
dengan dengan toksoid untuk dewasa, tetapi mengandung 3 - 4 kali lebih banyak toksoid
diphteria. Individu < 7 tahun sebaiknya mendapat DtaP atau DT pediatrik. sedangkan
untuk individu >7 tahun hendaknya menerima Td untuk dewasa. meskipun mereka
memiliki riwayat seri vaksin DtaP atau DT yang tidak lengkap. Pemberian tunggal
tetanus toksoid tidak direkomendasikan. Toksoid tetanus lebih baik diberikan dalam
bentuk kombinasi dengan toksoid diphteria, dimana dibutuhkan periode booster untuk
kedua antigen tersebut. Dua produk dagang yang tersedia; Boostrix (individu 10-64
tahun) dan Adacel (individu 11-64 tahun). 12

Gambar 4.

Rekomendasi
Pemberian Tetanus Toxoid12

Setelah pemberian seri vaksin pertama (3 dosis tetanus pada individu >7 tahun
dan 4 dosis pada individu <7 tahun) seharusnya semua individu harus mendapatkan

antitoksin agar memiliki titer protektif antibodi tetanus lebih dari 0,1 IU/mL.12
Level antitoxin menurun seiring berjalannya waktu. Setelah pemberian dosis
terakhir >10 tahun, maka seseorang memiliki level protektif yang minimal untuk tidak
terinfeksi tetanus. Oleh karena itu direkomendasikan dilakukan booster toksoid setiap 10
tahunnya.12
Pada beberapa individu, kadar antitioksin dalam tubuh dapat menurun dalam
kurun kurang dari 10 tahun. Untuk meyakinkan bahwa seseorang memiliki level protektif
yang adekuat, individu yang mengalami luka baik yang bersih atau luka kecil baiknya
mendapat booster toksoid jika dosis terakhir yang didapat individu tersebut >5 tahun.12
Penatalakasanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1)
Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk
individu >7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat
sedag adalah 250 unit IM yang menghasilkan kadar antibodi serum protektif paling
sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda
adalah 3000-6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah
dengan spuit injeksi yang berbeda. 1,5
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka
khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tabel 6. Klasifikasi luka menurut American College

of Surgeon Committee on Trauma (ACSCT) 13

Prinsip dasar penatalaksanaan luka14


1. Jangan menutup luka yang terinfeksi. Lakukanlah wound toilet and surgical
debridement. Hal yang sama pada luka yang terkontaminasi dan luka bersih yang lebih
dari 6 jam.
2. Pencegahan luka terhadap infeksi meliputi maintenance Airway, breathing and
circulation setelah injury, dapat diberi tinggi nutrisi dan penghilang nyeri, hindari
penggunaan torniket, lakukan wound toilet and surgical debridement secepat mungkin
(jika memungkinkan kurang dari 8 jam), pemberian profilaksis ( atas indikasi),
pemberian topikal antibiotik dan pencucian luka dengan larutan antibiotik tidak
direkomendasikan pada luka terinfeksi dengan adanya pus dan luka terkontaminasi berisi

benda asing atau material terinfeksi.


Tetanus Neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum
mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatka
proporsin kelahiran yang dilakukan di RS dan pelatihan penolong kelahiran nonmedis. 1
Jadwal Vaksinasi dan Penggunaannya
DtaP (difteri dan tetanus toxoid dan vaksin tetanus) adalah vaksin untuk anak usia
6 minggu hingga 6 tahun. Biasanya jadwalnya pada usia 2,4,6 dan 5-18 bulan. Dosis
DtaP pertama, kedua dan ketigadiberikan dengan jarak minimal 4 minggu. DTaP keempat
tidak kurang 6 minggu setelah dosis ketiga. Dan tidak diberikan sebelum usia 12 bulan.12
Jika anak kontraindikasi vaksin pertusis, maka dapat diberikan vaksin DT sebagai
pelengkap. Jika anak kurang dari 12 bulan ketika dosis pertama diberikan maka anak
harus mendapatkan 4 dosis primer tadi. Jika anak berusia lebih dari 12 bulan pada saat
pemberian maka bisa hanya 3 dosis primer.12
Jika dosis keempat DTaP, DTP, atau DT diberikan sebelum usia 4 tahun maka
vaksin booster nya direkomendasikan pada usia 4 -6 tahun.12
Jika anak terlambat dalam pemberian vaksin DTP, saat usia 7 tahun belum
diberikan vaksin maka diberikan dengan 3 kali pemberian. Pemberian pertama dan kedua
berjarak minimal 4 minggu dan pemberian ketiga berjarak 6-12 bulan setelah pemberian
kedua. Dan vaksin bosster dapat diberikan tiap 10 tahun.12

Gambar 5. DPT
booster 12

Gambar 6. Jadwal Vaksin usia >7 tahun12


Reaksi vaksinasi12
Beberapa reaksi yang didapat akibat vaksinasi DTP :
1. Reaksi lokal ( eritema, indurasi, nyeri pada daerah penyuntikan), reaksi ini
biasanya terjadi dan tidak memerlukan terapi. Dapat timbul nodule pada
tempat penyuntikan, dapat bertahan hingga beberapa minggu dan beberapa
dapat terjadi abses.
2. Demam

3. Gejala sistemik berat dapat terjadi seperti urtikaria general, anafilaksis, atau
komplikasi neurologik. Beberapa kasus dapat terjadi neuropati perifer dan
GBS
Penyimpanan dan perawatan Vaksin
0
0 0 0
Semua vaksin tetanus harus disimpan dalam suhu 35 46 (2 -8 C). vaksin
yang membeku dapat menghambat dari potensi komponen vaksin dan tidak dapat
diberikan.12
2.1.11 Tatalaksana
Penatalaksanaan

umum

kepada

pasien

jika

mungkin

ditempatkan

di

bangsal/lokasi yang terpisah,tenang, seperti di ICU. Dimana observasi dan pemantauan


kardiopulmoner

dapat

dilakukan

secara

terus-menerus,

sedagkan

stimulasi

diminimalisasi. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan


debridement secara menyeluruh. 1,5
Imunoterapi memiliki efek untuk menetralisasi dari toksin yang bebas. Antitoksin
menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin
pada luka yang belum terikat, jika tersedia, mengelola manusia TIG 500 unitdengan
injeksi intramuscular atau intravena (tergantung pada persiapan yang tersedia) sesegera
mungkin.Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Dosis
tambahan tidak diperlukan karena masa paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak
dapat menembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda belum ada di Amerika
Serikat, tetapi masih digunakan di tempat lain. harganya lebih murah tetapi waktu

paruhnya lebih pendek. Dan pada pemberiannya sering kali menimbulkan reaksi
hipersensitifitas dan serum sickness syndrome. Di samping itu, dapat diberikan vaksin TT
tambahan sesuai dengan usia, vaksin, 0,5ccdengan injeksi intramuskular ditempat yang
terpisah (penyakit Tetanus tidak menyebabkan kekebalan; pasien tanpa riwayat vaksinasi
TT utama harus menerimadosis kedua1-2 bulan sesudah dosis pertama dan dosis ketiga612 bulan kemudian.1,5
Antibiotik diberikan sebagai terapi untuk menyingkirkan sumber infeksi. Jika ada
luka yang jelas maka lakukanlah debridement secara bedah. Walaupun manfaatnya belum
terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif,
sebagai

sumber

toksin.

Penggunaan

Metronidazolelebih

disukai

karena

tidak

menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA. Diberikan 500 mg setiap enam jam iv
atau secara oral; PenisilinG (100.000-200.000 IU/kg/hari intravena, diberikan dalam 24dosis terbagi). Penisilin sudah digunakan selama bertahun-tahun tetapi merupakan
antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Tetrasiklin, makrolida, klindamisin,
sefalosporindankloramfenikoljuga efektif. 1,5
Untuk pengendalian rigiditas dan spasme, pilihan utama untuk sedasi adalah
benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat
inhibitor endogen pada reseptor GABA. Untuk orang dewasa, diazepam intravena dapat
diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk
mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak, mulai
dengan dosis 0.1-0.2mg/kg setiap 2-6 jam, titrasi atas sesuai kebutuhan). Jumlah besar
rmungkin diperlukan ( sampai 600 mg/hari).5

Sediaan oral dapat digunakan, tetapi harus disertai denganpemantauanketat untuk


menghindari depresi pernafasan atau cardiac arrest. Magnesium sulfat dapat digunakan
secara tunggal atau dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang
dan disfungsi otonom: 5gram (atau 75mg/kg) diberikan secara loading dose intravena,
kemudian 2-3 gram per jam sampai kejang terkontrol. Untuk menghindari overdosis,
pantau refleks patella, dimana arefleksia (tidak adanya refleks patella) terjadi pada
kisaran terapeutik mencapai (4 mmol /L). Jika arefleksia terjadi, dosis harus dikurangi.
Agen lain yang digunakan untuk mengendalikan kejang termasuk baclofen, dan trolene
(1-2 mg/kg intra vena atau secara oral setiap 4jam), barbiturat, sebaiknya short- acting
(100-150 mg setiap1-4 m jam pada orang dewasa, 6-10mg/kg pada anak- anak, pada rute
apapun), dan klorpromazin (50-150 mgdengan injeksi intramuskular setiap4-8 jam pada
dewasa; 4-12 mg dengan injeksi intramuskular setiap 4-8 jam pada anak-anak).5
Pengendalian Disfungsi Otonomik dapat diberikan magnesium sulfat seperti di
atas. Magnesium sulfat memblokade pelepasan neuromuskular pre-sinaptik, sehingga
memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, mengurangi
responsitivitas

reseptor

terhadap

katekolamin

yang

terlepas,

dan

merupakan

antikonvulsan sekaligus vasodilator. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas


kardiovaskular dapat terjadi tanpa gangguan jantung. Dosis bervariasi antara 20-180 mg
per hari. Mekanisme yag dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen,
pengurangan aktifitas refleks simpatis, dan pelepasan histamin. Catatan: -blocker seperti
propanolol digunakan di masa lalu, tetapi dapat menyebabkan hipotensi dan kematian
mendadak; hanya esmalol saat ini dianjurkan.5
Obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan memberikan sedasi dapat

menyebabkan depresi pernapasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, maka tidak menjadi
masalah besar; jika tidak, pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis obat yang
diberikanharus disesuaikan untuk mencegah kejang dan menghindari kegagalan
pernapasan. Jika kejang, termasuk spasme laring, yang menghambat atau mengancam
ventilasi, ventilasi mekanis direkomendasikan bila fasilitas memadai. 5 Intubasi atau
trakeostomi juga digunakan untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,
gangguan kemapuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini. 1
Cairan dan nutrisi yang cukup harus disediakan, seperti kejang tetanus
mengakibatkan tuntutan metabolik yang tinggi dan keadaan katabolik akibat aktivitas
muskular. Dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Penurunan
nutrisi juga ditingkatkan oleh keluhan sulit menelan da peningkatan metabolisme akibat
pireksia ataupun keadaan kronis berkepanjangan. Hidrasi perlu dipantau untuk
mengetahui dan mengontrol kehilangan cairan yag nampak dan kehilangan cairan yag
lain, yag mungkin signifikan.1,5
Penatalaksanaan lain : meliputi fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan
pemberian heparin dan antikoagulan yag lan untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal,
kandung kemih, da saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus
dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.

2.12 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau

sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma,
aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia
1
berkaitan dengan ventilator.

Tabel 7. Komplikasi-komplikasi Tetanus

Sistem

AspirasiLaringospasme/obstruksi Obstruksi berkaitan dengan sedatif


Komplikasi

Jalan nafas

Respirasi
ApneaHipoksiaGagal napas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)Gagagl napas
tipe 2 (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)ARDS
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)

25
Kardiovaskular
Ginjal

Takikardia, hipertensi, iskemia Hipotensia, bradikardia AsistolG

Gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) Gagal ginjal
Stasis gaster IleusDiare Perdarahan

Gastrointestinal
Lain-lain

Penurunan berat badan TromboembolusSepsis dengan gaal dan o


Ruptur tendon akibat spasme

2.13 Prognosis
Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis
tergantung pada fasilitas yang tersedia. Tingkat mortalitas <10% dengan terapi optimal.
Tonus yag meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan. Pemulihan
biasanya dapat kembali sempurna tetapi membutuhkan waktu 4-6 minggu. Penggunaan
ventilator jangka panjang mungkin dibutuhkan, umumnya pada tetanus yang berat dan
membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu. Pada beberapa penelitian pengamatan
pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik dan

psikologis.

1,5

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,


periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,
beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan
1,8
faktor yang menentukan prognosis dala klasifikasi Cole dan Spooner.

26
8
Tabel 8. Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner.

Kelompok prognostik

I < 36 jam

II >36 jam

III Tidak diketahui

Periode awal

6 hari>6 hariTidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian


lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka

kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian
nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian.

27
BAB III KESIMPULAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
meskioun telah dikenal sejuah peradaban manusia, penyakit ini belum bisa dieradikasi
karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan.
Infeksi tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada seorang individu. pencegahan
dapat dicegah melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higine persalinan yang baik, dan
manajemen perwatan luka yang adekuat. Pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat
menyebabkan penurunan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.
28
Daftar Pustaka
1.

Gatoet Ismanoe. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III edisi V. Interna Publishing: Jakarta.2009; hal. 2911-2923.

2.

Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine.

17th edition. McGraw-Hill: United State. 2008. p840-43.

3.

Cook T, Protheroe, Handel. Tetanus : a review of the literature.

British Journal of Anaesthesia. 2001 ; p87: 477-87.

4.

Clostridium tetani.

http://faculty.lacitycollege.edu/hicksdr/clostridumtet4ar.jpg. Diunduh pada


tanggal 6 januari 2015 pukul 18.00 WIB

5.

WHO Technical Note. Current Recommendations for Treatment of

Tetanus During Humanitarian Emergencies. 2010.


http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf
diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 17.00 WIB.

6.

Hinfey P. Tetanus. http://emedicine.medscape.com/article/229594-

overview diperbaharui pada 26 maret 2014. diunduh pada tanggal 6 januari 2015
pukul 18.00 WIB.

7.

Mechanism of action tetanus toxin. http://pixshark.com/tetanus-

toxin-mechanism-of- action.htm di unduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul


17.00 WIB

8.

Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta.

2005. Hal 23-24.

9.

Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,

Jakarta:2004. Hal. 322.

10.

Ogurin O.Tetanus A Review of Current Concepts in

Management, Journal of Postgraduate Medicine. 2009; 11(1): p46-61

11.

Kiking Ritrawan. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran

USU/RSU H. Adam Malik. 2010.

12.

CDC. Diphteria, Tetanus, adn Pertusis: Recommendations for

Vaccine use and other preventive measures.


http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. Di unduh
pada tanggal 6 januari 2015 pukul 18.00 WIB.

13.

Farrar J. Tetanus : Neurological Aspects Of Tropical Disease. J

Neurol Neurosurg Psychiatry2000; p69:292301.

14.

American College of Surgeon Committee on Trauma. Prophylaxis

Against Tetanus in wound management.

29
https://www.facs.org/~/media/files/quality
%20programs/trauma/publications/tetanus.a
shx diunduh pada tanggal 7 januari 2015 pukul 19.00 WIB 15. WHO. Prevention
and management of wound infection.

http://www.who.int/hac/techguidance/tools/guidelines_prevention_and_managem
ent_ wound_infection.pdf diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 19.00WIB

Anda mungkin juga menyukai