PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
2.1.1 Definisi
Tetanus merupakan suatu gangguan neuromuskuler akut berupa peningkatan
tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari
kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1,2
2.1.2 Mikrobiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimanamana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.1,2,3 Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang
khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak,
dan merupakan bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan
tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat
bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari,
spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 100 0C, dan bahkan
pada otoklaf 1200C selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak
jarang ditemukan pada feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi
dalam bentuk vegetatifnya .1,2,3 dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.
Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa)
berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom
dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial
bersifat homolog. 3
2.1.3 Epidemiologi
Tetanus terjadi di seluruh dunia tetapi yang paling sering ditemui di daerah-daerah
padat penduduk, tempat yang panas, iklim lembab dengan tanah kaya akan bahan
organik. Organisme ditemukan terutama di tanah dan usus saluran hewan dan manusia.5
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.6
Transmisi terutama oleh luka yang terkontaminasi (dengan atau tanpa gejala),
baik itu luka besar ataupun kecil. Data-data terbaru melaporkan bahwa proporsi yang
lebih tinggi dari pasien memilikiluka ringan, mungkin karena luka berat lebihdikelola
dengan baik. Tetanus bisa didapat oleh tindakan operasi, luka bakar, luka tusukan yang
dalam, luka robek,otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan hewan,aborsi, dan
kehamilan.3
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada
semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000
(85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan
20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100
kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit
7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.5,6,7
2.1.4 Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk
manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan
secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang, akhirnya menyebar ke SSP. 1,2
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan
glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada
tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,
metabolisme,
hemodinamika,
hormonal,
saluran
cerna,
saluran
kemih,
dan
Efek
toksin
dihasilkan
melalui
pencegahan
lepasnya
neuritransmiter.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah
toksin menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
perlepasan neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih
panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga
dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan
asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas
toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus,
efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada
ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme
dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik,
myopati yang terjadi setelah pemulihan.1,3
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi.
Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan
antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat
fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali
karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan
otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,3
Sistem kardiovaskular
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada
tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena adanya kendala etik, perjalanan
penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis,
edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi
sistem kardio-respirasi, serta pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat
inotropic mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
Renal
Pada kondisi tetanus derajat berat dapat mengakibatkan penurunan dari laju
filtrasi glomerulus dan menurunnya fungsi tubulus ginjal. Penyebab paling sering dari
gagal ginjal dalam hal ini adalah adanya dehisrasi, sepsis, rhabdomiolisis, perubahan dari
aliran darah ginjal oleh katekolamin. Dapat juga terjadi karena poliuri atau oliguria, oleh
adanya instability autonomic. Dari gambaran histologi menunjukkan normal atau adanya
nekrosis tubular akut.3
Gangguan Metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat
dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan
adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan
serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolism anaerob
dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
2.1.5 Manifestasi klinis
Tetanus biasanya berhubung dengan adanya fokal luka. Kontaminasi luka
terhadap tanah, pupuk, besi berkarat dapat menimbulkan tetanus. Dapat juga berasal dari
luka bakar, ulkus, ganggren, luka gigitan ular, otitis media, sepsis aborsi, proses
kelahiran, injeksi intramuskular, dan pembedahan. Keadaan ini biasa terjadi pada luka
ringan mencapai lebih dari 50% karena tidak cukup dalam hal penanganan luka tersebut.3
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,
kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan
masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah
mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka
yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus
lokal tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf
kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus
memperhatikan apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala
tetanus. Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan
terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka
mulut (trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku
leher dan kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus
sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita
terganggu dengan proses menelan. 1,2,8
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak
terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa
nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan
anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi
berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan
kegagalan
pernapasan
serta gangguan
keseimbagan
cairan
dan
elektrolit.1,2,8
Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset
setelah trauma adalah 7 hari. 1,2
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang
terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher
menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan
respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat.
Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh. 1,2
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi
berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga
menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus
menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.
Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme
faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi
dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot
di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh
tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka
di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya,
daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya
tinggi.
Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan
resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan
meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi
(high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik. 1,2
Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan
tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus.
Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI,
iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus
yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1,2
Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan
dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
Namun demikian secara umum prognosismya baik.
1,2
Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan
paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1,2
2.1.6 Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan
dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan
rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah
2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena
tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu samapi 4 minggu. 1,2,3
2.1.7 Derajat Keparahan Tetatus
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Seperti
skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Namun sistem yang paling sering dipakai
adalah sistem yang dilaporkan oleh Ablett.1
Tabel 1. Skoring Tetanus berdasarkan Ablett1
I (ringan)
Trismus
ringan
sampai
sedang,
spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau
tanpa disfagia.
II (sedang)
III (berat)
IV (sangat berat)
Score 1
Score 0
Incubation Period
< 7 days
7 days or unknown
Period of onset
< 2 days
2 days
Entry site
Present
Absent
Fever
>38.40C
< 38.40C
Tachycardia
Skor 0 - 1
Skor 2 - 3
Skor 4
Skor 5 - 6
50%
satu
dari
tanda-tanda
berikut:
trismus
(ketidakmampuan
untuk
membukamulut) atau risus sardonicus (spasme berkelanjutan dari otot-otot wajah); atau
kontraksi otot yang menyakitkan. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayatcedera atau
luka, tetanus juga dapat terjadi pada pasien yang tidak mampu mengingat lukaatau cedera
yang spesifik.1,5
Tetanus tidaklah mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang
telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret
luka baiknya dilakukan kultur, pada kasus yang dicurigai tetanus. Biakan anaerob dari
jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme, tetapi kultur positif bukan
merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan
tetanus.1,5
Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil normal. Elektromiogram
mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan nonspesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin
meningkat. Kadar antitoksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini
tetanus tida mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar
antitoksin yag protektif.1,5
2.1.9 Diagnosis Banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sulit. Sekali
dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat
imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus
dan kesadaran yang tetap normal.11
Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana
Poliomyelitis
Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
Tetani
Retropharyngeal abses
Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
Tonsillitis berat
Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.
Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis
leher dan spondilitis leher.
2.1.10 Pencegahan
Imunisasi Aktif
Tetanus Toksoid
Tetanus toksoid mengandung formaldehyde-treated toxin. Terdapat dua tipe dari
toksoid tetanus yang tersedia; absorbed toxoid (alumunium salt precipitated) dan fluid
toxoid. Meskipun jumlah seroconversi hampir sama, absorbed toxoid lebih disukai karena
respon antitoksin mencapai titer yang lebih tinggi dan memiliki waktu paruh yang lebih
lama dari pada fluid toxoid.12
Gambar 4.
Rekomendasi
Pemberian Tetanus Toxoid12
Setelah pemberian seri vaksin pertama (3 dosis tetanus pada individu >7 tahun
dan 4 dosis pada individu <7 tahun) seharusnya semua individu harus mendapatkan
antitoksin agar memiliki titer protektif antibodi tetanus lebih dari 0,1 IU/mL.12
Level antitoxin menurun seiring berjalannya waktu. Setelah pemberian dosis
terakhir >10 tahun, maka seseorang memiliki level protektif yang minimal untuk tidak
terinfeksi tetanus. Oleh karena itu direkomendasikan dilakukan booster toksoid setiap 10
tahunnya.12
Pada beberapa individu, kadar antitioksin dalam tubuh dapat menurun dalam
kurun kurang dari 10 tahun. Untuk meyakinkan bahwa seseorang memiliki level protektif
yang adekuat, individu yang mengalami luka baik yang bersih atau luka kecil baiknya
mendapat booster toksoid jika dosis terakhir yang didapat individu tersebut >5 tahun.12
Penatalakasanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1)
Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk
individu >7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat
sedag adalah 250 unit IM yang menghasilkan kadar antibodi serum protektif paling
sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda
adalah 3000-6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah
dengan spuit injeksi yang berbeda. 1,5
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka
khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tabel 6. Klasifikasi luka menurut American College
Gambar 5. DPT
booster 12
3. Gejala sistemik berat dapat terjadi seperti urtikaria general, anafilaksis, atau
komplikasi neurologik. Beberapa kasus dapat terjadi neuropati perifer dan
GBS
Penyimpanan dan perawatan Vaksin
0
0 0 0
Semua vaksin tetanus harus disimpan dalam suhu 35 46 (2 -8 C). vaksin
yang membeku dapat menghambat dari potensi komponen vaksin dan tidak dapat
diberikan.12
2.1.11 Tatalaksana
Penatalaksanaan
umum
kepada
pasien
jika
mungkin
ditempatkan
di
dapat
dilakukan
secara
terus-menerus,
sedagkan
stimulasi
paruhnya lebih pendek. Dan pada pemberiannya sering kali menimbulkan reaksi
hipersensitifitas dan serum sickness syndrome. Di samping itu, dapat diberikan vaksin TT
tambahan sesuai dengan usia, vaksin, 0,5ccdengan injeksi intramuskular ditempat yang
terpisah (penyakit Tetanus tidak menyebabkan kekebalan; pasien tanpa riwayat vaksinasi
TT utama harus menerimadosis kedua1-2 bulan sesudah dosis pertama dan dosis ketiga612 bulan kemudian.1,5
Antibiotik diberikan sebagai terapi untuk menyingkirkan sumber infeksi. Jika ada
luka yang jelas maka lakukanlah debridement secara bedah. Walaupun manfaatnya belum
terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif,
sebagai
sumber
toksin.
Penggunaan
Metronidazolelebih
disukai
karena
tidak
menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA. Diberikan 500 mg setiap enam jam iv
atau secara oral; PenisilinG (100.000-200.000 IU/kg/hari intravena, diberikan dalam 24dosis terbagi). Penisilin sudah digunakan selama bertahun-tahun tetapi merupakan
antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Tetrasiklin, makrolida, klindamisin,
sefalosporindankloramfenikoljuga efektif. 1,5
Untuk pengendalian rigiditas dan spasme, pilihan utama untuk sedasi adalah
benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat
inhibitor endogen pada reseptor GABA. Untuk orang dewasa, diazepam intravena dapat
diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk
mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak, mulai
dengan dosis 0.1-0.2mg/kg setiap 2-6 jam, titrasi atas sesuai kebutuhan). Jumlah besar
rmungkin diperlukan ( sampai 600 mg/hari).5
reseptor
terhadap
katekolamin
yang
terlepas,
dan
merupakan
menyebabkan depresi pernapasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, maka tidak menjadi
masalah besar; jika tidak, pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis obat yang
diberikanharus disesuaikan untuk mencegah kejang dan menghindari kegagalan
pernapasan. Jika kejang, termasuk spasme laring, yang menghambat atau mengancam
ventilasi, ventilasi mekanis direkomendasikan bila fasilitas memadai. 5 Intubasi atau
trakeostomi juga digunakan untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,
gangguan kemapuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini. 1
Cairan dan nutrisi yang cukup harus disediakan, seperti kejang tetanus
mengakibatkan tuntutan metabolik yang tinggi dan keadaan katabolik akibat aktivitas
muskular. Dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Penurunan
nutrisi juga ditingkatkan oleh keluhan sulit menelan da peningkatan metabolisme akibat
pireksia ataupun keadaan kronis berkepanjangan. Hidrasi perlu dipantau untuk
mengetahui dan mengontrol kehilangan cairan yag nampak dan kehilangan cairan yag
lain, yag mungkin signifikan.1,5
Penatalaksanaan lain : meliputi fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan
pemberian heparin dan antikoagulan yag lan untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal,
kandung kemih, da saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus
dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.
2.12 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau
sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma,
aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia
1
berkaitan dengan ventilator.
Sistem
Jalan nafas
Respirasi
ApneaHipoksiaGagal napas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)Gagagl napas
tipe 2 (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)ARDS
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)
25
Kardiovaskular
Ginjal
Gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) Gagal ginjal
Stasis gaster IleusDiare Perdarahan
Gastrointestinal
Lain-lain
2.13 Prognosis
Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis
tergantung pada fasilitas yang tersedia. Tingkat mortalitas <10% dengan terapi optimal.
Tonus yag meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan. Pemulihan
biasanya dapat kembali sempurna tetapi membutuhkan waktu 4-6 minggu. Penggunaan
ventilator jangka panjang mungkin dibutuhkan, umumnya pada tetanus yang berat dan
membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu. Pada beberapa penelitian pengamatan
pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai menetapnya problem fisik dan
psikologis.
1,5
26
8
Tabel 8. Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner.
Kelompok prognostik
I < 36 jam
II >36 jam
Periode awal
kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian
nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian.
27
BAB III KESIMPULAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
meskioun telah dikenal sejuah peradaban manusia, penyakit ini belum bisa dieradikasi
karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan.
Infeksi tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada seorang individu. pencegahan
dapat dicegah melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higine persalinan yang baik, dan
manajemen perwatan luka yang adekuat. Pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat
menyebabkan penurunan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.
28
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
Clostridium tetani.
5.
6.
overview diperbaharui pada 26 maret 2014. diunduh pada tanggal 6 januari 2015
pukul 18.00 WIB.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
29
https://www.facs.org/~/media/files/quality
%20programs/trauma/publications/tetanus.a
shx diunduh pada tanggal 7 januari 2015 pukul 19.00 WIB 15. WHO. Prevention
and management of wound infection.
http://www.who.int/hac/techguidance/tools/guidelines_prevention_and_managem
ent_ wound_infection.pdf diunduh pada tanggal 6 januari 2015 pukul 19.00WIB