Adverse Event
Setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada
akibat penyakitnya disebut sebagai adverse events.
Sebagian dari adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap
sebagai preventable adverse events.
Adverse events adalah suatu injury pada pasien yang lebih disebabkan oleh
tindakan dan manajemen kesehatan dibandingkan oleh penyakit itu sendiri, yang
mengakibatkan perpanjangan masa perawatan atau ketidakmampuan baik
permanen maupun non-permanen pada pasien.
Bahwa perlu dibedakan antara malpraktik medis dengan "untoward
results" yang merupakan salah satu bentuk Kejadian Tak Diharapkan (adverse
events) yang terjadi pada tindakan / pelayanan medis yang bukan akibat
kesalahan dokter, sebagaimana diingatkan oleh WMA, yaitu "An injury accurring
in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the
result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician in
untoward result, for which the physician should not bear any liability" (suatu
cedera yang terjadi dalam suatu tindakan medis, yang tidak dapat dibayangkan /
diperkirakan sebelumnya dan bukan sebagai akibat dari kekurang-cakapan di
pihak dokter adalah suatu kemalangan, untuk mana dokter tidak bertanggungjawab secara hukum).
Medical Risk
Resiko yang timbul akibat perlakuan medis.
Beberapa bentuk efek yang tidak diharapkan pada saat obat diberikan kepada
pasien relatif mudah dikenali sedangkan sebagian lagi sulit di deteksi. Kejadian
yang relatif tidak mengenakan pasien ini bisa saja dalam bentuk efek samping
obat yang sering terjadi (misalnya urtikaria, mual, dan muntah), tetapi dapat
pula dalam bentuk kejadian yang sangat jarang terjadi (misalnya Steven Johson
Syndrome)
Medical Error
Medical Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana
tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana
Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak
dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau
kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui
proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan,penggugat
akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian,
dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak.
Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang
kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based)
dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak"
dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan
benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan
yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu
kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim
akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal
1370-1371 KUH Perdata).
Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute
resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan
tentang penyelesaian sengketa (mufakat).
Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah
pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui
fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan
mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat
putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini
diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan
pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution),
dan bukan right-based.
Hakim pengadilan perdata umumnya
menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhirakhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator
tertentu.
Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses
hukum pidana,
1. pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan
bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya.
Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan
kondisi yang tertentu.
2.
3. Damageatau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya merupakan proximate cause.
of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely
upon them(bahasa mudahnya: lalai).
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran /
ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi
apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum, perbankan dan
akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk
sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjaannya masing-masing.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal,
euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu,
menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di
luar kompetensinya, dll.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti
melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the
physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient.
Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan
kondisi yang tertentu.
2.
3. Damageatau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya merupakan proximate cause.
Malpraktik ini harus kita bedakan dengan human Error atau kelalaian
manusia. Malpraktik lebih condong pada kesalahan yang seperti disengaja oleh
dokter. Seperti misalnya melakukan operasi untuk bertujuan membunuh
Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan tuntutan hukum yang disebabkan oleh
medical error pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya atau berupaya mengelola
risiko dengan berorientasi pada keselamatan pasien. Terdapat beberapa elemen yang harus
dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical error.
Pertama perlu mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada
keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya
manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi, dan disiplin. Rasa malu dalam
melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum "pelakunya" harus dikikis habis agar
staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite
medis sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan.
Kedua, melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan
program-program manajemen risiko, termasuk ronda rutin bersama ke unit-unit klinik.
Ketiga, mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang
keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan
keselamatan pasien. Keempat, mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang
beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah
koreksinya. Kelima, mengembangkan dan mengadopsi protokol dan prosedur yang aman.
Keenam, memantau dengan hati-hati dan rutin penggunaan alat-alat medis agar tidak
menimbulkan kesalahan baru. Dengan semua itu, medical error terantisipasi dan gugatan
malapraktik bisa terhindarkan.