Anda di halaman 1dari 63

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN

KONVERSI SPUTUM PENDERITA TB PARU


DI KLINIK JEMADI MEDAN

Oleh :
MUHAMMAD ZAINUL
060100175

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN


KONVERSI SPUTUM PENDERITA TB PARU
DI KLINIK JEMADI MEDAN

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :
MUHAMMAD ZAINUL
060100175

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Konversi Sputum Penderita TB Paru di


Klinik Jemadi Medan.

Nama : Muhammad Zainul


NIM : 060100175

Pembimbing

Penguji

(dr. Bintang Sinaga, Sp.P.)


NIP :

(dr.Alya Amila Fitrie, M.Kes.)


NIP :

(dr.Juliandi Harahap, M.A.)


NIP :

Medan, 1 Desember 2009


Dekan,
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Prof.dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH


NIP : 19540220 198110 1 001
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di Indonesia dan dunia. Pada tahun 1992 WHO mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency. Pada tahun 2002 WHO menyebutkan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis.
Merokok juga merupakan suatu masalah besar bagi kesehatan. Konsumsi
tembakau yang terus-menerus dapat menjadi penyebab utama kematian di dunia
yang sebenarnya dapat dicegah. Ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap
risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TB.
Untuk mengetahui pengaruh merokok pada konversi sputum penderita TB
paru, dilakukan penelitian kohort dengan kelompok kontrol selama dua bulan
pengobatan dengan OAT kategori I. Sputum BTA dinilai pada bulan ke-0, ke-1,
dan ke-2 pengobatan. Sampel berjumlah 77 orang diambil dengan menggunakan
teknik consecutive sampling.
Dari 77 orang penderita TB paru, 62 orang (80,5%) adalah pria. Rerata
usia penderita TB paru 37,42 + 13,62 tahun. Rerata berat badan adalah
50,18 + 11,03 kg.
Uji chi square menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada
konversi sputum baik dalam pengobatan bulan ke-0 sampai ke-1 maupun
pengobatan bulan ke-1 sampai ke-2 antara penderita TB paru yang merokok dan
yang tidak merokok (<0,05). Namun, secara keseluruhan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada konversi sputum setelah dua bulan pengobatan antara
penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok (>0,05). Oleh karena
itu, disimpulkan bahwa penderita TB paru yang merokok memerlukan waktu
pengobatan lebih lama untuk mencapai konversi sputum yang setara dengan
penderita TB paru yang tidak merokok.
Kata kunci : merokok, TB paru, konversi sputum

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

ABSTRACT
Tuberculosis is an important public health problem in Indonesia and in
the world. In 1992 WHO stated tuberculosis as Global Emergency. In 2002,
WHO said that there were 8,8 milion new cases of tuberculosis.
Smoking is also a big problem for health. On going tobacco consumption
could become the first leading cause of death in the world which should be able to
be prevented. There was a significant relationship between smoking, passive
smoker, and air pollution from fire-wood and charcoal with the risk for infection,
disease, and death because of tuberculosis.
To know the relationship between smoking and sputum conversion in the
pulmonary tuberculosis patients, a cohort study with control group was held for
two month treatment with category one antituberculosis drugs (OAT). Sputum for
acid fast bacilli was studied before the treatment, after one month, and after two
months of the treatment. There were 77 pulmonary tuberculosis patients taken by
using consecutive sampling technique. The data were analized descriptively and
analitically using statistical package program.
In 77 pulmonary tuberculosis patients, there were 62 men (80,5%) and
15 women (19,5%). The mean age of pulmonary tuberculosis patients was
37,42 + 13,62 years old. The mean of body weight was 50,18 + 11,03 kg.
Chi square analysis showed that there were significant differences of
sputum conversion both in 0-1 month treatment and in 1-2 month treatment
( < 0,05). But there was no significant difference of sputum conversion in
0-2 month treatment between the smoking and non-smoking pulmonary
tuberculosis patients ( > 0,05). It was concluded that the smoking pulmonary
tuberculosis patients took longer time to achieve the same sputum conversion as
the non-smoking one.
Keywords: smoking, pulomary tuberculosis, sputum conversion

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini dapat
diselesaikan. KTI ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana
Kedokteran (S.Ked.) di Fakultas Kedokteran USU. Saya menyadari bahwa KTI
ini masih jauh dari sempurna. Namun, besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat
bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang:
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Konversi Sputum Penderita TB
Paru di Klinik Jemadi Medan. Dengan selesainya KTI ini, perkenankanlah
saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat:
1.

Rektor USU Prof.dr. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K) dan Dekan FK


USU Prof.dr.Gontar Siregar, SpPD(K), KGEH yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di FK
USU Medan.

2.

Pembimbing penulisan KTI dr. Rina Amelia dan dr.Bintang, SpP, yang
dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, dan mengarahkan
penulisan KTI ini sampai selesai.

3.

Dosen penguji dr.Alya Amila Fitrie, M.Kes. dan dr.Juliandi Harahap. M.A.
yang telah memberi saran untuk menyempurnakan KTI ini.

4.

Keluarga besar dr.H Zainuddin Amir Sp.P (K) yang telah mendukung dengan
luar biasa baik dalam hal moril maupun hal materil.

5.

Wina Yulinda, yang telah memberikan sumbangan berupa kritik maupun


saran yang positif.

6.

Seluruh staf Klinik Jemadi yang telah membantu dalam pengumpulan data.
Akhir kata saya memohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan

pada KTI ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya

Medan, November 2009


Wassalam
Penulis
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................

ABSTRAK..............................................................................................

ii

ABSTRACT...........................................................................................

iii

KATA PENGANTAR...........................................................................

iv

DAFTAR ISI..........................................................................................

DAFTAR TABEL.................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR.............................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................

viii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................

1.1 Latar Belakang.......................................................................

1.2 Rumusan Masalah..................................................................

1.3 Tujuan Penelitian...................................................................

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................

2.1 Tuberkulosis.........................................................................

2.1.1 Definisi......................................................................

2.1.2 Faktor Risiko Stroke..................................................

2.1.3 Patogenesis danPatologi TB Paru..............................

2.1.4 Diagnosis TB Paru.....................................................

2.1.5 Penatalaksanaan..........................................................

10

2.2 Merokok...............................................................................

12

2.2.1 Definisi.......................................................................

12

2.2.2 Komposisi...................................................................

12

2.2.3 Pengaruh Merokok terhadap Paru...............................

14

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

2.3 Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru.........................

16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

17

3.1 Kerangka Konsep ................................................................

17

3.2 Definisi Operasional ..........................................................

17

3.3 Hipotesis..............................................................................

17

BAB 4 METODE PENELITIAN..........................................................

18

4.1 Jenis Penelitian.....................................................................

18

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................

18

4.3 Populasi dan Sampel...........................................................

18

4.4 Teknik Pengumpulan Data..................................................

19

4.5 Pengolahan Data.................................................................

19

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................

21

5.1 Hasil Penelitian.....................................................................

21

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian.........................................

21

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Penderita TB Paru..................

21

5.1.2.1 Karakteristik Demografis Penderita TB Paru..

22

5.1.2.2 Proporsi Jenis Kelamin Penderita TB Paru yang


Merokok dan Tidak Merokok.......................................

24

5.1.2.3 Proporsi Umur Penderita TB Paru yang Merokok


dan Tidak Merokok......................................................

24

5.1.2.4 Proporsi Berat Badan pada Penderita TB Paru


yang Merokok dan yang Tidak Merokok.....................

25

5.1.2.5 Distribusi Frekuensi BTA Positif pada


Pemeriksaan Sputum Penderita TB Paru.....................

25

5.1.2.6 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru


Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Setelah Satu Bulan Pengobatan dengan OAT..............

26

5.1.2.7 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru


Bulan Pertama ke Bulan Kedua Pengobatan dengan
OAT..............................................................................

26

5.1.2.8 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru


Setelah Dua Bulan Pengobatan dengan OAT...............

27

5.1.3 Hasil Analisis Statistik.................................................

27

5.1.3.1 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah


Satu Bulan Pengobatan dengan OAT...........................

27

5.1.3.2 Analisis Statistik Konversi Sputum Bulan


Pertama ke Bulan Kedua Pengobatan dengan OAT.....

28

5.1.3.3 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah


Dua Bulan Pengobatan dengan OAT...........................

29

5.2 Pembahasan.............................................................................

29

5.2.1 Penderita TB paru...............................................

29

5.2.2 Hubungn Merokok dengan Konversi Sputum


Penderita TB paru........................................................

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN................................................

31

33

6.1 Kesimpulan............................................................................

33

6.2 Saran......................................................................................

34

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

35

LAMPIRAN

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

DAFTAR TABEL

Nomor
Tabel 5.1

Judul

Halaman

Karakteristik demografis penderita TB paru di Klinik

23

Jemadi Medan
Tabel 5.2

Proporsi jenis kelamin pada penderita TB paru yang

24

merokok dan tidak merokok


Tabel 5.3

Proporsi umur pada penderita TB paru yang merokok

25

dan tidak merokok


Tabel 5.4

Proporsi berat badan pada penderita TB paru yang

25

merokok dan tidak merokok


Tabel 5.5

Distribusi frekuensi BTA positif pada pemeriksaan

26

sputum penderita TB paru sebelum pengobatan


Tabel 5.6

Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah

26

satu bulan pengobatan dengan OAT


Tabel 5.7

Proporsi konversi sputum penderita TB paru bulan

27

pertama ke bulan kedua pengobatan dengan OAT


Tabel 5.8

Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah

27

dua bulan pengobatan dengan OAT


Tabel 5.9

Uji chi-square konversi sputum setelah satu bulan

28

pengobatan dengan OAT antara penderita TB paru


yang merokok dan tidak merokok
Tabel 5.10

Uji chi-square konversi sputum bulan pertama ke

28

bulan kedua pengobatan dengan OAT antara penderita


TB paru yang merokok dan tidak merokok
Tabel 5.11

Uji chi-square konversi sputum setelah dua bulan

29

pengobatan dengan OAT antara penderita TB paru


yang merokok dan tidak merokok

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

DAFTAR GAMBAR

Nomor
Gambar 3.1

Judul
Kerangka Konsep

Halaman
17

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Judul

Halaman

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

38

LAMPIRAN 2

HASIL ANALISIS SPSS

39

LAMPIRAN 3

TABEL INDUK SUBJEK PENELITIAN

45

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium Tuberculosis

Complex dan merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting di Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,


2006). Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency. Menurut laporan WHO, terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002. Sebanyak 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari
seluruh kasus TB di dunia, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus
per 100.000 penduduk (WHO, 2002a).
Penyebab peningkatan TB paru di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan
terhadap program pengobatan, diagnosis, dan pengobatan yang tidak adekuat,
migrasi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV).
Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse), strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan
kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan
penderita TB, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (WHO,
2002).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada
tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedangkan pada SKRT
2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan
penyakit infeksi (Aditama, 2004).
Hasil BTA sputum positif yang tidak dapat disembuhkan, pengobatan tidak
teratur, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun
pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT (Depkes
RI, 2007).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Merokok yang juga suatu masalah kesehatan pada masyarakat yang


merupakan suatu ancaman besar bagi kesehatan

di dunia (Emmons, 1999).

Konsumsi tembakau terus-menerus dapat menjadi penyebab utama kematian di


dunia yang sebenarnya dapat dicegah. Saat ini, diperkirakan terdapat 1,1 milyar
penduduk dunia yang berusia 15 tahun atau lebih merupakan perokok, dan
kematian akibat dari penggunaan tembakau terdapat 4,9 juta orang per tahun. Jika
pola merokok ini tetap berlanjut, jumlah kematian akan meningkat menjadi
sepuluh juta orang per tahun pada tahun 2020, tujuh juta (70%) di antaranya akan
terjadi di negara berkembang di berbagai belahan dunia (WHO, 2003).
Kebiasaan merokok di Indonesia dan di berbagai negara berkembang
lainnya cukup luas dan ada kecenderungan bertambah dari waktu ke waktu,
sementara di negara maju kebiasaan merokok ini justru mulai ditinggalkan oleh
masyarakat luas yang telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan (Aditama,
1997).
Di India TB adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok.
Sekitar 20% kematian akibat tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan
merokok mereka. Merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta
warganya di usia produktif pada tahun 2010. Penelitian itu juga menunjukkan,
kebiasaan tersebut menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC,
penyakit saluran pernapasan, dan jantung. Menurut penelitian tersebut juga
mengungkapkan tuberkulosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan
masyarakat yang signifikan, terutama di negara berkembang (Boon, 2007).
Penelitian Lin (2009) membuktikan hubungan signifikan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap
risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TB. Dari seratus orang yang diteliti,
ditemukan yang merokok dan menderita TB sebanyak 33 orang, perokok pasif
dan menderita TB 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan menderita TB 5
orang.
Penelitian Aditama (2009) menunjukkan hubungan antara kebiasaan
merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis, serta faktor risiko

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response


relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya.
Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat TB dan kebiasaan
merokok memegang peran penting sebagai faktor penyebab kematian pada TB.
Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi lebih mudah terinfeksi tuberkulosis,
dan angka kematian akibat TB akan lebih tinggi pada perokok dibandingkan
dengan bukan perokok.
Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian resmi yang
mengungkapkan hubungan antara rokok dan TB paru (Aditama, 2009).
Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Hubungan
Kebiasaan Merokok dengan Konversi Sputum Penderita TB Paru di Klinik Jemadi
Medan.

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan satu pertanyaaan pada
penelitian ini, yaitu: Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan
konversi sputum pada penderita TB paru?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan konversi
sputum pada penderita TB paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.

Untuk mengetahui proporsi konversi sputum setelah sebulan pengobatan


dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

2.

Untuk mengetahui proporsi konversi sputum dari bulan pertama ke bulan


kedua pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan
tidak merokok.

3.

Untuk mengetahui proporsi konversi sputum setelah dua bulan pengobatan


dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
pengobatan TB pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

4.

Untuk mengetahui adakah perbedaan yang bermakna pada konversi sputum


penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

1.4. Manfaat Penelitian


1.

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Klinik Jemadi Medan
mengenai lama pengobatan yang dibutuhkan pada penderita TB paru yang
merokok.

2.

Hasil penelitian ini diharapkan memotivasi penderita TB paru-paru yang


merokok untuk berhenti merokok agar pengobatan TB-nya lebih cepat dan
efektif.

3.

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai pengaruh


kebiasaan merokok terhadap konversi sputum penderita TB paru dan sebagai
salah satu tugas akhir mata kuliah Community Research Program (CRP) pada
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

4.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih
lanjut mengenai hubungan merokok dengan penyakit TB paru serta
penjelasan teoretisnya.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Menurut WHO, TB adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006).

2.1.2. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan
suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu (Depkes RI, 2007):
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru-paru atau ekstrapulmonal;
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;
d. Riwayat pengobatan TB paru-paru sebelumnya: baru atau sudah pernah
diobati.
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1)

Kasus TB paru: pasien TB paru yang telah dibuktikan secara mikroskopis


atau didiagnosis oleh dokter.

2)

Kasus TB paru pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk


Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya
BTA positif.

2.1.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena


a.

Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar getah bening pada hilus.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

b.

Tuberkulosis ekstrapulmonal
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

2.1.2.2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskopis


a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
1) Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB paruparu positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah tiga spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non-OAT.
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak tiga spesimen sputum SPS hasilnya BTA negative
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non-OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.1.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit


Pada TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

2.1.3. Patogenesis dan Patologi TB Paru


2.1.3.1. Patogenesis TB Paru Primer
Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau berbicara maka
droplet nukleus akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas, maka
kuman tuberkulosis akan berterbangan di udara dan berpotensi sebagai sumber
infeksi pada orang sehat. Hal ini yang sering disebut sebagai airborne infection.
Pada sekali batuk dikeluarkan tiga ribu droplet. Setelah melewati barrier
mukosilier saluran nafas, basil TB paru-paru akan mencapai bronkiolus distal atau
alveoli. Kuman mengalami multiplikasi di paru-paru dikenal sebagai focus Ghon.
Basil juga mencapai kelenjar limfe hilus melalui aliran limfe sehingga terjadi
limfadenopati hilus. Focus Ghon

dan limfadenopati hilus akan membentuk

kompleks primer. Kompleks primer berlokasi di lobus bawah karena ventilasi


lebih baik di area tersebut. Ghon menemukan pendistribusian fokus primer yang
sama antara lobus atas dan lobus bawah, tetapi lebih sering pada paru kanan
(Fishman, 2002).
Respon imun seluler berupa hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
empat sampai enam minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB paru dan
kemampuan daya tahan tubuh akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya.
Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi
kuman dan sebagian kuman menjadi dorman (Lulu, 2004).
Berawal dari kompleks primer infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh
melalui berbagai jalan :

a. Secara Bronkogen
Menyebar ke paru-paru yang bersangkutan atau melalui sputum ke paruparu sebelahnya dan dapat tertelan sehingga dapat menyebabkan TB paru pada
gastrointestinal (Hopewell, 2005).

b. Secara Hematogen dan Limfogen


Vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa material yang
mengandung kuman TB dan kuman ini dapat mencapai berbagai organ melalui
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

aliran darah dan sistem limfatik. Penyebaran secara hematogen lebih sering terjadi
pada tempat dengan tekanan oksigen yang tinggi seperti pada otak, epifisis tulang
panjang, ginjal, tulang vertebra dan daerah apikal-posterior paru-paru. Reaktivasi
TB lebih cenderung berkembang di daerah apikal oleh karena PO2 yang lebih
tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan kuman. Daerah apikal-posterior juga
merupakan area yang defisiensi produksi limfe sehingga terjadi penurunan
drainase sehingga kuman TB sukar dieliminasi di area tersebut (Hopewell, 2005).

2.1.3.2. Patogenesis Reaktivasi Tuberkulosis


Banyak sebutan terhadap fase ini seperti

penyakit kronik pasca TB

primer, reinfeksi atau TB progresif dewasa, endogen reinfeksi, reaktivasi terjadi


setelah periode laten (beberapa bulan atau tahun) setelah infeksi primer. Dapat
terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi oleh karena kuman dorman
mengalami multiplikasi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer.
Reinfeksi diartikan sebagai infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB paru-paru pos-primer dimulai dari sarang dini yang
umumnya pada segmen apikal lobus superior atau lobus inferior, yang awalnya
berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat mengalami suatu keadaan,
direabsorsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, sarang meluas, tetapi
mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat
aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kavitas.
Sarang pneumonia meluas membentuk jaringan keju yang bila dibatukkan akan
membentuk

kavitas awalnya

berdinding

tipis

kemudian

menjadi tebal

(Hopewell, 2005).
Bentuk dari TB paru pos-primer dapat sebagai tuberkulosis paru seperti
adanya kavitas, infiltrat, fibrosis dan endobronkial TB, atau dapat sebagai TB
ekstrapulmonal seperti efusi pleura, limfadenopati, meningitis, TB tulang
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

2.1.3.3. Patologi TB Paru


Perubahan mendasar pada jaringan paru akibat infeksi kuman tuberkulosis
berupa

lesi

eksudatif,

fibrinomacrophagic

alveolitis,

polymorphonuclear

alveolitis, kaseosa dan kavitas, tuberkuloma (Fishman, 2002).

2.1.4. Diagnosis TB Paru


Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala sistemik dan
gejala lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun. Pada paru-paru akan timbul gejala lokal berupa gejala
respiratori. Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda TB

paru seperti

tidak ada gejala, batuk, sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas,
mengi yang terlokalisir. Akan tetapi, tanda dan gejala ini tergantung pada luas
lesi. Pada pemeriksaan fisis, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat
dan luas kelainan struktur paru (Depkes RI, 2007).
Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru
pada pemeriksaan fisis. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior
terutama apeks dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior (Leitch, 2000).
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru-paru,
diafragma dan mediastinum.
Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk
membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifatsifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan
kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari
sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar
lavage, urin, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan
sputum, cara pengambilannya terdiri dari tiga kali yaitu sewaktu (pada saat
kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat mengantarkan dahak
pagi) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Ada

beberapa

tipe

interpretasi pemeriksaan

mikroskopis.

WHO

merekomendasikan pembacaan dengan skala International Union Against


Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):
a.

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

b.

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.

c.

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+).

d.

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).

e.

Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.5. Penatalaksanaan
Sejarah pengobatan pada TB dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman
dan Schatz di New Jersey menemukan Streptomyces griseus yang dikenal sebagai
Streptomisin,

merupakan

OAT

pertama

yang

digunakan.

Penggunaan

Streptomisin sebagai obat tunggal terjadi sampai tahun 1949. Kemudian


ditemukan Para Amino Salisilat (PAS), sehingga mulai dilakukan kombinasi
antara keduanya, tetapi pada akhir 1946 pemakaian PAS sudah jarang
dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang kemudian
menjadi komponen penting dalam pengobatan TB, sejak saat itu durasi
pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin (R)
sebagai paduan obat dikombinasi dengan Etambutol (E) dan Pirazinamid
(WHO, 2002b).
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. Pengembangan
strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO.
Pengobatan TB bertujuan untuk tiga hal yaitu (Departement Kesehatan RI, 2007):
a.

Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium, sehingga


dapat mengurangi durasi dari pengobatan.

b.

Untuk mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat


menyebabkan resistensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan
kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada pasien

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

yang bersangkutan, tetapi juga dapat menular pada seseorang yang


sebelumnya belum pernah terinfeksi.
c.

Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah dan


kelangsungan hidup kuman.

2.1.5.1. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)


Di Indonesia OAT KDT pertama kali digunakan pada tahun 1999 di
Sulawesi Selatan dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang
diobati dengan KDT di enam belas Puskesmas, tidak ada yang menolak dengan
pengobatan KDT dan hanya 10% dengan efek samping ringan tanpa harus
menghentikan pengobatan dan hanya 0,6% yang mendapat efek samping berat
(Depkes RI, 2007).
OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB
dengan dosis tetap. Jenis tablet KDT untuk dewasa (Depkes RI, 2007):
a.

Tablet yang mengandung empat macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Setiap tablet mengandung: 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg
Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan setiap hari untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet
yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.

b.

Tablet yang mengandung dua macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Sertiap tablet mengandung 150 mg INH dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu dalam tahap
lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.
Pada katagori I obat yang digunakan bila terdapat BTA (+) ialah
2RHZE/4RH.
Dasar perhitungan pemberian OAT KDT adalah :

1) Dosis sesuai dengan berat badan penderita


2) Lama dan jumlah dosis pemberian pada Kategori I adalah:
a. Tahap intensif adalah: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
b. Tahap lanjutan 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Kombinasi empat komponen aktif OAT atau KDT akan mampu


mengurangi resistensi kuman TB terhadap obat TB karena penderita kecil
kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat TB yang akan diminum
(Aditama, 2004).
Efek samping dapat timbul pada penggunaan tablet KDT, apabila efek
samping timbul, maka tablet KDT harus diubah dalam bentuk OAT yang terpisah.
Reaksi efek samping biasanya terjadi hanya pada 3-6% pasien-pasien dalam
pengobatan TB. Reaksi efek samping lebih sering terjadi pada pasien dengan koinfeksi dengan HIV (khususnya Thioacetazone), bagaimanapun KDT tidak
dikontraindikasikan absolut pada pasien- pasien ini (Depkes RI, 2007).
KDT dapat digunakan pada beberapa kondisi khusus, misalnya pada gagal
ginjal, dosis rifampisin, INH dan Pirazinamid dapat digunakan dosis normal.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis Etambutol harus dikurangi karena
ekskresi primer dari obat tersebut adalah melalui ginjal (Depkes RI, 2007).

2.2. Merokok
2.2.1. Definisi
Merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap rokok
(tembakau). Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya bahaya
merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan pada orang di sekitarnya
(Aditama, 2009).

2.2.2. Komposisi
Kalau kita sadar, satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepuluh
sentimeter itu, ternyata ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan
kimia berbahaya. Satu batang rokok yang dibakar mengeluarkan sekira 4 ribu
bahan kimia. Terdapat beberapa bahan kimia yang ada dalam rokok. Di antaranya,
acrolein, merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat ini sedikit
banyaknya mengandung kadar alkohol. Artinya, acrolein ini adalah alkohol yang
cairannya telah diambil. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan.Karbon
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

monoxide adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini dihasilkan oleh
pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Zat ini sangat
beracun. Jika zat ini terbawa dalam hemoglobin, akan mengganggu kondisi
oksigen dalam darah.Nikotin adalah cairan berminyak yang tidak berwarna dan
dapat membuat rasa perih yang sangat. Nikotin ini menghalangi kontraksi rasa
lapar.
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen
dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu
kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga kalau disuntikkan (baca: masuk)
sedikit pun kepada peredaraan darah akan mengakibatkan seseorang pingsan.
Formic acid sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat
membuat lepuh. Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat menimbulkan
rasa seperti digigit semut.
Hydrogen cyanide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah
terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernapasan.
Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat
berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat
mengakibatkan kematian.
Nitrous oxide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap
dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Nitrous oxide merupakan jenis zat yang pada mulanya dapat digunakan sebagai
pembius waktu melakukan operasi oleh para dokter.
Formaldehyde adalah sejenis gas tidak berwarna dengan bau yang tajam.
Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. Gas ini juga sangat
beracun keras terhadap semua organisme-organisme hidup.
Phenol merupakan campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini
beracun dan membahayakan, karena phenol ini terikat ke protein dan menghalangi
aktivitas enzim.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Acetol, adalah hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna
yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol. Hydrogen sulfide,
sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini
menghalangi oxidasi enzym (zat besi yang berisi pigmen). Pyridine, sejenis cairan
tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan mengubah sifat
alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu antara
hidrogen dan karbon merupakan unsurnya yang terutama. Zat ini adalah
merupakan compound organis yang dapat beracun. Methanol sejenis cairan ringan
yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol
dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian. Dan tar, sejenis cairan
kental berwarna cokelat tua atau hitam. Tar terdapat dalam rokok yang terdiri dari
ratusan bahan kimia yang menyebabkan kanker pada hewan. Bilamana zat
tersebut diisap waktu merokok akan mengakibatkan kanker paru-paru (Aditama,
1997).

2.2.3. Pengaruh Merokok terhadap Paru


Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang
rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar empat ribu bahan kimia seperti
nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia,
acrolein, acetilen, benzaidehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin,4ethylcatechol, ortocresol, perylene dan lain-lain (Aditama, 1997).
Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar
yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen
padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Tar adalah kumpulan dari
ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen padat asap rokok
setelah dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung bahan-bahan karsinogen
(dapat menyebabkan kanker). Tembakau banyak dikunyah atau diisap melalui
mulut atau hidung, atau seperti kebiasaan menyusur di negara kita. Sementara itu,
nikotin adalah suatu bahan adiktif, bahan yang dapat membuat orang menjadi
ketagihan dan menimbulkan ketergantungan. Daun tembakau mengandung satu
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

sampai tiga persen nikotin. Setiap isapan asap rokok mengandung 1014 radikal
bebas dan 10'6 oksidan, yang semuanya tentu akan masuk terisap ke dalam paruparu. Jadi bila seseorang membakar kemudian mengisap rokok, maka ia akan
sekaligus mengisap bahan-bahan kimia yang disebutkan di atas.
Bila rokok dibakar, maka asapnya juga akan beterbangan di sekitar
perokok. Asap yang beterbangan itu juga mengandung bahan yang berbahaya, dan
bila asap itu diisap oleh orang yang ada di sekitar perokok maka orang itu juga
akan mengisap bahan kimia berbahaya ke dalam dirinya, walaupun ia sendiri tidak
merokok. Asap rokok yang diisap perokok disebut dengan "asap utama"
(mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar yang
diisap oleh orang sekitar perokok disebut "asap sampingan" (sidestream smoke).
Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai
penyakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tertentu. Kanker
paru misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung
dihubungkan dengan gas karbon monooksida, nikotin, dan lain-lain. Makin tinggi
kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka semakin besar
kemungkinan seseorang menjadi sakit kalau mengisap rokok itu. Karena itulah di
banyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar, nikotin dan
bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual di pasaran. Yang
juga jadi masalah bagi kita adalah kenyataan bahwa rokok Indonesia mempunyai
kadar tar dan nikotin yang lebih tinggi daripada rokok-rokok produksi luar negeri.
Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok
dengan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah di Indonesia.
Setelah mengisap rokok bertahun-tahun, perokok mungkin menderita sakit
Makin lama ia punya kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan
mendapat penyakit. Tentu saja juga ada pengaruh buruk yang segera timbul dari
asap rokok, misalnya keluhan perih di mata bila kita berada di ruangan tertutup
yang penuh asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan
batuk-batuk bila di sebelahnya ada orang yang menghembuskan juga akibat
paparan asap rokok dalam waktu lama. Ada juga penelitian yang menunjukkan
bahwa asap rokok merupakan faktor risiko penting untuk timbulnya kasus baru
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

asma. Para perokok juga ternyata dapat lebih tersensitisasi terhadap alergenalergen di tempat kerja yang khusus.
Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan peningkatan kadar suatu
bahan yang disebut imunoglobulin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap
bahan ini ternyata bahkan dapat sampai empat sampai lima kali lebih tinggi pada
perokok bila dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian lain (melaporkan
pula peningkatan hitung jenis set basofil dan eosinosfil pada perokok. Jumlah sel
Goblet yang ada di saluran napas juga terpengaruh akibat asap rokok dan
mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran napas. Ada juga penelitian yang
mengemukakan bahwa "epithelial serous cells" di saluran napas dapat berubah
menjadi

sel

goblet

akibat

paparan

asap

rokok

dan

polutan

lainnya

(Aditama, 1997).

2.3. Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru


Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang
disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak
mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di
paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan
napas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah
di paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat
memfagosit bakteri patogen.
Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen
sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan.
Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan
produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan canggih
seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini
dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat biomolekuler
akibat rokok (Aditama, 2009).

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Konversi sputum
pada TB paru
setelah pengobatan bulan ke-1
dan ke-2

Merokok

Gambar 3.1 Kerangka konsep


Variabel independen: kebiasaan merokok.
Variabel dependen: konversi sputum pada penderita TB paru setelah pengobatan
dengan OAT bulan ke-1 dan ke-2.

3.2. Definisi Operasional


Kebiasaan merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap
rokok (tembakau) minimal tiga batamg rokok per hari.
Konversi sputum adalah apabila jumlah bakteri pada pemeriksaan
mikroskopis sputum penderita TB paru dengan pewarnaan BTA mengalami
penurunan sesuai dengan kriteria WHO (dari + 3 menjadi +2 menjadi +1 atau
menjadi 0).

3.3. Hipotesis
1.

Ada perbedaan konversi sputum setelah satu bulan pengobatan dengan OAT
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

2.

Ada perbedaan konversi sputum dari bulan pertama ke bulan kedua


pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.

3.

Ada perbedaan konversi sputum setelah dua bulan pengobatan dengan OAT
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok. pengobatan TB
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Desain

penelitian

ini

adalah

penelitian

kohort

atau

prospektif

observasional dengan kelompok kontrol.

4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Klinik Jemadi Medan karena Klinik Jemadi
Medan merupakan salah satu klinik tempat rujukan pengobatan TB paru di
Sumatera Utara, khususnya di Medan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 16 Mei
2009 sampai 20 Juli 2009.

4.3. Populasi dan Sampel


Populasi adalah semua penderita TB paru di Klinik Jemadi Medan yang
sudah dilakukan pemeriksaan BTA. Kemudian sampel dipilih berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi dan dikelompokkan menjadi kelompok studi (penderita TB
paru yang merokok) dan kelompok kontrol (penderita TB paru yang tidak
merokok). Pengambilan sampel dilakukan secara non-random dengan teknik
consecutive sampling.
Kriteria inklusi:
1.

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


paru-paru, pemeriksaan sputum dengan pewarnaan BTA., dan didukung oleh
pemeriksaan foto toraks

2.

Pasien TB paru yang tergolong kategori I.

3.

Pasien TB paru yang mempunyai kebiasaan merokok minimal tiga batang per
hari.

4.

Pasien TB paru yang tidak merokok dan bukan perokok pasif.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Kriteria eksklusi adalah:


1.

Penderita TB paru dengan HIV/ AIDS, diabetes mellitus, penyakit paru


obstruktif kronis (PPOK).

2.

Penderita TB paru yang tidak berobat secara teratur.

3.

Penderita TB paru yang mengkonsumsi minuman beralkohol.


Besar sampel ditetapkan berdasarkan rumus (Soekidjo, 2008):
=

N
1 + (d N)

: jumlah sampel
N: jumlah populasi N = 310 orang (Rekam Medis Klinik Jemadi Medan 2008)
d: tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki d = 10%
Jumlah sampel minimal: 76 orang.
Jumlah di atas dibagi menjadi dua kelompok, 38 orang kelompok studi dan 38
orang kelompok kontrol.

4.4. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti.
Pada penelitian ini data primer adalah proporsi konversi sputum pada
penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

b.

Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari rekam medis atau dari
penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini data sekunder adalah
data populasi penderita TB paru-paru di Klinik Jemadi Medan.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

4.5. Pengolahan Dan Analisa Data


Data penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS versi
10 dengan proses sebagai berikut (Wahyuni, 2007):
a.

Editing: memeriksa ketepatan dan kelengkapan data pada kuesioner.

b.

Coding: pemberian kode dan penomoran.

c.

Entry: memasukkan data ke dalam komputer.

d.

Cleaning: memeriksa semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer


untuk menghindari kesalahan dalam pemasukan data.

e.

Saving: penyimpanan data.

f.

Analysis data: menggunakan statistik deskriptif untuk melihat proporsi


konversi sputum pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok
serta statistik analitik untuk uji hipotesis menggunakan uji chi square

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klinik Jemadi Medan yang berlokasi di
Jl. Jemadi No. 8 Pulo Brayan Darat II - Medan Provinsi Sumatera Utara,
Indonesia. Di klinik ini terdapat beberapa praktek dokter spesialis salah satunya
adalah praktek dokter spesialis paru dan saluran pernapasan yang memiliki
beberapa 4 (empat) orang perawat dan 1 (satu) orang petugas laboratorium serta 2
(dua) orang petugas radiologi. Jumlah pasien TB baru yang datang berobat di
praktek ini setiap bulannya lebih dari 40 orang.
Klinik ini merupakan satu-satunya klinik swasta rujukan TB di Sumatera
Utara yang juga ditunjuk oleh World Health Organization (WHO) sebagai klinik
yang menggunakan system pengobatan Directly Observed Treatments (DOTS),
selama lebih dari 9 tahun.
Klinik ini melakukan pelayanan, pemeriksaan dan terapi TB selama enam
hari kerja, yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, jumat dan Sabtu, mulai pukul 16.30
hingga pukul 22.00 WIB.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Penderita TB Paru


Selama periode pengambilan sampel, yaitu tanggal 16 Mei 2009 sampai
20 Juli 2009, terdapat 77 orang penderita TB paru yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi serta masuk ke dalam penelitian. Subjek penelitian dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan kebiasaan merokok. Sebanyak 39 orang
memiliki kebiasaan merokok (kelompok studi) dan 38 orang tidak memiliki
kebiasaan merokok (kelompok kontrol).

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

5.1.2.1 Karakteristik Demografis Penderita TB Paru


Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 77 subjek penelitian, proporsi jenis
kelamin terbanyak adalah laki-laki, yaitu sebanyak 62 orang (80,5%), sedangkan
perempuan 15 orang (19,5%).
Rerata umur penderita TB paru adalah 37,42 + 13,62. Proporsi umur yang
paling banyak adalah 29-35 tahun dan 36-42 tahun yang merupakan usia
produktif, masing-masing 14 orang (17,9%). Umur 15-21 tahun 13 orang (16,7%),
umur 43-49 tahun dan 50-56 tahun masing-masing 10 orang (12,8%), umur 22-28
tahun 9 orang (11,5%), umur 57-63 tahun 6 orang (7,7%), dan umur 64-70 tahun 1
orang (1,3%).
Rerata berat badan adalah 50,18 + 11,03 kg. Proporsi berat badan yang
terbanyak adalah 39-47 kg yaitu 30 orang (39%). Berat badan 48-56 kg 26 orang
(33,8%), 57-65 kg 11 orang (14,3%), 30-38 kg 5 orang (6,5%), 66-74 kg dan 7583 kg masing-masing 2 orang (2,6%), dan 93-101 kg 1 orang (1,3%).
Pekerjaan penderita TB pru bervariasi, proporsi pekerjaan terbanyak
adalah wiraswasta yaitu 16 orang (20,8%), mocok-mocok dan pegawai swasta 14
orang (18,2%), pelajar 7 orang (9,1%), supir 4 orang (5,2%), petani 3 orang
(3,9%), tukang becak dan pensiunan PNS masing-masing 1 orang (1,3%).

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Tabel 5.1. Karakteristik demografis penderita TB paru di Klinik Jemadi Medan.


Karkteristik Subjek
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur
15-21
22-28
29-35
36-42
43-49
50-56
57-63
64-70
Mean = 37,42
SD = 13,62
Berat Badan
30-38
39-47
48-56
57-65
66-74
75-83
84-92
93-101
Mean = 50,18
SD = 11,03
Pekerjaan
Supir
Wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
Mocok-mocok
Pegawai Swasta
Petani
Mahasiswa
Pelajar
Tukang Becak
Pensiunan PNS

Frekuensi

Persentase

62
15

80,5
19,5

13
9
14
14
10
10
6
1

16,7
11,5
17,9
17,9
12,8
12,8
7,7
1,3

5
30
26
11
2
2
0
1

6,5
39,0
33,8
14,3
2,6
2,6
0,0
1,3

4
16
11
14
14
3
6
7
1
1

5,2
20,8
14,3
18,2
18,2
3,9
7,8
9,1
1,3
1,3

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

5.1.2.2 Proporsi Jenis Kelamin Penderita TB Paru yang Merokok dan Tidak
Merokok
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa pada penderita TB paru

laki-laki,

sebanyak 32 orang (51,61%) memiliki kebiasaan merokok, sedangkan 30 orang


(48,39%) tidak merokok. Pada penderita TB perempuan, sebanyak 7 orang
(46,66%) memiliki kebiasaan merokok, sedangkan 8 orang tidak merokok
(53,34%).

Tabel 5.2. Proporsi jenis kelamin pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.

Merokok
Total

Ya
Tidak

Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
32
7
30
8
62
15

N
39
38
77

5.1.2.3 Proporsi Umur Penderita TB Paru yang Merokok dan Tidak


Merokok
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa penderita TB paru yang merokok paling
banyak pada umur 15-21 tahun dan 43-49 tahun masing-masing 7 orang
(17,95%), sedangkan umur 29-35 tahun, 36-42 tahun, dan 50-56 tahun masingmasing 6 orang (15,38%), umur 22-28 tahun 5 orang (12,82%). Pada penderita TB
paru yang tidak merokok, proporsi umur yang terbanyak adalah 29-35 tahun dan
36-42 tahun masing-masing 8 orang (21,05%), sedangkan umur 15-21 tahun 6
orang (15,79%), umur 22-28 tahun, 52-56 tahun, 57-63 tahun masing-masing 4
orang (10,53%), umur 43-49 tahun 3 orang (7,89%), dan umur 64-70 tahun 1
orang (2,63%).

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Tabel 5.3. Proporsi umur pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.

Merokok

Umur yang dikelompokkan


15-21 22-28 29-35 36-42 43-49 50-56 57-63 64-70
Ya
7
5
6
6
7
6
2
Tidak

Total

6
13

4
9

8
14

8
14

3
10

4
10

4
6

1
1

N
39
38
77

5.1.2.4 Proporsi Berat Badan pada Penderita TB Paru yang Merokok dan
Tidak Merokok
Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa penderita TB paru yang merokok paling
banyak memiliki berat badan 39-47 kg yaitu 19 orang (48,72%). Berat badan 4856 kg 18 orang (46,15%), 66-74 kg dan 93-101 kg masing-masing 1 orang
(2,56%). Pada penderita TB paru yang tidak merokok, berat badan yang terbanyak
adalah 39-47 kg dan 57-65 kg masing-masing 11 orang (28,95%), 48-65 kg 8
orang (21,05%), 30-38 kg 5 orang (13,16%), 75-83 kg 2 orang (5,26%), 66-74 kg
1 orang (2,63%).

Tabel 5.4. Proporsi berat badan pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.

30-38
Merokok
Total

Ya
Tidak

5
5

Berat badan yang dikelompokkan


39-47 48-56 57-65 66-74 75-83 93-101
19
18
1
1
11
8
11
1
2
30
26
11
2
2
1

N
39
38
77

5.1.2.5 Distribusi Frekuensi BTA Positif pada Pemeriksaan Sputum


Penderita TB Paru Sebelum Pengobatan
Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa pada penderita TB paru, BTA 3+ lebih
banyak pada kelompok yang merokok, yaitu 19 orang, sedangkan yang tidak
merokok 14 orang. BTA 2+ lebih banyak pada kelompok yang tidak merokok,

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

yaitu 21 orang, sedangkan yang merokok 20 orang. BTA 1+ hanya ditemukan


pada kelompok yang tidak merokok.

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi BTA positif pada pemeriksaan sputum penderita
TB paru sebelum pengobatan.

Merokok
Tidak Merokok

Frekuensi BTA Positif (orang)


3+
2+
1+
19
20
14
21
3

N
39
38

5.1.2.6 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Setelah Satu Bulan


Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum lebih banyak pada kelompok
yang tidak merokok, yaitu 14 orang, sedangkan yang merokok 2 orang. BTA 2+
yang paling banyak mengalami konversi sputum adalah kelompok yang tidak
merokok, yaitu 20 orang, sedangkan yang merokok 2 orang. BTA 1 + tidak ada
yang mengalami konversi sputum, baik pada kelompok yang tidak merokok
maupun yang merokok.

Tabel 5.6. Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah satu bulan
pengobatan dengan OAT.

Merokok
Tidak Merokok

Frekuensi BTA Positif (orang)


3+
2+
1+
2
2
14
20
-

N
4
34

5.1.2.7 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Bulan Pertama ke


Bulan Kedua Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.7 memperlihatkan bahwa setelah pengobatan bulan pertama ke
bulan kedua, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum hanya pada kelompok
yang merokok, yaitu 17 orang. BTA 2+ yang paling banyak mengalami konversi
sputum adalah kelompok yang merokok, yaitu 13 orang, sedangkan yang tidak
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

merokok 7 orang. BTA 1 + tidak ada yang mengalami konversi sputum baik pada
kelompok yang tidak merokok maupun yang merokok.

Tabel 5.7. Proporsi konversi sputum penderita TB paru bulan pertama ke bulan
kedua pengobatan dengan OAT.

Merokok
Tidak Merokok

Frekuensi BTA Positif (orang)


3+
2+
1+
17
13
7
-

N
30
7

5.1.2.8 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Setelah Dua Bulan


Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum lebih banyak pada kelompok
yang merokok, yaitu 18 orang, sedangkan yang tidak merokok 14 orang. BTA 2+
yang paling banyak mengalami konversi sputum adalah kelompok yang tidak
merokok, yaitu 21 orang, sedangkan yang merokok 15 orang. BTA 1 + tidak ada
yang mengalami konversi sputum, baik pada kelompok yang tidak merokok
maupun yang merokok.

Tabel 5.8. Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah dua bulan
pengobatan dengan OAT.

Merokok
Tidak Merokok

Frekuensi BTA Positif (orang)


3+
2+
1+
18
15
14
21
-

N
33
35

5.1.3 Hasil Analisis Statistik


5.1.3.1 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah Sebulan Pengobatan
dengan OAT
Tabel 5.9 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, penderita TB paru yang merokok lebih banyak yang tidak mengalami
konversi sputum, yaitu 35 orang (89,74%), sedangkan yang mengalami konversi
sputum hanya 4 orang (10,26%). Sebaliknya pada penderita TB paru yang tidak
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

merokok lebih banyak yang mengalami konversi sputum, yaitu 34 orang


(89,47%), sedangkan yang tidak mengalami konversi hanya 4 orang (11,76%).
Dengan nilai P = 0,0001 pada uji chi-square (lampiran 1), ditunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan pada konversi sputum setelah satu bulan pengobatan
dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.

Tabel 5.9. Uji chi-square konversi sputum setelah satu bulan pengobatan dengan
OAT antara penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.

Merokok
Tidak Merokok
Total

Konversi Sputum Bulan 0-1


Ya
Tidak
4
35
34
4
38
39

Nilai P

39
38
77

0,0001

5.1.3.2 Analisis Statistik Konversi Sputum Bulan Pertama ke Bulan Kedua


Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.10 memperlihatkan bahwa dari bulan pertama ke bulan kedua
pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok lebih banyak
yang mengalami konversi sputum, yaitu 30 orang (76,92%), sedangkan yang tidak
mengalami konversi sputum hanya 9 orang (23,07%). Sebaliknya pada penderita
TB paru yang tidak merokok lebih banyak yang tidak mengalami konversi
sputum, yaitu 31 orang (81,58%), sedangkan yang mengalami konversi sputum
hanya 7 orang (18,42%). Dengan nilai P = 0,0001 pada uji chi-square
(lampiran 1), ditunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konversi
sputum bulan pertama ke bulan kedua pengobatan dengan OAT antara penderita
TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Tabel 5.10. Uji chi-square konversi sputum bulan pertama ke bulan kedua
pengobatan dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan
yang tidak merokok.
Konversi Sputum Bulan 1-2
Ya
Tidak
Merokok
Tidak Merokok
Total

30
7
37

9
31
40

Nilai P

39
38
77

0,0001

5.1.3.3 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah Dua Bulan Pengobatan


dengan OAT
Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa setelah dua bulan pengobatan dengan
OAT, penderita TB paru yang merokok lebih banyak yang mengalami konversi
sputum, yaitu 33 orang (84,62%), sedangkan yang tidak mengalami konversi
sputum hanya 6 orang (15,38%). Pada penderita TB paru yang tidak merokok juga
lebih banyak yang mengalami konversi sputum, yaitu 35 orang (92,11%),
sedangkan yang tidak mengalami konversi hanya 3 orang (7,89%). Dengan
nilai P = 0,481 pada uji Fishers exact (lampiran 1), ditunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan pada konversi sputum setelah dua bulan pengobatan
dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.

Tabel 5.11. Uji Fishers exact konversi sputum setelah dua bulan pengobatan
dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.

Merokok
Tidak Merokok
Total

Konversi Sputum Bulan 0-2


Ya
Tidak

Nilai P

33
35
69

39
38
77

0,481

6
3
8

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

5.2 Pembahasan
5.2.1. Penderita TB Paru
Populasi penelitian ini adalah penderita TB paru yang berkunjung ke
Klinik Jemadi Medan, yang diperiksa terlebih dahulu menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, mantoux test, serta pemeriksaan sputum
untuk diagnosa yang tepat agar mendapat terapi DOTS.
Setelah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi didapat 77 orang
penderita TB yang masuk menjadi subjek penelitian. Penderita TB tersebut dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok studi (penderita TB paru yang merokok)
sebanyak 39 orang (50,60%) dan kelompok kontrol (penderita TB paru yang tidak
merokok) sebanyak 38 orang (49,40%). Semua penderita mendapat OAT DOTS
kategori I. Subjek penelitian dievaluasi setelah pengobatan dengan OAT selama
empat minggu dan delapan minggu dengan cara memeriksa sputum dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen. Hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan cara
uji Chi - Square (X2).
Pada penelitian ini, umur penderita TB paru berkisar antara 15 65 tahun,
dengan rerata 37,42 + 13,62 tahun. Proporsi umur terbanyak adalah 29 35 tahun
dan 36 42 tahun masing-masing 14 orang (17,9 %).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Gitawati (2002) pada 10
puskesmas yang ada di wilayah DKI Jakarta dari tahun 1996-1999 yang
menunjukkan bahwa jumlah penderita terbanyak adalah pada usia 13 40 tahun
(usia produktif). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.
Pada penelitian ini proporsi jenis kelamin penderita TB yang terbanyak
adalah laki-laki, yaitu sebanyak 62 orang (80,50%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan data dari WHO (2006) melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3 lebih
banyak pada laki-laki dibanding wanita terutama pada negara yang sedang
berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial.
Angka kejadian tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi diduga akibat perbedaan
pajanan dan risiko infeksi. Walaupun demikian, beberapa penelitian menunjukkan
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

bahwa perempuan memiliki rasio progresivitas dan case fatality rate lebih tinggi
daripada laki-laki. Perbedaan tersebut mungkin juga diakibatkan oleh perbedaan
perilaku dalam mencari perawatan kesehatan antara laki-laki dan perempuan
sehingga lebih banyak kasus tuberkulosis pada laki-laki yang dilaporkan.
Penelitian Rohani (2007) pada 62 orang penderita TB paru menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan (56,5% vs 43,5%). Penelitian
Masniari, dkk. (2005) di RS Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa penderita
TB laki-laki 61,7% dan wanita 38,3%. Penelitian Gitawati (2002) juga
menunjukkan bahwa penderita TB laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Pada penelitian ini berat badan penderita TB paru berkisar antara adalah
5 101 Kg, dengan rerata 50,18 + 11,03 Kg. Proporsi berat badan terbanyak
adalah 39 47 Kg , yaitu 30 orang (39 %). Hal ini menggambarkan bahwa lebih
dari sepertiga penderita TB paru memiliki status gizi kurang.
Penelitian Assagaf (2001) di BP4 Makasar, yang menunjukkan bahwa
rerata berat badan penderita TB adalah 36,71 Kg. Hal ini menguatkan pemikiran
bahwa penyakit yang berat dan kronis selalu disertai keadaan gizi yang buruk atau
sebaliknya keadaan gizi yang buruk akan mudah terkena penyakit yang akut
maupun kronis yang berat.
Pada penelitian ini proporsi pekerjaan penderita TB paru yang paling
banyak adalah wiraswasta, yaitu sebanyak 16 orang (20,8%), sedangkan
penelitian Gitawati (2002) menunjukkan bahwa 41,7% penderita

tidak bekerja

dan PHK.

5.2.2 Hubungan Merokok dengan Konversi Sputum Penderita TB Paru


Pada penelitian ini dilaporkan bahwa setelah 1 bulan pengobatan dengan
OAT, telah terjadi konversi sputum pada kedua kelompok subjek penelitian. Pada
kelompok studi (penderita TB yang merokok) yang mengalami konversi sputum
sebanyak 4 orang (10,25%), sedangkan pada kelompok kontrol (penderita TB
yang tidak merokok) yang mengalami konversi sputum 34 orang (89,47%).
Analisis statistik dengan uji chi square menunjukkan ada perbedaan yang

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

signifikan antara konversi sputum pada kelompok studi dengan kelompok kontrol
(nilai P = 0,0001, IK95%).
Sebaliknya setelah pengobatan bulan pertama ke bulan kedua, konversi
sputum pada kelompok studi ada 30 orang (76,93%), sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 7 orang (18,42%). Analisis statistik dengan uji chi square
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara konversi sputum pada
kelompok studi dengan kelompok kontrol (nilai P = 0,0001, IK95%).
Dari hasil penelitian di atas ditunjukkan bahwa pada 1 bulan pertama
pemeriksaan sputum konversi sputum terjadi secara bersamaan. Namun, pada
kelompok yang tidak merokok lebih banyak mengalami konversi sputum
dibandingkan dengan kelompok yang merokok. Sebaliknya dari bulan ke-1 ke
bulan ke-2 konversi sputum kelompok yang merokok lebih banyak daripada
kelompok yang tidak merokok. Penulis berasumsi bahwa hal ini karena pada
kelompok yang tidak merokok sebagian besar sudah mengalami konversi sputum
pada 1 bulan pertama pengobatan TB.
Namun, dari bulan ke-0 sampai bulan kedua pengobatan OAT, proporsi
konversi sputum pada kedua kelompok tidak jauh berbeda, yaitu 33 orang pada
kelompok studi dan 35 orang pada kelompok kontrol. Analisis statistik
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada konversi sputum
penderita TB yang merokok dengan yang tidak merokok setelah pengobatan
selama dua bulan (nilai P = 0,481, IK95%). Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB.
Penderita TB paru yang merokok membutuhkan waktu pengobatan yang lebih
lama untuk mencapai jumlah konversi yang setara dengan penderita TB paru yang
tidak merokok. Atau dengan kata lain merokok memperlambat konversi sputum,
tetapi tidak menggagalkan pengobatan TB. Pada akhir 2 bulan pengobatan TB
ditemukan bahwa sputum BTA masih positif pada ke-2 kelompok penelitian ini.
Penelitian Lin (2006) membuktikan hubungan signifikan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap
risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TB.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Penelitian Boon (2007) menunjukkan bahwa sekitar 20% kematian akibat


tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Penelitian Aditama (2009) menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis, serta faktor risiko
terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response
relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Proporsi konversi sputum setelah sebulan pengobatan OAT pada penderita
TB paru yang merokok dan tidak merokok berbanding terbalik dengan konversi
sputum setelah pengobatan bulan ke-1 sampai bulan ke-2. Setelah sebulan
pengobatan, proporsi konversi sputum pada yang merokok 4 orang, sedangkan
pada yang tidak merokok 34 orang. Sebaliknya proporsi konversi sputum dari
bulan ke-1 sampai bulan ke-2 pengobatan OAT pada yang merokok lebih besar
daripada yang tidak merokok, masing-masing 30 orang dan 7 orang. Namun
demikian, angka konversi sputum setelah dua bulan pengobatan OAT tidak jauh
berbeda antara penderita TB paru yang merokok dengan yang tidak merokok,
masing-masing sebanyak 33 orang dan 35 orang.
Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada
konversi sputum penderita TB paru yang merokok dengan yang tidak merokok,
baik setelah sebulan pengobatan maupun setelah pengobatan bulan ke-1 sampai
bulan ke-2 (nilai P<0,05). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada
konversi sputum setelah dua bulan pengobatan OAT antara penderia TB paru
yang merokok dengan yang tidak merokok (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB
paru, dimana kebiasaan merokok dapat memperlambat konversi sputum penderita
TB paru.

6.2 Saran
6.2.1 Kepada Instansi Kesehatan
Tenaga kesehatan perlu lebih aktif menginformasikan tentang bahaya TB
dan merokok pada masyarakat umumnya, dan penderita TB paru khususnya agar
penderita TB paru yang punya kebiasaan merokok mau berhenti merokok.
Sosialisasi di atas harus dilakukan secara aktif dan lebih gencar, misalnya melalui
media massa (televisi, radio, koran, majalah, leaflet, poster, ceramah-ceramah
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

kesehatan di sekolah, kantor, organisasi wanita, fasilitas kesehatan dan


sebagainya).

6.2.2 Kepada Peneliti


Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan kebiasaan
merokok dengan konversi sputum penderita TB paru dengan jumlah sampel yang
lebih besar dan waktu yang lebih lama (bulan ke 5 dan ke 6) sesuai dengan
program pemberantasa TB secara DOTS sehingga akan memberi hasil yang lebih
baik dan akurat.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. 1997. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press.


Aditama, T.Y. 2002. Pengobatan Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Jakarta: FKUI.
Aditama, T.Y. 2004. Rokok dan Tuberkulosis Paru.

Available from:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/ilpeng/259139.htm.
[Accessed on 12 April 2009].
Aditama, T.Y. 2008. Meyakini bahwa Merokok Terkait dengan Kejadian TBC.
Available from: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=
Health+News&y=cybermed|0|0|5|4438. [Accessed on 12 April 2009].
Aditama, T.Y. 2009. Youth Tobacco Indonesian Experience. Mumbai, India:
Indonesian Smoking Control Foundation.
Aditama, T.Y., Soepandi, P.Z., Syafrizal, Yusuf, A. 2004. Penilaian Keberhasilan
Directly Observed Therapy (DOTS) pada Pengobatan TB Paru di

RS

Persahabatan. J Respir Indo, 24: 65-70.


Assagaf, A. 2001. Pengaruh Nutrisi pada Terjadinya Tuberkulosis Paru. Dalam:
Isa, M., Soefyani, A., Yuwono, O., ed. Tuberkulosis:

Tinjauan

Multidisipliner. Yogyakarta: FK Universitas Lambung Mangkurat, 314 - 24 .


Boon, S. 2007. Tuberculosis and Smoking. Available from: http://cybermed.cbn.
net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|5|4438.
[Accessed on 12 April 2009].
Departemen

Kesehatan

Penanggulangan

Republik

Indonesia,

Tuberkulosis Edisi

2.

2007.

Pedoman

Jakarta: Direktorat

Nasional
Jenderal

Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).


Departemen Kesehatan Indonesia, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Emmons, K. 1999. Smoking Cessation and Tobacco

Control. Chest,

116: 490-492.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Fishman, J.A. 2002. Mycobacterial Infections. In: Fishman, A.P., Elias, J.A.,
Fishman, J.A., Grippi, M.A., Kaiser, L.R., Senior, R.M., eds. Fishmans
Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia: McGraw Hill,
763-799.
Gitawati, R., Sukasediati, N. 2002. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis
Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996-1999. Cermin Dunia Kedokteran,
137:17-21.
Hopewell, P.C. 2005. Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases. In :
Mason, R.J., Broaddus, C., Murray, Nadel, J.A., eds. Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: Elsivier, 979 1002.
Leitch, G. 2007. Pulmonary Tuberculosis Clinical Features. In: Seaton, A.,
Seaton, D., Leitch, G., eds. Crofton and Doughlass Respiratory Diseases,
USA: Blackwell Science Ltd., 395-422.
Lin,

H.

2007.

Harvard

School

of

Public

Health.

Available

from:

http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=c
ybermed|0|0|5|4438. [Accessed on 12 April 2009].
Lulu, M., Helmia. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK UNAIR.
Mariono S. 2003. Manfaat Pemberian Nutrisi Enteral dengan MCT Tinggi,
Osmolalitas Rendah dan Bebas Laktosa pada Pasien Penyakit paru. Respina,
87: 10-15.
Masniari, L., Aditama, T.Y., Wiyono, W.H., Hupudio, H. 2005. Penilaian Hasil
Pengobatan TB Paru dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya serta Alasan
Putus Berobat di RS Persahabatan Jakarta. J Respir Indo, 25:9 22.
Pardosi, J.F. 2001. Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Litbang Depkes.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Rohani, L.S. 2007. Tesis Kepekaan Pemeriksaan Uji Immunochromatography
(ICT) pada Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik. Medan: FK USU.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

World Health Organization, 2002a. Operational Guide for National Tuberculosis


Control Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose
Combination Drugs. Geneva: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
World Health Organization, 2002b. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National Programmes, Geneva: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
World Health Organization, 2003. An International Treaty for Tobacco Control.
Available from: http://www.who.int/features/2003/08/en. [Accessed on 12
April 2009].
World Health Organization, 2006. Indonesian Strategic Plan To Stop TB 20062010. Jakarta: Depkes RI.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Muhammad Zainul Akbar

Tempat/ tanggal lahir : Medan, 16 mei 1988


Agama

: Islam

Riwayat pendidikan : TK Pertiwi Medan


Sekolah Dasar Pertiwi
Sekolah Menegah Pertama Negeri 11 Medan
Sekolah Menegah Atas Negeri 3 Medan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Riwayat pelatihan

:Diklat Repala Semeru Angkatan XIV

Riwayat organisasi

:OSIS SMA Negeri 3 Medan


Repala Semeru

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

LAMPIRAN 2
HASIL ANALISIS SPSS

Tabel 1. Frequency Table

Jenis kelamin

Valid

LK
PR
Total

Frequency
62
15
77

Percent
80,5
19,5
100,0

Valid Percent
80,5
19,5
100,0

Cumulative
Percent
80,5
100,0

Umur

Valid

15-21
22-28
29-35
36-42
43-49
50-56
57-63
64-70
Total

Frequency
13
9
14
14
10
10
6
1
77

Percent
16,9
11,7
18,2
18,2
13,0
13,0
7,8
1,3
100,0

Valid Percent
16,9
11,7
18,2
18,2
13,0
13,0
7,8
1,3
100,0

Cumulative
Percent
16,9
28,6
46,8
64,9
77,9
90,9
98,7
100,0

Be rat badan

Valid

30-38
39-47
48-56
57-65
66-74
75-83
93-101
Total

Frequency
5
30
26
11
2
2
1
77

Percent
6,5
39,0
33,8
14,3
2,6
2,6
1,3
100,0

Valid P erc ent


6,5
39,0
33,8
14,3
2,6
2,6
1,3
100,0

Cumulative
Percent
6,5
45,5
79,2
93,5
96,1
98,7
100,0

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Pekerjaan

Valid

Supir
Wiraswasta
IRT
Mocok-mocok
Pegawai swasta
Petani
Mahas iswa
Pelajar
Tukang becak
Pensiunan PNS
Total

Frequency
4
16
11
14
14
3
6
7
1
1
77

Percent
5,2
20,8
14,3
18,2
18,2
3,9
7,8
9,1
1,3
1,3
100,0

Cumulative
Percent
5,2
26,0
40,3
58,4
76,6
80,5
88,3
97,4
98,7
100,0

Valid Percent
5,2
20,8
14,3
18,2
18,2
3,9
7,8
9,1
1,3
1,3
100,0

Tabel 2. Crosstabs

Case Processing Summary

Valid
N
Kebias aan merokok
* Jenis kelamin

Percent
77

Cases
Mis sing
N
Percent

100,0%

,0%

Total
N

Percent
77

100,0%

Ke bia saan me rokok * Jenis kelam in Crosstabula tion


Count

Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

Jenis k elamin
LK
PR
32
7
30
8
62
15

Total
39
38
77

Tabel 3. Crosstabs

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Case Processing Summary


Cases
Mis sing
N
Percent

Valid
N
Kebias aan
merokok * Umur

Percent
100,0%

77

Total

,0%

Percent

100,0%

77

Ke bia saan me rokok * Um ur Crosstabulation


Count
Umur
15-21
Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

22-28

7
6
13

29-35
5
4
9

36-42

6
8
14

43-49

6
8
14

50-56

7
3
10

57-63

6
4
10

64-70
2
4
6

Total
39
38
77

1
1

Tabel 4. Crosstabs

Case Processing Summary

Valid
N
Kebias aan merokok
* Berat badan

Percent
77

100,0%

Cases
Mis sing
N
Percent
0

Total
N

,0%

Percent
77

100,0%

Ke bia saan me rokok * Berat bada n Crosstabulati on


Count
30-38
Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

5
5

39-47
19
11
30

48-56
18
8
26

Berat badan
57-65
11
11

66-74

75-83
1
1
2

93-101

Total
1

2
2

Tabel 5. Crosstabs

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

39
38
77

Case Processing Summary


Cases
Missing
N
Percent

Valid
N
Kebias aan merokok *
Konversi sputum
bulan ke-0 sampai
ke-1 pengobatan OAT

Percent
77

100,0%

Total
N

,0%

Percent
77

100,0%

Ke bia saan me rokok * Konversi sputum bulan ke-0 sa mp


ke -1 pengoba tan OAT Crossta bul ation
Count

Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

Konversi sputum bulan


ke-0 sampai ke-1
pengobatan OA T
Ya
tidak
4
35
34
4
38
39

Total
39
38
77

Chi-Square Tests

Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases

Value
48,320 b
45,203
55,365

47,693

df
1
1
1

As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000

Exact Sig.
(2-sided)

Exact Sig.
(1-sided)

,000

,000

,000

77

a. Computed only for a 2x2 table


b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
18,75.

Tabel 6. Crosstabs

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Case Processing Summary


Cases
Missing
N
Percent

Valid
N
Kebias aan merokok *
Konversi sputum
bulan ke-1 sampai
ke-2 pengobatan OAT

Percent
77

100,0%

Total
N

,0%

Percent
77

100,0%

Ke bia saan me rokok * Konversi sputum bulan ke-1 sa mp


ke -2 pengoba tan OAT Crossta bul ation
Count

Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

Konversi sputum bulan


ke-1 sampai ke-2
pengobatan OA T
Ya
Tidak
30
9
7
31
37
40

Total
39
38
77

Chi-Square Tests

Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases

Value
26,389 b
24,097
28,185

26,046

df
1
1
1

As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000

Exact Sig.
(2-sided)

Exact Sig.
(1-sided)

,000

,000

,000

77

a. Computed only for a 2x2 table


b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
18,26.

Tabel 7. Crosstabs

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Case Processing Summary


Cases
Missing
N
Percent

Valid
N
Kebias aan merokok *
Konversi sputum
bulan ke-0 sampai
ke-2 pengobatan OAT

Percent
77

100,0%

,0%

Total
N

Percent
77

100,0%

Ke bia saan me rokok * Konversi sputum bulan ke-0 sa mp


ke -2 pengoba tan OAT Crossta bul ation
Count

Kebias aan
merokok

Ya
tidak

Total

Konversi sputum bulan


ke-0 sampai ke-2
pengobatan OA T
Ya
Tidak
33
6
35
3
68
9

Total
39
38
77

Chi-Square Tests

Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases

Value
1,046b
,446
1,065

1,032

df
1
1
1

As ymp. Sig.
(2-sided)
,306
,504
,302

Exact Sig.
(2-sided)

Exact Sig.
(1-sided)

,481

,253

,310

77

a. Computed only for a 2x2 table


b. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
4,44.

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

LAMPIRAN 3
TABEL INDUK

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik
Jemadi Medan, 2010.

Tabel 1.Tabel Induk Kelompok Penderita TB yang Merokok

NO

NAMA

UMUR

BB (kg)

KELAMIN

MEROKOK

PEKERJAAN

Thn
1

Kasino

43

48

LK

Rajiman

45

55

LK

Siti Khadijah

29

47

PR

Armaya

32

43

PR

Dedi

32

45

LK

Sunarti

26

53

PR

M. Panjaitan

40

44

LK

Hinsa Tamba

32

98

LK

Zuraida

25

55

PR

10

Zulkarnain

42

51

LK

11

Kamijo

59

40

LK

12

Rahmawati

45

46

PR

13

Syahruddin Hasibuan

42

73

LK

14

Muin Hutabarat

60

45

LK

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

PEMERIKSAAN
SPUTUM
BULAN

KONVERSI SPUTUM

II

konv01

konv12

konv02

Supir

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Ibu Rumah Tangga

Tidak

YA

YA

Ibu Rumah Tangga

YA

Tidak

YA

Mocok-mocok

Tidak

YA

YA

Ibu Rumah Tangga

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Ibu Rumah Tangga

Tidak

Tidak

Tidak

Mocok-mocok

YA

Tidak

YA

Petani

Tidak

Tidak

Tidak

Ibu Rumah Tangga

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

Tidak

Tidak

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.

15

Erwin Lubis

34

50

LK

16

Awaluddin

39

40

LK

17

Agung Kristian

21

50

LK

18

P. Siburian

46

51

LK

19

Abdi Sihombing

37

45

LK

20

Y. Simamora

30

49

LK

21

Tarmiji

53

45

LK

22

Mastuli

52

46

LK

23

Zakir

56

40

LK

24

Bejo

54

41

LK

25

Ismail Ikhlas

56

42

LK

26

Erwin Syahputra

28

41

LK

27

Dasril

48

39

LK

28

JP. Manullang

52

55

LK

29

Masri

17

50

LK

30

Cinta Siahaan

45

52

LK

31

Agus Widodo

21

55

LK

32

Acuan

44

45

LK

33

Sapril

39

46

LK

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Mocok-mocok

Tidak

YA

YA

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Petani

Tidak

YA

YA

Petani

Tidak

YA

YA

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Mocok-mocok

Tidak

YA

YA

Mocok-mocok

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Pelajar

Tidak

Tidak

Tidak

Wiraswasta

Tidak

Tidak

Tidak

Mahasiswa

YA

Tidak

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Wiraswasta

Tidak

YA

YA

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.

34

Roni Zulfakri

28

55

LK

35

Umi Listiana

20

42

PR

36

Rina

21

50

PR

37

Sapriansyah

23

52

LK

38

Ilkencebo

17

50

LK

39

Mahadi

18

50

LK

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Mahasiswa

Tidak

YA

YA

Mahasiswa

Tidak

YA

YA

Mocok-mocok

Tidak

YA

Pelajar

Tidak

YA

YA

Pelajar

Tidak

YA

YA

Tabel 2.Tabel Induk Kelompok Penderita TB yang Tidak Merokok

UMUR
NO

BB (kg)

NAMA

KELAMIN

MEROKOK

PEKERJAAN

Thn
1

T. Daya

44

40

LK

Bambang Gunawan

30

45

LK

Sriwahyuni

30

50

PR

Tangakam

57

51

PR

Aslia

40

40

PR

M. Hutabarat

35

60

LK

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

PEMERIKSAAN
SPUTUM
BULAN
0

II

Wiraswasta

Mocok-mocok

Ibu Rumah Tangga

BERAT BADAN /Kg.


konv01

konv12

konv02

YA

Tidak

YA

YA

YA

YA

YA

Tidak

YA

Ibu Rumah Tangga

YA

Tidak

YA

Ibu Rumah Tangga

YA

YA

YA

Wiraswasta

YA

Tidak

YA

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.

Rika Andriani

30

62

PR

Rajimin

24

55

LK

Dedi

20

60

LK

10

Sri Wahyuningsih

15

35

PR

11

Ibrahim Lubis

40

40

LK

12

Jefri

40

40

LK

13

Jon Piter

53

45

LK

14

Bumi Pranata

44

65

LK

15

Ali

42

60

LK

16

Herlina

20

50

PR

17

Pranoto

33

35

LK

18

Rohani

60

60

PR

19

Hendra Lesmana

16

32

LK

20

Harianto

25

47

LK

21

Pranoto Adi

30

65

LK

22

Legimin

70

65

LK

23

Amhar

16

35

LK

24

Naemi

41

40

PR

25

T. Mulkan

38

59

LK

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Ibu Rumah Tangga

YA

Tidak

YA

Supir

YA

Tidak

YA

Mahasiswa

YA

Tidak

YA

Pelajar

YA

Tidak

YA

Peg. Swasta

Tidak

YA

YA

Supir

YA

Tidak

YA

Pensiunan PNS

YA

Tidak

YA

Supir

YA

YA

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Mahasiswi

YA

YA

YA

Mocok-mocok

YA

Tidak

YA

Ibu Rumah Tangga

YA

Tidak

YA

Pelajar

YA

Tidak

YA

Mahasiswa

YA

Tidak

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Pelajar

YA

YA

YA

Ibu Rumah Tangga

YA

Tidak

YA

Mocok-mocok

YA

Tidak

YA

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.

26

Dumer

49

60

LK

27

Paedi

24

45

LK

28

Harun Alrasid

56

50

LK

29

Khairullah

18

50

LK

30

Armen Siregar

38

66

LK

31

Irfan

31

56

LK

32

Salma

50

45

LK

33

M. Syarifuddin

40

75

LK

34

M. Daud Puteh

60

60

LK

35

Rusman Kutar

56

77

LK

36

Patmin

60

40

LK

37

M. Supandi

31

50

LK

38

Prima

24

30

LK

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Mocok-mocok

YA

Tidak

YA

Mocok-mocok

YA

Tidak

YA

Tukang Becak

YA

Tidak

YA

Pelajar

YA

Tidak

YA

Wiraswasta

YA

Tidak

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Wiraswasta

YA

Tidak

YA

Wiraswasta

Tidak

Tidak

Tidak

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Peg. Swasta

YA

Tidak

YA

Mocok-mocok

Tidak

Tidak

Tidak

Mocok-mocok

Tidak

Tidak

Tidak

Mocok-mocok

YA

YA

YA

Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi Medan, 2010.

Anda mungkin juga menyukai