Anda di halaman 1dari 9

Pakaian Kita Ketika Sholat

Asy Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman


MUQADIMAH
Pakaian sebagai kebutuhan primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih
ketika kita menghadap Allah di dalam sholat. Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari
segala jenis najis dan menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah
banyak yang memahaminya. Tetapi tentang menutup aurat? Seperti bagaimanakah
pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu sholat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
akan kita kupas pada rubrik ahkam kali ini lewat tulisan Syaikh Masyhur Hasan Salman
dalam sebuah karya beliau yang berjudul Al Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin
(Keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang sholat) yang diterbitkan oleh
penerbit Dar Ibni Qayim, Arab Saudi hal 17-32. Beliau termasuk murid senior Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pakar hadits abad ini yang karya-karyanya sudah
beredar di seluruh dunia dan menjadi rujukan para thalibul ilmi (red).
TASYABUH DALAM BERPAKAIAN
Sebuah riwayat dalam Shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya sampai kepada Abu
Utsman An Nahdi, ia berkata, "Umar pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan
yang isinya: Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan
bukan pula jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di
negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu [1], hindarilah bermewahmewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai sutera."
Dalam Musnad Ali bin Jaad ada tambahan, "pakailah sarung, rida (jubah), dan
sandal serta buanglah selop dan celana panjang pakailah pakaian bapak kalian
Ismail, hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang asing."
(Riwayat Ali bin Jaad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih).
Waki dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Masud radhiyallahu anhu di dalam Az
Zuhd, beliau berkata, "Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa." (Sanadnya
dhaif).
Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam (yang
artinya), "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu." (HSR
Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya).
Dari sinilah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan rakyatnya agar
membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka mengenakan pakaian
yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan memlihara kepribadian mereka
agar jangan condong kepada orang-orang ajam.
Perbuatan tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat ini kepada musuh-

musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya akhlak mereka.
Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang. Perjalanan mereka pun guncang
seperti benda padat yang telah cair, siap dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap
waktu. Bagaimana pun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek.
Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang lain selain
ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan mereka, tidak pula diakui
umat yang mereka tiru dan cintai.
Mungkin timbul pertanyaan: Kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan kebiasaan
atau adat ini sebelum menjadi perkara besar? Jawabannya: Sesungguhnya para ulama
telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi dalam berhadapan dengan kenyataan
bahwa yang mayoritas mengalahkan yang minoritas sehingga upaya para ulama tersebut
tidak banyak memberikan hasil. Banyak dari kaum muslimin merasa pada posisi yang
sulit di tengah-tengah adat dan pakaian kaum musyirikn padahal di antara mereka ada
yang dikenal alim. Mereka inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal
iyadzu billah.[2]
Lebih parah lagi di antara mereka ada yang meninggalkan shalat hanya karena khawatir
pantalonnya berkerat-kerut hingga merusak penampilan. Hal ini banyak kita dengan dari
mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan sunnah di hadapan umat, kami
bawakan beberapa kriteria pakaian sholat yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim
supaya terhindar dari hal-hal tersebut di atas.
PAKAIAN DALAM SHOLAT
Kriteria tersebut adalah:
1. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk aurat.
Mengenakan pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya
berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat pemakainya
tidak dapat sujud. Bila karena mengenakannya seseorang meninggalkan sholat, maka
jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang kenyataan menunjjukkan bahwa
mayoritas orang yang mengenakan pakaian semacam ini adalah orang-orang yang tidak
sholat.
Demikian pula banyak di antara kaum muslimin di jaman ini yang menunaikan sholat
dengan pakaian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah satunya. Al
Hafizh Ibnu Hajar meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang
sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau
gamis), beliau berkata, "Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila
celananya tebal." Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal
saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan celana
pantalon yang sangat sempit?!
Syaikh Al Albani berkata, "Celana pantalon mengandung dua cela.

Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada
mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang
sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama
sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah.
Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan
jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan
peninggalan mereka tadi.
Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari
lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan
bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon,
anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa
yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam
keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul Alamin?!
Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian
ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri
mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan
antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang
memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita
keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari
musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka
sedikit [3].
Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun akan lebih
utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah
hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup
aurat[4]. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz).
2. Tidak tipis dan tidak transparan
Sebagaimana makruh (dibenci)nya sholat dengan pakaian ketat yang menggambarkan
bentuk aurat, maka demikian pula tidak boleh sholat dengan pakaian yang tipis yang
tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti pakaian sebagian orang yang
gila mode di jaman ini, mereka poles apa yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak
indah. Mereka adalah tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka
mempunyai propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan modemode baru, "Inilah yang terbaru, inilah yang trendi, tidak kolot dan kuno [5]."
Termasuk dalam bab ini adalah sholat dengan mengenakan pakaian tidur "piyama".
Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari di dalam Shohihnya dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Pernah ada seseorang yang datang menjumpai
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu bertanya tentang sholat dengan mengenakan
satu pakaian. Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, "Bukankah setiap
kalian mampu mendapatkan dua pakaian!?"

Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab, "Bila Allah
memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia sholat dengan sarung dan jubah, atau
sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar), atau celana panjang dan gamis
atau celana panjang dan jubah, atau celana panjang dan mantel, atau celana pendek dan
mantel, atau celana pendek dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red)."
(Muttafaqun alaihi).
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu pernah melihat Nafi sholat sendiri dengan
mengenakan satu pakaian. Lalu beliau berkata padanya, "Bukankah saya memberimu dua
pakaian?" Nafi menjawab, "Benar." Ibnu Umar bertanya pula, "Apakah kamu pergi ke
pasar dengan mengenakan satu pakaian?" Nafi menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata,
"Allah yang lebih berhak bagimu berhias untukNya." [6]
Demikian pula orang yang sholat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar
dengannya karena tipis dan transparan.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan, "Sesungguuhnya ahli ilmu
menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan
pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat sesuai dengan kemampuannya."
Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya sholat yaitu pada pembahasan
"Menutup Aurat", mereka mengatakan, "Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal,
tidaklah sah bila tipis dan mengesankan warna kulit."
Semua ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada sholat sendiri ataupun sholat
berjamaah. Dengan demikian siapa saja yang terbuka auratnya padahal ia mampu
menutupnya, maka sholatnya tidak sah walaupun sholat sendiri di tempat yang gelap,
karena sudah merupakan ijma akan wajibnya menutup aurat di dalam sholat.
Allah taala berfirman (yang artinya), "Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) masjid." (Al Araf: 31).
Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian, sedangkan
yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat. Artinya, "Pakailah pakaian yang menutup
aurat kalian ketika sholat."
Ucapan Umar radhiyallahu anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang menutup
atau yang banyak dipakai tersebut merupakan dalil akan wajibnya sholat dengan pakaian
yang menutup aurat. Beliau menggabungkan yang satu dengan yang lain bukan berarti
pembatasan, akan tetapi yang satu bisa mengganti kedudukan yang lain. Adapun
mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau
terpaksa. Di sana juga terdapat faidah bahwa sholat dengan dua pakaian itu lebih afdhol
daripada dengan satu pakaian. Dan Al Qodhi Iyadh telah menegaskan ijma dalam hal
ini.[7]

Berkata Imam Syafii rahimahullah, "Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan
[8], maka sholatnya tidak sah."[9]
Beliau juga berkata, "Yang lebih parah dalam hal ini adalah kaum wanita bila sholat
dengan daster (pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan
bentuk tubuhnya. Saya lebih suka wanita tersebut sholat dengan mengenakan jilbab yang
lapang di atas kudung dan dasternya sehingga tubuh tidak terbentuk dengan daster
tadi."[10]
Untuk itu hendaknya kaum wanita tidak sholat dengan pakaian yang transparan seperti
pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini walaupun luas dan menetup
seluruh tubuh namun selalu terbuka atau membentuk. Dalilnya adalah sabda Rosulullah
shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya), "Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita
yang berpakaian tetapi telanjang" (HR Malik dan Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata, "Yang dimaksud oleh Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam
adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak
menutup auratnya. Mereka disebut berpakaian tetapi pada hakekatnya telanjang." [11]
Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut, "Suatu hari Al
Mundzir bin Az Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim oleh-oleh kepada Asma`
pakaian tipis dan antik dari Quhistan dekat Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan. Ia
pun lantas meraba pakaian tersebut dengan tangannya kemudian berkata, "Ah!
Kembalikan pakaian ini." Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata, "Wahai ibu!
Sungguh pakaian ini tidak transparan." Asma` berkata, "Pakaian ini, walaupun tidak
transparan akan tetapi membentuk." [12]
Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, "Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si
pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya.
Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini
tidak diperselisihkan lagi." [13]
Kata Imam As Syaukani dalam Nailul Author 2/115, "Wajib bagi wanita menutup
badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuuh, inilah syarat dalam menutup
aurat."
Sebagian fuqoha menyebutkan, "Pakaian yang transparan pada sekilas pandangan,
keberadaannya seperti tidak ada. Karena itu tidak ada sholat bagi yang mengenakannya
(untuk sholat)."
Sebagian yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat dari
bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.
3. Tidak membuka aurat
Ada beberapa golongan yang terkadang sholat dengan aurat terbuka, di antaranya:

a. Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat atau
mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku dan sujud, kemeja
tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan
sebagian auratnya tampak. Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering.
Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku atau sujud di
hadapan Rabbnya. Naudzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab
bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya
sholat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana pantalon dan memang celana pantalon
asalnya dari negeri kafir.[14]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang
dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata, "Banyak di antara
manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya
mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung. Bila
mereka ruku, kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang
merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya
aurat merupakan sebab batalnya sholat. [15]
b. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan,
sedang ia berada di hadapan Robbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh.
Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk
sholat adalah baju panjang dan kerudung. [16]
Kadang-kadang seorang wanita sudah memulai sholat padahal sebagian rambut atau
lengan atau betisnya masih terbuka. Maka ketika itu menurut jumhur ahli ilmu- wajib ia
mengulangi sholatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah
radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
"Allah tidak menerima sholat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung."
(HSR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).
Ummu Salamah radhiyallahu anha pernah ditanya sebagai berikut, "Pakaian apa yang
pantas dikenakan wanita untuk sholat?" Beliau menjawab, "Kerudung dan baju panjang
yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki." [17] (Riwayat Malik dan Baihaqi
dengan sanad jayyid).
Imam Ahmad juga pernah ditanya, "Berapa banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk
sholat?" Beliau menjawab, "Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup
kedua kakinya dan hendaknya baju itu lapang dan menuutup kedua kakinya."
Imam Syafii berkata, "Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam sholat kecuali
dua telapak tangan dan mukanya."
Beliau juga berkata, "Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan
wajah. Telapak kaki pun termasuk aurat. Apabila di tengah sholat tersingkap apa yang
ada antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap sedikit dari rambut

atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya selain yang dua tadi dan
pergelangan baik tahu atau tidak- maka mereka harus mengulang sholatnya. Kecuali bila
tersingkap oleh angin atau karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan
walau sejenak. Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk
mengembalikan, maka ia tetap harus mengulanginya." [18] Oleh karena itu wajib bagi
wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam sholat, lebih-lebih di luar
sholat.
Banyak juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu kepala.
Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan anggota badan
bagian bawah dengan kaos kaki yang sewarna dengan kulit sehingga tampak semakin
indah. Terkadang ada di antara mereka yang sholat dengan penampilan semacam ini. Hal
ini tidak boleh. Wajib bagi mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa taala. Teladanilah wanita-wanita Muhajirin
ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera merobek kordenkorden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai kerudung. Tetapi sekarang, kita
tidak perlu menyuruh mereka merobek sesuatu, cukup kita perintahkan mereka
memanjangkan dan meluaskannya hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.
[19]
Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah di beberapa
negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting untuk menjelaskan
secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah aurat. Ucapan saya wabillahit taufiq
adalah sebagai berikut:
Allah subhanahu wa taala berfirman (yang artinya), "Dan janganlah mereka
memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (An Nur:
31).
Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki, sebab bila
dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan perhiasan kakinya,
yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan kaki untuk itu. Akan tetapi hal itu
tidak boleh dilakukan karena menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat
dan penyelisihan yang semacam ini tidak mungkin terjadi di jaman risalah. Karena itu
seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya agar kaum
pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan. Maka Allah pun melarang mereka dari
hal itu.
Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata, "Ini adalah nash yang
menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak
halal menampakkannya." [20]
Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata:
Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang melabuhkan pakaiannya
karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat." Ummu Salamah
radhiyallahu anha bertanya, "Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung

pakaian mereka?" Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, "Turunkan


sejengkal." Ummu Salamah berkata, "Bila demikian kakinya akan tersingkap."
Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Turunkan sehasta, jangan lebih dari
itu." Dalam riwayat lain: Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi keringanan
pada ummahatul mu`minin (untuk menambah) sejengkal, dan mereka minta tambah,
maka Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menambahkannya. (HSR. Tirmidzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah) (Lihat Ash Shohihah 60).
Faidah dari riwayat ini adalah bahwa yang dibolehkan adalah sekitar satu hasta, yaitu dua
jengkal bagi tangan ukuran sedang.
Imam Al Baihaqi berkata, "Riwayat ini merupakan dalil tentang wajibnya menutup kedua
punggung telapak kaki bagi wanita." [21]
Ucapan "Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan" dan
pertanyaan Ummu Salamah: "Apa yang harus diperbuat wanita terhadap ujung
pakaiannya?" setelah ia mendengar ancaman bagi orang yang melabuhkan pakaiannya,
semua ini mengandung sanggahan terhadap anggapan bahwa hadits-hadits yang mutlak
(bersifat umum) mengenai ancaman bagi pelaku isbal (melabuhkan pakaian sampai di
bawah mata kaki) itu ditaqyid (dibatasi kemutlakannya) oleh hadits lain yang tegas yaitu
bagi yang melakukannya karena sombong.
Anggapan ini terbantah karena sekiranya benar demikian, maka pertanyaan Ummu
Salamah yang meminta kejelasan hukum bagi wanita itu tidak ada maknanya. Akan tetapi
Ummu Salamah memahami bahwa ancaman itu bersifat mutlak, berlaku bagi orang yang
sombong dan yang tidak. Karena pemahaman beliau yang demikian, maka beliau
menanyakan kejelasan hukumnya bagi wanita sebab wanita dituntut untuk berlaku isbal
guna menutup aurat yaitu kaki. Dengan demikian jelas bagi beliau bahwa ancaman itu
tidak berlaku bagi wanita, tetapi khusus bagi lelaki dan hanya dalam pengertian ini.
Iyadl rohimahullah telah menukil adanya ijma bahwa larangan itu hanya berlaku bagi
kaum pria, tidak bagi kaum wanita karena adanya taqrir Nabi shollallahu alaihi wa
sallam atas pemahaman Ummu Salamah. Larangan yang dimaksud adalah larangan isbal.
Walhasil, bagi pria ada dua keadaan:
1. Keadaan yang mustahab yaitu memendekkan sarung hingga pertengahan betis.
2. Keadaan jawaz (boleh) yaitu melebihkannya hingga di atas mata kaki.
Adapun bagi wanita juga ada dua keadaan:
1. Keadaan mustahab yaitu melebihkan sekitar satu jengkal dari keadaan jawaz bagi
pria.
2. Keadaan jawaz yaitu melebihkannya sekitar satu hasta.[22]

Sunnah inilah yang dijalankan oleh wanita-wanita di jaman Nabi shollallahu alaihi wa
sallam dan jaman-jaman selanjutnya.
Dari sinilah kaum muslimin di masa-masa awal menetapkan syarat bagi ahli dzimmah
harus tersingkap betis dan kakinya supaya tidak serupa dengan wanita-wanita muslimah.
Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidho Ash
Shirothil Mustaqim.
Termasuk pula orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan ini yaitu memulai sholat
sedang aurat tersingkap adalah orang tua yang memakaikan anak mereka celana pendek
dan menyertakannya sholat di masjid. Padahal Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), "Perintahkan mereka sholat ketika mereka berumur tujuh
tahun." (HSR. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Baihaqi, dan yang lain).
Sedang tidak diragukan lagi bahwa perintah ini mencakup juga perintah menunaikan
syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Perhatikanlah, jangan sampai anda termasuk orangorang yang lalai.
Demikianlah beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam hal pakaian dalam sholat
berikut beberapa kesalahan yang terjadi. Namun masih ada beberapa hal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pakaian dalam sholat di antaranya tidak musbil, tidak bergambar,
dan bukan pakaian yang dicelup merah.

Anda mungkin juga menyukai