Anda di halaman 1dari 55

2004

PT Remaja BosdaKarya, Bandung


Bab 2 - Pengetahuan sain
Bab 3 Pengetahuan Filsafat

BAB 2
Bab 2 - PENGETAHUAN SAIN
Pada Bab 2 ini dibicarakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sain.
Uraian mengenai ontologi sain membahas hakikat dan struktur sain. Uraian
tentang struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak
macam sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui.
Epistemologi sain difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan
pembahasan aksiologi sain diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah
yang dihadapi manusia.
A. Ontologi Sain
Di sini dibicarakan hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab
pertanyaan apa sain itu sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabangcabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabangcabang sain dan itupun tidak lengkap.
1. Hakikat Pengetahuan Sain
Pada Bab 1 telah dijelaskan secara ringkas bahwa pengetahuan sain adalah
pengetahuan rasional empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas
berikut ini. Pertama, masalah rasional.
Saya berjalan-jalan di beberapa kampung. Banyak hal yang menarik
perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di
kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain banyak yang sakit.
Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat daripada penduduk
kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.
Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu
memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung
yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi tidak memakan telurnya, mereka
menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu
itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk
kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur. Berdasarkan

ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur akan semakin sehat, atau
telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.
Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus
rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan itu rasionalnya ialah: untuk sehat
diperlukan gizi, telur banyak mengandung gizi, karena itu, logis bila semakin
banyak makan telur akan semakin sehat.
Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah
dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan
kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata rasional di sini menunjukkan adanya
hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.

Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya)


mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan
metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh
makan telur secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan
mengambil satu atau dua kampung yang lain yagn tidak boleh makan telur, juga
selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir tahun, kesehatan kedua
kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih
sehat.
Sekarang, hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat
atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti
sebaiknya berkali-kali maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori
saya bahwa Semakin banyak makan telur akan semakin sehat atau Telur
berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori yang rasional-empiris. Teori
seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific theory). Beginilah teori dalam
sain.
Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja metode
ilmiah. Rumus baku metode ilmiah ialah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan
bahwa itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Harap dicatat bahwa istilah

logico dalam rumus itu adalah logis dalam arti rasional.


Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat
atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak
ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of

Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter
hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu
memiliki hubungan rasional.
Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan
sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram,
sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar
atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain
itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain belum
tentu ya.
2. Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial.
Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama
ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:
1) Sain Kealaman

Astronomi;

Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;

Kimia: kimia organik, kimia teknik;

Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi,


geografi;

Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;

2) Sain Sosial

Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan

Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi


politik.

Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;

Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;

Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional


Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.

3) Humaniora

Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;

Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin
dapat dimasukkan ke sain sosial);

Filsafat: logika, ethika, estetika;

Bahasa, Sastra;

Agama: Islam, Kristen, Confusius;

Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke


sain sosial).
Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga

pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial)


dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap. (Bahan diambil
dari Ensiklopedi Indonesia).
B. Epistemologi Sain
Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh
pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.
1. Objek Pengetahuan Sain
Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua
objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar

Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di
sini ialah pengalaman indera.
Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti
yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini
diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain
boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia
ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama
belum tentu bebas.
Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan,
hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan
dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul
teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masingmasing cabang sain. Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang saya sebut

struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain
tersebut.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat
dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah
pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula
pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah
paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan
alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk
mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur
itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya
kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia
menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan
manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan
sebaiknya kalau dapat manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.
Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa
yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia
itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu
mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat
aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat
berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang
disepakati.

Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat


aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk
dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa
sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama
mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi,

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang
menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.
Begitulah kira-kira mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,
karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja
berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal
setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,
Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari
dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur
dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah.

Nah, dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini
juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.
Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali
bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga.
Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orangorang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama
dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari
busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak
ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran.
Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam
ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu
setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar,
karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama
logis.
Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis
tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu
seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar


ialah yang logis dan ada bukti empiris.
Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah
bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.
Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda
yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu
yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.
Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam)
itu dibuat. Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan.
Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya
sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru
diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas.
Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,
matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan
konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur.
Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti
empirisme, yang terukur. Terukur inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi,
hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air
mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu
meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini
operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana
Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang
kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan
pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran
kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.
Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.
Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan
untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya,
ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih
memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode
Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya

mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah


mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut:

logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis,


kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan
pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode
Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang
disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah,
Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir dan memang
operasional dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.
Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan
penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa
tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi
kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain,
filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang
diuraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme
Rasionalisme
Empirisme
Positivisme
Metode Ilmiah
Metode Riset
Model-model Penelitian

Aturan untuk
Mengatur Manusia

Aturan untuk
Mengatur Alam

3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain


Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan,
maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi
membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang
makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya
apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran
teori-teori sain.
Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka
harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan
menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum
ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas
gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah
hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji
apakah teori itu logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran
beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan
membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh
untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan
terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua,
uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin
pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar.
Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan
mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan
selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti
didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka
hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.
Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu
teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu
naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin
benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau
salahnya sama besar, fifty-fifty. Prasangkaan itu salah.

Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika,
tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah
merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada
atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa
kelogisan suatu hipotesis juga teori lebih penting ketimbang bukti empirisnya.
Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.
C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pertama kegunaan sain; kedua,
cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua
itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.
1. Kegunaan Pengetahuan Sain
Apa guna sain? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah
karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang
beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa
argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam
pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat
eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi
sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (Manusia,

Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang
paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami
masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?
Akhir tahun 1997 di Indonesia terjadi gejolak moneter, yaitu nilai rupiah
semakin murah dibandingkan dengan dolar (kurs rupiah terhadap dolar menurun).
Gejala ini telah memberikan dampak yang cukup luas terhadap kehidupan di
Indonesia. Gejalanya ialah harga semakin tinggi. Bagaimana menerangka gejala
ini?
Teori-teori

ekonomi

(mungkin

juga

politik)

dapat

menerangkan

(mengeksplanasikan) gejala itu. Untuk mudahnya, teori ekonomi mengatakan

karena banyaknya utang luar negeri jatuh tempo (harus dibayar), hutang itu harus
dibayar dengan dolar, maka banyak sekali orang yang memerlukan dolar, karena
banyak orang membeli dolar, maka harga dolar naik dalam rupiah. Nah, ini baru
sebagian gejala itu yang dieksplanasikan. Sekalipun baru sebagian, namun gejala
itu telah dapat dipahami ala kadarnya, sesuai dengan apa yang telah
dieksplanasikan itu.
Ada orang tiga bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka
nakal, sering mabuk, membuat keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas,
pindah-pindah sekolah. Mereka ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan
ibunya masing-masing kawin lagi dan pindah ke tempat barunya masing-masing.
Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama pembantu mereka, tidak kurang.
Dapatkah Anda membuat eksplanasi mengapa anak-anak itu nakal?
Anda akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika Anda menguasai
teori yang mapu menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori Sain Pendidikan,
anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada
umumnya akan berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anakanak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal
pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju
dewasa.
Sebenarnya saya amat tertarik membicarakan topik ini; senang sekali
rasanya menambahkan banyak contoh lain, tetapi kedua contoh itu agaknya
mencukupi untuk menjelaskan kegunaan teori sebagai alat membuat eksplanasi.
2) Teori Sebagai Alat Peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga
faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan mengutak-atik faktor penyebab
itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu
disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.
Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal.
Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin
banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah.
Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan
mendatang akan naik. Pada contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan. Misalnya,

pada musim paceklik ini banyak pasangan suami istri yang cerai, maka
diramalkan kenakalan remaja akan meningkat. Ramalan lain: akan semakin
banyak remaja putus sekolah, akan semakin banyak siswa yang tiak naik kelas.
Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan ditentukan
oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan
ketersediaan data di sekitar gejala itu.
3) Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol.
Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga
dapat membuat kontrol. Kita ambil lagi contoh tadi.
Agar kurs rupiah menguat, perlu ditangguhkan pembayaran hutang yang
jatuh tempo, jadi, pembayaran utang diundur. Apa yang dikontrol? Yang dikontrol
ialah kurs rupiah terhadap dolar agar tidak naik. Kontrolnya ialah kebutuhan
terhadap dolar dikurangi dengan cara menangguhkan pembayaran hutang dalam
dolar.
Agar kontrol lebih efektif sebaiknya kontrol tidak hanya satu macam.
Dalam kasus ekonomi ini dapat kita tambah kontrol, umpamanya menangguhkan
pembangunan proyek yang memerlukan bahan import. Kontrol sebenarnya
merupakan tindakan-tindakan yang diduga dapat mencegah terjadinya gejala yang
tidak diharapkan atau gejala yang memang diharapkan.
Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi: anak-anak mereka akan naik.
Adakah upaya yang efektif agar anak-anak itu tidak nakal? Ada, upaya itulah yang
disebut kontrol. Dalam kasus ini mungkin pamannya, bibinya, atau kakeknya,
dapat mengganti fungsi ayah dan ibunya mereka.
Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada
kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu,
begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan,
kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau
begitu.
2. Cara Sain Menyelesaian Masalah

Ilmu atau sain yang isinya teori dibuat untuk memudahkan kehidupan.
Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan
menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan
teori ilmu).
Dahulu orang mengambil air di bawah bukit, orang Sunda menyebutnya di

lebak. Tatkala akan mengambil air, orang melalui jalan menurun sambil
membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan menanjak sambil membawa
wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk memudahkan, orang
membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak. Air dapat diambil dari
sumur yang dapat dibuat dekat rumah.
Membuat sumur memerlukan ilmu. Tetapi sumur masih menyusahkan
karena masih harus menimba, kadang-kadang sumur amat dalam. Orang mencari
teori agar air lebih mudah diambil. Lantas orang menggunakan pompa air yang
digerakkan dengan tangan. Masih susah juga, orang lantas menggunakan mesin.
Sekarang air dengan mudah diperoleh, hanya memutar kran. Ilmu memudahkan
kehidupan.
Sejak kampung itu berdiri ratusan tahun yang lalu, sampai tahun-tahun
belakangan ini penduduknya hidup dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anakanak dan remaja begitu baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak
mencuri, tidak membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung
itu. Tiba-tiba jalan raya melintas kampung itu. Listrik dipasang, penduduk
mendapat listrik dengan harga murah. Penduduk senang.
Beberapa tahun kemudian, anak mereka nakal. Anak remaja sering
berkelahi, sering mabuk, sering mencuri, sering membohongi orang tuanya.
Penduduk sering bertanya Mengapa keadaan begini? Mereka menghadapi
masalah.
Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan itu?
Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, ia mengidentifikasi masalah. Ia ingin tahu seperti apa kenakalan


remaja yang ada di kampung itu. Ia ingin tahu lebih dahulu, secara persis,
misalnya berapa orang, siapa yang nakal, malam atau hari apa saja kenakalan itu

dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan siapa, dan apa penyebabnya, dan
sebagainya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau selengkap-lengkapnya tentang
kenakalan yang diceritakan oleh orang kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak
percaya begitu saja pada laporan orang kampung tersebut. Ia mengidentifikasi
masalah itu. Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian.
Hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala sesuatu di
seputar kenakalan itu tadi.

Kedua, ia mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja. Biasanya


ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang menjelaskan sebabsebab kenakalan remaja. Diantara teori itu ia pilih teori yang diperkirakannya
paling tepat untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja di kampung itu.
Sekarang ia tahu penyebab kenakalan remaja di kampung itu.

Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang


menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa
memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia sudah tahu
penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua remaja dan polisi serta
penegak hukum.
Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Itu adalah cerita tentang cara sain menyelesaikan masalah. Cara filsafat dan mistik
tentu lain lagi. Langkah baku sain dalam menyelesaikan masalah: identifikasi
masalah, mencari teori, menetapkan tindakan penyelesaian.
Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah.
Ada dua sebab. Pertama, belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu,
digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum
tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk
menyelesaikannya.

Masalah

selalu

berkembang

lebih

cepat

daripada

perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk


menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.
Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan
kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat

mampu menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan


mistik dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara
bersama-sama oleh sain, filsafat dan mistik, yang bekerjasama secara terpadu.
3. Bonus
Netralitas Sain
Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta)
dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara
Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia
tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan
untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk
membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan
lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan
dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata sain netral
pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak
juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan
istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain
netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).
Sekarang, manakah yang benar, apakah sain seharusnya value free atau value

bound? Apakah sain itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa persoalan ini bukanlah
persoalan kecil. Ia persoalan besar karena banyak sekali aspek kehidupan manusia
yang diatur secara langsung oleh sain. Jadi, paham bahwa sain itu netral atau sain
itu terikat (tidak netral, memihak), akan mempengaruhi kehidupan manusia secara
langsung. Karena itu sebaiknya kita berhati-hati dalam menetapkan paham kita
tentang ini.
Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita
mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain
akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala
peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti,
dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.

Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam
(1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil
penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain
tidak netral akan mengambil mungkin jantung kelinci atau jantung hewan
lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral
mungkin akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang
yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu
tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value

free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak.
Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara
bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu
hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada
epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian.
Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang
penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang
ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain
netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan
keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia
mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain
tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk
melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.
Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan
mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan
hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti
yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah
menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu
telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja

menggunakan

hasil

penelitian

mereka

untuk

keperluan

apapun

tanpa

pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari
maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa
sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain
netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci
terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori,
sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi
manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain
tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain
tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara
keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua
agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi,
sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru
besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan
untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya
netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi,
sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal
itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbolsimbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain
Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukumhukum logika.

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud


konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain
Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma
yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan
terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan
sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam.
Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena
dipengaruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali
kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan
dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X Y). Memang begitu. Namun,
bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita
periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak
dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X Y. Dari
suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang
berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak
mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan
orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti
Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume,
sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan
bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman
Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu
diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh
Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah
ada sejak semula. Suatu kejadian X Y sebenarnya terjadi di atas medium itu,
kejadian X Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.
Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun
tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant
mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.

Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas


lagi sehubungan dengan hukum X Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X
menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan.
Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak
terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh
api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan,
namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar.
Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini
merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada
penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk
menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z,
menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup
(sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini
Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau

linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke


memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:

Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);

Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada
waktu yang berlainan;

Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;

Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).


Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh

manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di


dalam kepala kita.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun
berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain.
Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.

DULU

NORMAL
SCIENCE 1
Netral?

KINI

NORMAL
SCIENCE 2
KRISIS
Netral?

ANOMALI

PARADIGMA 1

KELAK

NORMAL
SCIENCE 3
KRISIS
Netral?

ANOMALI

PARADIGMA 2

PARADIGMA 3

Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal
muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam
perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat
diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini
menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga
akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah
dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu
tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita
tahu bahwa metode andalan bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah
observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan
penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut

cara

berpikir

Empirisisme

penginderaan

adalah

modal

fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan
Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan
akan berubah setelah terjadi anomali. Kini pertanyaannya ialah: Mengapa
pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama
dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa
di depan mata manusia itu ada lensa yang memfilter penglihatan lensa itu
dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata
Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya
yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu
kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu
sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang
manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai

oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang
tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal
inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya
lapisan ozon.
Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi,
dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain
Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya
sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena
itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.
Krisis Sain Modern
Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn.
Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam

Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999,
Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The Crisis of Modern Science.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western

Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis of Modern
Science.
Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang
sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality,
dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya
pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang
sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.

Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic.


Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual.
Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam,
kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary

ecological crisis.
Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang
merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat tahu;
yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan
jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.

Tentu saja kesimpulan Tarnas itu sangat menggetarkan. Mengapa sampai


demikian? Tarnas menjawab sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan
jagad raya dalam sain modern adalah sangat terbatas bahkan landasan itu cukup
berbahaya.
Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain modern itu bila postulatpostulat dasarnya dibuktikan tidak benar, dan terutama bila landasan ilmiahnya
terbatas bahkan berbahaya? Tetapi baiklah kita lihat lebih rinci mengenai
kesalahan-kesalahan sain modern itu.

Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku
ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak
linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena
tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini,
berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada
geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia
adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti
penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu.
Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan
jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan
oleh manusia.

Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton,


memandang materi itu solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong.
Mekanika kuantum membuktikannya.

Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu


sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa
dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu
kompleks.

Keempat, tentang uncertainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh


elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya,
selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg
menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus,
posisi atau kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.

Kelima, tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada


semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima
interpretasi spiritual.

Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret


adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari
sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk
berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species,
kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik,
efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia
semakin runyam.
Pengembangan Ilmu
Bila Anda bertemu dengan seseorang yang baru dilantik menjadi rektor
sesuatu perguruan tinggi dan Anda bertanya apa program utamanya, maka Anda
akan mendapat jawaban bahwa program utamanya ialah pengembangan ilmu.
Tentu saja, karena perguruan tinggi pada umumnya adalah gudang ilmu. Namun,
yakinlah Anda banyak orang yang tidak memahami secara tepat apa sebenarnya
pengembangan ilmu itu, termasuk banyak juga dari kalangan rektor yang sedang
menjabat sebagai rektor. Berikut adalah uraian yang tepat mengenai
pengembangan ilmu, bila Anda setuju.
Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah
teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup;
buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori
filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan
telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah
teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah
teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof
dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan
beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman
bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah
satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori
dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).

Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya.
Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun
teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas
seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti
teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini
sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu
menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori
lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak
juga

menggantinya

dengan

teori

baru,

ia

hanya

merevisi,

ia

hanya

menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya


membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi
jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya
dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.
Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat
ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu
memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau
banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang
sangat lama.

BAB 3
PENGETAHUAN FILSAFAT
Pada bab ini dibicarakan antologi, epistemologi dan aksiologi filsafat.
Ontologi membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi
membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.
Aksiologi

mendiskusikan

masalah

kegunaan

filsafat

dan

cara

filsafat

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah
netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral (value

free) atau terikar (value bound).


A. Antologi Filsafat
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan
filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga di sini. Yang dimaksud
struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap
cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya
sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan
di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika
filsafat.
1. Hakikat Pengetahuan Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan
lebih dulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan
mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966,I:3)
Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri,
barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin
mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9).
Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya mencoba
menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian. Dari uraian ini
diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum lengkap. Dan
dari situ akan dapat ditangkap apa itu pengetahuan filsafat.
Poedjawijatna (Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974:11) mendefinisikan
filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-

dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry
(Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan
yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang
penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti
yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia diperoleh
dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).
Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya.
Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil
pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap.
Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate

question critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education,


1960:3). D.C. Mulder (Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966:10)
mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan
sebagai keseluruhan. William James (Encyclopedia of Philosophy, 1967:219)
menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective name for question which have not

been answered to the satisfication of all that have asked them. Namun, dengan
mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah
menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat
kembali matrik itu) bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu
pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik; pengetahuan
filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Jika Anda orang pemula
dalam filsafat pegang saja ini.
2. Struktur Filsafat
Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul
banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis,
itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan
struktur filsafat.

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:

antologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu) ini berupa pengetahuan


tentang hakikat segala sesuatu;

epistmologi, cara memperoleh pengetahuan itu;

aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu.

Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,
misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika,
Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup
satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh
pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi
hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna
pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka
struktur filsafat.
Salah satu filsafat yang masih baru ialah Filsafat Perennial. Karena baru,
filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.
Filsafat Perennial1
Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin
Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat

Perennial, 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis)


adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat
hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar,
yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia (lihat
Kommaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, 1995:xx). Hakikat itu menjadi inti
pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang
satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni,
dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan
filsafat tentang yang selalu ada (Budy Munawar Rahman dalam Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, hal xii, xxix).
1

Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998

Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19


mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy
mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafisika,

psikologi dan etika (The Perennial Philosophy, 1945:vii).


Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang
merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual.
Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu

soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan
kahir

kehidupan

manusia.

Dengan

demikian,

maka

Filsafat

Perennial

memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan
Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa
yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya
melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini
oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat,
1995:xxix).
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya
mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah
metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu
wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya
karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak
terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur dalam manusia.
Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara
mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan
pembicaraan tentang proses batin manusia menangkap Realitas Absolut itu.
Metafisika. Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi
tertata secara hirarkis (Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion,
1975:19). Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya
naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia (Houston Smith, Beyond Post-

Modern, 1979:8).
Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan
ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari

body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta

dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit
yang dalam Islam disebut al-Haqq (Komaruddin Hidayat, 1995:xxxii). Karena
adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.
Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya)
adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh pendakian dan
tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa
yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang
yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit
dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang
tampak?
Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai
analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna
(cave man) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50).
Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu
yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan
dengan bayangannya.
Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia
yang tidak dilengkapi dengan cahaya akan terus berkutat pada bentuk tertentu
dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan cahaya itulah
manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia
lihat sekarang.
Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu
kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak
mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda,
benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi.
Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan
cahaya. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.
Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui
pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi,
durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat Komaruddin

Hidayat, 1995:10). Energi atau kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh


yang menyebabkan yang lain memberikan respon atas keberadaannya. William
James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita
berkewajiban untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of

Philosophy, 1971:101).
Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di
atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi
tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang
lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia
Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi
Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah
Tuhan.
Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila
tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai
dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat
pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas
berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan
menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real
melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.

Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya,


demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada
saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh
pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik
dalam diri manusia adalah yang paling dalam, ia adalah basis dan dasar bagi
wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu

lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat
Barat Abad XX, 1983:58).
Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi dalam manusia, Filsafat
Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang
bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang
keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari
keterbatasannya.

Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek


yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam,
menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus
dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian
yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang
melampaui segala kedirian. Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam
manusia menginkarnasi Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu
membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan
terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang
diungkapkan oleh Gabriel Marcel Semakin dalam aku menjangkau diriku,
semakin tampak ia melampaui diriku (lihat Mathias Haryadi, Membina

Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta


Menurut Gabriel Marcel, 1996:49-57).
Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di
saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian
pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang tersisa.

Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang
secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau
menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai
pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini
dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia
akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh,
yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni
kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang
sempurna (Houston Smith, 1979:18).
Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam
menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada
kemampuan akal itu.
Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup
menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu.
Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk.
Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.

Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang


akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan
perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang
baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih
sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.
Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan.
Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan
kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara
objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan
tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda
secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada
dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang
lain.
Filsafat Post Modern (Post Modern Philosophy)
Di dalam literature filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat dibagi tiga.

Pertama, Filsafat Yunani Kuno (Ancient Philosophy) yang didominasi


Rasionalisme, kedua Filsafat Abad Tengah (Middle Ages Philosophy), disebut
juga The Dark Ages Philosophy (Filsafat Abad Kegelapan), yang didominasi oleh
pemikiran tokoh Kristen, ketiga Filsafat Modern (Modern Philosophy) yang
didominasi lagi oleh Rasionalisme.
Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan keempat, yaitu Filsafat
Pascamodern (Post Modern Philosophy).
Jika periode pertama didominasi rasio, periode kedua didominasi
pemikiran tokoh Kristen, periode ketiga didominasi rasio lagi, maka pada periode
keempat itu apa yang mendominasi?
Pada intinya, filsafat Pascamodern (anak-anak sering menyebutnya
Posmo) mengkritik Filsafat Modern. Orang-orang Posmo mengatakan Filsafat
Modern itu harus didekonstruksi. Karena Filsafat Modern itu didominasi
Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu adalah Rasionalisme itu.
Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan akal itulah alat
pencari dan pengukur kebenaran. Nah, paham itulah yang didekonstruksi oleh
Filsafat Posmo.

Sebenanrya, budaya Barat (yang ternyata mengglobal) adalah budaya yang


secara keseluruhan dibangun berdasarkan Rasionalisme itu. Dan kata Capra,
memang hanya berdasarkan Rasionalisme.
Pada tahun 1880-an Nietzsche telah menyatakan bahwa budaya barat (ya,
budaya rasional itu) telah berada di pinggir jurang kehancuran, itu disebabkan
oleh terlalu mendewakan rasio. Pada tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa
budaya Barat itu telah hancur, itu disebabkan oleh terlalu mendewakan rasio.
Sepertinya, tokoh-tokoh Filsafat Posmo itu ingin menyelematkan budaya
Barat. Menurut mereka budaya dapat diselamatkan bila budaya Barat disusun
ulang tidak hanya berdasarkan Rasionalisme. Orang-orang Posmo berpendapat
bahwa sumber kebenaran tidak hanya rasio, ada sumber kebenaran lain selain
rasio. Agama, misalnya. Jika digunakan agama, maka penggunaan rasio telah
termasuk di dalamnya.
Kayaknya ada baiknya budaya disusun berdasarkan ajaran agama tetapi
harus dipilih agama yang benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Pintar.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang
dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan) filsafat.
1. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut
sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis besar terdiri
atas antologi, epistemologi dan aksiologi.
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti
(dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan.
Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan
seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu
semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan
pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah Filsafat Etika,
dan seterusnya.

Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya
meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin
ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan
sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada
dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain.
Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin
ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada. Cobalah lihat lagi matrik kita pada
Bab 1.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan)
cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat
kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari
pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan)
cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh
kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau
diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof
bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi
persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika

Filsafat, II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal
telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas
kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi.
Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus
tunduk pada keyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi.
Sejak Descartes, tokoh pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi
filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sumnya berusaha melepaskan
filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini
filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi.

Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat
yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:254).
Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing.
Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah
dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal
tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem
matematika dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksiomaaksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia
dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes
meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang
nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di
bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang
edan itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin,
menjajakan pemikiran ini di Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing
mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai
pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik hadirnya dan akal telah berjaya
(Lihat Durant, 1959:255).
David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan ini. Ia
menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan datang waktunya
manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya?
Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil dengan
argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten. Pengetahuan kita datang dari
pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu.
Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu
materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah asal usul pemikiran, maka
kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kita Uskup George Berkeley (1684-1753) analisis Locke
itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak ada. David Hume seorang
Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama

dengan kita mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara internal.
Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu organ yang memiliki
idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea.
Hasilnya,

Hume

sudah

menghancurkan

mind

sebagaimana

Barkeley

menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya
berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila Anda
mendengar kata-kata begini: No matter never mind. Semua ini gara-gara akal.
Akal telah digunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu. Di lain
pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan
masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia bekerja
berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanya disebut
Logika. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapat
menerima kebenarannya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? Dengan berpikir
secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek
pemikirannya sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian
di belakang objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak
sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu
dikatakan mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda
tanya. Dia tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui
sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu
mendalam bagi orang lain.
Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini
tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu.
Inilah yang disebut mendalam. Tetapi itupun mempunyai rentangan. Sebagaimana
hal abstrak di belakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan
banyak tergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Saya misalnya
mengetahui bahwa gula rasanya manis (ini pengetahuan empirik); dibelakangnya

saya mengetahui bahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang mengatur
demikian. Ini pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi baru satu langkah. Orang lain
dapat mengetahui bahwa hukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Ini sudah
langkah kedua, lebih mendalam daripada sekedar mengetahui adanya hukum.
Orang lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui
bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagi misalnya
mengetahui di belakang fakta empiris itu dapat bertingkat-tingkat, dan itu
menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya
mungkin dapat dikatakan begini: berpikir mendalam inilah berpikir tanpa bukti
empirik.
Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu diperdebatkan oleh ahli akal
dan orang-orang yang secara intensif menggunakan akalnya. Kerja akal, yaitu
berpikir mendalam, menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teoriteori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai kebenarannya amat rendah? Tidak
juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa yang kita
gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat
diragukan hakikata keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apa yang disebut
filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini
digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnya oleh
filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum diketahui secara jelas
identitasnya.
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya
pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.
Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut bukti empiris
untuk membuktikan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan
yang logis dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan sain.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran
logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan
(teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi

data pada pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi,
konklusi itulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada
kekuatan argumen, bahkan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi
kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan
bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh
argumennya.
C. Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan
kedua cara filsafat menyelesaikan masalah.
1. Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Apa guna pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat? Tidak setiap
orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi
dalam membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia
dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat.
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan
melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat,

kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai


pandangan hidup (philosophy of life).
Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia dibentuk oleh teoriteori itu. Jika Anda tidak senang pada Komunisme maka Anda harus mengetahui
Marxisme, karena teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam Marcisme. Jika
Anda menyenangi ajarah Syiah Dua Belas di Iran, maka Anda hendaknya
mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika Anda hendak
membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka Anda
tidak dapat mengelak hati dari penggunaan teori filsafat. Jadi, mengetahui teoriteori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh
orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang filsafat.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara
memecahkan masalah yang dihadapi. Di sini filsafat digunakan sebagai satu cara
atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu
mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan
pada bagian lain sesudah ini.

Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga diketahui. Mengapa


misalnya salah seorang Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku
berzina, dan masyarakatnya tetap banyak yang memberikan dukungan?
Mungkinkah hal seperti itu untuk Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku
berzina pasti akan dicopot oleh masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena
masyarakat Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.
Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama
mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari
langit, maka filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia.
Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan

philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang
menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
Kegunaan Filsafat bagi Akidah2
Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan.
Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran
Islam sangat penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas
akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti
ini berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim
haruslah kuat, dengan kuat akidah akan kuat pula keislamannya secara
keseluruhan. Untuk memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua
hal, pertama mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh,

kedua mempertajam pengertian ajaran Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat
dengan pengalaman dan pemahaman (ajaran Islam). Dapatkah filsafat
memperkuat pemahaman kita tentang Tuhan?
Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk
membuktikan adanya Tuhan. Dalam bukunya Summa Theologia ia berhasil
penyusun lima argumen tentang adanya Tuhan.

Diadopsi dari makalah M. Fahrudin Kaha, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998

Pertama, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin
berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan
adalah Penggerak Pertama.

Kedua, arguman kausalitas. Tidak ada sesuatu yang mempunyai penyebab


pada dirinya sendiri, sebab itu harus di luar dirinya. Dalam kenyataannya ada
rangkaian penyebab. Penyebab pertama adalah Tuhan yang tidak memerlukan
penyebab yang lain.

Ketiga, argumen kemungkinan. Adanya alam ini bersifat mungkin:


mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan diperoleh dari kenyataan alam
ini dimulai dari tidak ada, lalu muncul atau ada kemudian berkembang, akhirnya
rusak dan hilang atau tidak ada. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa alam ini
tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada dua kemungkinan atau ada dua
potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul
bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam ini tidak ada, lalu ada.
Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam dari tiada menjadi ada, sebab tidak
mungkin muncul sesuatu dari tiada ke ada secara otomatis. Jadi, Ada Pertama itu
harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu dari mana? Kembali lagi
kita menghadapi rangkaian penyebab (tasalsul). Kita harus berhenti pada Ada
Pertama yaitu yang Harus Ada.

Keempat, argumen tingkatan. Isi alam ini ternyata bertingkat-tingkat


(levels). Ada yang dihormati, lebih dihormati, terhormat. Ada indah, lebih indah,
sangat indah, dan seterusnya. Tingkat tertinggi menjadi penyebab tingkat di
bawahnya. Api yang mempunyai panas yang tinggi menjadi penyebab panas yang
rendah di bawahnya, begitu seterusnya. Yang Maha Sempurna adalah penyebab
yang sempurna, yang sempurna adalah penyebab yang kurang sempurna. Yang
atas menjadi penyebab yang bawah. Tuhan adalah Yang Tertinggi, Ia Penyebab
yang di bawah-Nya.

Kelima, argumen teologis. Ini adalah argumen tujuan. Alam ini bergerak
menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu Yang
Mengatur alam menuju tujuan Alam. Itu adalah Tuhan (lihat Ahmad Tafsir,

Filsafat Umum, 1997:86-88).

Argumen yang dikemukakan Thomas Aquinas itu sebenarnya tidak akan


membawa kita memahami Tuhan secara sempurna. Argumen-argumen itu
memiliki kelemahan. Karena itu Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat
dipahami melalui akal (ia menyebutnya akal teoritis) Tuhan dapat dipahami
melalui suara hati yang disebut moral. Adanya Tuhan itu bersifat harus, hati saya
kata Kant, yang mengatakan Tuhan harus ada. Kant mengatakan bahwa adanya
Tuhan bersifat imperatif. Siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.
Menurut Kant indera dan akal itu terbatas pada kemampuannya. Indera
dan akal (maksudnya: rasio) hanya mampu memasuki daerah fenomena, bila
indera masuk ke daerah noumena maka ia akan sesat dalam antinomi, akal bila
memasuki daerah noumena ia akan tersesat dalam paralogism. Daerah noumena
itu hanya mungkin diarungi oleh akal praktis, demikian kata Kant (lihat Ahmad
Tafsir, 1997:159). Akal praktis adalah moral atau suara hati.
Menurut Kant akal teoritis (akal rasional) tidak melarang kita
mempercayai Tuhan, kesadaran moral (suara hati) kita memerintahkan untuk
mempercayai-Nya. Roussenau benar ketika ia mengatakan bahwa di atas akal
rasional di kepala ada perasaan hati: Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa
hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat dipahami oleh akal
rasional (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:278).
Argumen-argumen akliah tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib
lainnya, yaitu objek-objek metarasional, tidak dapat dipegang kebenarannya; bila
akal (rasio) masuk ke daerah ini ia akan tersesat ke dalam paralogisme. Inilah
pendirian Kant. Argumen akliah tentang ini lemah. Kant mengemukakan contoh
argumen yang sering dikemukakan theolog rasioinalis untuk membuktikan adanya
Tuhan, yaitu argumen pengaturan alam semesta.
Di dalam argumen ini dikatakan bahwa alam ini teratur, yang mengatur
adalah Maha Pengatur, yaitu Tuhan. Alam teratur, memang kata Kant. Banyak isi
alam ini yang begitu teratur yang dapat membawa kita kepada kesimpulan adnaya
Tuhan yang mengaturnya. Akan tetapi, kata Kant, kita juga menyaksikan bahwa
alam ini mengandung juga banyak ketidakteraturan, kekacauan, bahkan
menyebabkan kesulitan dan kematian. Jadi, terdapat perlawanan. Inilah salah satu
contoh paralogisme, itu. Kant mengakui bahwa keteraturan itu memang ada bila

alam itu dilihat secara keseluruhan, akan tetapi itupun tidak kuat untuk dijadikan
bukti adanya Sang Pengatur. Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal
teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1997:162).
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal
logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof,
seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti
akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat
adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu
melawannya.
Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan filsafat bagi
pengembangan hukum islami.
Kegunaan Filsafat bagi Hukum3
Istilah hukum islami sering rancu. Kadang-kadang hukum islami itu
diartikan syariah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang dimaksud di sini ialah fikih.
Fikih secara bahasa berarti mengetahui. Al-Quran menggunakan kata

al-fiqh dalam pengertian memahami atau paham. Pada zaman Nabi Muhamamd
SAW kata al-fiqh itu tidak hanya berarti paham tentang hukum tetapi paham
dalam arti umum. Faqiha artinya paham, mengerti, tahu.
Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushul

al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Sementara di kalangan pakar fikih, alfiqh dipahami sebagai kumpulan hukum islami yang mencakup semua aspek
syariy baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap
sesuatu teks. Itulah sebabnya di kalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah
dipahami sebagai teks syariy yakni Al-Quran dan al-Sunnah yang tetap dan tidak
pernah mengalami perubahan.
Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis
besarnya mencakup tiga unsur pokok. Pertama, perintah seperti sholat, zakat,
puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan musyrik, zina dan
sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya.

Diadopsi dari makalah Didi Mashudi, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998

Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut sifatnya, ia dapat
dibagi dua. Pertama, bersifat tetap, tidak berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti
sebagai aqidah dan seluruh ibadah mahdhah; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku
padanya. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu,
inilah bidang ijtihad.
Tujuan

utama

diturunkannya

hukum islami

(fikih)

ialah

untuk

menciptakan kemaslahatan hidup manusia, yang dimaksud kemaslahatan ialah


kebaikan. Jelasnya, pembentukan fikih itu sejalan dengan tuntutan kemaslahatan
manusia.
Untuk menjamin kemaslahatan itu ditetapkan beberapa asas hukum islami,
yaitu:

Adam al-haraj, artinya tidak sulit dalam melaksanakannya (QS. 7:157)


Al-Takhlif, ringan serta mampu dilaksanakan (QS. 2:286; 4:28)
Al-Taysir, mudah sesuai kemampuan (QS. 2:185; 22:78)
Itu berarti hukum islami dibentuk atas dasar prinisp menghilangkan
kesempitan karena kesempitan itu menyebakan kesulitan. Prinsip lain yang
mendasari hukum islami ialah daf al-dlarar, menghilangkan bahaya (QS. 2:25;
195; 4:12; 2:231). Prinsip lain lagi ialah al taassuf fi istimal al-haqq yakni boleh
melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain (QS. 2:223; 65:6; 7:31;
5:87). Dari sini lahirlah kaidah ushul al-fiqh yang berbunyi menolak bahaya
didahulukan daripada mengambil maslahat.
Hukum islami yang dijadikan aturan beramal ada di dalam fikih sebagai
kumpulan hukum. Fikih (dalam arti kumpulan hukum) itu dibuat berdasarkan
kaidah-kaidah hukum (yang berfungsi sebagai teori) yang digunakan dalam
menetapkan hukum tersebut. Ternyata kaidah-kaidah pembuatan hukum (ushul al-

fiqh) itu dibuat berdasarkan teori-teori filsafat. Karena itu manthiq (mantik,
logika) amat penting bagi ulama ushul al-fiqh.
Selain itu dalam ushul al-fiqh filsafat berguna juga dalam menafsirkan teks
dan memberikan kritik ideologi.
Dalam menafsirkan teks wahyu atau teks hadis yang akan dijadikan
sumber aturan hukum. Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan

al-Sunnah yang zhanniy yang penafsirannya kadang-kadang memerlukan tawil


dan penafsiran metaforis.
Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi kritis
filsafat. Pemikiran cara filsafat amat diperlukan dalam menganalisis ideologi
secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan
membuka kedok yang mungkin berada di belakangnya. Dalam hal ini filsafat itu
dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi saingan yang akan
merusak Islam atau masyarakat Islam, kedua kritik terhadap hukum islami,
misalnya mempertanyakan apakah hukum itu seperti itu, apakah itu sesuai dengan
esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.
Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai
metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami.
Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada gunanya. Cobalah renungkan
uraian berikut ini.
Kegunaan Filsafat bagi Bahasa4
Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk
mengekspresikan perasaan dan pikiran. Terlihat adanya hubungan yang erat antara
bahasa dan pikiran. Ahmad Abdurrahman Hamad (Al-alaqah byan alLughah wa

al-Fikr, dan al-Marifah al-Jamiiyyah, 1985:17) menggambarkan hubungan itu


bagaikan satu mata uang yang mempunyai dua sisi. Aristoteles, sebagaimana
dikutip Hamad (1985:32) menggambarkan hubungan antara bahasa dan pemikiran
(logika) sebagai hubungan antara hitungan dan angka, hubungan itu adalah
hubungan interdependen.
Tatkala bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah muncul problem
yang serius, ini diselesaikan antara lain dengan bantuan filsafat. Begitu juga
tatkala pemikiran (filsafat) sampai pada rumusan konsep yang rumit, bahasa juga
mengalami persoalan, yaitu bahasa sering kurang mampu menggambarkan isi
konsep itu. Bahasa dalam hal ini harus mencari kata dan susunan baru untuk
menggambarkan isi konsep itu.

Diadopsi dari makalah Tarmana Abdul Qasim, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998

Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya.


Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang
awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti
kaidah yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan oleh tidak
digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.
Filosof adalah protoype orang bijaksana. Orang bijaksana tertentu harus
menggunakan bahasa yang benar. Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili
konsep logis yang dibawakannya. Karena itu pada logikalah kita menemukan
kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan pada logika pula kita temukan manfaat
konkret bahasa. Peran logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, logika
dapat mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini diakui oleh Ibrahim Madkur
sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Samirrai (Fiqh al-Lugah al-Muqararn, tt:18)
yang mengatakan bahwa kaidah bahasa khususnya bahasa Arab, tepatnya Nahwu
telah dipengaruhi oleh Logika Aristoteles dalam beberapa hal. Pertama,
menggunakan kias atau analogi sebagai kaidah dalam Nahwu sebagaimana
digunakan dalam logika. Pembagian kata menurut Sibawayh menjadi ism, fiil,

hurf mungkin dipengaruhi oleh pembagian Aristoteles kata benda, kata kerja dan
adat. Kedua, munculnya Nahwu Siryani pada sekolah Nashibayn pada abad ke-6
Masehi bersamaan dengan munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam berpikir.
Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika, 1994:194). Pertama,
kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam menetapkan sifat pada
bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti Setiap kapal perang suatu negara
telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah siap tempur atau Mur
ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan pula, Kedua, kekeliruan dalam
pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan
maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, Kompleks
perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah kamar-kamar
tidurnya luas juga, Ketiga, kekeliruan karena tekanan. Ini terjadi dalam
pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan.
Misalnya, Karena kekenyangan ia tertidur, bila tekanan pada kekenyangan
(karena kekenyangan ia tertidur) maka arti kalimat itu akan berbeda dari kalimat

yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek. Keempat, kekeliruan
karena amfiboli. Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai arti ganda.
Contohnya seperti Mahasiswa yang duduk di kursi paling depan Mahasiswa
yang paling depan atau kursinya, dua-duanya mungkin.
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam menentukan kausalitas
bahasa. Tanpa peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin
dapat diperbaiki.
Selain itu perkembangan berpikir atau filsafat akan diikuti oleh
perkembangan bahasa. Kata al-muruah asalnya ialah al-maru yang berarti
seorang lelaki tulen (al maru al-muktamil). Jadi kata itu hanya menunjukkan pada
seseorang. Tetapi dalam filsafat kata itu sudah mengandung banyak arti seperti
potensi, kekuatan, semangat, perasaan, lelaki, pemberani, amanah dan lain-lain.
Kata al-aql arti awalnya ialah tali, alat pengikat. Kata Nabi SAW iqilha wa

tawakkal, ikat untamu lalu tawakkal. Iqil dari kata al-aql. Dalam filsafat, akal
memiliki pengertian jauh lebih luas daripada itu. Kata akidah (aqidah) demikian
juga.
Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa filsafata berhubungan dengan
bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan
filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.
Kesimpulannya: filsafat berguna bagi bahasa.
2. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya
sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai
metode dalam memandang dunia (world show).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya
kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada
banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana
sampai yang rumit.
Ada rapat di sebuah RT, yang dibicarakan masalah keamanan. Pak Ketua
RT menyatakan bahwa akhir-akhir di kampung kita banyak pencurian, tidak
seperti biasanya. Menanggapi itu hampir semua orang yang hadir mengusulkan

agar ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang awam menyelesaikan
masalah.
Di situ ada seorang yang berpendapat lain. Ia bertanya apa saja barang
yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada pukul berapa biasanya terjadi. Lantas
ia mengusulkan selain menggiatkan ronda, sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia
melakukan identifikasi lebih dahulu, lantas ia melihat penyebab lebih mendasar.
Ia pikir, bila perondanya bermoral buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang
mencuri. Orang ini ilmuwan. Kira-kira beginilah penyelesaian Sain. Filsafat pun
memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam
dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari
asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan
seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.
Banyak orang Islam tidak menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya
tentang kebebasan seks. Mereka mengatakan kebebasan seks harus diberantas. Ini
penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita mengusulkan perketat
masuknya informasi dari Barat terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau
kita mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum puas dengan penyelesaian
itu. Lalu bagaimana?
Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul
dari paham Hedonisme. Maka kita perangi paham itu. Filosof lain belum juga
puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme
itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan
Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang
paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu
penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya.
Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa
Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.
Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang
paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada
akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang
merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.

Bonus
Tulisan berikut ini tidak lagi masuk Bab Aksiologi. Ini merupakan konsep-konsep
tercecer. Dikumpulkan di sini karena dirasa perlu, diberi judul bonus.
Cara Orang Umum Menilai
Ada tiga cara orang menilai suatu pendapat atau pernyataan. Pertama, ia menilai
berdasarkan ketidaktahuan tentang itu, ketidaktahuannya itulah yang dijadikannya
ukuran. Kedua, menilai dengan menggunakan pendapatnya sebagai ukuran.

Ketiga, menilai dengan menggunakan pendapat umumnya pakar sebagai alat ukur.
Sebagai contoh, ada orang mengatakan bahwa jin dapat disuruh. Orang
tipe pertama langsung menyatakan itu tidak mungkin dan alasannya ialah
memang ia tidak tahu bahwa jin dapat disuruh melakukan sesuatu.
Ketidaktahuannya (dalam hal ini bahwa jin dapat disuruh) yang dijadikan alasan
menolak

pernyataan

itu.

Anehkan?

Menolak

pendapat

dengan

alasan

ketidaktahuan bahwa itu memang begitu.


Sebenarnya bila kita tidak hanya ada dua hal yang layak dilakukan,

pertama, diam, kedua mempelajarinya.


Tipe kedua mengadakan studi tentang jin. Hasil yang ia peroleh
menyatakan bahwa jin memang tidak dapat disuruh. Nah, pendapatnya inilah yang
dijadikan alasan menolak pernyataan tadi (jin dapat disuruh). Cara kedua inipun
masih lemah. Lemah, karena ia sebenarnya tidak punya alasan, mandat, untuk
menggunakan pendapatnya sebagai pengukur kebenaran suatu pernyataan. Dus, ia
berpendapat berdasarkan pendapatnya. Tipe ketiga adalah golongan yang sedikit,
mereka mempelajari pendapat para ahli bidang jin. Mereka kumpulkan pendapat
para pakar pada umumnya mereka menerima atau menolak pernyataan bahwa jin
dapat disuruh.
Jadilah orang tipe pertama: diam. Jadilah tipe kedua: mempelajarinya.
Terbaik: jadilah tipe ketiga, yaitu mempelajarinya secara luas dan mendalam,
lantas mengemukakan pendapat berdasarkan pendapat pakar pada umumnya
dalam bidang itu.

Netralitas Filsafat
Tatkala menjelaskan netralitas sain kita berkesimpulan seharusnya sain itu tidak
netral artinya sain itu seharusnya tidak bebas nilai. Filsafat bagaimana?
Ada berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan mengenai pertanyaan
itu. Pertama, dalam filsafat ada Filsafat Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah
cabang filsafat yang khusus membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena
etika membicarakan nilai maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah
mungkin nilai yang digunakan dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap
saja ia tidak netral karena ia telah membicarakan buruk dan baik.

Kedua, filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka
tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil
pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti sain
tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan disusun
berdasarkan pemikiran peneliti.

Ketiga, masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu pada logika.


Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat menganggap
logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah, jika matematika dapat
dianggap netral, maka logika juga dapat netral.
Seandainya Logika kita anggap netral, itu bukan berarti filsafat itu netral,
sebab masih menjadi persoalan apakah logika itu filsafat atau bukan filsafat. Jika
Anda termasuk yang berpandangan bahwa logika itu adalah bagian dari filsafat,
maka Anda harus berpendapat bahwa sebagian dari filsafat adalah netral.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M.E., Konci Rijki, Jakarta: Hasanah, 1985.


Abu al-Siraj al-Thusy, Al-Luma, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1996.
Abu Abdullah Maluf, al-Munjid al-Lughah wa al-Alam, Beirut: Dar al-Masyirq,
1975.
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf, Ramadhani, 1989.
Abdul Qadir Zailani, Koreksi terhadap Ajaran Tashawuf, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Abdul Khaliq al-Anthar, al-Sihr wa al-Saharah wa al-Mashurum, Terjemahan
Tarmana, Bandung: Hidayah, 1996.
Ahmad Abdurrahman Hamad, al-Alaqah bayn al-Lughah wa al-Fikr, Dar alMarifah al-Jamiiyyah, 1985.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosdakarya, 1997.
Aldous Huxley, ThePerennial Philosophy, New York: Harper and Row, 1945.
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terjemahan, Pustaka Firdaus,
1986.
Ali Abu Hayullah al-Marzuqy, Al-Jawahir al Lamaah, tt.
A.S. Hornby, A Leaners Dictionary of Current English, London: Oxford
University Press, 1957.
Al-Ghazali, Al-Aufaq: Kumpulan Ilmu Ghaib, Diterjemahkan oleh Masroh
al-Khusaeni, Surabaya: Mahkota, 1984.
Badrudi Subkhi, Bid'ah-bid'ah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Clifford Geertz, Abangan Sntri dan Priyai, Pustaka Jawa, 1983.
C. Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat, Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1966.
Davis L. Silis, International Encyclopedia of the Social Sciences. New York:
MacMillan Company, 1972.
Elias, Modern Dictionary English Arabic, 1968.

Ensiklopedi Islam.

Fred N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart


and Winston, 1973.
Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion, New York : Harper and
Row, 1975.
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Kemurnian, Jakarta: Nurul Islam, 1980.
Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, 1966.
Hasan Ayub, Tabsith al-Aqidah al-Islamiyah, Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah,
1979.
Hairi, Ilmu Hudluri: Prnsip-prnsip Epistemologi dalam Islam, Bandung: Mizan,
1999.
Herman Soewardi, Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad
(Suatu Kognisi Baru tentang Islam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh
Pengarangnya, 1999.
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Jakarta: Widjaja, 1971.
Houston Smith, Beyond Post-Modern, 1979. (?)
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Fikr, 1981.
Ibrahim Samirrai, Fiqh al-Lughah al Muqarran, Beyrut: Dar al-Tsaqafah
al-Islamiyyah, tt.
Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Aklaq, terjemahan, Mizan, Bandung, 1994.
Ibnu Mandzur Jamaluddin al-Anshari, Lisan al-Arab Kairo: Dar al-Mishiriyyah li
al-Taklif wa al-Tarjamah, tt.
Jauhar Salim Abbay (penerjemah), Al-Thibb Awasin al Kaey, Jakarta: Yayasan
Ibnu Ruman, tt.
Joe Park, Selected Reading in The Philosophy of Education, New York: The
MacMillan Company, 1960.
Jujus S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1994.
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, I, Jakarta:
Gramedia, 1987.
James Drever, Kamus Antropologi, Penerjemah Nancy Simanjuntak, Jakarta: Bina
Aksara, 1986.

Kamus Umum Bahasa Sunda, Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.

K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1983.


Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1973.
Karl Jasper, Philosophical Faith and Revelation, London: Colin, 1967.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan: Perspektif
Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995.
Langeved, Menuju ke Pemikiran Filsafat, Djakarta: PT. Pembangunan, 1961.
Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota, Bandung:
LSBDHI, 1993.
Louis Maluf, al Munjid fi al-Lughah wa al-Alam, Beirut: Dar al-Marsyriq, 1975.
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Junani, Djakarta: Tintamas, I, 1966.
Mathias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi Berdasarkan Prinsip
Partisipasi, Persektuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Mundiri, Logika, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.
Murtadla Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.
Muhammad Isa Daud, Hiwar al-Syawafy maa Jinniy al-Muslim, Terjemahan Afif
Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Muhammad bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ala al-Abid,
Libanon: Dar al-Arabiyyah, 1969.
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syariah, Mesir: Dar al-Qalam, 1996.
Maria Susuei Dhavamony, Fenomenologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1997.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat, Djakarta: PT. Pembangunan, 1974.
Reymond Firth, Human Types, Terjemahan, Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Samudi Abdullah, Takhayyul dan Magic dalam Pandangan Islam, Bandung:
Al-Maarif, 1997.
Sihristany, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, tt.
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1996.
Syihabuddin Yahya al-Syuhrawadi, Hikayat-hikayat Mistis, Bandung: Mizan,
1992.

Syaikh Wahid Abdul Salam Bali, al-Sharim al-Battar fi Tashaddi li Saharat


al-Asrar, Terjemahan, Jakarta: Rabbani Press, 1995.
Suroso Orakas, White Magic, Pekalongan: Bahagia, 1989.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Djakarta: Bulan Bintang, II, 1973.
Suyono Ariyono, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Press, 1985.
T. Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Umar Hasyim, Setan sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Takhayyul,
Pedukunan dan Azimat, Surabaya: Bina Ilmu, tt.

Websters New Twentith Century Dictionary of English Language, 1980.


Wahid Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinny wa al-Syaithan, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Will Durant, The Story of Philosophy, New York: Simon and Schuster, Inc.,
1959.
William James, Encyclopedia of Philosophy, 1967, (?)
Wililam James, Some Problems of Philosophy, New York: Longman, 1971.
Wadji Muhammad al-Syahawi, Memanggil Roh dan Menaklukkan Jin, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997.

TENTANG PENULIS
AHMAD TAFSIR, lahir di Bengkulu tahun 1942. Pendidikannya diawali
di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan sekolah di PGA
(Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta. Selanjutnya belajar di Fakultas
Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum tahun
1969. Tahun 1975-1976 (selama 9 bulan) mengambil Kursus Filsafat di IAIN
Yogyakarta. Tahun 1982 mengambil Program S-2 di IAIN Jakarta. Tahun 1987
sudah menyelesaikan S-3 di IAIN Jakarta juga.
Sejak tahun 1970, Tafsir mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung,
sampai sekarang. Tahun 1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan ini mempelopori
berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sejak Januari 1997
diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung.
Karya tulisnya tersebar pada berbagai media. Umumnya menulis tentang
pendidikan dan filsafat. Akhir-akhir ini kerap juga menulis tentang tasawuf. Buku
terakhir ini, Filsafat Ilmu: Menuju Pengetahuan Mistik ialah salah satu kajian
beliau tentang mistik. Buku lain yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat

Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosdakarya, Bandung cetak
ulang kesembilan Februari, 2001; Metodologi Pendidikan Agama Islam,
Rosdakarya Bandung, sudah cetakan keenam; Ilmu Pendidikan dalam Perspektif

Islam, Rosdakarya, Bandung, cetakan kelima (2002).

Anda mungkin juga menyukai