SELAYANG PANDANG
1.1
Latar Belakang
Pada hakikatnya, manusia berkembang selaras dengan alam. Bentuk mula
kehidupan manusia mengerti betul bahwa alam tidak bisa dipisahkan dari mereka.
Mereka belajar bertahan hidup, mengambil apa yang diperlukan secukupnya tanpa
merusak dan memahami bahwa keberadaan mereka merupakan salah satu subsistem dari kumpulan berbagai macam sub-sistem dalam suatu rangkaian besar
sistem lingkungan hidup. Bahkan, di beberapa kebudayaan awal alam dipuja
sebagai Tuhan, yang menunjukkan bahwa dulu manusia mempunyai kerendahan
hati untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada alam.
Saat revolusi industri dimulai di abad ke-18, alam mulai dilupakan. Manusia
seolah menemukan dewa baru yang membuat hidup lebih mudah dan praktis.
Alam sudah bukan lagi sahabat, bahkan dipandang sebagai penghambat kemajuan
peradaban. Maka, dimulailah pembantaian besar-besaran oleh manusia terhadap
bumi. Hutan dibabat untuk membuat lahan sebagai lokasi industri dan
pemukiman, gunung dan bukit diratakan sebagai jalur transportasi untuk
mempermudah distribusi dan mobilitas. Laut, sungai dan sumber air lainnya
disalahgunakan sebagai sasaran pembuangan limbah. Belum lagi berbagai sumber
daya alam yang dieksploitasi habis-habisan tanpa mempertimbangkan kebutuhan
generasi mendatang.
tidak nyaman. Bumi pun menjadi musuh dalam selimut, alam sudah tidak lagi
bersahabat.
Sebenarnya kemajuan bukanlah hal yang buruk. Hal tersebut merupakan hal
yang tidak terhindarkan dalam peradaban manusia. Namun, euforia manusia akan
pesona baru industri membuat lupa terhadap hal lain yang menunjang kehidupan,
seperti lingkungan. Kemajuan dan efisiensi dianggap segalanya, yaitu tujuan yang
harus dicapai oleh umat manusia dengan cara apapun.
Begitu banyaknya kasus-kasus menghebohkan tentang dampak kerusakan
lingkungan oleh industri terhadap manusia yang semakin lama terdengar semakin
mengerikan. Kasus internasional yang paling gencar publikasinya dan yang
gaungnya pertama kali menyentak hati umat manusia adalah Tragedi Minamata
yang terjadi di Jepang pada tahun 1959. Tragedi tersebut terjadi akibat limbah
industri dari sebuah pabrik tidak diolah dan dibuang begitu saja di sebuah teluk
kecil yang menjadi pusat mata pencaharian penduduk setempat. Akumulasi
bertahun-tahun dari tumpukan limbah tersebut menjadi bom waktu yang merusak
segala bentuk kehidupan. Begitu banyak manusia dan hewan yang menjadi
korban, penyakit aneh yang tidak ditemukan obatnya, biaya rehabilitasi dan
reklamasi yang begitu tinggi, hilangnya sumber mata pencaharian, belum lagi
lamanya
waktu
yang
diperlukan
untuk
pulih
dari
tragedi
itu
(Https://theknightman.wordpress.com/).
Kasus Teluk Minamata seakan menjadi tuas yang membuka bendungan dari
banjir kasus-kasus serupa. Ternyata bumi menyimpan penderitaan akibat limbah
industri di banyak tempat. Diantara daftar panjang kasus kerusakan lingkungan
adalah kasus Love Canal dan Kepone di Amerika Serikat, Kabut Dioxin di Italia,
lahan Stringfellow di USA dan lain-lain (Http://jujubandung.wordpress.com/).
Di Indonesia, kasus kerusakan lingkungan yang paling banyak diberitakan
karena banyaknya kepentingan yang terlibat di dalamnya adalah tragedi lumpur
Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus ini terjadi karena kombinasi dari human
error, buruknya manajemen kerja dan kualitas peralatan pertambangan gas.
Efeknya pun amat masif. Kerugian yang ditimbulkan baik materil dan immateril
menyebar ke berbagai aspek kehidupan, tidak hanya kesehatan namun juga
pendidikan, sosial budaya, politik, hukum, hingga menyeret nama petinggipetinggi negeri ini (Agustina, 2009). Meski sudah berselang delapan tahun, kasus
Lapindo belum juga memperoleh penyelesaian yang dapat memuaskan semua
pihak.
Di Kota Palu, pernah terjadi kasus yang hampir serupa dengan Tragedi
Teluk Minamata. Namun karena masyarakat dan media sudah lebih waspada,
maka dampaknya tidak sehebat kasus di Jepang. Kejadian tersebut disebut kasus
Poboya yang melibatkan sebuah perusahaan penambangan emas. Beroperasi di
tengah kota dan dekat dengan pemukiman warga, tentu saja limbah kimia bekas
pengolahan emas pabrik itu seketika mencemari sumber air, tanah, dan merusak
bentangan alam disana. Hewan dan ternak mati, tanaman perkebunan dan sawah
yang menjadi sumber mata pencaharian tidak dapat tumbuh, dan tingkat
pencemaran air konsumsi oleh bahan kimia bekas industri mencapai lebih dari
ambang batas normal. Belum lagi terjadi konflik berdarah akibat berbagai
benturan kepentingan, kriminalitas dan ironisnya tidak ada bukti nyata bahwa
memikul tanggung jawab, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Sudah
bukan rahasia lagi, bahwa pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang atas
perizinan berbagai macam industri kadangkala mempunyai kepentingan tersendiri
yang disetir oleh dunia bisnis, politik, maupun ranah kekuasaan yang lebih besar
lagi seperti kepentingan pihak-pihak asing. Lingkungan dipandang sebelah mata
bila dibandingkan dengan prinsip kepentingan orang banyak dan kemajuan
ekonomi daerah. Disitulah pemerintah mengambil peran, diantaranya dengan
membuat dan melaksanakan regulasi terkait lingkungan hidup dengan tertib dan
teliti, melakukan pengawasan secara kontinyu atas kepatuhan dunia usaha, serta
menegakkan dan memberlakukan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap
para pelanggar. Tata kelola ruang kota juga harus benar-benar dipatuhi agar
kejadian seperti Poboya tidak terulang lagi.
Masyarakat pun sama saja. Selama ini, lingkungan tidak dipandang sebagai
bagian inti dari kehidupan. Limbah rumah tangga menjadi masalah serius di
berbagai kota-kota metropolitan dunia. Sedikit sekali orang yang peduli pada
sampah yang dihasilkannya. Jika dilihat sepintas, sampah yang dibuang oleh
individu memang sedikit, tapi bagaimana jika itu dilakukan oleh tiap individu
yang hidup di dunia ini? Selain itu, termasuk salah satu penyebab rusaknya
lingkungan adalah masyarakat yang mata pencahariannya mengambil dari alam
namun melakukannya secara sembarangan. Contoh paling nyata adalah para
nelayan yang mengambil ikan dan hasil laut dengan menggunakan bom serta
pukat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti tidak peduli pada bumi,
namun jika terjadi kasus kerusakan lingkungan oleh perusahaan besar yang
berdampak pada mereka, barulah masyarakat menuntut keadilan dan ganti rugi.
Schimedheiny (1995) menyatakan bahwa kenyataan tersebut merupakan akibat
dari kesalahpahaman masyarakat mengenai keberlanjutan lingkungan yaitu :
1. Pendapat bahwa kemajuan industri dan pembangunan berkelanjutan tidak
berkaitan. Pandangan tersebut timbul terutama karena masyarakat mengaitkan
kepedulian semacam itu dengan masalah pelestarianhutan tropika, spesies
langka dan sebagainya. Kepedulian itu juga dihubungkan dengan pencemaran
sehingga hanya dilihat sebagai tugas dunia industri.
2. Anggapan bahwa pembangunan berkelanjutan, meskipun perhatiannya adalah
kebutuhan masa depan, bahwa pembangunan berkelanjutan mengorbankan
kebutuhan jangka pendek.
Kalangan usaha juga tidak bisa berpangku tangan, tidak bisa terus bersikap
defensif bila dihadapkan dengan isu kerusakan lingkungan. Salah satu yang
menjadi alasan enggannya dunia industri dalam menerapkan praktik pengolahan
limbah adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Padahal bila ditilik lebih
dalam, biaya tersebut tidak sebanding besarnya daripada biaya yang harus mereka
keluarkan untuk menanggulangi dan mereklamasi lingkungan pada akhirnya.
Begitupun industri-industri kerakyatan yang mengambil bahan baku dari
alam, selama ini merasa tidak bersalah terhadap degradasi lingkungan karena
mereka menganggap bahwa nilai eksploitasi mereka kecil. Padahal masalah
lingkungan bukan hanya disebabkan oleh perusahaan-perusahaan besar,
melainkan juga oleh dunia usaha secara umum terutama yang aktivitas usahanya
berbahan baku sumber daya alam.
menggebu-nggebu
menyerukan
pesan
peduli
lingkungan.
Untuk
undang-undang tentang
akuntansi
lingkungan.
Perusahaan-
antara
keberlanjutan
lingkungan
dengan
kebutuhan
untuk
berkelanjutan
yang
sedang
mengemuka.
Pembangunan
produk dapat dihitung secara tepat sehingga perhitungan harga pokok produk
dapat lebih realistis (Damayanti dan Pentiana, 2013).
Akuntansi berkembang seiring dengan dunia bisnis dan dunia bisnis berjalan
seiring dengan kebutuhan manusia. Karena besarnya perhatian masyarakat dunia
terhadap degradasi alam oleh aktivitas industri, maka dunia usaha juga sudah
bergerak untuk menjawab tuntutan-tuntutan tersebut. Karena itu, akuntansi
sebagai cermin utama bagi dunia luar untuk melihat kondisi suatu perusahaan
harus mampu mengakomodirnya. Akuntansi tidak bisa lagi hanya terpaku pada
masalah untung rugi, tidak boleh lagi berdiri sendiri sebagai simbol rakusnya
manusia akan besaran angka. Akuntansi bisa menjadi perantara asimilasi antara
dunia usaha dan lingkungan hidup.
Akuntansi konvensional tidak memiliki perhatian terhadap transaksitransaksi yang bersifat non reciprocal transaction, tetapi hanya mencatat transaksi
secara timbal balik (reciprocal transaction), sedangkan akuntansi lingkungan
mencatat transaksi yang bersifat tidak timbal balik, seperti polusi, kerusakan
lingkungan atau hal-hal negatif dari aktivitas perusahaan. Keterbatasan tersebut
akan terasa terutama jika sistem akuntansi tersebut dihubungkan dengan operasi
bisnis yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Biaya-biaya terkait
lingkungan umumnya adalah biaya pengelolaan limbah, pembuangan limbah,
instalasi pembuangan, biaya kepada pihak ketiga, biaya perizinan dan sebagainya.
Pada akuntansi konvensional pos biaya ini dikenal sebagai pos biaya umum bagi
perusahaan (overhead cost). Ketidakcocokan pengelompokan biaya-biaya itu
berpengaruh saat perusahaan harus mengambil sebuah keputusan finansial, hingga
10
merupakan
sumber
informasi
yang
menganut
prinsip
11
12
Mahasiswa
adalah
status
yang
disandang
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam
13
3.
lingkungan alam.
Bagi Dunia Usaha
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai akuntansi hijau serta
4.
5.
akuntansi hijau.
Bagi Peneliti Yang Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan untuk
penelitian sejenis di masa yang akan datang.
14