Anda di halaman 1dari 10

M.

REZKY EMERALD
(1102008166)

CAIRAN KRISTALOID DAN KOLOID


A. Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan kristaloid
bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di
hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute atau
plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung
alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang
lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran
darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain
itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000
dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
RUMUS MENGHITUNG DAN MENGETAHUI OSMOLARITAS
Catatan osmolaritas darah harus dipertahankan tidak lebih dari 320mOsm/l krn jika
lebih berisiko terjadi gagal ginjal akut .rumus menghitung osmolaritas = 2[Na+] +

[Glucose]/18 + [ BUN ]/2.8 atau denganrumus sederhana = 2[Na+] + [Glucose]/20 +


BUN/32. Nilai normal untuk manusia =275-299 milli-osmoles per kilogram- Jika osmolaritas
dibiarkan terus meningkat dapat menurunkan CPP (cerebral
perfusion pressure). Oleh karena itu dapat diimbangi dengan
pemberian cairan saline seperti NaCl0.9%- Pemberian manitol tidak boleh diberikan bersama
sama dengan kortikosteroid
atau phenitoin karena dapat menyebabkan nonketotik hiperosmolar dan kematian- Pada
keadaan tertentu seperti overhidrasi (spt penderita gagal jantung ) manitol dapatdiberikan
bersama dengan diuretic lain
KOMPLIKASI MAKRO DAN MIKRO PADA DM
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut terdiri
dari koma hipoglikemia, ketoasidosis diabetes dan HONK. Yang pertama terjadi karena kadar
gula yang terlalu rendah (di bawah 50 mg/dL). Yang kedua, ketoasidosis, terjadi jika tubuh
hanya mampu menggunakan lemak sebagai sumber energi; keadaan ini terjadi karena tidak
adanya insulin baik yang dibuat oleh sel beta pankreas tubuh sendiri maupun yang didapat
lewat suntikan insulin. Penggunaan lemak sebagai sumber energi menghasilkan keton bodies
yang jika kadarnya terlalu tinggi akan membuat darah menjadi asam. Akhirnya yang ketiga,
HONK (hiperglikemia hiperosmoler nonketosis) terjadi jika kadar GD sangat tinggi tapi
tanpa pembentukan keton bodies yang berlebihan. Ketiga komplikasi akut ini membuat
seorang diabetisi harus dirawat di RS.
Komplikasi kronis berupa gangguan pembuluh darah makro (besar) dan mikro (halus). Yang
pertama disebut makroangiopati dan dapat menimbulkan stroke, penyakit jantung koroner
serta kaki diabetes yang bisa berupa luka, borok atau gangren yang sulit sembuh sehingga
tidak jarang kaki itu harus diamputasi. Mikroangiopati dapat menyebabkan mata diabetes
(retinopati), gangguan saraf yaitu neuropati dgn rasa nyeri yang kronis, dan ginjal diabetes
(nefropati).
HUBUNGAN OBESITAS DAN DIABETES MELITUS TIPE 2
Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek sel beta
pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin. Pada umumnya
para ahli sepakat bahwa diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan adanya resistensi insulin,
kemudian menyusul berkurangnya pelepasan insulin. Pada penderita obes juga ditemukan
adanya resistensi insulin. Ada dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan
berat badan normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan berakhir dengan
diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan keluhan khas yang
datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek sel beta pankreas.
Jaringan lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat penyimpanan lemak dalam
bentuk trigliserid, dan sebagai organ endokrin. Sel lemak menghasilkan berbagai hormon
yang disebut juga adipositokin (adipokine) yaitu leptin, tumor necrosis factor alpha (TNFalfa), interleukin-6 (IL-6), resistin, dan adiponektin. Hormon-hormon tersebut berperan juga
pada terjadinya resistensi insulin. Pada gambar 2 diperlihatkan hubungan jaringan lemak
dengan kejadian resistensi insulin.

Peran asam lemak bebas


Pada mereka yang gemuk maupun diabetes melitus tipe 2 selalu ditemukan kadar asam
lemak bebas yang tinggi. Meningkatnya asam lemak bebas pada mereka yang gemuk dan
diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya pemecahan trigliserid (proses lipolisis)
di jaringan lemak terutama di daerah visceral. Meningkatnya lipolisis diduga berkaitan
dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. Seperti diketahui lemak visceral peka
terhadap rangsangan saraf simpatis sehingga metabolisme sel lemak visceral sangat aktif.
Asam lemak bebas yang tinggi dalam plasma berperan terhadap terjadinya resistensi insulin
baik pada otot, hati, maupun pada pankreas (gambar 2).
Otot
Pada tahun 1963 Randle mengemukakan teori bahwa pada keadaan dimana peningkatan
asam lemak bebas dalam darah akan diikuti dengan meningkatnya ambilan asam lemak bebas
oleh jaringan otot. Pada keadaan normal otot akan menggunakan glukosa (oksidasi glukosa)
untuk menghasilkan energi. Dengan demikian oksidasi asam lemak dalam otot meningkat, hal
ini akan menghambat ambilan glukosa oleh otot sehingga terjadilah hiperglikemi (gambar
3A).
Hati
Keadaan yang sama terjadi di hati, dimana hati akan menampung sebagian besar asam
lemak bebas dan menjadi bahan untuk proses glukoneogenesis dan sintesis VLDL. Dengan
meningkatnya glukoneogenesis, glukosa plasma puasa akan meningkat maka terjadilah
hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi puasa ini akan mengakibatkan resistensi insulin di hati
(gambar 3B)
Pankreas
Mekanisme kerusakan pankreas pada obesitas belum jelas. Diduga bahwa asam lemak
bebas yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya deposit trigliserid berlebihan pada sel beta
pankreas, dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas.

Keterangan Gambar 3. Siklus Randle di otot dan di hati


A. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl CoA yang
berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim penting untuk
merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk meningkatkan ambilan
glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar glukosa dapat masuk ke dalam sel
otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi insulin
B. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi melalui sistem
portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang dioksidasi dan
menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat karboksilase di hati yang
berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis, dengan
demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan pelepasan glukosa hati. Meningkatnya
glukoneogenesis berakibat hambatan kerja insulin di hati, atau terjadilah resistensi insulin.
Peran adipositokin
Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang dihasilkan oleh sel
lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya resistensi insulin. Leptin,
tumor necrosis factor-Alfa (TNF-Alfa), interleukin-6 (IL-6), dan resistin bekerja
meningkatkan resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja meningkatkan sensitivitas
insulin .
Leptin
Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin bekerja
pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin belum
jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat fosforilasi insulin receptor
substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan glukosa. Sebaliknya penelitian lain
pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian leptin meningkatkan sensitivitas insulin.
Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian pada manusia.
Tumor necrosis factor - Alfa

Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma meningkat dengan
meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme resistensi insulin perifer.
Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam sirkulasi sangat sedikit untuk dapat
menghambat kerja insulin pada jaringan otot. Diduga kerja TNF-Alfa lebih bersifat parakrin
daripada endokrin, atau dengan perantaraan faktor lain, misalnya asam lemak bebas, karena
TNF-Alfa memacu lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan dan manusia, TNF-Alfa
diekspresikan secara berlebihan sehingga mengganggu insulin signaling yang akibatnya
fosforilasi IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose transporter(GLUT)-4.
Interleukin-6
Sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan adiposa, IL-6 juga meningkat
dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6 memacu pelepasan glukagon dan
kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard, dkk. menemukan bahwa penderita
diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap insulin, kadar IL-6, TNF-Alfa dan leptin
meningkat dibandingkan kontrol penderita dibetes melitus yang tidak obes. Peran IL-6 pada
resistensi insulin diduga melalui perlemakan (adiposity), secara tidak langsung berhubungan
dengan kerja insulin. Hal ini dilaporkan oleh Vozarova, dkk. yang menemukan bahwa kadar
IL-6 mempunyai korelasi dengan persentasi lemak tubuh, tetapi tidak ada korelasi dengan
sensitifitas insulin pada orang Indian Pima.
Resistin
Lazar, dkk menemukan suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit dan dinamakan
resistin. Kadar resistin meningkat pada tikus obes akibat makan berlebihan dan obes karena
genetik, dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis peroxisome proliferatoractivator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone.
Adiponektin
Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit. Dibandingkan
dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam sirkulasi. Adiponektin
mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya, yaitu mencegah terjadinya
resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2 . Weyer dkk , melaporkan kadar adiponektin
pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang. Kadar adiponektin juga berkorelasi
dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya berkurang dengan semakin buruknya toleransi
glukosa. Penelitian lain pada manusia, kadar adiponektin meningkat dengan penurunan berat
badan dan pemberian agonis PPAR, rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu
ekspresi gen-gen yang mengatur metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl coenzyme A (CoA) oxidase, dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi
transpor asam lemak, pembakaran lemak dan termogenesis.
Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketosis
Definisi Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketosis. Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis
adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan
metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi, meningkatkan dehidrasi
hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II.

Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus
di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan
mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita
diabetes tipe II.
Hyperglikemia, Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan
insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara klinik
diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan dehidrasi,
tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis
B. Etiologi Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik / Penyebab Hiperglikemia
Hiperosmolar Non Ketotik
1.

Insufisiensi insulin

a.

DM, pankreatitis, pankreatektomi

b.

Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)

2.

Increase exogenous glukose

a.

Hiperalimentation (tpn)

b.

High kalori enteral feeding

3.

Increase endogenous glukosa

a.

Acute stress (ami, infeksi)

b.

Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)

4.

Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.

5.

Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan kardiovaskular.

6.

Pembedahan/operasi.

7.

Pemberian cairan hipertonik.

8.

Luka bakar.

Faktor risiko Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :


1.

Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)

2.

Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)

3.

Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)

4.

Riwayat keluarga DM

5.

Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram

6.

Riwayat DM pada kehamilan

7.

Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)

8.
Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)

C. Manifestasi Klinik Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik / Gejala Hiperglikemia


Hiperosmolar Non Ketotik
Tanda dan gejala umum KHNK adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual dan
muntah, nafsu makan menurun (penurunan berat badan), nyeri abdomen, pusing, pandangan
kabur, banyak kencing, mudah lelah, polidipsi, poliuria, penurunan kesadaran.
Gejala-gejala Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik meliputi :
1.

Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.

2.

Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.

3.

Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.

4.

Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).

5.

Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.

6.

Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.

7.

Hipernatremia.

8.

Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat.

9.

Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat).

10. Kerusakan fungsi ginjal.


11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.
12. Kadar CO2 normal.
13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.
14. Kalium serum biasanya normal.
15. Tidak ada ketonemia.
16. Asidosis ringan.
D. Patofisiologi Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik / Patogenesis Hiperglikemia
Hiperosmolar Non Ketotik
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon
insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan
pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan
hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa
plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar
serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan

volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan
kekurangan cairan.
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glycosuria
yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ). Dampak dari
poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,
sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar
gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini,
karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi
maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah.
Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan
bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air
hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal
ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel
sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi
menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan
merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia,
hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat
karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma.
Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan
pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.
E.

Diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

Kriteria .diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah :

Hiperglikemia > 600 mg%

Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg

pH > 7,3

Bikarbonat serum > 15 mEq/L

Anioan gap normal

F.

Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat membantu untuk


membedakan dengan ketoasidosis diabetic. Kadar glukosa darah > 600 mg%, aseton
negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan : adanya hipertermia, hiperkalemia,
azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN): kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1), bikarbonat
serum > 17,4 mEq/l. Bila pemeriksaan osmolalitas serum belum dapat dilakukan, maka dapat
dipergunakan formula :

G. Penatalaksanaan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik / Penanganan Hiperglikemia


Hiperosmolar Non Ketotik
Pengobatan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :
1.

Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairan

NACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal diguyur 1000 ml/jam sampai
keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan
kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonil harus mendapatkan
pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.
Gklukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%. Infus glukosa
5% harus disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa darah 250-300 mg% agar resiko
edema serebri berkurang.
2.

Insulin

Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik
sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah
pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat
menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik.
3.

Kalium

Kalium darah harus dipantau dengan baik.. Dengan ditiadakan asidosis, hiperglikemia pada
mulanya mungkin tidak ada kecuali bila terdapat gagal ginjal. Kekurangan kalium total dan
terapi kalium pengganti lebih sedikit dibandingkan KAD. Bila terdapat tanda fungsi ginjal
membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan.
4.

Hindari infeksi sekunder

Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter

Anda mungkin juga menyukai