Anda di halaman 1dari 12

Kebijaksanaan Fiskal

1. Pengatar
Sistem dan prestasi fiskal satu negara harus dipelajari dalam konteks
sejarahnya. Pada tahun 1951-1958 sistem fiskal di Indonesia sangat tergantung
pada sumber penerimaan yang berasal dari perdagangan internasional. Semenjak
akhir tahun 1950-an, penerimaan dai sumber-sumber ini mulai menurun sebagai
akibat dari makin buruknya situasi pasar dunia bagi karet dan barang-barang
lainnya, dan juga sebagai akibat dari ditetapkannya kurs devisa yang terlalu rendah.
Pemerintah terpaksa melaksanakan kebijaksanaan anggaran belanja defisit untuk
membiayai

pengeluaran-pengeluaran

yang

diperlukan.

Keadaan

ini

telah

mengakibatkan timbulnya inflasi kumulatif, dan selanjutnya berakhir dengan


kehancuran ekonomi pada akhir Orde Lama.
Pemerintah Orde Baru telah menentukan beberapa kebijaksanaan di bidang
anggaran belanja dengan tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi. Tindakan-tindakan ini pada dasarnya adalah sebagai
berikut:
a. Anggaran

belanja

dipertahankan

agar

seimbang

dalam

arti

bahwa

pengeluaran total tidak melebihi penerimaan total yang berasal dari sumber
dalam negeri maupun sumber dari luar negeri, termasuk bantuan luar negeri.
b. Tabungan pemerintah yang diartikan sebagai penerimaan dalam negeri
dikurangi pengeluaran rutin diusahakan meningkat dari waktu ke waktu
dengan tujuan agar mampu menggeser secara berangsur-angsur bantuan
luar negeri dan akhirnya meghilangkan ketergantungan terhadapnya sebagai
sumber pembiayaan pembangunan.
c. Basis perpajakan diusahakan diperluas secara berangsur-angsur guna
menghindari pengalaman yang kurang menyenangkan di tahun 1959-1960.
Sasaran ini dicapai dengan cara mengintensifkan penaksiran pajak dan
prosedur pengumpulannya.
d. Prioritas harus diberikan

kepada

pengeluaran-pengeluaran

produktif

pembangunan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran rutin dibatasi. Demikian


juga

subsidi

kepada

perusahaan-perusahaan

negara

dibatasi

dan

perusahaan-perusahaan ini didorong agar mampu mengembangkan sumber


keuangannya sendiri.
e. Kebijaksanaan anggaran

diarahkan

pada

sasaran

untuk

mendorong

pemanfaatan secara maksimal sumber-sumber dalam negeri, termasuk


tenaga kerja dalam negeri, untuk mengembangkan produksi dalam negeri.
Para produsen dalam negeri diberi rangsangan-rangsangan fiskal agar lebih
banyak menggunakan teknologi produksi yang padat karya, dan kalau perlu
juga diberikan proteksi terhadap persaingan barang luar negeri.
Sasaran kebijaksanaan ini sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah-pemerintah di negara-negara yang sedang berkembang lainnya yang
ingin mencapai stabilitas pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan fiskal.

2. Prosedur
Ada tiga macam anggaran pendapatan dan belanja yaitu untuk pemerintah
pusat yang disebut APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), untuk
pemerintah provinsi disebut APBD (Anggaran Pendapatan da Belanja Daerah)
Provinsi, dan untuk pemerintah kabupaten/kota, dikenal sebagai APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) kabupaten/kota. Unit kerja untuk APBN adalah
semua departemen seperti departemen dalam negeri, departemen pendidikan
nasional, departemen luar negeri, departemen agama, departemen pertahanan,
departemen tenaga kerja dan transmigrasi dan sebagainya. Unit kerja untuk APBD
Provinsi adalah kantor gubernur dan dinas-dinas, sedangkan APBD kabupaten/kota
adalah kantor bupati/wali kota dan kecamatan-kecamatan.
Prosedur penyusunan anggaran pendapatan dan belanja memakai sistem
bottom-up yang artinya dimulai dari unit kerja yang paling bawah, kemudian ke unit
kerja yang lebih tinggi. Semua unit kerja yang disebutkan diatas menyusun
anggaran pendapatan dan belanja tiap tahun. Misalnya departemen pekerjaan
umum, mereka menyusun anggaran pendapatan dan belanjanya dengan mengikuti
pola yang sudah ditentukan. Misalnya, pada anggaran belanjanya, pengeluarannya
dibedakan menjadi pengeluaran biaya rutin (pembayaran gaji pegawai, biaya
pemeliharaan untuk listrik, telepon dan sebagainya) dan pengeluaran biaya
pembangunan.

Unit kerja di tingkat provinsi juga menyusun anggaran pendapatan dan


belanjanya tiap tahun. Misalnya dinas pendidikan nasional menyusun anggaran
pendapatan dan belanja tahunannya. Demikian juga halnya dengan unit kerja di
tingkat kabupaten/kota madya, yakni kecamatan dan kantor bupati, menyusun
anggaran pendapatan dan belanjanya tiap tahun.
Penyusunan anggaran pada tingkat ini diikuti oleh pertimbangan apakah
pendapatannya lebih kecil atau lebih besar dari pengeluaran. Setelah penyusunan
anggaran selesai di tingkat ini, lalu anggaran tersebut diserahkan ke level yang lebih
tinggi. Untuk tingkat nasional, semua departemen menyerahkan susunan anggaran
pendapatan dan belanjanya di Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah) Provinsi, dan untuk tingkat kabupaten/ kota madya di Bappeda
Kabupaten/Kota. Di tingkat ini kemudian di adakan penggabungan dan ringkasan
dari semua usulan anggaran pendapatan dan belanja dari unit kerja bawahanya.
Disini diadakan pembicaraan atau pertemuan berkali-kali, dan di sini pula (terutama
untuk nasional) diadakan pertimbangan berapa anggaran untuk penerimaannya dan
bagaimana anggaran untuk pengeluaran dari semua unit. Sebelum anggaran untuk
nasional diputuskan, terlebih dahulu dalam rapat ditentukan asumsi-asumsi yang
mendasari anggaran pendapatan dan belanja untuk tahun tertentu.
Dengan menggunakan data yang diperoleh dari semua departemen maka
pemerintah atau Bappenas dapat menyelesaikan penyusunan APBN tahun tertentu.
APBN yang telah disusun oleh pemerintah ini mungkin bersifat defisit (belanja lebih
besar dari pendapatan), atau seimbang (belanja sama dengan pendapatan), atau
surplus (pendapatan lebih besar dari belanja). Namun dalam sejarah APBN
Indonesia keadaan defisit lebih sering atau selalu dihadapi oleh APBN. Setelah
pembahasan

APBN

selesai

dtingkat

pemerintah,

konsep

APBN

tersebut

disampaikan ke DPR untuk dibahas. Setelah semuanya dianggap memadai dan


APBN yang diusulkan oleh pemerintah dapat diterima oleh DPR maka APBN itu
diundangkan menjadi Undang-Undang APBN untuk tahun tertentu. Kemudian APBN
itu diterapkan oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.
Denga telah di tentukan APBN maka sumber dana pemerintah daerah dari
APBN dapat diketahui dan oleh karenanya APBD Provinsi maupun APBD
Kabupaten/Kota dapat disusun untuk kemudian diserahkan kepada DPRD Provinsi

dan Kabupaten/Kota untu mendapat pengesahan dan diundangkan menjadi


Peraturan Daerah, serta kemudian dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

3. Struktur APBN
Struktur APBN atau komponen-komponen yang membentuk APBN adalah
pendapatan dan pengeluaran negara yang secara rinci dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 2002-2007 (Miliar Rupiah)

Pendapatan Negara dan Hibah


Penerimaan dalam negeri
Penerimaan Perpajakan
Pajak Dalam Negeri
-Pajak Penghasilan (Pph)
Nonmigas
Migas
-Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
-Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- BPH Atas Tanah & Bangunan
- Cukai
- Pajak Lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
Bea Masuk
Pajak Ekspor
Penerimaan Bukan Pajak
Penerimaan Sumber Daya Alam
- Minyak Bumi
- Gas Alam
- SDA lainnya
Bagian Laba BUMN
Surplus Bank Indonesia
PNBP lainnya

Hibah
Belanja Negara
Anggaran Belanja Pemeintah Pusat
Pengeluaran Rutin
Belanja Pegawai
Belanjan Barang
Pembayaran Bunga Hutang

2002
298.60
5
298.52
8
210.08
8
199.51
2
101.87
4
84.404
17.469
65.153
6.228
1.600
23.189
1.469
10.575
10.344
231
88.440
64.755
47.686
12.325
4.744
9.760
13.925

78
322.18

2003
341.39
6
340.92
9
242.04
8
230.93
4
115.016
95.293
19.723
77.082
8.677
2.229
26.277
1.654
11.114
10.885
230
98.880
67.739
48.871
12.631
6. 238
12.833
18.308

468
376.50
5

2004
349.93
4
349.30
0
272.17
5
260.22
4
133.96
8
120.83
5
13.133
86.273
8.031
2.668
27.671
1.614
11.951
11.636
315
77.125
47.241
28.248
15.754
3.238
11.454
18.430

634

2005-P
540.126
532.671
351.974
334.403
180.253
143.017
37.236
102.671
13.375
3.661
32.245
2.198
17.570
16.591
980
180.697
144.361
102.196
36.364
5.801
12.000
24.336

2006-P
659.115
654.882
425.053
410.226
213.698
175.012
36.686
132.876
18.154
4.386
38.523
2.590
14.827
13.853
1.244
229.829
165.695
122.964
36.825
5.906
20.800
43.334

2007-P
694.088
690.265
492.011
474.551
251.748
214.481
37.268
152.057
22.026
3.966
42.035
2.720
17.460
14.418
3.042
198.254
115.053
78.235
29.484
7.334
21.800
13.669
47.731

7.455
565.070
411.667
326.924
61.167
42.312
60.982

4.233
699.099
478.250
408.470
79.075
55.992
82.495

3.823
752.373
498.172
426.488
97.983
61.824
83.555

Utang Dalam Negeri


Utang Luar Negeri
Subsidi
Subsidi BBM
Subsidi Non BBM
Pajak Ditanggung Pemerintah
Bantuan Sosial
Pengeluaran Rutin Lainnya
Pengeluaran Pembangunan
Pembiayaan Rupiah
Pembiayaan Proyek
Anggaran Belanja Untuk Daerah
Dana Perimbangan
- Dana Bagi Hasil
- Dana Alokasi Umum
- Dana Alokasi Khusus
Dana
Otonomi
Khusus
dan
Penyeimbang

0
223.97
6
186.65
1
39.480
12.777
87.667
25.406
62.621
43.628
31.162
12.466
3.099
37.325
25.608
11.717
98.204
94.657
24.884
69.159
613
3.548

256.19
1
186.94
4
47.662
14.992
65.351
46.356
18.995
43.899
30.038
9.901
3.960
15.042
69/247
47.510
21.737
120.31
4
111.070
31.370
76.978
2.723
9.244

374.35
1
255.30
9
184.43
8
56.738
17.280
65.651
41.276
24.375
26.362
14.527
10.995
840
18.407
70.871
50.500
20.371
119.042
112.187
26.928
82.131
3.128
6.855

42.307
18.675
119.098
89.194
23.643
6.253
43.374
84.743
54.747
29.997
153.402
146.160
52.567
88.766
4.828
7.243

58.155
24.340
107.628
80.609
21.367
5.651
41.018
42.262
69.780
55.258
25.475
220.850
216.798
59.564
145.664
11.570
4.052

58.803
24.252
105.073
55.604
49.469
0
52.272
25.781
71.684
70.826
23.205
254.201
244.608
62.726
164.787
17.094
9.593

Tabel diatas menunjukkan bahwa APBN selalu mengalami defisit dan ternyata baik
pendapatan maupun belanja negara telah mengalami perkembangan yang lebih dari
dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun (2002-2007).

4. APBN Perubahan dan Realisasi


Dalam pelaksanaannya sepanjang Tahun Anggara (1 Januari sampai 31
Desember) sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan di dalam perekonomian
sehingga asumsi yang digunakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Sebagi
contoh pada Tahun Anggaran 2007 telah terjadi kenaikan harga minyak mentah
dunia, berturut-turut seolah-olah tidak bisa distop. Akhirnya perlu diadakan
penyesuaian APBN, karena perubahan harga bahan bakar minyak di dalam negeri,
perubahan jumlah subsidi bahan bakar minyak dan sebagainya. APBN yang
disesuaikan itu disebut APBN-P (APBN-Perubahan). Demikian juga halnya untuk

tahun 2008, telah terjadi perubahan harga bahan bakar minyak mentah dunia,
namun terjadi penurunan, bukan kenaikan seperti tahun sebelumnya. Oleh karena
itu APBN-P juga harus disusun. APBN-P dibuat setiap tahun sekitar bulan oktober
oleh karena selalu terjadi perbedaan antara asumsi dan kenyataan. Harus dimaklumi
bahwa APBN yang disusun, baik untuk APBN awal maupun APBN-P, adalah
anggaran sehingga oleh karenanya sangat mungkin berbeda dengan angka-angka
realisasi.

5. Pembiayaan Defisit Anggaran


Baik APBN dan APBD bisa surplus, seimbang, ataupun defisit. Dalam hal
APBN surplus, dimana pendapatan negara lebih besar dai belanja negara, satu
keadaan yang jarang sekali terjadi atau tidak pernah terjadi di Indonesia. Kelebihan
pendapatan dapat saja dipergunakan untuk membiayai belanja tahun berikutnya.
Pada masa pemerintahan Soeharto, APBN selalu disusun agar seimbang.
Anggaran yang demikian dikenal dengan balance bugdet. Kalau APBN selama Orde
Baru ditinjau tahun demi tahun sesungguhnya tidakah terlalu terjadi keseimbangan,
melainkan pada satu tahun terjadi defisit dan pada tahun lainnya terjadi surplus,
namun pemerintah selalu mengatakan bahwa kebijaksanaan anggaran adalah
anggaran seimbang dalam jangka panjang (lebih besar dari satu tahun).
Pada masak Sukarno (Orde Lama) pemerintah selalu mengalami defisit
dalam APBNnya. Hal ini oleh karena penerimaan dari pajak sangat kecil karena
perekonomiannya yang boleh dikatakan tidak berkembang (stagnan), sedangkan
pengeluaran pemerintah selalu mengalami peningkatan yang disebabkan oleh
pembiayaan untuk keamana (perang) didalam negeri maupun untuk melawan
penjajah, neokolonialisme, dan neoliberalisme. APBN pada waktu itu selalu
dikatakan memakai sistem deficit spending, kelebihan belanja dari pendapatan di
biayai dengan mencetak uang. Namun berbeda pada pemerintahan Soeharto yang
sering

terjadi

defisit

dalam APBNnya

namun

tidak dikatakan

memakai

kebijaksanaan deficit spending oleh karena tidak dibiayai melalui percetakan uang.
Pembiayaan defisit anggaran dibiayai dari sumber dalam dan luar negeri. Sumber
pembiayaan dari dalam negara bisa berasal dari perbankan maupun non bank di

dalam negeri. Sumber dari non bank dalam negeri berupa hasil dari privatisasi
perusahaan negara, penjualan aset restrukturisasi perbankan, penjualan obligasi
negara, dan/atau dana investasi dari pemerintah. Sedangkan sumber pembiayaan
defisit dari luar negeri bisa berupa penarikan pinjaman luar negeri (baik berupa
pinjaman program maupun pinjaman proyek) dikurangi dengan pembayaran cicilan
pokok utang luar negeri.

6. Pola Penerimaan Pemerintah


Kebijaksanaan fiskal pada umumnya dan termasuk di Indonsia terdiri dari
kebijaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara/pemerintah.
Penerimaan pemerintah Indonesia dibedakan menjadi:
1. Penerimaan dalam negeri, yang tidak lain daripada seluruh penerimaan baik
yang berupa pajak ataupun penerimaan bukan pajak, dan
2. Hibah, yang merupakan bantuan pihak ketiga (yang tidak mengikat) kepada
pemerintah baik yang datang dari dalam negeri maupun yang dari luar negeri.
Penerimaan dalam negeri dibedakan menjadi:
1. Penerimaan dari perpajakan (baik pajak langsung maupun tidak langsung,
baik di dalam negeri maupun pajak dari perdagangan internasional, dan
2. Penerimaan bukan pajak (PNBP), semua penerimaan negara yang bukan
pajak seperti halnya uang sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit
oleh departemen yang membuat pembibitan untuk rakyat aset milik
pemerintah yang dijual kepada rakyat seperti misalnya rumah dinas, mobil
dinas, dan sebagainya.
Selanjutnya penerimaan negara dari pajak dibedakan menjadi:
1. Pajak Dalam Negeri, yang terdiri dari komponen: Pajak Penghasilan (Pph)
dari Migas dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Bea Cukai,
dan Pajak lainnya.
2. Pajak dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi
ekspor.

3. Pola Pengeluaran Pemerintah


Anggaran belanja negara/pemerintah terdiri dari anggaran untuk Pemerintah
Pusat dan anggaran untuk Pemerintah Daerah, dimana anggaran untuk Pemerintah
Pusat sekitar dua kali dari anggaran untuk Pemerintah Daerah,seperti tabel yang
ditunjukkan dibawah ini bahwa dalam kurun waktu enam tahun Pemerintah telah
mampu meningkatkan anggaran belanjanya lebih dari dua kali lipat dari sebesar Rp
322 triliun pada tahun 2002 menjadi lebih dari Rp 752 triliun pada tahun 2007.
Kelipatan ini juga berlaku baik untuk belanja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah.
Anggaran Belanja Pemerintah, 2002-2007 (Miliar Rupiah)

Belanja Negara

2002
322.18

2003
376.50

2004
374.35

2005-P 2006-P 2007-P


565.070 699.099 752.373

-Pemerintah Pusat

0
223.97

5
256.19

1
255.30

411.667

- Pemerintah Daerah

6
98.204

1
120.31

9
119.042 153.402 153.850 254.201

478.250 498.172

Anggaran belanja untuk Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah


dibedakan menjadi untuk pengeluaran rutin (administrasi pemerintahan) dan untuk
pengeluaran pembangunan. Anggaran rutin pemerintah pusat relatif tetap untuk
tahun 2002,2003, dan 2004, sekitr 180an triliunan rupiah kemudian melonjak tajam
ke tahun 2005-P (perubahan yang telah disetujui DPR) menjadi diatas 325 triliun
rupiah dan pada anggaran 2007-P menjadi diatas 426 triliun rupiah. Perubahan
dengan kecepatan yang hampir sama juga terjadi pada anggaran belanja untuk
pembangunan.

4. Pengaruh APBN Terhadap Jumlah Uang Beredar

APBN merupakan alat kebijakan moneter, karena setiap rupiah yang diambil
dari masyarakat dan masuk kas negara akan mempengaruhi jumlah uang beredar di
masyarakat. Demikian juga halnya dengan setiap rupiah yang keluar dari pemerintah
akan meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Jadi semua aktivitas
pendapatan dan belanja negara akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar di
masyarakat.
Apabila jumlah (realisasi) pengeluaran negara persis sama dengan jumlah
(realisasi) penerimaan negara, katakanlah Rp. 1.000 triliun, maka jumlah uang yang
beredar di masyarakat berkurang sebesar jumlah tersebut karena penerimaan
negara dan dengan jumlah yang sama jumlah uang yang beredar di masyarakat
bertambah karena pengeluaran negara. Kalau realisasi APBN ternyata defisit, sering
disebut deficit spending. Katakanlah pengeluaran negara sebesar Rp.1.000 miliar,
sedangkan penerimaan negara hanya Rp 900 miliar, maka jumlah uang yang
beredar di masyarakat bertambah sebesar belanja negara (Rp.1.000 miliar) dan
berkurang sejumlah penerimaan negara Rp.900 miliar. Sisanya yang Rp 100 miliar
dibiayai melalui pinjaman pada (uang muka dari) Bank Indonesia. Pinjaman dari
Bank Indonesia bukanlah bersifat penarikan uang yang beredar dari masyarakat,
sedangkan T bill (pinjaman jangka pendek) bersifat serapan uang di masyarakat
oleh pemerintah.
Kalau realisasi APBN bersifat surplus, penerimaan negara lebih besar dari
pengeluaran negara. Hal ini sering terjadi pada realisasi APBN Indonesia pada masa
Soeharto sampai sekarang dan di negara maju. Katakanlah realisasi APBN sebesar
Rp.1000 triliun untuk pengeluaran dan realisasi penerimaan negara sebesar
Rp.1.100 triliun. Dalam keadaan demikian ini jumlah uang beredar berkurang
sebesar Rp.1.100 triliun dan bertambah sebesar Rp.1.000 tiliun, sehingga akibat
bersih APBN adalah jumlah uang beredar berkuang sebesar Rp 100 triliun (sejumlah
surplus pada realisasi APBN).

5. Kebijakan Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah


Anggaran belanja pemerintah (dan anggaran untuk lembaga sosial) berbeda
dengan anggaran belanja rumah tangga pribadi. Kalau dalam anggaran untuk rumah

tangga pibadi pertama-tama ditentukan penerimaan rumah tangga tersebut sebagai


dasar untuk menentukan anggaran pengeluarannya, sebaliknya anggaran rumah
tangga

pemerintah

dan

lembaga

sosial

pertama-tama

ditentukan

jumlah

pengeluaran yang diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar dan
dari mana saja beban belanja tersebut besumber.
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Penghasilan Nasional.
Pengeluaran pemerintah rutin dan pembangunan dibayarkan kepada
masyarakat (pegawai dan pelaksana pembangunan). Mereka menerima tambahan
pendapatan. Dari tambahan pendapatan tersebut mereka cenderung untuk
melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Kecenderungan tambahan
konsumsinya disebut MPC (marginl propensity to consume) dan kecenderungan
tambahan untuk menabung disebut MPS (marginal propensity to save). MPC
biasanya dinyatakan dalam proporsi terhadap penghasilan (Y), demikian juga MPS
dinyatakan dalam proporsi terhadap penghasilan (Y), sehingga MPC+MPS=1 kali
besarnya penghasilan. Tambahan konsumsi yang dilakukan oleh orang pertama tadi
diterima oleh orang lain yaitu orang kedua, karena menerima tambahan pendapatan
orang kedua ini juga cenderung melakukan tambahan konsumsi dan tambahan
tabungan maka tambahan konsumsinya merupakan tambahan pendapatan bagi
yang menerimanya yaitu orang ketiga. Begitu selanjutnya proses berjalan sampai
jumlah yang tak terhingga. Jumlah kenaikan penghasilan masyarakat sebagai akibat
dari adanya pengeluaran pemerintah adalah jumlah pengeluaran pemerintah itu
dikalikan dengan faktor pengganda.

Dengan memakai manipulasi aljabar dasar

diperoleh faktor pengganda sebesar k= 1/ MPS.


Pengaruh Pajak terhadap Pengasilan Nasional.
Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah menarik pajak dari rakyat,
pajak ini mempunyai sifat mengurangi pendapatan dari mereka yang membayar
pajak itu. Karena pendapatannya berkurang, mereka cenderung mengurangi
konsumsi (sebesar MPC kali berkurangnya penghasilan), dan mereka cenderug
mengurangi menabung (sebesar MPS kali berkurangnya penghasilan), yang
mempunyai

akibat

lanjutan

terhadap

mereka

yang

terkena

pengurangan

penghasilan. Untuk faktor penggandanya dapat diperoleh dengan manipulasi aljabar


dasr sebesar k= -(1/MPS-1).

Pengganda untuk Anggaran Berimbang


Oleh

karena

dalam

anggaran

berimbang

yaitu

jumlah

pengeluaran

pemerintah sama dengan jumlah pajak, maka akibat dari anggaran belanja
seimbang terhadap penghasilan nasional adalah (Jumlah kenaikan penghasilan
nasional

karena

pengeluaran

pemerintah)

dikurangi

(jumlah

pengurangan

penghasilan nasional karena adanya pajak). Karena yang pertama adalah sebesar
(1/MPS) kali jumlah pengeluaran pemerintah , dan yang disebut belakangan adalah
-(1/MPS-1), maka tambahan penghasilan neto karena anggaran seimbang adalah
(1/MPS)-(1/MPS-1)=1 kali anggaran berimbang tersebut. Dengan kata lain faktor
pengganda untuk anggaran berimbang adalah (+1).
Tabungan Pemerintah dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi satu negara dapat dibiayai oleh sumber-sumber dari
dalam negeri dan dari luar negeri. Sumber pembiayaan pembangunan ekonomi dari
dalam negeri dapat berupa tabungan perseorangan, tabungan perusahaan, dan
tabungan pemerintah, sedangkan yang bersumber dari luar negeri bisa berupa
bantuan dan pinjaman luar negeri, penanaman modal langsung dari luar negeri atau
penanaman modal tidak langsung dari luar negeri. Yang dimaksud dengan tabungan
pemerintah adalah semua penerimaan dari dalam negeri dikurangi dengan semua
pengeluaran rutin. Namun untuk di Indonesia masih di kurangi lagi dengan anggaran
belanja untuk daerah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat tiap tahun
(bersifat rutin).

Referensi:
Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar:Udayana University
Press

Anda mungkin juga menyukai