PENDAHULUAN
Psychiatric Association
(APA,
2000)
dalam
DSM-IV-TR
(Dipasquale, 2009). Hal itulah yang diyakini terbentuk pada anak dengan
oppositional defiant disorder (theraplay institute, 2012). Penelitian yang
dilakukan Devito dan Hopkins (2001) dengan melibatkan anak usia prasekolah sebagai subyeknya mendapatkan kesimpulan bahwa insecure
attachment yang terbentuk antara anak dan orangtua menjadi faktor risiko
munculnya perilaku disruptive, berupa perilaku oposisi, melawan, dan
memberontak. Lebih lanjut, anak dengan orangtua yang tidak hangat dan tidak
memiliki aturan yang jelas ketika di rumah identik dengan munculnya perilaku
oposisi pada anak (Research Triangle Institute dalam Miller, 2005).
Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak kekhawatiran telah
dikemukakan oleh orang tua maupun staf pendidikan dalam hal peningkatan
anak-anak yang menunjukkan perilaku menantang dalam kelas. Setiap kelas
memiliki setidaknya beberapa siswa yang memiliki perilaku yang menantang
dan sulit untuk diatur. Siswa dengan ODD sering memiliki kesulitan perilaku
yang signifikan sebagai akibat dari minimnya kontrol diri mereka, yang
berdampak negatif terhadap kinerja sosial dan akademis mereka (Harada et
al,2002).
Ketika seorang anak dengan perilaku menantang datang ke dalam
kehidupan mereka, orang tua sering menemukan diri mereka pada kerugian,
tidak dapat membalikkan keadaan atau membantu anak berperilaku tepat.
Seringkali mereka merasa kewalahan, frustrasi dan dikalahkan. Sumber
frustasi terbesar bagi sebagian orang tua maupun guru iasanya berpusat pada
perilaku siswa. Seringkali orang tua dan guru mencari cara yang praktis dan
dilengkapi dengan alat-alat yang dapat diterapkan untuk mendukung anakanak menantang dan mengupayakan merka tidak mengganggu temantemannya dengan berperilaku agresif.
Pada sejumlah penelitian tentang ODD menunjukkan bahwa sebagian
besar menyatakan bahwa jika ODD tidak diobati dapat menyebabkan masalah
perkembangan ODD lebih lanjut dan menjurus pada perilaku antisosial (Reid,
Webster-Stratton dan Hammond, 2003; Lahey dkk, 1994; Lahey, Loeber,
Quay, Frick dan Grimm, 1992). Oleh karena itu, sangat penting bahwa anak-
anak ini secara khusus harus diberikan penanganan untuk mengontrol dan
mengelola mereka salah satunya adalah terapi perilaku Sandplay.
Terapi Sandplay adalah metode psikodinamik berakar pada teori Jung
yang digunakan dengan klien dengan berbagai menyajikan masalah. Awalnya,
Sandplay secara eksklusif digunakan dengan anak-anak, namun saat ini telah
diperluas untuk mengobati orang dewasa, keluarga, pasangan, dan kelompok.
Meskipun alat untuk metode ini sederhana, termasuk pasir, nampan, dan
tokoh-tokoh miniatur; Sandplay termasuk teknik yang rumit yang harus
dipelajari baik didactically dan berdasarkan pengalaman untuk dilaksanakan
tepat dengan klien.
Terapi perilaku Sandplay telah banyak diteliti dan sekarang dianggap
sebagai intervensi terapeutik yang mendukung dan efektif dalam membantu
orang dewasa dan anak-anak yangm engalami trauma. Namun, penelitian kecil
telah dilakukan dalam menggunakan sandplay sebagai alat terapi suportif pada
anak-anak dengan ODD, atau menunjukkan symptomology dari ODD. Oleh
karena itu, penyusun merasa bahwa ada kebutuhan untuk penelitian di bidang
ini, dalam rangka memberikan informasi yang relevan tentang pendekatan
alternative untuk mengelola perilaku menantang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui terapi komplementer yaitu pemberian terapi sandplay pada anak
dengan perilaku oppositional defiant disorder (ODD)
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Konsep oppositional defiant disorder (ODD)
b. Mengetahui konsep terapi komplementer yaitu pemberian terapi sandplay
BAB II
TINJAUAN TEORI
dengan ODD
oleh tiga hal utama yaitu faktor individu, faktor keluarga, dan faktor
lingkungan yang buruk.
a. Faktor individu
Anak yang memiliki temperamen yang difficult cenderung tampil
sebagai anak yang sangat aktif, sulit ditenangkan, sangat sensitif
terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan, dan lebih sering
menunjukkan mood yang negatif. Penelitian yang dilakukan oleh
Caspi dan kawan kawan (1995) menemukan bahwa anak yang
teridentifikasi memiliki temperamen yang difficult di usia 3 tahun,
secara signifikan menunjukkan perilaku conduct di usia 15 tahun.
Selain itu, perilaku yang ditampilkan oleh anak dengan temperamen
difficult memunculkan reaksi negatif dari orangtua. Hal itu
menyebabkan terbentuknya interaksi yang buruk antara anak dan
orangtuanya. Interaksi yang buruk antara anak dan orangtua diyakini
dapat memicu munculnya gangguan oposisi pada anak di kemudian
hari (Renk, 2007). Selain berkaitan dengan temperamen, munculnya
perilaku ODD disebabkan oleh distorsi sosial-kognitif yang dialami
anak (Foulkrod & Davenport, 2010). Anak cenderung menilai situasi
sosial yang ambigu atau netral sebagai situasi yang mengancam
sehingga anak menampilkan periylaku agresif sebagai respon dari
situasi yang sedang dihadapi. Menurut Dodge (dalam Foulkrod &
Davenport, 2010) terjadinya bias pada pemrosesan informasi sosial
disebabkan adanya kombinasi antara pengalaman anak yang pernah
mengalami kekerasan (biasanya anak dengan sejarah abuse) dan
pembentukan insecure attachment antara anak dan pengasuhnya.
b. Faktor Keluarga
Menurut Rohner (dalam Miller, 2005), faktor keluarga, termasuk di
dalamnya pola asuh yang diterapkan oleh orangtua serta hubungan
antara anak dan orangtua, merupakan faktor resiko yang paling
komprehensif yang dapat menjelaskan munculnya perilaku oposisi
pada anak. Pola asuh yang cenderung keras, yaitu dengan pemberian
hukuman fisik, berkorelasi tinggi dengan munculnya gangguan oposisi
pada anak (Mash & Wolfe, 2005; Wenar & Kerig,2005). Sebaliknya,
pola asuh yang cenderung tidak memiliki batasan yang jelas dan
menuruti kemauan anak juga dapat memperkuat munculnya perilaku
oposisi pada anak. Ketika orangtua memiliki hubungan yang buruk
dengan anaknya, terbentuk insecure attachment di antara keduanya
sehingga menyebabkan munculnya perilaku oposisional pada anak
(Burke, Loeber, & Birmaher, 2002; Kazdin dalam Miller, 2005).
Menurut Dipasquale (2009), perilaku oposisional yang tampil pada
anak merupakan salah satu bentuk usahanya untuk mendapatkan rasa
aman akibat pandangannya mengenai dunia yang dinilai tidak aman
dan tidak akan ada orang yang mau merawatnya. Hal tersebut
ditegaskan oleh Devito dan Hopkins (2001) bahwa insecure attachment
yang terbentuk antara anak dan orangtua menjadi faktor risiko bagi
munculnya perilaku disruptive, yaitu kombinasi antara perilaku
oposisional dan bermusuhan, pada anak usia pra-sekolah.
c. Faktor Lingkungan
Anak melakukan modelling perilaku agresif dari lingkungan
sekitarnya, misalnya lingkungan rumah yang tidak kondusif.
Huesmann, Moise, Podolski, dan Eron (2003) dalam penelitian
longitudinalnya menemukan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh
media. Selain itu, lingkungan rumah dan sekolah juga menjadi faktor
resiko munculnya perilaku disruptif, salah satunya perilaku oposisi
pada anak (Matthys & Lochman, 20120). Lingkungan rumah yang
terekspos dengan kekerasan dapat meningkatkan frekuensi munculnya
perilaku agresif pada anak (Colder dalam Matthys & Lochman, 2010).
Menurut Matthys dan Lochman (2010), lingkungan sekolah. seperti
karakteristik guru yang cenderung mengkritik dan memberikan
hukuman kepada muridnya serta banyaknya siswa dalam satu kelas
yang menampilkan perilaku agresif, dapat meningkatkan kemungkinan
B. Sand Play
1. Definisi
Menurut Malinda & William (2000), terapi pasir merupakan teknik
psikoterapeutik yang memungkinkan pasien menyusun benda kecil dalam
kotak berisi pasir dan membangun 'dunia pasir' berdasarkan dimensi dunia
realitasnya. Satu metode yang mana gambar dihasilkan pada pasir yang
basah atau kering sementara terapis duduk diam di tepi seperti tidak
melakukan apa-apa.
Terapi nonverbal seperti terapi pasir ini adalah yang paling efisien untuk
mengakses dan melepaskan perasaan tidak sadarkan diri dan pengalaman
menyadarkan pasien di mana pasien dapat sembuh. Terapi ini bisa
dilakukan pada anak-anak, remaja, orang dewasa, keluarga, pasangan dan
juga secara berkelompok.
Perasaan anak dinyatakan dalam perilaku mereka terutama perilaku mulai
untuk mengganggu orang lain atau mengganggu kehidupan keluarga
dalam beberapa cara. Bermain dengan pasir memberikan anak-anak
kesempatan untuk mengekspresikan kehidupan perasaan mereka dalam
gerakan, suara, simbol dan gambar. Maka hal ini sandplay dikenal sebagai
modalitas teraputik untuk anak-anak dan orang dewasa. Terapi pasir
mampu mentransfer pengalaman pribadi ke bentuk beton dan tiga dimensi.
Disamping menyatakan perasaan, emosi dan masalah dan meningkatkan
kesadaran diri dan komunikasi
Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi pasir adalah satu proses yang
ekspresif dan dinamis, kesadaran diri, pengalaman emosi dan komunikasi
ditingkatkan oleh proses ini.
2. Sejarah Terapi Pasir
Sejarah terapi pasir dimulai pada tahun 1920-an. Terapi ini telah dipelopori
oleh Dora Klaff yang menekankan ruang yang bebas dan aman. Kalff
mengakui bahwa terapi ini memiliki obat alami bagi anak-anak dan
memberikan anak-anak tentang realitas kehidupan sehari-hari.
Penggunaan pasir di dalam proses teraputik dimulai dengan pediatrik
Inggris, Margaret Lowenfield, akhir 1920-an (boik & Goodwin, 2000).
Berdasarkan kepada boik dan Goodwin (2000), "tujuannya adalah untuk
menemukan media yang mampu memberikan atraksi yang menarik bagi
anak anak dan menyediakan kemampuan yang tepat yang mana pengamat
dan anak anak dapat berkomunikasi sewaktu anak anak sedang melakukan
terapi.
gambar
hasil
bekas
tersebut
untuk
b) Hal ini karena pakai yang telah dipakai kotor dan dapat
menyebabkan infeksi bakteri pada anak-anak.
2) Keamanan Selama Menggunakan Pasir
a) Pasir yang digunakan harus bersih dan terhindar dari bendabenda tajam.
b) Dikhawatirkan juga pasir yang digunakan dari pasir yang kotor
yang memiliki sisa makanan, sampah dan juga kotoran
binatang. Oleh karena itu pasir yang digunakan harus halus dan
tidak melukai murid-murid.
3) Pasir yang digunakan diletakkan di dalam wadah kayu yang telah
dibangun seperti segi empat.
4) Pemilihan alat permainan untuk ditempatkan di dalam kotak pasir
harus sesuai dengan judul yang ingin diajarkan pada waktu tersebut
dan tidak membahayakan murid.
5) Jika murid-murid membuat lukisan atau bangunan di atas pasir,
terapis perlu membuat pertanyaan kepada anak tentang lukisan atau
bangunan tersebut sehingga anak dapat mengekspresikan diri,
berkomunikasi serta menyampaikan ide dan pandangan mereka.
BAB III
JURNAL DAN PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP
Secara keseluruhan, perawat dan orang tua harus memiliki pengetahuan terhadapa
gejala ODD pada anak dan diharapkan semakin dikembangan terapi sandplay
sebagai salah satu alternative penanganan anak dengan ODD. Terapi dapat
dilakukan di sekolah atau di luar sekolah. Ini dapat dilakukan secara kelompok
maupun individu untuk meningkatkan kemampuan kognitif, efektif, psikomotor
dan sosial anak.