Marriage Culture Shock
Marriage Culture Shock
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, hal ini bisa
terpenuhi melalui perpertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan
manusia-manusia yang jika tidak berkomunikasi maka seseorang akan terisolasi. Pesanpesan itu mengemuka lewat perilaku-perilaku manusia. Bila seseorang memperhatikan
perilaku kita dan memberi pemaknaan terhadap perilaku kita, maka komunikasi telah
terjadi meskipun kita tidak menyadari perilaku kita tersebut. Setiap perilaku manusia
memiliki potensi komunikasi. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling
mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan
melalui aktivitas komunikasi para individu anggotanya. Perilaku mereka secara bersamasama menciptakan kebudayaan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar
dapat menjadi bagian dari kebudayaan (Djuarsa, 2007: 342).
Dalam kebudayaan, tiap manusia memiliki masa perkembangan dan tugas yang
berbeda pada tiap masanya. Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut masa
dewasa awal yang mana merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia
dalam rentang kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, menurut kebudayaan,
individu memiliki tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup
yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan
pernikahan.
Pernikahan adalah penyatuan suami dan istri yang disetujui secara sosial dan
melibatkan serangkaian peran dan tanggung jawab sebagai pasangan suami istri yang
telah menikah. Pernikahan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih
dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat, pernikahan dianggap sebagai alat agar
seseorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat,
1994). Pada langkah awal, seorang individu akan melakukan proses pemilihan pasangan,
yang merupakan salah satu keputusan paling penting dalam hidupnya. Ada
kecenderungan untuk memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan
pasangan, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir bahkan adat
istiadat. Hal ini disebut sebagai prinsip kesesuaian (matching principle). Namun,
perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau
dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar interaksi yang biasa, tetapi juga
dapat memungkinkan terjadinya pernikahan campur (Yoshida, 2008). Namun, dewasa ini,
fenomena pernikahan campur tidak dapat lagi dihindari karena kemajuan teknologi
cakupan dunia dan masyarakat menjadi lebih luas dan heterogen. Saat ini pernikahan
antar budaya berbeda sudah menjadi fenomena biasa yang terjadi pada masyarakat
modern dan merupakan dampak dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang
memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain.
Akan tetapi, pernikahan campur ini biasanya menimbulkan culture shock, akibat harus
menyesuaikan diri dengan kebiasaan atau budaya pasangan. Adler mendefinisikan culture
shock sebagai rangkaian reaksi emosional yang diakibatkan dari hilangnya reinforcement
yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur
baru yang terasa tidak memiliki arti dan, karena adanya kesalahpahaman pada
pengalaman yang baru dan berbeda. Keadaan ini dapat dipahami karena, pernikahan antar
bangsa tidak akan terlepas dari perbedaan budaya; dan dengan latar belakang kebangsaan
dan budaya yang berbeda, biasanya akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula,
sehingga cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik. Situasi ini cukup penting
karena perbedaan budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
agama dan etnis yang akhirnya bercerai. Begitu juga, Yuni Shara dan Henri Siahaan, dan
masih banyak lagi.
Oleh karena itu, makalah ini berjudul Culture Shock dalam Pernikahan Etnis
Tionghoa dan Jawa.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mengajukan
perumusan masalah, yaitu apakah hambatan komunikasi dalam pernikahan campur etnis
Jawa dan Tionghoa? Dan bagaimana cara mengatasinya?
3. Tujuan Pembahasan
BAB II
ISI
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal
yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi
tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam
bukunya: Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Budaya Jawa
Ciri utama yang lain dari orang jawa adalah gotong-royong. Jika ciri budaya ini
diterjemahkan ke dalam jargon psikologi, maka hal ini berarti bahwa masyarakat
Jawa pada dasarnya mempunyai motif untuk mengadakan sosialisasi atau
mengadakan afiliasi, artinya orang Jawa mempunyai kemampuan untuk bekerja
sama dan membuka diri terhadap orang-orang yang berasal dari berbagai suku
bangsa dan ras, termasuk etnis Tionghoa (Abidin, 1999). Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa etnis Jawa adalah etnis yang berdomisili di bagian Tengah dan
Timur dari pulau Jawa. Orang Jawa selalu mengutamakan kerukunan dan
mempunyai ciri khas gotong royong.
Budaya Tionghoa
Menurut Suryadinata (2003) tidak ada yang tahu persis berapa banyak penduduk
etnis Cina (Tionghoa) di Indonesia. Banyak sarjana yang berpendapat bahwa 3-4
persen dari penduduk Indonesia adalah orang Tionghoa. Masyarakat Cina
(Tionghoa) di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Dari sudut
pandang kebudayaan, orang Cina (Tionghoa) terbagi atas peranakan dan totok.
Peranakan adalah orang Cina (Tionghoa) yang sudah lama tinggal di Indonesia
dan umumnya sudah berbaur.
pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci yang dianggap
Dewa atau Dewi.
Di antara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis
Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri
asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua ribu
tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan dicitacitakan
oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han (205 SM-220
SM) ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara.
Etnis Tionghoa memiliki nilai kekeluargaan yang tinggi. Setiap anak harus
menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua dengan berbagai macam cara.
Apabila orang tuanya masih ada, ia harus dapat merawat dan menyenangkannya.
Apabila mereka telah tiada, ia harus melakukan pemujaan sebagai rasa baktinya.
Segala hal yang dilakukan untuk menyenangkan dan merawat mereka tentunya
memerlukan banyak biaya. Untuk itu si anak diwajibkan untuk bekerja keras,
seperti kutipan perkataan Konfusius berikut:
Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat
bekerja dengan baik, hal ini akan mengharumkan nama baik kedua orang tuamu,
dan segala cita-citamu dapat tercapai. Sebaliknya, bila kamu tidak bekerja dengan
baik, maka akan memberi aib bagi kedua orang tuamu, dan kamu tidak akan
mencapai cita-citamu.
1.
2.
3.
fungsi
sebuah
kelompok
sehingga
kita
dapat
4. Marginal:
terjadi
ketika
hanya
sedikit
kemungkinan
untuk
Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang mengatur
dan membentuk kepribadian dan perilakunya. Ketika individu dipisahkan dari
budayanya, baik secara fisik maupun psikis, dan menghadapi kondisi yang
berbeda atau bertolak belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya
sebelumnya maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan
sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan
Kim, 2003).
2. Contoh Kasus
Skripsi yang ditulis oleh Sharley dari Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Berjudul, Hambatan komunikasi antarbudaya pada perkawinan etnis Tionghoa dan
etnis Jawa di Malang. Umumnya, para pasangan antaretnis ini merasakan banyak
hambatan mulai dari persepsi terhadap sesuatu, cara berkomunikasi dan
Komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, dimana budaya menjadi
bagian dari perilaku komunikasi dan komunikasi juga turut menentukan,
mengembangkan, dan mewariskan suatu budaya. Situasi ini tidak dapat dihindarkan,
karena sebetulnya, setiap kali seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain
mengandung potensi komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan setiap orang selalu
berbeda budaya dengan orang lain, sekecil apa pun perbedaan tersebut. Budayabudaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya dapat
menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda pula. Cara setiap orang
berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa, aturan dan norma masingmasing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh perilaku komunikatif dan
makna yang dimiliki setiap orang.
keluarga pernikahan campuran etnis Jawa dan Tionghoa akan terjadi suatu
komunikasi antarbudaya, yang melibatkan seluruh anggota keluarga: suami, istri,
anak, dan bahkan juga anggota keluarga lain yang tinggal. dalam satu rumah tersebut.
Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk mengakui salah satu
budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain yang merupakan
peleburan dari dua budaya tersebut atau bahkan kedua budaya dapat sama-sama
berjalan seiring dalam satu keluarga (proses asimilasi). Meskipun suatu keluarga
pernikahan berbeda suku seringkali saling melakukan interaksi, bahkan dengan
bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau
dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian. Hal ini dikarenakan sebagian di
antara individu tersebut masih memiliki prasangka terhadap kelompok budaya lain
dan enggan bergaul dengan mereka. Dalam suatu pernikahan diperlukan saling
pengertian dan saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang
keluarga dan kebiasaan yang berbeda.
Lalam
kehidupan
pernikahan
campuran
etnis
Jawa
dan
Tionghoa,
Pada saat seseorang masuk ke lembaga pernikahan maka orang tersebut tidak
hanya terlibat dengan pasangannya saja. Secara otomatis ia juga memperoleh
sekelompok keluarga baru yaitu anggota keluarga pasangan, di mana hal ini
memungkinkan adanya perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, tradisi, sikap, gaya
hidup dan latar belakang sosial. Variasi budaya terjadi yaitu keluarga di mana ia lahir
dan keluarga yang terbentuk ketika ia punya pasangan. Seseorang yang baru menikah
menjadikan keluarga barunya sebagai tempat belajar dan menyatakan diri sebagai
manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompok barunya tersebut. Di
dalam kehidupan keluarga baru tersebut terdapat norma-norma dan peraturan yang
harus dipatuhi bersama untuk menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar demi
tercapainya tujuan bersama keluarga itu. Kekeluargaan mengikat dua keluarga
menjadi sistem keluarga yang lebih kompleks. Ada dua bentuk umum keluarga yang
ditemukan, yaitu keluarga inti, biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak serta
keluarga besar, biasanya terdiri atas kakek-nenek dan kerabat (Samovar, dkk,
2010:65-66).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ada banyak hambatan yang terjadi dalam pernikahan campur antara etnis Jawa
dan Tionghoa, antara lain: latar belakang personal yang sangat berbeda
menimbulkan friksi di antara keduanya yang berpotensi menimbulkan konflik.
Selain itu, adanya prasangka yang ada antara kedua belah pihak, mengarah kepada
sangkaan yang belum tentu benar, dan kecenderungan menutup diri satu sama
lain. Padahal sangkaan tersebut belum tentu terbukti. Pernikahan bukan hanya
meliputi dua orang, namun juga keluarganya, perbedaan norma dan nilai yang
dianut keluarga asal dengan keluarga pasangan juga dapat menimbulkan konflik.
2. Saran
Perlu kiranya interaksi antara suku yang berbeda melakukan bahasa yang baik
dan mudah dipahami agar saling memperoleh kesan yang baik. Selain itu,
bahasa tubuh, dan gesture juga perlu diperhatikan agara tidak diinterpretasikan
berbeda oleh pasangan.
Untuk subjek dan pasangan sebaiknya terus mencoba untuk terus memahami
kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal yang disukai masing-masing individu, agar
tidak terjadi kesalahpahaman.