Anda di halaman 1dari 6

Laporan Praktikum Ke-2

M.K. Biometeorologi

Hari, tanggal : Rabu, 11 Maret 2015


Asisten
:
1.Indy Harist Sandy (G24100020)
2.Erika Nursandi (G24110031)
3. Atu Fathia Miraj (G24110060)

PEMETAAN TINGKAR KERAWANAN PENYAKIT DBD DI JAWA BARAT


DAN DKI JAKARTA

Sekar Ayu Kanti W


(G24120043)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

HASIL DAN PEMBAHASAN


Klasifikasi iklim Koppen dikembangkan berdasarkan hubungan empiris antara
iklim dan vegetasi. Hingga saat ini, sistem klasifikasi Koppen adalah sistem
klasifikasi yang paling sering digunakan. Klasifikasi iklim Koppen ini sudah sering
digunakan untuk memetakan distribusi geografis dalam jangka panjang yang
berhubungan dengan kondisi ekosistem. Tipe klasifikasi iklim ini menyediakan
skema dan cara yang efisien untuk mendeskripsikan kondisi iklim yang didefinisikan
dari berbagai variabel-variabel dan sifat musimannya. Sistem klasifikasi Koppen
menggunakan data suhu bulanan dan presepitasi untuk menentukan batasan dari tipetipe iklim yang berbeda-beda di seluruh dunia. Klasifikasi Koppen terdiri dari 5 grup
utama (A, B, C, D, E) dan dibagi lagi menjadi beberapa sub-grup. Iklim tropis diberi
simbol A untuk daerah Tropis dengan karakteristik suhu udara rataan bulanan yang
setara atau lebih tinggi dari 18oC, dengan 4 sub-tipe A yang ditentukan berdasarkan
presipitasi tahunan dan musiman, yaitu hutan hujan tropis (Af), monsun tropis (Am),
tropis basah dan savanna (Aw). Iklim kering diberi simbol B yang ditentukan dari
presipitasi dan suhu rataan tahunan, dengan sub-tipe B yaitu gurun dan stepa. Iklim
sedang (mild) dengan simbol C merepresentasikan iklim dengan suhu rataan bulanan
terendah yaitu antara -3oC dan 18oC. Iklim salju D dengan suhu terendah rataan
bulanan sama dengan atau kurang dari -3oC. Dan yang terakhir yaitu iklim polar E
dengan suhu sama dengan atau kurang dari +10oC (Chen 2013).
Indeks kerentanan (IK) merupakan indeks yang dikembangkan dengan
mengkombinasikan data-data intensitas, time series data selama 3 tahun (m),
frekuensi kejadian DBD yang dibedakan menjadi kejadian ringan (Fr), sedang (Fs)
dan berat (Fb). Penentuan Indeks Kerentanan wilayah akan lebih baik jika
menggunakan data dengan periode panjang, sehingga dapat menggambarkan sifat
kerentanan wilayah tersebut dalam jangka panjang dengan berbagai keadaan yang
pernah terjadi. Terdapat 3 tahap dalam penentuan IK. Tahap pertama yaitu
menentukan bentuk sebaran data IR (Insidence Rate) bulanan yang nilainya lebih dari
nol. Tahapan kedua yaitu membagi tingkat kejadian. Dan tahapan terakhir yaitu
menentukan IK kejadian DBD bulanan untuk setiap wilayah (Hidayati et al. 2009).
Pada praktikum kali ini nilai IK dikelompokkan menjadi 5 tingkat kerawanan yaitu
Aman (0-0,7), Agak Aman (0,8-4,0), Agak Rentan (4,1-8,0), Rentan (8,1-12,0) dan
Sangat Rentan (12,1-16,0).

A
AA
AR
R
SR

Gambar 1 Tingkat kerawanan DBD wilayah Jawa Barat

A
AA
AR
R
SR

Gambar 2 Tingkat kerawanan DBD wilayah DKI Jakarta


Gambar 1 dan gambar 2 merupakan diagram penyebaran tingkat kerawanan di
wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Terlihat perbedaan yang cukup signifikan di
antara kedua diagram tersebut. Pada wilayah Jawa Barat, masih cukup aman seperti

yang terlihat pada gambar 2, warna merah mendominasi diagram tersebut. Warna
merah menunjukkan daerah dengan kategori AA yaitu Agak Aman dengan nilai
indeks kerawanan dalam kisaran rentang 0,8-4,0. Kemudian diikuti dengan kategori
Aman (A) dan Agak Rentan (AR). Berbeda dengan gambar 2 yaitu sebaran tingkat
kerawanan di wilayah DKI Jakarta. Jelas terlihat bahwa wilayah DKI lebih rentan
karena didominasi dengan IK pada kategori Rentan dan Sangat Rentan. Hal ini bisa
disebabkan karena wilayah DKI Jakarta merupakan pusat kota. Kejadian DBD
meningkat secara dramatik pada pusat kota yang menjadi daerah endemik baru.
Berlanjutnya kecenderungan pertambahan penduduk, meningkatnya kepadatan
penduduk di pusat kota, berkombinasi dengan kontrol vektor yang kurang efektif,
memberi peluang cepatnya evolusi virus.memiliki kepadatan penduduk yang lebih
dibandingkan wilayah Jawa Barat. Selain itu, kepadatan penduduk tersebut juga
membuat daerah resapan menjadi berkurang karena alih guna lahan menjadi
pemukiman. Daerah resapan yang berkurang tersebut membuat air menjadi tergenang
dan bisa menjadi tempat perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegepty.

Aw
Am
Af

Gambar 3 Klasifikasi iklim Koppen wilayah Jawa Barat

Aw
Am
Af

Gambar 4 Klasifikasi iklim Koppen wilayah DKI Jakarta


Berdasarkan diagram pada gambar 3 dan 4, wilayah Jawa Barat dan DKI
Jakarta sama-sama terdapat dalam kategori Tropis yaitu huruf A. Perbedannya yaitu
pada wilayah Jawa Barat lebih bervariasi Aw, Am, dan Af. Sedangkan pada DKI
Jakarta hanya terdapat Am dan Af saja. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
perbedaan subtipe tersebut didasrkan pada tingkat preseipitasi. Af memiliki
presipitasi yang lebih tinggi dibanding Am, dan Am lebih tinggi dibanding Aw, dan
Aw memiliki tingkat presipitasi terendah. Bila iklim dan tingkat kerentanan
dihubungkan, wilayah dengan tingkat presipitasi yang lebih tinggi menjadi lebih
rentan. Karena puncak perkembangbiakan nyamuk juga terjadi pada puncak musim
hujan. Dan wilayah Jawa Barat dan DKI merupakan wilayah yang suhunya sesuai
untuk kehidupan nyamuk Aedes aegepty.
KESIMPULAN
Tingkat kerentanan pada wilayah DKI Jakarta lebih tinggi bila dibandingkan
dengan wilayah Jawa Barat. Pada wilayah Jawa Barat, masih didominasi dengan
kerentanan Agak Aman (AA), sedangkan pada wilayah DKI Jakarta sudah didominasi
dengan kerentanan Rawan (R) dan Sangat Rawan (SR). Hal ini bisa disebabkan
karena wilayah DKI Jakarta yang merupakan pusat kota dengan kepadatan penduduk
yang lebih tinggi sehingga menjadi faktor pendukung untuk pertumbuhan nyamuk.
Selain itu, faktor iklim juga ikut mempengaruhi pertumbuhan nyamuk. Iklim pada
wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat memiliki tingkat presipitasi yang tinggi sehingga
nyamuk vektor pembawa DBD sangat sesuai untuk berkembang biak.
DAFTAR PUSTAKA

D. Chen, H.W. Chen. 2013. Using the Kppen classification to quantify


climate variation and change: An example for 19012010. Journal Environmental
Development 6 (2013) 697.
Hidayati, Rini, Rizaldi Boer, Yonny Koesmaryono, Upik Kesumawati,
Sjafrida Manuwoto. 2009. Penyusunan Metode Penentuan Indeks Kerawanan
Wilayah dan Pemetaan Wilayah Rentan Penyakit Demam Berdarah di Indonesia.
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 8 No. 4, Desember 2009: 1066-1076.

Anda mungkin juga menyukai