BAB 2
Bab 2 - PENGETAHUAN SAIN
Pada Bab 2 ini dibicarakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sain.
Uraian mengenai ontologi sain membahas hakikat dan struktur sain. Uraian
tentang struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak
macam sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui.
Epistemologi sain difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan
pembahasan aksiologi sain diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah
yang dihadapi manusia.
A. Ontologi Sain
Di sini dibicarakan hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab
pertanyaan apa sain itu sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabangcabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabangcabang sain dan itupun tidak lengkap.
1. Hakikat Pengetahuan Sain
Pada Bab 1 telah dijelaskan secara ringkas bahwa pengetahuan sain adalah
pengetahuan rasional empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas
berikut ini. Pertama, masalah rasional.
Saya berjalan-jalan di beberapa kampung. Banyak hal yang menarik
perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di
kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain banyak yang sakit.
Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat daripada penduduk
kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.
Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu
memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung
yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi tidak memakan telurnya, mereka
menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu
itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk
kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur. Berdasarkan
ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur akan semakin sehat, atau
telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.
Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus
rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan itu rasionalnya ialah: untuk sehat
diperlukan gizi, telur banyak mengandung gizi, karena itu, logis bila semakin
banyak makan telur akan semakin sehat.
Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah
dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan
kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata rasional di sini menunjukkan adanya
hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter
hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu
memiliki hubungan rasional.
Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan
sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram,
sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar
atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain
itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain belum
tentu ya.
2. Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial.
Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama
ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:
1) Sain Kealaman
Astronomi;
2) Sain Sosial
3) Humaniora
Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin
dapat dimasukkan ke sain sosial);
Bahasa, Sastra;
Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di
sini ialah pengalaman indera.
Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti
yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini
diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain
boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia
ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama
belum tentu bebas.
Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan,
hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan
dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul
teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masingmasing cabang sain. Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang saya sebut
struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain
tersebut.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat
dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah
pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula
pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah
paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan
alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk
mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur
itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya
kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia
menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan
manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan
sebaiknya kalau dapat manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.
Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa
yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia
itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu
mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat
aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat
berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang
disepakati.
seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang
menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.
Begitulah kira-kira mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,
karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja
berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal
setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,
Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari
dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur
dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah.
Nah, dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini
juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.
Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali
bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga.
Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orangorang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama
dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari
busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak
ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran.
Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam
ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu
setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar,
karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama
logis.
Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis
tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu
seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Aturan untuk
Mengatur Manusia
Aturan untuk
Mengatur Alam
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika,
tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah
merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada
atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa
kelogisan suatu hipotesis juga teori lebih penting ketimbang bukti empirisnya.
Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.
C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pertama kegunaan sain; kedua,
cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua
itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.
1. Kegunaan Pengetahuan Sain
Apa guna sain? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah
karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang
beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa
argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam
pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat
eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi
sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (Manusia,
Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang
paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami
masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?
Akhir tahun 1997 di Indonesia terjadi gejolak moneter, yaitu nilai rupiah
semakin murah dibandingkan dengan dolar (kurs rupiah terhadap dolar menurun).
Gejala ini telah memberikan dampak yang cukup luas terhadap kehidupan di
Indonesia. Gejalanya ialah harga semakin tinggi. Bagaimana menerangka gejala
ini?
Teori-teori
ekonomi
(mungkin
juga
politik)
dapat
menerangkan
karena banyaknya utang luar negeri jatuh tempo (harus dibayar), hutang itu harus
dibayar dengan dolar, maka banyak sekali orang yang memerlukan dolar, karena
banyak orang membeli dolar, maka harga dolar naik dalam rupiah. Nah, ini baru
sebagian gejala itu yang dieksplanasikan. Sekalipun baru sebagian, namun gejala
itu telah dapat dipahami ala kadarnya, sesuai dengan apa yang telah
dieksplanasikan itu.
Ada orang tiga bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka
nakal, sering mabuk, membuat keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas,
pindah-pindah sekolah. Mereka ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan
ibunya masing-masing kawin lagi dan pindah ke tempat barunya masing-masing.
Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama pembantu mereka, tidak kurang.
Dapatkah Anda membuat eksplanasi mengapa anak-anak itu nakal?
Anda akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika Anda menguasai
teori yang mapu menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori Sain Pendidikan,
anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada
umumnya akan berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anakanak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal
pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju
dewasa.
Sebenarnya saya amat tertarik membicarakan topik ini; senang sekali
rasanya menambahkan banyak contoh lain, tetapi kedua contoh itu agaknya
mencukupi untuk menjelaskan kegunaan teori sebagai alat membuat eksplanasi.
2) Teori Sebagai Alat Peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga
faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan mengutak-atik faktor penyebab
itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu
disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.
Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal.
Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin
banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah.
Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan
mendatang akan naik. Pada contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan. Misalnya,
pada musim paceklik ini banyak pasangan suami istri yang cerai, maka
diramalkan kenakalan remaja akan meningkat. Ramalan lain: akan semakin
banyak remaja putus sekolah, akan semakin banyak siswa yang tiak naik kelas.
Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan ditentukan
oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan
ketersediaan data di sekitar gejala itu.
3) Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol.
Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga
dapat membuat kontrol. Kita ambil lagi contoh tadi.
Agar kurs rupiah menguat, perlu ditangguhkan pembayaran hutang yang
jatuh tempo, jadi, pembayaran utang diundur. Apa yang dikontrol? Yang dikontrol
ialah kurs rupiah terhadap dolar agar tidak naik. Kontrolnya ialah kebutuhan
terhadap dolar dikurangi dengan cara menangguhkan pembayaran hutang dalam
dolar.
Agar kontrol lebih efektif sebaiknya kontrol tidak hanya satu macam.
Dalam kasus ekonomi ini dapat kita tambah kontrol, umpamanya menangguhkan
pembangunan proyek yang memerlukan bahan import. Kontrol sebenarnya
merupakan tindakan-tindakan yang diduga dapat mencegah terjadinya gejala yang
tidak diharapkan atau gejala yang memang diharapkan.
Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi: anak-anak mereka akan naik.
Adakah upaya yang efektif agar anak-anak itu tidak nakal? Ada, upaya itulah yang
disebut kontrol. Dalam kasus ini mungkin pamannya, bibinya, atau kakeknya,
dapat mengganti fungsi ayah dan ibunya mereka.
Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada
kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu,
begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan,
kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau
begitu.
2. Cara Sain Menyelesaian Masalah
Ilmu atau sain yang isinya teori dibuat untuk memudahkan kehidupan.
Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan
menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan
teori ilmu).
Dahulu orang mengambil air di bawah bukit, orang Sunda menyebutnya di
lebak. Tatkala akan mengambil air, orang melalui jalan menurun sambil
membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan menanjak sambil membawa
wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk memudahkan, orang
membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak. Air dapat diambil dari
sumur yang dapat dibuat dekat rumah.
Membuat sumur memerlukan ilmu. Tetapi sumur masih menyusahkan
karena masih harus menimba, kadang-kadang sumur amat dalam. Orang mencari
teori agar air lebih mudah diambil. Lantas orang menggunakan pompa air yang
digerakkan dengan tangan. Masih susah juga, orang lantas menggunakan mesin.
Sekarang air dengan mudah diperoleh, hanya memutar kran. Ilmu memudahkan
kehidupan.
Sejak kampung itu berdiri ratusan tahun yang lalu, sampai tahun-tahun
belakangan ini penduduknya hidup dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anakanak dan remaja begitu baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak
mencuri, tidak membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung
itu. Tiba-tiba jalan raya melintas kampung itu. Listrik dipasang, penduduk
mendapat listrik dengan harga murah. Penduduk senang.
Beberapa tahun kemudian, anak mereka nakal. Anak remaja sering
berkelahi, sering mabuk, sering mencuri, sering membohongi orang tuanya.
Penduduk sering bertanya Mengapa keadaan begini? Mereka menghadapi
masalah.
Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan itu?
Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan siapa, dan apa penyebabnya, dan
sebagainya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau selengkap-lengkapnya tentang
kenakalan yang diceritakan oleh orang kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak
percaya begitu saja pada laporan orang kampung tersebut. Ia mengidentifikasi
masalah itu. Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian.
Hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala sesuatu di
seputar kenakalan itu tadi.
Masalah
selalu
berkembang
lebih
cepat
daripada
bound? Apakah sain itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa persoalan ini bukanlah
persoalan kecil. Ia persoalan besar karena banyak sekali aspek kehidupan manusia
yang diatur secara langsung oleh sain. Jadi, paham bahwa sain itu netral atau sain
itu terikat (tidak netral, memihak), akan mempengaruhi kehidupan manusia secara
langsung. Karena itu sebaiknya kita berhati-hati dalam menetapkan paham kita
tentang ini.
Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita
mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain
akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala
peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti,
dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam
(1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil
penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain
tidak netral akan mengambil mungkin jantung kelinci atau jantung hewan
lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral
mungkin akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang
yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu
tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value
free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak.
Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara
bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu
hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada
epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian.
Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang
penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang
ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain
netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan
keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia
mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain
tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk
melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.
Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan
mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan
hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti
yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah
menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu
telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja
menggunakan
hasil
penelitian
mereka
untuk
keperluan
apapun
tanpa
pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari
maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa
sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain
netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci
terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori,
sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi
manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain
tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain
tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara
keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua
agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi,
sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru
besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan
untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya
netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi,
sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal
itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbolsimbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain
Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukumhukum logika.
Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada
waktu yang berlainan;
DULU
NORMAL
SCIENCE 1
Netral?
KINI
NORMAL
SCIENCE 2
KRISIS
Netral?
ANOMALI
PARADIGMA 1
KELAK
NORMAL
SCIENCE 3
KRISIS
Netral?
ANOMALI
PARADIGMA 2
PARADIGMA 3
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal
muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam
perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat
diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini
menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga
akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah
dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu
tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita
tahu bahwa metode andalan bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah
observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan
penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut
cara
berpikir
Empirisisme
penginderaan
adalah
modal
fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan
Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan
akan berubah setelah terjadi anomali. Kini pertanyaannya ialah: Mengapa
pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama
dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa
di depan mata manusia itu ada lensa yang memfilter penglihatan lensa itu
dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata
Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya
yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu
kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu
sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang
manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai
oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang
tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal
inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya
lapisan ozon.
Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi,
dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain
Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya
sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena
itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.
Krisis Sain Modern
Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn.
Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam
Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999,
Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The Crisis of Modern Science.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western
Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis of Modern
Science.
Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang
sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality,
dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya
pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang
sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.
ecological crisis.
Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang
merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat tahu;
yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan
jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.
Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku
ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak
linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena
tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini,
berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada
geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia
adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti
penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu.
Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan
jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan
oleh manusia.
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya.
Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun
teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas
seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti
teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini
sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu
menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori
lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak
juga
menggantinya
dengan
teori
baru,
ia
hanya
merevisi,
ia
hanya
BAB 3
PENGETAHUAN FILSAFAT
Pada bab ini dibicarakan antologi, epistemologi dan aksiologi filsafat.
Ontologi membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi
membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.
Aksiologi
mendiskusikan
masalah
kegunaan
filsafat
dan
cara
filsafat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah
netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral (value
dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry
(Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan
yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang
penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti
yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia diperoleh
dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).
Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya.
Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil
pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap.
Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate
been answered to the satisfication of all that have asked them. Namun, dengan
mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah
menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat
kembali matrik itu) bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu
pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik; pengetahuan
filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Jika Anda orang pemula
dalam filsafat pegang saja ini.
2. Struktur Filsafat
Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul
banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis,
itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan
struktur filsafat.
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:
Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,
misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika,
Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup
satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh
pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi
hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna
pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka
struktur filsafat.
Salah satu filsafat yang masih baru ialah Filsafat Perennial. Karena baru,
filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.
Filsafat Perennial1
Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin
Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat
Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998
soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan
kahir
kehidupan
manusia.
Dengan
demikian,
maka
Filsafat
Perennial
memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan
Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa
yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya
melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini
oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat,
1995:xxix).
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya
mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah
metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu
wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya
karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak
terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur dalam manusia.
Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara
mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan
pembicaraan tentang proses batin manusia menangkap Realitas Absolut itu.
Metafisika. Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi
tertata secara hirarkis (Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion,
1975:19). Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya
naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia (Houston Smith, Beyond Post-
Modern, 1979:8).
Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan
ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari
body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta
dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit
yang dalam Islam disebut al-Haqq (Komaruddin Hidayat, 1995:xxxii). Karena
adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.
Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya)
adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh pendakian dan
tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa
yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang
yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit
dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang
tampak?
Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai
analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna
(cave man) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50).
Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu
yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan
dengan bayangannya.
Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia
yang tidak dilengkapi dengan cahaya akan terus berkutat pada bentuk tertentu
dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan cahaya itulah
manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia
lihat sekarang.
Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu
kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak
mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda,
benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi.
Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan
cahaya. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.
Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui
pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi,
durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat Komaruddin
Philosophy, 1971:101).
Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di
atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi
tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang
lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia
Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi
Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah
Tuhan.
Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila
tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai
dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat
pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas
berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan
menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real
melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.
lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat
Barat Abad XX, 1983:58).
Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi dalam manusia, Filsafat
Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang
bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang
keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari
keterbatasannya.
Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang
secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau
menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai
pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini
dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia
akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh,
yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni
kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang
sempurna (Houston Smith, 1979:18).
Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam
menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada
kemampuan akal itu.
Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup
menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu.
Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk.
Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya
meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin
ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan
sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada
dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain.
Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin
ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada. Cobalah lihat lagi matrik kita pada
Bab 1.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan)
cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat
kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari
pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan)
cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh
kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau
diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof
bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi
persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal
telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas
kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi.
Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus
tunduk pada keyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi.
Sejak Descartes, tokoh pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi
filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sumnya berusaha melepaskan
filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini
filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat
yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:254).
Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing.
Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah
dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal
tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem
matematika dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksiomaaksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia
dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes
meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang
nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di
bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang
edan itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin,
menjajakan pemikiran ini di Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing
mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai
pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik hadirnya dan akal telah berjaya
(Lihat Durant, 1959:255).
David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan ini. Ia
menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan datang waktunya
manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya?
Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil dengan
argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten. Pengetahuan kita datang dari
pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu.
Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu
materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah asal usul pemikiran, maka
kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kita Uskup George Berkeley (1684-1753) analisis Locke
itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak ada. David Hume seorang
Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama
dengan kita mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara internal.
Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu organ yang memiliki
idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea.
Hasilnya,
Hume
sudah
menghancurkan
mind
sebagaimana
Barkeley
menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya
berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila Anda
mendengar kata-kata begini: No matter never mind. Semua ini gara-gara akal.
Akal telah digunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu. Di lain
pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan
masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia bekerja
berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanya disebut
Logika. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapat
menerima kebenarannya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? Dengan berpikir
secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek
pemikirannya sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian
di belakang objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak
sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu
dikatakan mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda
tanya. Dia tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui
sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu
mendalam bagi orang lain.
Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini
tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu.
Inilah yang disebut mendalam. Tetapi itupun mempunyai rentangan. Sebagaimana
hal abstrak di belakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan
banyak tergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Saya misalnya
mengetahui bahwa gula rasanya manis (ini pengetahuan empirik); dibelakangnya
saya mengetahui bahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang mengatur
demikian. Ini pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi baru satu langkah. Orang lain
dapat mengetahui bahwa hukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Ini sudah
langkah kedua, lebih mendalam daripada sekedar mengetahui adanya hukum.
Orang lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui
bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagi misalnya
mengetahui di belakang fakta empiris itu dapat bertingkat-tingkat, dan itu
menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya
mungkin dapat dikatakan begini: berpikir mendalam inilah berpikir tanpa bukti
empirik.
Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu diperdebatkan oleh ahli akal
dan orang-orang yang secara intensif menggunakan akalnya. Kerja akal, yaitu
berpikir mendalam, menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teoriteori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai kebenarannya amat rendah? Tidak
juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa yang kita
gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat
diragukan hakikata keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apa yang disebut
filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini
digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnya oleh
filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum diketahui secara jelas
identitasnya.
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya
pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.
Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut bukti empiris
untuk membuktikan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan
yang logis dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan sain.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran
logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan
(teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi
data pada pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi,
konklusi itulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada
kekuatan argumen, bahkan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi
kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan
bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh
argumennya.
C. Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan
kedua cara filsafat menyelesaikan masalah.
1. Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Apa guna pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat? Tidak setiap
orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi
dalam membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia
dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat.
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan
melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat,
philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang
menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
Kegunaan Filsafat bagi Akidah2
Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan.
Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran
Islam sangat penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas
akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti
ini berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim
haruslah kuat, dengan kuat akidah akan kuat pula keislamannya secara
keseluruhan. Untuk memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua
hal, pertama mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh,
kedua mempertajam pengertian ajaran Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat
dengan pengalaman dan pemahaman (ajaran Islam). Dapatkah filsafat
memperkuat pemahaman kita tentang Tuhan?
Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk
membuktikan adanya Tuhan. Dalam bukunya Summa Theologia ia berhasil
penyusun lima argumen tentang adanya Tuhan.
Diadopsi dari makalah M. Fahrudin Kaha, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998
Pertama, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin
berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan
adalah Penggerak Pertama.
Kelima, argumen teologis. Ini adalah argumen tujuan. Alam ini bergerak
menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu Yang
Mengatur alam menuju tujuan Alam. Itu adalah Tuhan (lihat Ahmad Tafsir,
alam itu dilihat secara keseluruhan, akan tetapi itupun tidak kuat untuk dijadikan
bukti adanya Sang Pengatur. Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal
teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1997:162).
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal
logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof,
seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti
akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat
adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu
melawannya.
Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan filsafat bagi
pengembangan hukum islami.
Kegunaan Filsafat bagi Hukum3
Istilah hukum islami sering rancu. Kadang-kadang hukum islami itu
diartikan syariah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang dimaksud di sini ialah fikih.
Fikih secara bahasa berarti mengetahui. Al-Quran menggunakan kata
al-fiqh dalam pengertian memahami atau paham. Pada zaman Nabi Muhamamd
SAW kata al-fiqh itu tidak hanya berarti paham tentang hukum tetapi paham
dalam arti umum. Faqiha artinya paham, mengerti, tahu.
Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushul
al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Sementara di kalangan pakar fikih, alfiqh dipahami sebagai kumpulan hukum islami yang mencakup semua aspek
syariy baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap
sesuatu teks. Itulah sebabnya di kalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah
dipahami sebagai teks syariy yakni Al-Quran dan al-Sunnah yang tetap dan tidak
pernah mengalami perubahan.
Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis
besarnya mencakup tiga unsur pokok. Pertama, perintah seperti sholat, zakat,
puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan musyrik, zina dan
sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya.
Diadopsi dari makalah Didi Mashudi, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998
Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut sifatnya, ia dapat
dibagi dua. Pertama, bersifat tetap, tidak berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti
sebagai aqidah dan seluruh ibadah mahdhah; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku
padanya. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu,
inilah bidang ijtihad.
Tujuan
utama
diturunkannya
hukum islami
(fikih)
ialah
untuk
fiqh) itu dibuat berdasarkan teori-teori filsafat. Karena itu manthiq (mantik,
logika) amat penting bagi ulama ushul al-fiqh.
Selain itu dalam ushul al-fiqh filsafat berguna juga dalam menafsirkan teks
dan memberikan kritik ideologi.
Dalam menafsirkan teks wahyu atau teks hadis yang akan dijadikan
sumber aturan hukum. Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan
Diadopsi dari makalah Tarmana Abdul Qasim, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998
hurf mungkin dipengaruhi oleh pembagian Aristoteles kata benda, kata kerja dan
adat. Kedua, munculnya Nahwu Siryani pada sekolah Nashibayn pada abad ke-6
Masehi bersamaan dengan munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam berpikir.
Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika, 1994:194). Pertama,
kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam menetapkan sifat pada
bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti Setiap kapal perang suatu negara
telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah siap tempur atau Mur
ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan pula, Kedua, kekeliruan dalam
pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan
maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, Kompleks
perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah kamar-kamar
tidurnya luas juga, Ketiga, kekeliruan karena tekanan. Ini terjadi dalam
pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan.
Misalnya, Karena kekenyangan ia tertidur, bila tekanan pada kekenyangan
(karena kekenyangan ia tertidur) maka arti kalimat itu akan berbeda dari kalimat
yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek. Keempat, kekeliruan
karena amfiboli. Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai arti ganda.
Contohnya seperti Mahasiswa yang duduk di kursi paling depan Mahasiswa
yang paling depan atau kursinya, dua-duanya mungkin.
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam menentukan kausalitas
bahasa. Tanpa peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin
dapat diperbaiki.
Selain itu perkembangan berpikir atau filsafat akan diikuti oleh
perkembangan bahasa. Kata al-muruah asalnya ialah al-maru yang berarti
seorang lelaki tulen (al maru al-muktamil). Jadi kata itu hanya menunjukkan pada
seseorang. Tetapi dalam filsafat kata itu sudah mengandung banyak arti seperti
potensi, kekuatan, semangat, perasaan, lelaki, pemberani, amanah dan lain-lain.
Kata al-aql arti awalnya ialah tali, alat pengikat. Kata Nabi SAW iqilha wa
tawakkal, ikat untamu lalu tawakkal. Iqil dari kata al-aql. Dalam filsafat, akal
memiliki pengertian jauh lebih luas daripada itu. Kata akidah (aqidah) demikian
juga.
Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa filsafata berhubungan dengan
bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan
filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.
Kesimpulannya: filsafat berguna bagi bahasa.
2. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya
sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai
metode dalam memandang dunia (world show).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya
kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada
banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana
sampai yang rumit.
Ada rapat di sebuah RT, yang dibicarakan masalah keamanan. Pak Ketua
RT menyatakan bahwa akhir-akhir di kampung kita banyak pencurian, tidak
seperti biasanya. Menanggapi itu hampir semua orang yang hadir mengusulkan
agar ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang awam menyelesaikan
masalah.
Di situ ada seorang yang berpendapat lain. Ia bertanya apa saja barang
yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada pukul berapa biasanya terjadi. Lantas
ia mengusulkan selain menggiatkan ronda, sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia
melakukan identifikasi lebih dahulu, lantas ia melihat penyebab lebih mendasar.
Ia pikir, bila perondanya bermoral buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang
mencuri. Orang ini ilmuwan. Kira-kira beginilah penyelesaian Sain. Filsafat pun
memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam
dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari
asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan
seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.
Banyak orang Islam tidak menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya
tentang kebebasan seks. Mereka mengatakan kebebasan seks harus diberantas. Ini
penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita mengusulkan perketat
masuknya informasi dari Barat terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau
kita mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum puas dengan penyelesaian
itu. Lalu bagaimana?
Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul
dari paham Hedonisme. Maka kita perangi paham itu. Filosof lain belum juga
puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme
itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan
Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang
paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu
penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya.
Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa
Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.
Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang
paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada
akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang
merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.
Bonus
Tulisan berikut ini tidak lagi masuk Bab Aksiologi. Ini merupakan konsep-konsep
tercecer. Dikumpulkan di sini karena dirasa perlu, diberi judul bonus.
Cara Orang Umum Menilai
Ada tiga cara orang menilai suatu pendapat atau pernyataan. Pertama, ia menilai
berdasarkan ketidaktahuan tentang itu, ketidaktahuannya itulah yang dijadikannya
ukuran. Kedua, menilai dengan menggunakan pendapatnya sebagai ukuran.
Ketiga, menilai dengan menggunakan pendapat umumnya pakar sebagai alat ukur.
Sebagai contoh, ada orang mengatakan bahwa jin dapat disuruh. Orang
tipe pertama langsung menyatakan itu tidak mungkin dan alasannya ialah
memang ia tidak tahu bahwa jin dapat disuruh melakukan sesuatu.
Ketidaktahuannya (dalam hal ini bahwa jin dapat disuruh) yang dijadikan alasan
menolak
pernyataan
itu.
Anehkan?
Menolak
pendapat
dengan
alasan
Netralitas Filsafat
Tatkala menjelaskan netralitas sain kita berkesimpulan seharusnya sain itu tidak
netral artinya sain itu seharusnya tidak bebas nilai. Filsafat bagaimana?
Ada berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan mengenai pertanyaan
itu. Pertama, dalam filsafat ada Filsafat Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah
cabang filsafat yang khusus membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena
etika membicarakan nilai maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah
mungkin nilai yang digunakan dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap
saja ia tidak netral karena ia telah membicarakan buruk dan baik.
Kedua, filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka
tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil
pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti sain
tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan disusun
berdasarkan pemikiran peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam.
Kamus Umum Bahasa Sunda, Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.
TENTANG PENULIS
AHMAD TAFSIR, lahir di Bengkulu tahun 1942. Pendidikannya diawali
di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan sekolah di PGA
(Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta. Selanjutnya belajar di Fakultas
Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum tahun
1969. Tahun 1975-1976 (selama 9 bulan) mengambil Kursus Filsafat di IAIN
Yogyakarta. Tahun 1982 mengambil Program S-2 di IAIN Jakarta. Tahun 1987
sudah menyelesaikan S-3 di IAIN Jakarta juga.
Sejak tahun 1970, Tafsir mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung,
sampai sekarang. Tahun 1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan ini mempelopori
berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sejak Januari 1997
diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung.
Karya tulisnya tersebar pada berbagai media. Umumnya menulis tentang
pendidikan dan filsafat. Akhir-akhir ini kerap juga menulis tentang tasawuf. Buku
terakhir ini, Filsafat Ilmu: Menuju Pengetahuan Mistik ialah salah satu kajian
beliau tentang mistik. Buku lain yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat
Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosdakarya, Bandung cetak
ulang kesembilan Februari, 2001; Metodologi Pendidikan Agama Islam,
Rosdakarya Bandung, sudah cetakan keenam; Ilmu Pendidikan dalam Perspektif