Anda di halaman 1dari 13

DISIPLIN

Praktik hukum disiplin.


Pengertian disiplin tidak dicantumkan secara tegas dalam UU Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Namun kata disiplin dikaitkan dengan menegakkan disiplin seperti
pada pasal 55 ayat (1) yang merupakan alasan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI), suatu organ atribusian baru di sisi hilir pengaturan praktik kedokteran yang
secara khusus kelak akan mengembangkan bentuk hukum baru, yakni hukum disiplin (medik). Pada
bagian penjelasannya tertulis :
yang dimaksud dengan penegakan disiplin dalam ayat ini adalah penegakan aturanaturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
dokter dan dokter gigi
Dengan demikian penegakan disiplin yang merupakan sendi hukum disiplin kedokteran adalah :
a.

Penegakan aturan-aturan dalam pelayanan kesehatan/kedokteran dan atau

b.

Penegakan ketentuan penerapan keilmuan dalam pelayanan kedokteran/kesehatan

c.

Wajib diikuti dokter/dokter gigi

Bertolak dari pengertian tersebut dapat diartikan secara sederhana bahwa disiplin adalah aturan dan
penerapan keilmuan yang wajib diikuti oleh dokter/dokter gigi (subyek hukum) dalam menjalankan
profesinya (obyek hukum) dalam konteks berada dalam wujud hubungan dokter pasien (hubungan
hukum). Dengan demikian hukum disiplin adalah hukum yang mempelajari pelbagai hal yang
berkaian dengan kewajiban (tentu saja termasuk hak-hak) dalam suatu bangunan kesatuan hubungan
profesional dokter pasien, yang meliputi aturan dan penerapan keilmuan kedokterannya yang
dimiliki selaku kaum profesi untuk mencapai tujuan kedokteran tertentu demi kepentingan pasien
sebagai bahagian dari masyarakat. Secara anatomis, hukum disiplin akan menyorot mutu dokter
sebagai profesi (dalam keadaan diam, sebelum berhubungan dengan pasiennya) dan secara
fisiologis, hukum disiplin menyorot hubungan dokter pasien sebagai sesuatu yang bergerak atau
dinamis). Dalam konteks UU Praktik Kedokteran, hukum disiplin medik diam akan melingkupi
kiprah Konsil Kedokteran Indonesia sebagai lembaga atribusian baru di sisi hulu yang diamanatkan
untuk memproduksi dokter lege artis siap mengadbdi bagi perlindungan (kesehatan) masyarakat,
memberdayakan kelembagaan profesi serta membimbing sesama dokter untuk tetap atau bahkan lebih
lege artis. Sedangkan hukum disiplin bergerak akan memberi pekerjaan rumah bagi MKDKI
untuk mengawasi pelaksanaan praktik dokter/dokter gigi, termasuk menjatuhkan sanksi bagi
pelanggarnya.
Perkembangan hukum disiplin.
KKI baru saja terbentuk dan dilantik oleh Presiden. Dari potensi kewenangannya yang cukup besar
yang menyentuh hukum disiplin medik di sebelah hulu dari praktik kedokteran, beberapa fungsi
minimal KKI terhadap kualitas kelaikan praktek dokter, yang perlu disimak yakni :
a.

Menyetujui permohonan dan menerbitkan STR (surat tanda registrasi) dokter/dokter gigi.

b.

Menolak permohonan dan mencabut STR dokter/dokter gigi.

c.
Mensahkan standar kompetensi, mensahkan pengujian persyaratan registrasi dan penerapan
cabang ilmu.
d.

Membina bersama IDI/PDGI tentang pelaksanaan etika profesi

e.

Mencatat pelanggar etika profesi (yang telah dijatuhkan MKEK/MKEKG)

Dari fungsi minimal tersebut, khususnya dalam hal pembinaan dan pencatatan pelangaran etika
profesi, KKI melalui MKDKInya akan banyak berinteraksi dengan MKEK/MKEKG, baik secara
kelembagaan maupun fungsionarisnya.
Bila dibandingkan dengan General Medical Council di Inggris, GMC terseut memiliki 5 komite untuk
mengawasi kelaikan praktek dokter yakni :
a.
Preliminary proceedings yang meneliti awal/menyaring ada tidaknya penyimpangan perilaku
(professional misconduct) dokter. Jadi disini lebih menekankan pada pelanggaran perilaku etik.
b.
Professional Conduct yang berhak mencabut atau menghentikan registrasi dokter dalam
persidangan tingkat pertama, yang seringkali berinteraksi ketika dokter melanggar kewajiban pidana
dan administratifnya.
c.
Health Committee yang menegakkan aturan bahwa doikter yang tidak sehat fisik atau mental
dilarang berpraktek.
d.
Professional Performance yang sejak 1997 memeriksa sikap, pengetahuan, ketrampilan klinik
dan komunikasi serta catatan klinik dan hasil audit dokter (oleh 2 klinisi terkait dibantu oleh seorang
awam), dimana berhak menskors dokter pelanggarnya.
e.
Assesment referral yang merujuk dokter yang kurang trampil ke pusat lainnya bila fasilitas lokal
kurang memadai.

Beberapa Konsil kedokteran di negara Eropa lainnya, lebih memfokuskan pada deteksi dini dan
penyelesaian awal dokter malfungsi (malfunctioning physician) suatu wujud struktural dokter
bermasalah akibat buruk fungsi. Dari fokusnya untuk membenahi mutu dokter sejak dari hulunya,
nampak perkembangan hukum disiplin ke arah hukum dalam keadaan diam tersebut yang ternyata
cakrawala dan konteksnya (sebagai potensi adanya latent error) memiliki 2 dimensi yakni
memproduksi dokter putih sebanyak-banyaknya yang berguna untuk menghabisi atau
menyingkirkan dokter hitam yang sering bersembunyi dibalik dokter putih yang benar-benar
mulia hati. Calon dokter hitam (yang sebagian diantaranya merupakan pelaku medical error) yang
sekaligus menjadi pelaku malpraktek (sebagian kecil daripadanya adalah pelaku kelalaian medik),
melalui hukum disipllin diam akan ditekan kekerapannya. Seandainya masih muncul, para dokter
hitam ini akan dijerakan melalui sanksi-sanksi disiplin oleh majelis yang sebagian besar anggotanya
adalah sesama anggota profesi. Dengan ketegaran majelis disiplin ini (di Indonesia konteksnya adalah
MKDKI) sebagai panel review of disciplinary system akan efektif mencapai tujuannya bila berani
menjatuhkan sanksi mencabut ijin praktek dokter/dokter gigi yang terbukti salah dan tak mencapai
standar praktek tinggi tertentu. Bila di kalangan profesi masih terdapat 1% dokter hitam yang
terkena gugatan malpraktek, biaya yang diperlukan untuk seluruh dokter adalah luar biasa besarnya.
Artinya, hukum disiplin secara normatif bertujuan untuk membangun suatu sistem publik terpercaya
untuk mendisiplinkan dokter/dokter gigi. Dengan demikian, secraa normatif, para dokter yang
melindungi sejawatnya sendiri secara akal-akalan dalam bentuk the silence conspiracy secara
jangka panjang akan merugikan seluruh dokter. Memang dalam interaksinya dengan penegak hukum
yang merupakan ranah hukum pidana dan juga dengan pengacara yang merupakan ranah hukum
perdata, hukum disiplin medik akan masuk secara dinamis antara lain melalui rule of evidence dan
dimensi HAM serta rasa keadilan itu sendiri, seperti beberapa fenomena ne bis in idem, subpoena, dll.
Yang kita semua di Indonesia masih harus banyak berhikmah sambil belajar.
Tim Etika Medik RSI

Tim ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota tim ini ditentukan oleh rapat
komite medik. Jika ada anggota yang tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka pengisian lowongan
anggota tersebut ditetapkan oleh rapat dengan persetujuan pengurus komite medik
Tugas Tim Etika Medik, antara lain:
1. Melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
2. Melakukan pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik
3. Mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik Kedokteran.
4. Memanggil anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik Kedokteran.
5. Memberikan putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik Kedokteran.
6. Meminta pengurus komite medik untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7. Memberikan usul, masukan dan pertimbangan dalam meningkatkan peningkatan pelayanan
kesehatan
Tim etika medik yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota komite medik , di
tingkat nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran , yang salah satu fungsinya adalah
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik .
Mengusulkan ke MKEK , agar :
1. Memberikan pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode Etik
dan penyalahgunaan profesi
2. Keputusan yang bersifat mendidik dan non-legalistik.
3. Keputusan atau rekomendasi diberikan tertulis dan kalau perlu dipublikasikan
MKEK bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan pelanggar kode etik ke penjara! dan
bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan tetap terbuka untuk menempuh jalur hukum
(lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan hukum.
Laporan tertulis
Laporan lisan
Kasus yang dilaporkan
Dicabut
Ditolak karena tidak memenuhi sarat
Tidak terbukti sebagai pelanggaran
Terbukti sebagai pelanggaran===MKEK menindak lanjuti sesuai mekanisme yang diatur MKEK
Jenis sangsi
Sesuai dengan tingkat kesalahan
Peringatan lisan

Peringatan tertulis
Disuruh sekolah lagi
Dicabut ijin prakteknya
Tentang MKDKI
sekarang sudah ada lembaga independen seperti MKDKIMajelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia, mereka bisa lebih aktif dalam menindaklanjuti kasus-kasus yang berkembang dalam
masyarakat
MKDKI adalah lembaga dibawah Konsil Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima dan
memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin kedokteran dari masyarakat.
Selain itu lembaga yang pembentukannya diamanatkan oleh UU No 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran itu juga bertugas memberikan peringatan dan sanksi kepada praktisi kedokteran yang
terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
Paling penting!!!!!!

KEPUTUSAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA TENTANGPEDOMAN DISIPLIN


PROFESI KEDOKTERAN
BAB I PENDAHULUAN
Profesi kedokteran dan profesi kedokteran gigi merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena
tugas utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia
yaitu kebutuhan akan kesehatan Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan tugas profesionalnya,
selain terikat dengan norma etika dan norma hukum, juga terikat dengan norma disiplin kedokteran,
yang bila ditegakkan akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran
profesinya. Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat 1) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.Pelanggaran disiplin
adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada
hakekatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :

I.

Melaksanakan Praktik Kedokteran tidak sesuai dengan kompetensinya

II.

Tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesional dengan baik

III.

Berprilaku yang tercela yang merusak martabat dan keluhuran profesi kedokteran

Pada Pasal 1 butir 14 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan
bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah majelis yang berwenang
menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.Pelanggaran disiplin ilmu
kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang terregistrasi di Konsil Kedokteran
Indonesia, atau dokter dan dokter gigi yang telah memiliki Surat Penugasan dari Departemen

Kesehatan pada masa peralihan, dapat mengakibatkan pelakunya diberi sanksi disiplin profesi yang
diputuskan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
BAB IIKETENTUAN UMUM
2. Penegakan disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.

BAB III BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN


1.Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
Penjelasan: Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, tenaga medik harus bekerja dalam
batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakkan diagnosis maupun dalam penatalaksanaan pasien;
2.Tidak merujuk pasien kepada tenaga medik lain yang memiliki kompetensi sesuai.
Penjelasan:
a.
Dalam menangani penyakit atau kondisi pasien diluar kompetensinya (karena keterbatasan
pengetahuan, ketrampilan ataupun peralatan yang tersedia), maka dokter atau dokter gigi wajib
menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain
atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai.
b.

Upaya perujukan tidak dilakukan pada keadaan-keadaan antara lain :

1) Sifat sakit pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk


2) Keberadaan tenaga medik lain dan atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit dijangkau
3) Atas kehendak pasien
3.
Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Penjelasan:
a.
Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur kedokteran tertentu
kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan ruang lingkup ketrampilan mereka.
b.
Dokter harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian memiliki
kompetensi untuk itu.
c.

Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien tersebut.

4.
Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut;
Penjelasan:
a.
Bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau
dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki SIP
b.
Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu sehingga tidak
memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, maka
dapat disediakan dokter/dokter gigi pengganti lainnya
c.

SIP dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus digantikan.

d.
Ketidakhadiran dokter bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat
dokter berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien.
5.
Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;
Penjelasan:
a.
Dalam melaksanakan praktik, tenaga medik yang mengalami gangguan kesehatan fisik atau
mental tertentu dapat dinyatakan tidak kompeten (unfit to practice) karena dapat membahayakan
pasien.
b.
Dokter bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk kembali melakukan praktik
kedokteran/kedokteran gigi bilamana kesehatan fisik maupun mentalnya telah pulih untuk praktik (fit
to practice). c.
Pernyatakan laik atau tidak laik untuk melaksanakan praktik kedokteran dilakukan
oleh komite kesehatan yang dibentuk KKI. (diskusi dan usulan utk KKI)
6.
Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan
pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
Penjelasan: Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat, hatihati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai berikut:
a.
b.
c.

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang diagnostik
Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien
Tindakan dan pengobatan secara professional

d. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi kedokterane.
Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan
7.

Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien

Penjelasan:
a.
Dokter atau dokter gigi melakukan pemeriksaan atau pemberian terapi, ditujukan hanya untuk
kebutuhan medik pasien.
b.
Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani pasien dari segi biaya
maupun kenyamanan dan bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
Penjelasan:
a.
Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan oleh
karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau
penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b.
Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis
medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan
medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
c.
Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan
dijalaninya.

d.
Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian pasien,
kecuali atas kehendak pasien
9.
Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya.
Penjelasan:
a.
Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya (well informed)
sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination)
untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan dokter
kepadanya.
b.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan
(otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan
persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka
persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara
kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).
c.
Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan,
termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi
mensyaratkan persetujuan tertulis.
d.
Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping,
maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan
darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.
e.
Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan harus dari pihak
suami/istrif.
Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik (antara lain
imunisasi massal, wabah dan lain-lain) tidak diperlukan persetujuan medik
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
Penjelasan:
a.
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik secara
benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik
merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi
Penjelasan:
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang mengharuskan
tindakan tersebut.
b.
Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan nyawa
janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau
keluarganya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
Penjelasan:

a.
Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan
manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau
tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana.
b.
Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien
merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka dengan
persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi
tetap memberikan perawatan (ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau
teknologi yang belum diterima atau diluar tatacara praktik kedokteran yang layak
Penjelasan:
a.
Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter gigi wajib menggunakan
pengetahuan, ketrampilan dan tata cara praktik kedokteran yang telah diterima oleh profesi
kedokteran.
b.
Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui penelitian / uji klinik tertentu
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan manusia sebagai subjek penelitian tanpa
persetujuan etik (ethical clearance)
Penjelasan :Dalam praktik kedokteran dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau klien sebagai
subjek penelitian asal mendapat ethical clearance dari komisi etik penelitian 15. Tidak melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
Penjelasan:
a.
Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang mendasar bagi
setiap manusia, khususnya bagi dokter atau dokter gigi di sarana pelayanan kesehatan.b.
Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau apabila telah ada individu
lain yang mau dan mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana
pelayanan kesehatan tertentu.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan
sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi;
Penjelasan:
a.

Tugas profesional medik adalah melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien secara tuntas.

b.
Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada
pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) :
1) Pasien melakukan intimidasi terhadap dokter/dokter gigi
2) Pasien melakukan kekerasan terhadap dokter/dokter gigi
3) Pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.Dalam hal diatas dokter wajib
memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin kelangsungan pengobatan
pasien dengan cara merujuk dan menyertakan keterangan medisnya.

c.
Dokter tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan dokter pasien terapeutik
semata-mata karena keluhan pasien (complaint), alasan finansial, suku, ras, jender, politik, agama
dan kepercayaan.
17. Membuka rahasia kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
etika profesi;
Penjelasan:
a.
Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila dipandang perlu untuk
menyampaikan informasi tanpa persetujuan pasien atau keluarga, maka dokter tersebut harus
mempunyai alasan pembenaran.
b.

Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:1) Permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI;

2) Permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan


3) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan
18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya
secara benar dan patut;
Penjelasan:
a.
Profesional medik harus jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan keterangan medik baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan.
b. Tenaga medik tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsuc.
Dalam hal
membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter wajib membaca secara teliti setiap
dokumen yang akan ditanda tangani, agar tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.
19. Turut serta di dalam perbuatan yang termasuk ke dalam tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman matiPenjelasan:Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara
kesehatan fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, seorang
profesional medik tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang bertentangan dengan
tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau pelaksanaan hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesiPenjelasan:Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan perundang-undangan.
21. Melakukan pelecehan seksual atau tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien;
Penjelasan: Seorang profesional medik tidak boleh menggunakan hubungan personal (seperti
hubungan seks atau emosional) yang merusak hubungan dokter pasien.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;Penjelaskan: Dalam
melaksanakan hubungan dokter-pasien, seorang dokter/dokter gigi hanya dibenarkan menggunakan
gelar akademik atau sebutan profesi sesuai dengan kemampuan, kewenangan dan ketentuan
perundang-undangan. Penggunaan gelar dan sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat menyesatkan
masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari rujukan atau permintaan pemeriksaan atau pemberian resep
obat/ alat kesehatan;
Penjelasan:Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter lain/ sarana
penunjang lain, atau pembuatan resep/ pemberian obat, seorang dokter/dokter gigi hanya dibenarkan
bekerja untuk kepentingan pasien . Oleh karenanya, dokter tidak dibenarkan meminta atau menerima

imbalan jasa diluar ketentuan etika profesi yang dapat mempengaruhi indepedensi dokter (kick-back
atau fee-splitting);
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik
lisan ataupun tulisan, yang bertentangan dengan etika profesi;
Penjelasan: Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan informasi tentang
kemampuan/pelayanan seorang dokter/dokter gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh
karenanya, profesional medik hanya dibenarkan memberikan informasi yang memenuhi ketentuan
umum yakni: sah, patut, jujur, akurat dan dapat dipercaya.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya
Penjelasan: Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya (NAPZA) dapat
menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi sehingga berpotensi membahayakan pengguna
pelayanan medik.
26. Berpraktik dengan menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah
Penjelasan: Seorang dokter/dokter gigi yang diduga memiliki STR dan atau SIP dengan
menggunakan persyaratan yang tidak sah dapat diajukan ke MKDKI. Apabila terbukti pelanggaran
tersebut maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
27. Ketidak jujuran dalam bertransaksi dengan pasien dalam memberikan pelayanan medik
Penjelasan: Dokter/dokter gigi harus jujur meminta imbalan jasa sesuai dengan tindakan yang
dilakukan
28. Dikenai hukuman pidana yang telah berkekuatan tetap atas perbuatan pidana yang berkaitan
dengan keluhuran/martabat profesi kedokteran atau disiplin profesi atau etika profesi
Penjelasan: MKDKI dapat memperoleh informasi dari instansi resmi maupun dari media massa.
Berdasarkan hal tersebut KKI secara aktif meminta amar keputusan.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma
hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI
untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan
untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi
satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin
profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis
yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai
akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa
yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI
akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan
perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan
disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana
dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku
pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa
di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah

diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula
sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di
dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian
mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1.
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,
teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis,
Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws,
SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum
pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya
bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian
keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula
yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi
harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2]
Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel
institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan
tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang
dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti
pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada
hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat
kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup
bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan
disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang
dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang
disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai
istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct,
professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada
penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah
terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan
ijin praktik. [3]
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan
keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan
penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan
MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu
menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Hak Atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia

Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental dan tak ternilai demi terlaksananya
hak asasi manusia yang lainnya. Setiap orang berhak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi
yang dapat dijangkau dan kondusif bagi kehidupan manusia yang berderajat. Dalam Deklarasi Umum
HAM Pasal 25 (1) menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang
cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan, tempat tinggal,
pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang penting.
Komite Hak Ekosob PBB dalam Komentar Umum Nomor 14 tentang Hak atas Standar Kesehatan
Tertinggi Yang Dapat Dijangkau menetapkan bahwa Hak Kesehatan mengandung 4 elemen penting
yakni; 1.) Ketersediaan (Availability) Implementasi fungsi kesehatan publik dan fasilitas pelayanan
kesehatan, barang dan jasa-jasa kesehatan serta program-program harus tersedia dalam kuantitas yang
cukup di suatu negara, misalnya: air minum yang sehat, sanitasi yang memadai, rumah sakit, klinik,
tenaga medis yang professional dan obat-obatan yang baik.
2.) Keterjangkauan (Accessibility) Fasilitas barang dan jasa kesehatan harus dapat diakses oleh setiap
orang serta memiliki dimensi: tidak diskriminatif, akses secara fisik, akses ekonomi dan akses
informasi. 3.) Penerimaan (Acceptability) Fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus diterima
oleh etika medis dan budaya lokal. 4.) Kualitas (Quality) Di samping diterima secara budaya, fasilitas,
barang dan jasa kesehatan harus sesuai dengan ilmu dan medis yang berkualitas dan baik.
Selain itu pelayanan kesehatan haruslah berbasis Hak Asasi Manusia yang meliputi; 1.) Pelayanan
Dasar, pelayanan ini berkaitan dengan penyakit umum dan penyakit yang relative minor dan
disediakan oleh professional kesehatan dan atau dokter umum yang terlatih, yang bekerja dalam
komunitas, dengan biaya relative rendah (aksesibel dan akseptibel secara ekonomi).

2.) Pelayanan sekunder, Pelayanan yang tersedia secara terpusat, biasanya rumah sakit dan secara
khusus berkaitan dengan penyakit yang relatif umum dan minor atau penyakit yang serius yang tidak
dapat diatasi pada level masyarakat, menggunakan tenaga profesional kesehatan yang terlatih,
peralatan khusus, dengan biaya yang relative tinggi. 3) Pelayanan tersier, pelayanan yang tersedia di
pusat-pusat tertentu, membutuhkan professional dan dokter spesialis yang berkaitan satu sama lain,
membutuhkan peralatan khusus dan biayanya cukup mahal
BAB IV SANKSI DISIPLIN
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang- undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3) adalah :
1.Pemberian peringatan tertulis
2.Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik; dan/atau
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1
(satu) tahun, atau Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau
selamannya;
1.Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi.

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi yang dimaksud dapat berupa :a.
Pendidikan formal b.
Pelatihan dalam pengetahuan dan
atau ketrampilan, magang di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau
sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun

Anda mungkin juga menyukai