Anda di halaman 1dari 13

D.

Cara Kerja ARV


Obat-obatn ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja berdasarkan siklus
replicasi HIV, sementara obat-obatan baru lainnya masih dalam penelitian. Jenis obat-obat
ARV mempunyai target yang berbeda pada siklus replicas HIV yaitu (Nursalam, 2008):
1.

Entry (Saat Mausk), HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat memulai kerjanya yang
merusak. HIV mula-mula melekatkan diri pada sel, kemudian menyatukan membran luarnya
dengan membran sel. Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat AZT, ddC, 3TC,
dan D4T, enzim integrasemungkin dihalangi oleh obat yang sekrang sedang dikembangkan,

2.

enzim protease mungkin dapat dihalangi oleh obat Saquinavir, Ritonivir, dan Indinivir.
Early Replication. Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetic sel T. Setelah bergabung
dengan sebuah sel, HIV menaburkan bahan-bahan genetiknya ke dalam sel. Di sni HIV
mengalami masalah dengan kode genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang disebut RNA,
sedangkan pada manusia kode genetic tertulis dalam NA, Untuk mengatasi masalah ini, HIV
membuat enzim reverse transcriptase

yang cacat. Golongan non-nucleoside sehingga

membuat kemampuan untuk mengikat enzim reverse transcriptase sehingga membuat enzim
tersebut menjadi tidak berfungsi.
3. Late Replication. HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian memasukkan DNA nya
sendiri ke dalam guntingan tersebut dan menyambung kembali helaian DNA tersebut. Alat
penyambung itu adalah enzim integrase, maka obat intergarse Inhibitors diperlukan untuk
menghalangi penyambungan ini.
4. Assembly (Perakitan/Penyatuan). Begitu HIV mengambil alih bahan-bahan genetik sel,
maka sel akan diatur untuk membuat berbagai potongan sebagai bahan untuk membuat virus
baru. Potongan ini harus dipotong, dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim protease
HIV, maka pada fase ini, obat jenis Inhibitor Protease

diperlukan untuk menghalangi

terjadinya penyambungan ini.


E. Jenis-Jenis ARV
Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reverse transriptase
inhibitor, non-nucleotide reverse transcriptase inhibitor, protease inhibitor dan viral entri
1.

inhibitor.
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung
dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi
HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan, tapi hanya

sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan
NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
a)
Zidovudin
Mekanisme kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin
bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus
azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5 monofosfat akan
bergabung pada ujung 3 rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.
Resistensi: Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse

transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya.


Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (seperti lamivudin dan

abakavir)
Dosis: zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. tablet 300 mg dan sirup 5mg/ 5ml.

b)

Dosis peroral 600 mg per hari.


Efek samping: Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.
Didanosin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reserve transoriptase.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti

HIV lainnya.

Dosis: tablet dan kapsul salut enteric per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
Efek samping: Diare, Pankreatitis, Neuropati perifer.
Zalsitabin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap zaisitabin disebabkan oleh mutasi pada reserve transoriptase.

c)

Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin.


Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak responsif

terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan didanosin)
Dosis: diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam).
Efek samping: Neuropati perifer, stomatitis, ruam, dan pancreatitis.
Stavudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resisten: resisten terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan kodon

d)

50.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti-HIV
lainnya.

Dosis: per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)

Efek samping: Neuropati perifer. Pernah terjadi asidosis laktat, peningkatan enzim
transminase sementara. Efek samping lain yang sering terjadi adalah sakit kepala, mual dan

e)

ruam.
Lamivudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
Resistensi: mutasi terhadap lamivudin disebkan karena mutasi pada RT kodon 184. Terdapat

laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV

Indikasi: infeksi HIV dan HBV,: untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya (seperti zidovudin dan abkavir)

Dosis: per oral 300 mg per hari (1 tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg
sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau
dengan zidovudin dan abakavir.

Efek samping: sakit kepala dan mual


f)
Emtrisitabin
Merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. Obat ini diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim

selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.


Resistensi: terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.
Indikasi: infeksi HIV dan HBV
Dosis: per oral sekali sehari 200 mg kapsul
Efek samping: efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa keram,
diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistropi, mual, rhinitis, pruritus dan ruam. Yang lebih
jarang terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia, pneumonia,

steatosis hati.
Abakavir
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap abakavir
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan

lamivudin.
Dosis: per oral 600 mg per hari (2 tablet 300 mg)
Efek samping: mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam), dan

g)

2.

gangguan gastrointestinal.
Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraseluler untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahapfosforilasi saja. Diharapkan, dengan
berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi

a)

bentuk aktiv lebih sempurna.


Tenofovir disoproksil
Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.

3.

Resisten: Resisten terhadap tenofovir


Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.
Indikasi: infeksi HIV dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.
Dosis: per oral sekali sehari 300 mg tablet.
Efek samping: mual, muntah, flatulens, dan diare.
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Merupakan kelas obat yang menghambat aktivasi enzim reverse transcriptase dengan
cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan
konformasi pada situs aktif ini. Obat-obat golongan ini tidak hanya memiliki kesamaan
toksisitas dan profil resistensi. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami
fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif. NNRTI hanya aktif terhadap HIV-1, tidak HIV-2.
Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cenderung untuk

berinteraksi dengan obat lain.


Nevirapin
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.
Resisten terhadap nevirapin
Spekterum aktivitas: HIV tipe 1
Indikasi: infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI.
Dosis: per oral 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg per hari),

kemudian 400 mg per hari (dua kali 200 mg tablet)


Efek samping: ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens, mual dan peningkatan enzim

a)

hati.
Delavirdin
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resisten terhadap delavirdin disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang

b)

dengan nevirapin dan evavirens.

Spekterum aktivitas: HIV tipe 1

Indikasi: infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI.

Dosis: per oral 1200 mg per hari (2 tablet 200 mg 3 kali sehari). Obat ini juga tersedia
dalam bentuk tablet 100 mg.
Efek samping: Ruam, peningkatan tes fungsi hati, juga pernah terjadi neutropenia.
Efaviren
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resisten terhadap efavirens

Spekterum aktivitas: HIV tipe 1

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI dan

c)

NtRTI.

Dosis: per oral 600 mg per hari (sekali sehari tablet 600 mg) sebaiknya sebelum tidur untuk
mengurangi efek samping SSPnya.

Efek samping: sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsntrasi dan ruam.
4. Protease inhibitor (PI)
Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIVProtease. HIV-protease sangat penting untuk inefektivitas virus dan penglepasan poliprotein

virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh
enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel

virus yang imatur dan tidak virulen.


Sakuinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap sakuinavir disebkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi

silang dengan PI lainnya.


Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain (NRTI dan beberapa PI

seperti ritonavir).
Dosis: per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft kapsul 3 kali sehari), diberikan

a)

bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap.
Efek samping: diare, mual, nyeri abdomen.
Ritonavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti

b)

c)

sakuinavir)
Dosis: per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan
makanan)
Efek samping: mual, muntah, diare.
Indinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan
perut kososng, ditambah dengan dehidrasi) sedikitnya 1,5 L air per hari. Obat ini tersedia

dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg.

Efek samping; mual, hiperbilirubinemia, dan batu ginjal.

d)

e)

Nelvinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resisten terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2500 mg per hari (5
tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama dengan makanan.
Efek samping: Diare, mual, muntah.
Amprenavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon 50.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan bersama atau

tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan)


Efek samping: mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral.
Loponavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi: mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap lopinavir belum diketahui hingga

f)

saat ini.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari, setiap kapsul

mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 ritonavir), diberikan bersamaan dengan makanan.

Efek samping: mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan yGT.
Atazanavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama dengan

g)

makanan.

Efek samping: hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG (jarang).


5. Viral entri inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel.
a)
Enfuvirtid
Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat fusi virus ke membran
sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41
envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang

dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.


Resistensi: perubahan genotip pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi
terhadap enfuvirtid. Tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain. Isolat klinis

yang resisten terhadap NRTI, NNRTI atau PI tetap peka terhadap envuvirtid.
Indikasi: terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.
Dosis: Enfuvirtid 90 mg (1 mL) dua kali sehari diinjeksi subkutan di lengan atas, bagian
paha anterior atau di abdomen. Setiap injeksi harus diberikan pada tempat yang berbeda dari

tempat injeksi sebelumnya dimana belum ada bekas reaksi injeksi dosis sebelumnya.
Efek samping: efek samping yang tersering adalah reaksi lokal seperti nyeri, eritema,
pruritus, iritasi dan nodul/kista

Paduan ARV yang tidak dianjurkan Alasan tidak dianjurkan


Paduan ARV

Mono atau dual terapi untuk Cepat menimbulkan resisten


pengobatan infeksi HIV kronis
d4T + AZT
Antagonis (menurunkan khasiat
kedua obat)
d4T + ddI
Toksisitas
tumpang
tindih
(pankreatitis, hepatitis dan lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu
hamil
3TC + FTC
Bisa saling menggantikan tapi tidak
boleh digunakan secara bersamaan
TDF + 3TC + ABC atau
Paduan tersebut meningkatkan mutasi
TDF + 3TC + ddI
K65R dan terkait dengan seringnya
kegagalan virologi secara dini
TDF + ddI + NNRTI manapun
Seringnya kegagalan virologi secara
dini

Efek samping obat


1. Efek samping jangka pendek adalah: mual, muntah, diare, sakit kepala, lesu dan susahtidur.
Efek samping ini berbeda-beda pada setiap orang, jarang pasien mengalamisemua efek
samping tersebut. Efek samping jangka pendek terjadi segera setelahminum obat dan
berkurang setelah beberap minggu. Selama beberapa minggupenggunaan ARV, diperbolehkan
minum obat lain untuk mengurangi efek samping.2. Efek samping jangka panjang ARV
belum banyak diketahui3. Efek samping pada wanita: efek samping pada wanita lebih berat
dari pada pada laki-laki, salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan dosis
yang lebihkecil. Beberapa wanita melaporkan menstruasinya lebih berat dan sakit, atau
lebihpanjang dari biasanya,namun ada juga wanita yang berhenti sama sekalimenstruasinya.
Mekanisme ini belum diketahui secara jelas.

Penggunaan obat ARV Kombinasi


1.Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
a. Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinanterjadinya
resistensi
b. Meningkatkan efektifitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila timbul efek samping, bisa
diganti obat lainnya dan bila virus mulai resisten terhadap obat yangsedang digunakan, bisa
memakai kombinasi lain.
2. Efektivitas obat ARV kombinasi:
a.ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggidan
menurunkan viral load lebih tinggi dibanding penggunaan satu jenis obat saja.

b.Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupaminum obat
dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
c.Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehinggakemungkinan efek
samping lebih kecil.

Program Pemerintah Kemenkes tentang AIDS


Pemerintah Indonesia melalui kementrian kesehatan dan kementrian kordinator bidang
kesejahteraan rakyat dan bidang terkait lainnya telah memberikan sejumlah perhatian
terhadap penderita HIV/AIDS. Perhatian dan dukungan pemerintah terhadap penyakit ini
diwujudkan dengan:
Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) baik di daerah maupun pusat.
Menunjuk beberapa perusahaan farmasi untuk mendistribusikan terapi anti-retroviral (ARV)
standar WHO berupa fixed-dose combination (FDC), terdiri atas AZT + 3TC .
Menunjuk 262 rumah sakit rujukan yang dilengkapi dengan: Kelompok kerja AIDS (Pokja
AIDS), 2 Dokter 1 Perawat dan konselor Petugas administras
Tim tersebut kemudian mengadakan kerjasama dengan dokter spesialis, apoteker untuk
memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada penderita HIV/AIDS Obat-obat yang bisa
didapatkan secara gratis pada rumah sakit tersebut, adalah sebagai berikut:
Lini pertama utama: AZT/zidovudine + 3TC/lamivudine (FDC: 300mg AZT + 150mg 3TC) +
NVP/nevirapine; AZT sendiri tersedia dalam sediaan kapsul 100mg, 3TC sendiri tersedia
dalam sediaan tablet 150mg
Alternatif pilihan pertama: 4T/stavudine (30mg,), EFV/efavirenz (600mg), ABC/abacavir
(300mg)
Lini kedua: TDF/tenofovir + 3TC or FTC/emtricitabine (FDC bersama TDF) + Aluvia
(lopinavir) Khusus untuk anak-anak: AZT + 3TC + NVP (FDC), d4T + 3TC dan d4T + 3TC
+ NVP (FDCs)
Selain program penyediaan ARV dan pengobatan infeksi oportunistik, dilakukan pula
beberapa program, yakni sarana pelayanan konseling dan tes HIV/AIDS termasuk kepatuhan,
pencegahan dari ibu ke anak, dan perawatan paliatif. Melakukan penyuluhan serta promosi
kesehatan,
pencegahan
serta
tata
laksana
HIV/AIDS.

Faktor predisposisi
- Pengetahuan ODHA tentang HIV/AIDS,
- Pengatahuan ODHA tentang obat ARV,

persepsi pasien, dan karakteristik pasien.


Faktor pendukung
- lingkungan fisik,
- tersedia atau tidak tersedianya sarana dan
fasilitas kesehatan.
Faktor pendorong
- Dukungan keluarga/ dorongan keluarga
dan pendamping minum obat (PMO).
- Sikap dan perilaku petugas kesehatan,
tokoh masyarakat.
- Undang-undangdan peraturan yang ada.
Kepatuhan minum
obat ARV
Berdasarkan skema diatas maka kepatuhan pasien minum obat ARV dapat
dijelaskan seperti di bawah ini :
1. Pengetahuan pasien ODHA tentang penyakit HIV/AIDS.
Pengetahuan pasien ODHA yang lebih baik tentang penyakit HIV/AIDS,
dan pengetahuan pasien tentang efek samping obat dapat membantu pasien
dalam mematuhi program pengobatan yang telah disepakati. Dengan
pengetahuan yang lebih baik tentang penyakit HIV/AIDS, dan efek
samping obat ARV maka pasien akan berusaha secara maksimal untuk
minum obat secara teratur demi untuk kesembuhannya.
Faktor predisposisi
- Pengetahuan ODHA tentang HIV/AIDS,
- Pengatahuan ODHA tentang obat ARV,
persepsi pasien, dan karakteristik pasien.
Faktor pendukung

- lingkungan fisik,
- tersedia atau tidak tersedianya sarana dan
fasilitas kesehatan.
Faktor pendorong
- Dukungan keluarga/ dorongan keluarga
dan pendamping minum obat (PMO).
- Sikap dan perilaku petugas kesehatan,
tokoh masyarakat.
- Undang-undangdan peraturan yang ada.
Kepatuhan minum
obat ARV
2. Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dapat
memudahkan para ODHA dalam memanfaatkan fasilitas yang ada.
3. Sikap dan dukungan yang positif dari petugas kesehatan, dukungan
keluarga, pendamping minum obat, dan masyarakat dapat meningkatkan
kepatuhan pasien ODHA dalam berobat.
4. Persepsi yang lebih baik oleh pasien ODHA untuk menafsirkan dan
memahami penyakit HIV/AIDS diharapkan dapat memberikan kepatuhan
yang maksimal dalam pengobatan ARV di kalangan pasien ODHA.
5. Karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, dan pendidikan dapat
mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat.
3.2 Konsep penelitian .
Factor-faktor yang sudah dijelaskan dalam ulasan sebelumnya seperti :
pengetahuan pasien ODHA tentang penyakit HIV/AIDS, pengetahuan pasien
tentang obat ARV, dukungan keluarga/pendamping minum obat (PMO) pada
pasien ODHA, persepsi pasien tentang HIV/AIDS, dan karakteristik pasien
merupakan variabel-variabel penelitian yang dapat mempengaruhi kepatuhan

pasien ODHA dalam mentaati aturan minum obat ARV.


Selain variabel diatas, ada beberapa variabel lain dikemukakan dalam teori
yang dapat mempengaruhi kepatuhan seperti : factor lingkungan fisik,
ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai untuk ODHA, dan sikap petugas
kesehatan dapat memberikan kontribusi yang positif pada pasien ODHA dalam
kepatuhan dan pemanfaatan fasilitas yang ada.
3.3 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini adalah:
1. Pengetahuan pasien ODHA tentang penyakit HIV/AIDS merupakan faktor
yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat.
2. Pengetahuan pasien ODHA tentang terapi ARV merupakan faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat.
3. Dukungan positif keluarga terdekat/pendamping minum obat akan
mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam berobat.
4. Persepsi pasien tentang penyakit HIV/AIDS mempengaruhi tingkat kepatuhan
dalam minum obat ARV.
5. Karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, dan pendidikan dapat
mempengaruhi tingkat kepatuhan dalam minum obat ARV.
6. Tersedianya fasilitas pelayanan yang memadai bagi pasien ODHA akan
mempengaruhi kepatuhan dalam minum obat ARV.
Tujuh syarat untuk memulai pengobatan ART di pelayanan kesehatan, antara lain
(Nursalam, 2008):
1. Infeksi HIV telah dikonfirmasikan dengan hasl tes postif yang tercatat.
2. Memiliki indikas medis, jika tidak memenuhi indikasi klinis, jangan memulai ART. Ulangi
3.
4.
5.

pemeriksaaan CD4 dalam 4 bulan jika memungkinkan.


Pasien yang memenuhi kriteria dapat memulai di pelayanan kesehatan.
Infeksi oportunistik telah diobati dan sudah stabil.
Pasien telah siap untuk pengobatan ART:
Pasien memahami terapi ART, dan mengerti efek samping yang mungkin timbul keterbatasan
yang ada, memerlukan kepatuhan tinggi, pasien menginginkan pengobatan.

Pasien siap untuk patuh berobat.


Pasien siap berperan aktif untuk merawatn dirinya sendiri.
Adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat.
Jika memungkinkan tersedia kelompok dukungan sebaya.
Tidak ada kasus ketidakpatuhan berobat yang muncul saat ini ( beberapa kunjungan

diperlukan sebelum memulai terapi).


Mengenali adanya kemungkinan ketidakpatuhan misalnya kehidupan sosial yang tidak stabil,
ketergantungan alcohol berat, atau gangguan psikiatrik serius.
6. Adanya tim medis AIDS yang mampu memberikan perawatan kronis.
7. Persediaan obat yang cukup terjamin.
Sebelum memulai pengobatan, sebaiknya penderita diberikan konseling mengenai
(Nursalam, 2008):
1.
2.
3.
4.
5.

Biaya dan konsekuensi terhadap keuangan keluarga.


Pentingnya kepatuhan optimal.
Menginformasikan penggunaan ARV pada anggota keluarga.
Mendapat dukungan psikososial.
Informasi obat: tipe, dosis, efek samping, penyimpanan, makanan, interaksi, dan kartu
kontrol.

Terapi Non Farmakologi

Tindakan pencegahan yang dapat menurunkan resiko penularan infeksi HIV antara lain:
Memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai patofisiologi dan penyebaran infeksi
HIV.
Kontak seksual antara homoseksual sebaiknya memakai kondom.
Kurangi jumlah pasangan seksual dan memakai kondom
Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama
Memberikan alat suntik dengan pembersih atau mengganti alat suntik ( sekali pakai)
Menghindari aktivitas seksual yang beresiko (anal)
Orang normal dengan pasangan yang beresiko sebaiknya menggunakan teknik seks yang
aman

Wanita dengan HIV : memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak
memberikan ASI.
Pakai kondom dari lateks.
Terapi Non Farmakologik
Terapi non farmakologik terdiri daripada pencegahan penularan HIV. Ini melibatkan 5 Ps
iaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of Sexual transmitted diseases, Practices,
Past history of sexual transmitted disease. (CDC)
Metode yang sering digunakan adalah menggalakan orang menggunakan alat kontrasepsi.
Antara kontrasepsi yang sering digunakan adalah kondom. Selain itu, menyarankan agar
penderita untuk abstinen dan jika sudah berkawin, menyarankan penderita dan pasangannya
agar tidak berhubungan seks dengan orang lain. (CDC)
Untuk pencegahan transmisi secara vertical, proses kelahiran haruslah dilakukan secara
pembedahan yaitu caesarean. Penyusuan bayi oleh ibu yang menderita juga harus dielakkan.
(CDC)

Anda mungkin juga menyukai