Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari, anak terkadang menolak perintah yang
diberikan kepadanya (Matthys & Lochman, 2010). Misalnya, ketika orangtua
meminta anak membereskan mainannya setelah bermain, anak menolak
melakukan perintah tersebut. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, perilaku
menolak perintah akan semakin berkurang. Menurut Matthys dan Lochman
(2010), ketika perilaku tersebut muncul dalam berbagai setting dengan
frekuensi yang sering dan memberikan dampak negatif bagi lingkungannya,
perilaku tersebut menjadi perhatian klinis.
Perilaku mengganggu yang tergolong masalah klinis dapat digolongkan
menjadi dua yaitu oppositional defiant disorder (ODD) dan conduct disorder
(CD) (APA, 2000). ODD biasanya tampil pada anak yang lebih muda dan
dapat berkembang menjadi CD ketika tidak mendapatkan intervensi dini.
American

Psychiatric Association

(APA,

2000)

dalam

DSM-IV-TR

menyatakan bahwa oppositional defiant disorder adalah pola perilaku


negativistic yang berulang, memberontak, melawan, dan perilaku bermusuhan
terhadap figure otoritas, yang menetap sekurang-kurangnya 6 bulan. Anak
dengan ODD cenderung menolak untuk diarahkan sebagai manifestasi dari
perilaku memberontak. Ia juga tidak mau mengikuti perintah dari figur
otoritas. Selain itu, anak dengan ODD tidak hanya menunjukkan agresi verbal,
tetapi juga agresi fisik yang frekuensi dan intensitasnya dianggap tidak lebih
mengkhawatirkan dibandingkan conduct disorder (Greene & Doyle, 1999).
Anak dengan ODD biasanya tidak menyadari bahwa dirinya berperilaku
oposisi. Anak menganggap perilakunya itu adalah bentuk respon dari tuntutan
atau kondisi yang dianggapnya tidak layak. Wenar dan Kerig (2005)
menyatakan bahwa ODD adalah perkembangan kontinum dari anak normal

yang menolak mematuhi perintah orangtua. Hal itu memunculkan masalah


perilaku yang pada awalnya normal terjadi pada anak-anak namun
berkembang secara menetap.
Menurut Mash dan Wolfe (2005), terbentuknya perilaku ODD
disebabkan oleh tiga hal utama yaitu berasal dari faktor individu, faktor
keluarga, dan faktor lingkungan yang buruk. Faktor individu berkaitan dengan
temperamen anak yang cenderung difficult dan adanya distorsi kognitif pada
anak dalam menilai situasi sosial sehingga cenderung mengintepretasi hal
yang terjadi di lingkungan sebagai sesuatu yang mengancam. Faktor keluarga
berkaitan dengan pola asuh orangtua yang cenderung mengabaikan anak atau
justru otoriter, serta stres dan konflik orangtua. Faktor lingkungan berkaitan
dengan perilaku anak yang meniru perilaku agresif dari lingkungan sekitarnya.
Menurut Rohner (dalam Miller, 2005), faktor keluarga, termasuk di
dalamnya hubungan antara anak dan orangtua serta pola asuh yang diterapkan
oleh orangtua, merupakan faktor risiko yang paling komprehensif yang dapat
menjelaskan munculnya masalah perilaku oposisi pada anak. Hal itu juga
ditegaskan oleh Burke, Loeber, dan Birmaher (2002) bahwa faktor utama yang
menjadi penyebab munculnya perilaku oposisi adalah hubungan yang buruk
antara anak dan orangtua. Hubungan yang buruk antara anak dan orangtua
ditandai salah satunya dengan tidak adanya kehangatan yang ditunjukkan oleh
orangtua kepada anak dan perilaku orangtua yang cenderung tidak responsif
terhadap kebutuhan anak. Ketika orangtua tidak responsif terhadap kebutuhan
anak dan tidak menunjukkan afeksi kepada anak, dapat terbentuk insecure
attachment pada anak.
Menurut Bowlby (dalam Levy, 2000) attachment merupakan ikatan
afeksi yang kuat dengan karakteristik adanya kecenderungan untuk mencari
dan mempertahankan kedekatan dengan seorang figure yang spesifik, terutama
ketika berada dalam situasi yang menimbulkan stres. Ketika anak membentuk
insecure attachment, anak akan merasa bahwa dunia bukanlah tempat yang
aman baginya. Konsekuensinya, anak akan berusaha memegang kendali atas
apa yang terjadi di sekitarnya dan menolak mengikuti perintah dari orang lain

(Dipasquale, 2009). Hal itulah yang diyakini terbentuk pada anak dengan
oppositional defiant disorder (theraplay institute, 2012). Penelitian yang
dilakukan Devito dan Hopkins (2001) dengan melibatkan anak usia prasekolah sebagai subyeknya mendapatkan kesimpulan bahwa insecure
attachment yang terbentuk antara anak dan orangtua menjadi faktor risiko
munculnya perilaku disruptive, berupa perilaku oposisi, melawan, dan
memberontak. Lebih lanjut, anak dengan orangtua yang tidak hangat dan tidak
memiliki aturan yang jelas ketika di rumah identik dengan munculnya perilaku
oposisi pada anak (Research Triangle Institute dalam Miller, 2005).
Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak kekhawatiran telah
dikemukakan oleh orang tua maupun staf pendidikan dalam hal peningkatan
anak-anak yang menunjukkan perilaku menantang dalam kelas. Setiap kelas
memiliki setidaknya beberapa siswa yang memiliki perilaku yang menantang
dan sulit untuk diatur. Siswa dengan ODD sering memiliki kesulitan perilaku
yang signifikan sebagai akibat dari minimnya kontrol diri mereka, yang
berdampak negatif terhadap kinerja sosial dan akademis mereka (Harada et
al,2002).
Ketika seorang anak dengan perilaku menantang datang ke dalam
kehidupan mereka, orang tua sering menemukan diri mereka pada kerugian,
tidak dapat membalikkan keadaan atau membantu anak berperilaku tepat.
Seringkali mereka merasa kewalahan, frustrasi dan dikalahkan. Sumber
frustasi terbesar bagi sebagian orang tua maupun guru iasanya berpusat pada
perilaku siswa. Seringkali orang tua dan guru mencari cara yang praktis dan
dilengkapi dengan alat-alat yang dapat diterapkan untuk mendukung anakanak menantang dan mengupayakan merka tidak mengganggu temantemannya dengan berperilaku agresif.
Pada sejumlah penelitian tentang ODD menunjukkan bahwa sebagian
besar menyatakan bahwa jika ODD tidak diobati dapat menyebabkan masalah
perkembangan ODD lebih lanjut dan menjurus pada perilaku antisosial (Reid,
Webster-Stratton dan Hammond, 2003; Lahey dkk, 1994; Lahey, Loeber,
Quay, Frick dan Grimm, 1992). Oleh karena itu, sangat penting bahwa anak-

anak ini secara khusus harus diberikan penanganan untuk mengontrol dan
mengelola mereka salah satunya adalah terapi perilaku Sandplay.
Terapi Sandplay adalah metode psikodinamik berakar pada teori Jung
yang digunakan dengan klien dengan berbagai menyajikan masalah. Awalnya,
Sandplay secara eksklusif digunakan dengan anak-anak, namun saat ini telah
diperluas untuk mengobati orang dewasa, keluarga, pasangan, dan kelompok.
Meskipun alat untuk metode ini sederhana, termasuk pasir, nampan, dan
tokoh-tokoh miniatur; Sandplay termasuk teknik yang rumit yang harus
dipelajari baik didactically dan berdasarkan pengalaman untuk dilaksanakan
tepat dengan klien.
Terapi perilaku Sandplay telah banyak diteliti dan sekarang dianggap
sebagai intervensi terapeutik yang mendukung dan efektif dalam membantu
orang dewasa dan anak-anak yangm engalami trauma. Namun, penelitian kecil
telah dilakukan dalam menggunakan sandplay sebagai alat terapi suportif pada
anak-anak dengan ODD, atau menunjukkan symptomology dari ODD. Oleh
karena itu, penyusun merasa bahwa ada kebutuhan untuk penelitian di bidang
ini, dalam rangka memberikan informasi yang relevan tentang pendekatan
alternative untuk mengelola perilaku menantang.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui terapi komplementer yaitu pemberian terapi sandplay pada anak
dengan perilaku oppositional defiant disorder (ODD)
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Konsep oppositional defiant disorder (ODD)
b. Mengetahui konsep terapi komplementer yaitu pemberian terapi sandplay

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Oppositional Defiant Disorder


1. Definisi Oppositional Defiant Disorder
Perilaku oposisi merupakan bentuk perilaku menentang yang ditampilkan
oleh anak kepada pengasuh. American Psychiatric Association (APA,
2000) dalam DSMIV-TR menyatakan bahwa oppositional defiant disorder
adalah pola perilaku negativistik yang berulang, memberontak, melawan,
dan perilaku bermusuhan terhadap figur otoritas yang menetap sekurangkurangnya selama 6 bulan.
Perilaku memberontak diekspresikan dengan sikap keras kepala yang terus
menerus, menolak pengarahan, dan tidak mau berkompromi. Perilaku
melawan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tanpa
mengindahkan perintah dan tidak dapat menerima apabila dirinya
disalahkan. Lebih lanjut, perilaku bermusuhan ditunjukan melalui
perbuatan sengaja mengganggu orang lain atau dengan agresi verbal
(biasanya tanpa agresi fisik). Anak dengan ODD biasanya tidak menyadari
bahwa dirinya berperilaku oposisional. Anak menganggap perilakunya itu
adalah bentuk respon dari tuntutan atau kondisi yang dianggapnya tidak
layak.
Yang membedakan oppositional defiant disorder dengan conduct disorder
adalah bahwa dalam ODD tidak ada pelanggaran hak-hak orang lain atau
norma dan aturan sosial termasuk kebohongan, agresivitas, dan mencuri.
Sekalipun menurut APA dinyatakan bahwa anak

dengan ODD

menampilkan perilaku mengganggu hanya dengan agresi verbal, Greene


dan Doyle (1999) menegaskan bahwa anak dengan oppositional defiant
disorder tidak hanya menunjukkan agresi verbal tetapi juga agresi fisik
meskipun frekuensi dan intensitasnya tidak terlalu mengkhawatirkan
dibandingkan conduct disorder. Sejalan dengan pernyataan Greene dan
Doyle, Chandler (2002) menyatakan bahwa oppositional defiant disorder
merupakan gangguan perilaku yang meliputi dua karakteristik masalah

utama yaitu berkaitan dengan agresivitas dan kecenderungan untuk


menganggu orang lain.
Berdasarkan definisi-definisi yang sudah disebutkan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa oppositional defiant disorder merupakan pola
perilaku negativistik yang berulan seperti memberontak, melawan, dan
perilaku bermusuhan terhadap figur otoritas yang diekspresikan tidak
hanya melalui agresi verbal, namun juga melibatkan agresi fisik dengan /
frekuensi dan intensitas yang minimal dibandingkan conduct disorder.
Perilaku tersebut harus menetap sekurang-kurangnya selama 6 bulan.
2. Kriteria Oppositional Defiant Disorder
Simptom yang ditampilkan anak dengan ODD akan menunjukkan
intensitas yang semakin kuat seiring bertambahnya usia. Menurut
Adelman dan Taylor (2008), pada usia early childhood, anak dengan ODD
cenderung menunjukkan perilaku melawan yang ekstrim, menolak ketika
diminta untuk melakukan suatu hal, dan seringkali tantrum. Pada usia
middle childhood, perilaku yang tampil adalah memberontak, menolak
untuk mengikuti aturan yang sudah seharusnya ditaati, seringkali berdebat,
dan mengganggu orang lain dengan sengaja. Ketika memasuki usia
remaja, anak akan semakin sering menampilkan perilaku melawan, selalu
berargumentasi, berusaha berada di dekat orangtua ketika sedang berdebat,
tidak mau berkompromi, menampilkan sikap negatif, dan mudah
terpengaruh untuk mengonsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang.
DSM-IV-TR (APA, 2000) memberikan beberapa kriteria yang harus
dipenuhi agar seorang anak dapat didiagnosis oppositional defiant
disorder, yaitu:
a. Pola perilaku negativistik, bermusuhan, dan perilaku memberontak
yang menetap sekurang-kurangnya 6 bulan, dan minimal ada 4 kriteria
yang dipenuhi:
1) Sering hilang kesabaran.
2) Sering berdebat dengan orang dewasa.

3) Sering menentang secara aktif atau menolak untuk memenuhi


peraturan dan perintah dari orang dewasa.
4) Sering dengan sengaja mengganggu orang lain.
5) Sering menyalahkan orang lain dengan kesalahan dan kelakuan
buruk yang dilakukannya sendiri.
6) Sensitif dan mudah terganggu oleh orang lain.
7) Sering marah dan mudah tersinggung.
8) Sering iri atau pendendam.
b. Gangguan dalam tingkah laku menyebabkan pula gangguan dalam
bidang sosial, akademik, dan pekerjaan.
c. Tingkah laku tidak terjadi secara khusus saat gangguan psikotik dan
gangguan mood.
d. Kriteria tidak berlaku untuk Conduct Disorder, dan, jika individu
berusia 18 tahun atau lebih, kriteria ini tidak berlaku untuk individu
dengan Antisocial Personality Disorder.
Matthys dan Lochman (2010) mencoba melakukan pengelompokkan
berdasarkan simptom yang disebutkan pada DSM IV TR menjadi perilaku
oposisional, disregulasi emosi, kemarahan, perilaku provokatif, dan
perilaku bermusuhan. Perilaku oposisi dan menentang digambarkan
melalui dua simtom yaitu menolak untuk mematuhi perintah orang dewasa
dan berdebat dengan orang dewasa. Disregulasi emosi tergambar dari dua
simtom yang memiliki tingkat keparahan berbeda yaitu perilaku mudah
terganggu yang tergolong pada tingkat keparahan mild dan sering hilang
kesabaran yang tergolong pada tingkat keparahan severe. Kemarahan
digambarkan pada satu simtom yaitu sering marah dan mudah tersinggung.
Perilaku provokatif tergambar dari simtom dengan sengaja mengganggu
orang lain. Perilaku bermusuhan tergambar dari dua simtom dengan
tingkat keparahan berbeda yaitu sering menyalahkan orang lain dengan
kesalahan atau kelakuan buruk yang dilakukannya sendiri pada tingkat
keparahan mild dan sering iri atau pendendam dengan tingkat keparahan
severe.
3. Etiologi Oppositional Defiant Disorder
Menurut Mash dan Wolfe (2005), terbentuknya perilaku ODD disebabkan

oleh tiga hal utama yaitu faktor individu, faktor keluarga, dan faktor
lingkungan yang buruk.
a. Faktor individu
Anak yang memiliki temperamen yang difficult cenderung tampil
sebagai anak yang sangat aktif, sulit ditenangkan, sangat sensitif
terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan, dan lebih sering
menunjukkan mood yang negatif. Penelitian yang dilakukan oleh
Caspi dan kawan kawan (1995) menemukan bahwa anak yang
teridentifikasi memiliki temperamen yang difficult di usia 3 tahun,
secara signifikan menunjukkan perilaku conduct di usia 15 tahun.
Selain itu, perilaku yang ditampilkan oleh anak dengan temperamen
difficult memunculkan reaksi negatif dari orangtua. Hal itu
menyebabkan terbentuknya interaksi yang buruk antara anak dan
orangtuanya. Interaksi yang buruk antara anak dan orangtua diyakini
dapat memicu munculnya gangguan oposisi pada anak di kemudian
hari (Renk, 2007). Selain berkaitan dengan temperamen, munculnya
perilaku ODD disebabkan oleh distorsi sosial-kognitif yang dialami
anak (Foulkrod & Davenport, 2010). Anak cenderung menilai situasi
sosial yang ambigu atau netral sebagai situasi yang mengancam
sehingga anak menampilkan periylaku agresif sebagai respon dari
situasi yang sedang dihadapi. Menurut Dodge (dalam Foulkrod &
Davenport, 2010) terjadinya bias pada pemrosesan informasi sosial
disebabkan adanya kombinasi antara pengalaman anak yang pernah
mengalami kekerasan (biasanya anak dengan sejarah abuse) dan
pembentukan insecure attachment antara anak dan pengasuhnya.
b. Faktor Keluarga
Menurut Rohner (dalam Miller, 2005), faktor keluarga, termasuk di
dalamnya pola asuh yang diterapkan oleh orangtua serta hubungan
antara anak dan orangtua, merupakan faktor resiko yang paling
komprehensif yang dapat menjelaskan munculnya perilaku oposisi

pada anak. Pola asuh yang cenderung keras, yaitu dengan pemberian
hukuman fisik, berkorelasi tinggi dengan munculnya gangguan oposisi
pada anak (Mash & Wolfe, 2005; Wenar & Kerig,2005). Sebaliknya,
pola asuh yang cenderung tidak memiliki batasan yang jelas dan
menuruti kemauan anak juga dapat memperkuat munculnya perilaku
oposisi pada anak. Ketika orangtua memiliki hubungan yang buruk
dengan anaknya, terbentuk insecure attachment di antara keduanya
sehingga menyebabkan munculnya perilaku oposisional pada anak
(Burke, Loeber, & Birmaher, 2002; Kazdin dalam Miller, 2005).
Menurut Dipasquale (2009), perilaku oposisional yang tampil pada
anak merupakan salah satu bentuk usahanya untuk mendapatkan rasa
aman akibat pandangannya mengenai dunia yang dinilai tidak aman
dan tidak akan ada orang yang mau merawatnya. Hal tersebut
ditegaskan oleh Devito dan Hopkins (2001) bahwa insecure attachment
yang terbentuk antara anak dan orangtua menjadi faktor risiko bagi
munculnya perilaku disruptive, yaitu kombinasi antara perilaku
oposisional dan bermusuhan, pada anak usia pra-sekolah.
c. Faktor Lingkungan
Anak melakukan modelling perilaku agresif dari lingkungan
sekitarnya, misalnya lingkungan rumah yang tidak kondusif.
Huesmann, Moise, Podolski, dan Eron (2003) dalam penelitian
longitudinalnya menemukan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh
media. Selain itu, lingkungan rumah dan sekolah juga menjadi faktor
resiko munculnya perilaku disruptif, salah satunya perilaku oposisi
pada anak (Matthys & Lochman, 20120). Lingkungan rumah yang
terekspos dengan kekerasan dapat meningkatkan frekuensi munculnya
perilaku agresif pada anak (Colder dalam Matthys & Lochman, 2010).
Menurut Matthys dan Lochman (2010), lingkungan sekolah. seperti
karakteristik guru yang cenderung mengkritik dan memberikan
hukuman kepada muridnya serta banyaknya siswa dalam satu kelas
yang menampilkan perilaku agresif, dapat meningkatkan kemungkinan

anak menampilkan perilaku negatif seperti perilaku oposisional,


agresif, dan melawan.

B. Sand Play
1. Definisi
Menurut Malinda & William (2000), terapi pasir merupakan teknik
psikoterapeutik yang memungkinkan pasien menyusun benda kecil dalam
kotak berisi pasir dan membangun 'dunia pasir' berdasarkan dimensi dunia
realitasnya. Satu metode yang mana gambar dihasilkan pada pasir yang
basah atau kering sementara terapis duduk diam di tepi seperti tidak
melakukan apa-apa.
Terapi nonverbal seperti terapi pasir ini adalah yang paling efisien untuk
mengakses dan melepaskan perasaan tidak sadarkan diri dan pengalaman
menyadarkan pasien di mana pasien dapat sembuh. Terapi ini bisa
dilakukan pada anak-anak, remaja, orang dewasa, keluarga, pasangan dan
juga secara berkelompok.
Perasaan anak dinyatakan dalam perilaku mereka terutama perilaku mulai
untuk mengganggu orang lain atau mengganggu kehidupan keluarga
dalam beberapa cara. Bermain dengan pasir memberikan anak-anak
kesempatan untuk mengekspresikan kehidupan perasaan mereka dalam
gerakan, suara, simbol dan gambar. Maka hal ini sandplay dikenal sebagai
modalitas teraputik untuk anak-anak dan orang dewasa. Terapi pasir
mampu mentransfer pengalaman pribadi ke bentuk beton dan tiga dimensi.
Disamping menyatakan perasaan, emosi dan masalah dan meningkatkan
kesadaran diri dan komunikasi
Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi pasir adalah satu proses yang
ekspresif dan dinamis, kesadaran diri, pengalaman emosi dan komunikasi
ditingkatkan oleh proses ini.
2. Sejarah Terapi Pasir

Sejarah terapi pasir dimulai pada tahun 1920-an. Terapi ini telah dipelopori
oleh Dora Klaff yang menekankan ruang yang bebas dan aman. Kalff
mengakui bahwa terapi ini memiliki obat alami bagi anak-anak dan
memberikan anak-anak tentang realitas kehidupan sehari-hari.
Penggunaan pasir di dalam proses teraputik dimulai dengan pediatrik
Inggris, Margaret Lowenfield, akhir 1920-an (boik & Goodwin, 2000).
Berdasarkan kepada boik dan Goodwin (2000), "tujuannya adalah untuk
menemukan media yang mampu memberikan atraksi yang menarik bagi
anak anak dan menyediakan kemampuan yang tepat yang mana pengamat
dan anak anak dapat berkomunikasi sewaktu anak anak sedang melakukan
terapi.

3. Manfaat Terapi Pasir


a. Membantu meningkatkan kemampuan mental, emosi dan kesehatan.
b. Membantu meningkatkan lisan dan komunikasi
c. Merangsang pemikiran murid
d. Mengurangi tekanan emosi
e. Membantu meningkatkan keterampilan sosial
f. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
g. Membantu meningkatkan kemampuan motorik halus melalui kegiatan
dalam terapi pasir.
4. Teknik Terapi Pasir
a. Bahan / alat untuk menjalankan terapi pasir
1) Pasir yang bersih
2) Air (dicampurkan dengan garam)
3) Garam
4) 4 sendok garam halus
5) Baskom besar
6) Mangkuk plastik (untuk isi garam)
7) Apron / t - shirt lama
b. Pelaksanaan Terapi Pasir
Ada tiga fase utama bagi terapi pasir yaitu fase sebelum, selama dan
setelah sesi dilakukan.
1) Tahap sebelum sesi

a) Latihan terapi membutuhkan persiapan dari segi penyediaan


kamar yang sesuai dan kondusif untuk kegiatan, persediaan
peralatan terapi dan persediaan anak.
b) Untuk pelaksanaan terapi pasir, lingkungan kamar adalah
sangat penting dalam memungkinkan kebebasan perluahan
perasaan. Ini sesuai dengan konsep utama terapi pasir yang
dipelopori oleh Dora Kalff yang menekankan ruang yang bebas
dan aman.
c) Peralatan utama untuk terapi ini adalah wadah yang berukuran
75cm x 55cm x 20 cm yang berisi pasir. Pemilihan pasir apakah
pasir pantai atau sungai yang memiliki kedalaman 15 cm di
dalam bekas
d) Selain itu, simbol atau miniatur seperti ikan, kerang, bangunan,
batu, peralatan rumah, binatang, manusia dewasa, anak-anak,
pohon, jembatan, perhiasan dan kenderaaan adalah elemen lain
yang diperlukan.
e) Semua alat ini disusun di atas rak dengan rapi untuk
memudahkan anak-anak untuk memilih objek yang disukainya.
Mangkuk kecil juga diperlukan bagi anak-anak yang ingin
membentuk kolam atau sungai.
f) Sikat dan handuk adalah peralatan yang diperlukan bagi anakanak yang ingin membersihkan peralatan dan tangan mereka.
Selain itu, tempat air dan penyemprot air diperlukan untuk
melembabkan pasir yang telah dibangun.
g) Adalah lebih baik juga jika dapat dikombinasikan alunan musik
yang lembut dan relaksasi dapat membantu murid untuk
meluapkan perasaan.
2) Tahap selama sesi terapi
a) Kehadiran ahli terapi selama sesi pelaksanaan harus efektif.
Ahli terapi harus aktif, mendengarkan dengan baik dan
memberikan fokus.
b) Kondisi yang tenang kadangkala efektif saat anak sedang
menyusun objek di dalam wadah pasir.
c) Biasanya anak-anak akan bermain dengan pasir dengan
membentuk lanskap yang diinginkan, diikuti dengan simbol.

Cara susunan mainan tergantung pada apa yang dipikirkan oleh


anak ketika itu.
d) Biasanya, anak-anak lebih nyaman memulai sesi terapi pasir
dengan menciptakan pasir berbagai bentuk seperti pola
geometris, desa, gunung, sungai dan garis-garis kecil. Seperti
bermain pasir di pantai, anak-anak bermain dengan pasir
sambil menyusun objek, menambah jumlah mainan jika perlu,
menggerakkan tangan dan membentuk apapun yang dirasainya
di atas pasir.
e) Pada tahap ini, gambaran dapat dilihat. Ahli terapi dapat
mengajukan pertanyaan atau anak sendiri bercerita tentang
gambaran yang coba dibuat.
f) Ahli terapi dapat menentukan tema misalnya; "Persahabatan".
Selanjutnya dapat menggunakan pertanyaan terbuka seperti:
"Apa yang kamu ciptakan di dalam wadah ini?" Atau:
"Beritahu saya tentang singa, ular atau kuda di dalam dunia
kamu ini?".
3) Setelah Terapi.
a)
Ahli terapi berperan untuk membuat kesimpulan
dengan melihat hasil terapi pasir yang dilakukan anakanak.
b)
Penilaian hasil bekas pasir adalah tergantung kepada
ahli terapi.
c)
Objek kecil seperti binatang bagi anak-anak
biasanya menggambarkan persepsi mereka terhadap
keluarganya serta masalah yang berkaitan dengan
hubungan dan pergaulan.
d)
Lokasi dan susunan objek juga memberi gambaran
tentang pola hubungan.
e)
Untuk setiap sesi terapi juga, ahli terapi harus
mengambil

gambar

hasil

bekas

tersebut

untuk

memudahkan proses interpretasi.


c. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sandplay
1) Penggunaan Pasir
a) Pasir yang digunakan tidak dapat menggunakan pasir yang
telah dipakai.

b) Hal ini karena pakai yang telah dipakai kotor dan dapat
menyebabkan infeksi bakteri pada anak-anak.
2) Keamanan Selama Menggunakan Pasir
a) Pasir yang digunakan harus bersih dan terhindar dari bendabenda tajam.
b) Dikhawatirkan juga pasir yang digunakan dari pasir yang kotor
yang memiliki sisa makanan, sampah dan juga kotoran
binatang. Oleh karena itu pasir yang digunakan harus halus dan
tidak melukai murid-murid.
3) Pasir yang digunakan diletakkan di dalam wadah kayu yang telah
dibangun seperti segi empat.
4) Pemilihan alat permainan untuk ditempatkan di dalam kotak pasir
harus sesuai dengan judul yang ingin diajarkan pada waktu tersebut
dan tidak membahayakan murid.
5) Jika murid-murid membuat lukisan atau bangunan di atas pasir,
terapis perlu membuat pertanyaan kepada anak tentang lukisan atau
bangunan tersebut sehingga anak dapat mengekspresikan diri,
berkomunikasi serta menyampaikan ide dan pandangan mereka.

BAB III
JURNAL DAN PEMBAHASAN

An evaluation of changes in specific behavioural patterns following a series of


sandplay sessions with boys aged 5-6 years demonstrating oppositional defiant
behaviours in the classroom. Kerry Robertson a Canterbury Christ
Church University.
Hasil dan pembahasan
Sesi sandplay menunjukkan bahwa empat dari lima anak membuat beberapa
perbaikan. Tingkat peningkatan bervariasi antara anak-anak dan tergantung pada
awal Beratnya dari perilaku ODD dan dinamika keluarga. Semua peningkatan yang
signifikan, yang dapat dihubungkan dengan perkembangan ego dan diri hal ini
ditunjukkan dengan hasil terapi. Terapi sandplays memiliki tema-tema umum,
khususnya kemampuan untuk mengintegrasikan aspek-aspek negatif dari diri mereka
sendiri dan rasa frustrasi mereka pada dinamika keluarga mereka. Hasil dan
simbolisme yang disajikan dalam nampan ini didukung oleh (1973) tahap Neumann
pembangunan berkonsentrasi pada "Phallic-magic" tahap di mana ego mulai
memiliki aktivitas yang signifikan dengan sendirinya, dan "Magic-suka berperang"
panggung ketika. Neumann menunjukkan bahwa akhirnya ego mengatasi
ketergantungan pada matriarchate itu. Hal ini juga didukung oleh teori tiga tahap
Kalff dunia pembangunan karena mayoritas nampan di mana fokus pada

pertempuran yang ia sebut. Sebagai panggung "Berjuang". Kalff menunjukkan


bahwa selama tahap ini ego mengembangkan dan Anak akan mengalami konflik
batin atau ambivalensi.
Hasil Indicator emosional yang diselesaikan oleh Independent Art Therapist dan oleh
peneliti terutama mendukung satu sama lain dan menghasilkan tanggapan yang sama
dalam hal emosi dan kesimpulan yang sama sehubungan dengan perkembangan,
tidak ada perbaikan atau regresi. Hasil SDQ menunjukkan bahwa semua anak-anak
membuat beberapa perbaikan. Grubbs (2005) juga mengidentifikasi indikasi positif
yang menyarankan sandplay efektifberikut:.
indikator ini adalah sebagai pertumbuhan imajinasi. Kreativitas dan deskripsi verbal
yang lebih kompleks dari adegan pasir berkembang. Penyatuan berlawanan dan
ekspresi aman agresi dalam sandplay yang ilustrasi konflik di dunia luar atau dalam,
dengan kemajuan bertahap melalui proses menghadapi regresi singkat dengan
kembali ke saat ini tingkat pembangunan. Penggunaan konstruktif pasir dengan
kemajuan dalam pengaturan, pola logis, desain dan transisi dari kekacauan struktur.
Pemesanan internal enuju pusat baki, simbolisme yang menggambarkan dalam
kualitas spiritualdan munculnya Diri. Ketika berfokus pada pertumbuhan imajinasi
dan kreativitas dan verbal yang lebih kompleks deskripsi dari adegan berkembang.

BAB IV
PENUTUP

Secara keseluruhan, perawat dan orang tua harus memiliki pengetahuan terhadapa
gejala ODD pada anak dan diharapkan semakin dikembangan terapi sandplay
sebagai salah satu alternative penanganan anak dengan ODD. Terapi dapat
dilakukan di sekolah atau di luar sekolah. Ini dapat dilakukan secara kelompok
maupun individu untuk meningkatkan kemampuan kognitif, efektif, psikomotor
dan sosial anak.

Anda mungkin juga menyukai