Anda di halaman 1dari 16

BAB II

AKHLAK DALAM KELUARGA (1)

A.

Urgensi keluarga dalam Membangun Masyarakat


Dalam kehidupan modern sekarang ini, terdapat suatu kecenderungan kuat di

kalangan masyarakat khususnya generasi muda mengikuti gaya hidup sekuler dan
ke-Barat-barat-an, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Hal itu dapat
diamati maupun dirasakan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
berbangsa. Dalam konteks ini, seringkali terdengar orang mempertanyakan tentang
relevansi kehidupan berkeluarga harus dengan pernikahan. Mengapa harus menikah?
Elaborasi pertanyaan seperti ini biasanya lalu menghasilkan teori-teori transformatif
yang berfungsi untuk menjelaskan dinamika yang sedang terjadi dan memberikan
insight mengenai perubahan dan transformasinya.
Kehadiran Modernisasi yang bernuansa Westernisasi dan Sekularisasi di
samping berdampak pada tergencetnya agama secara institusional maupun intuitif,
juga menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional dan pragmatis dari pada nilainilai tradisional sebelumnya. Dalam kehidupan yang serba relatif atau didasarkan
pada nilai-nilai kenisbian, orang semakin bingung oleh cerita Romeo dan Juliet,
seraya bertanya-tanya, Mengapa mereka berdua tidak pergi saja dan hidup bersama
tanpa nikah (kumpul kebo), tapi yang dilakukan justru mengakhiri hidup dalam
tragedi, penuh putus asa? Dalam apresiasi kasus ini memberikan kesan bahwa ada
realitas paradoks yang diwarnai oleh nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern.
Bagaimana Islam memberikan konsep mengenai kehidupan keluarga yang
didambakan oleh semua orang ?
1. Pengertian dan Fungsi Keluarga
Secara sosiologis, menurut Reading (1983: 84) bahwa keluarga adalah dua
orang atau lebih yang tinggal bersama dan terikat karena darah, perkawinan, dan
23

adopsi. Sedang menurut J.R. Eshleman (1978: 86) bahwa yang disebut keluarga
mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a. Keluarga lahir sebagai hasil perkawinan,
b. Keluarga terdiri atas orang-orang yang terikat karena perkawinan, darah, atau
adopsi,
c. Anggota keluarga memiliki tempat tinggal yang sama,
d. Anggota-anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban timbal balik satu sama
lain,
e. Keluarga mempunyai fungsi utama sosialisasi, terutama untuk anak-anak.
Adapun yang menjadi fungsi keluarga, menurut Rahmat (1991: 121) antara
lain, disebutkan paling sedikit:
1. Fungsi ekonomis, yakni keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, di mana
semua

anggota

keluarga

tersebut

mengkonsumsi

barang-barang

yang

diproduksinya.
2. Fungsi sosial, yakni keluarga memberikan prestise dan status kepada anggotaanggotanya.
3. Fungsi edukatif, yakni keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan
remaja.
4. Fungsi protektif, yakni keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman
fisik, ekonomis, dan psiko-sosial.
5. Fungsi religius, yakni keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada
anggota-anggotanya.
6. Fungsi rekreatif, yakni keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotaanggotanya.
7. Fungsi afektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan
keturunan
Menurut Muhammadiyah, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat
dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam yang paling intensif dan
menentukan. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap anggota keluarga untuk
24

mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah,mawaddah warahmah (Q. S. Ar-Rum


[30]: 21), atau yang dikenal dengan Keluarga Sakinah. Keluarga selain berfungsi
sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam juga sebagai tempat kaderisasi ,
sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi Muslim yang dapat menjadi
pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah Islam di kemudian hari.
Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut; Keteladanan /uswah
hasanah dalam mempraktikan kehidupan yang Islami yakni tertanam ihsan/kebaikan
dan bergaul dengan maruf, 1 saling menyayangi dan mengasihi, 2 menghormati hak
hidup anak,3 saling

menghargai

dan menghormati antar anggota keluarga,

memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna, 4 menjauhkan segenap


keluarga dari bencana siksa neraka,5 membiasakan bermusyawarah dalam
menyelesaikan urusan,6 berbuat adil dan ihsan,7 memelihara persamaan hak dan
kewajiban,8 dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.9
2. Keluarga Sebagai Pilar Utama Masyarakat
Maju mundurnya

suatu bangsa seringkali ditentukan oleh kualitas

masyarakatnya, dan hal itu tidak dapat dilepaskan dari peranan yang dimainkan oleh
keluarga-keluarga. Dengan demikian kesejahteraan dan kemakmuran maupun
kebodohan dan keterbelakangan suatu bangsa sesungguhnya merupakan cerminan
keadaan yang sebenarnya dari keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa
tersebut. Hakikat tersebut adalah kesimpulan pandangan seluruh pakar dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam (Shihab, 1992: 253).
Begitu pentingnya kedudukan keluarga dalam menentukan masa depan suatu
masyarakat dan bangsa, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar tentang
1

Q.S. An-Nisaa(4) : 19, 36, 128; Al Isra(17) : 23; Luqman (31) : 14


Q.S. Ar-Rum (30) 21
3
Q.S. Al- Anam ( 6) : 151; Al Isra (17) ;31
4
Q.S. Al-Akhzab( 33): 59
5
Q.S. At- Tahrim (56) : 6
6
Q.S. A-Baqarah (2) : 233; Ath-Thalaaq (65): 6
7
Q.S. Al-Maaidah (6) : 8; An-Nahl(16) : 90
8
Q.S. Al-Baqarah(2) :228; An-Nisaa(4):34
9
Q.S. Al-Isra(17) : 26; Ar-Rum(30) : 38
2

25

masalah keluarga. Hal itu dapat dilihat bagaimana Allah Swt. telah menjadikan
kehidupan berkeluarga sebagai peristiwa yang mengundang manusia untuk berfikir
tentang tanda-tanda kebesaran Allah, mensyukuri nikmat-Nya, dan menghindari dari
beriman kepada yang batil, serta memelihara diri dan kelurganya dari api neraka.
Dalam al-Quran disebutkan:




Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasanganpasangan dari jenismu sendiri ( manusia ) supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang ( antara kamu
sepasang ). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. ( Al-Rm [30]: 21 )




Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan itu anak-anak dan cucu-cucu dan
memberikan rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang batil dan mengingkari nikmat Allah?. ( Al-Nahl [16]: 72)
Ditengah arus media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, aktifitas
keluarga-keluarga di lingkungan muhammadiyah

(1) dituntut perhatian dan

kesungguhan dalam mendidik anak-anak serta menciptakan suasana yang harmonis


agar terhindar dari pengaruh negative dan tercipta suasana pendidikan positif sesuai
dengan nilai-nilai Islam;

(2) dituntut

keteladanannya

untuk menunjukkan

penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan serta
menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan terhadap anggota keluarga dan
penelantaran kehidupan mereka; (3) perlu memiliki kepedulian social dan
membangun hubungan social yang ihsan, islah dan maruf dengan tetangga-tetangga
sekitar maupun hubungan social yang lebih luas di masyarakat sehingga tercipta
Qaryah Thayyibah dalam masyarakat setempat, (4) pelaksanaan sholat dalam

26

kehidupan keluarga harus menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika perlu
memberikan sanksi yang bersifat mendidik.
Gambaran

aktifitas keluarga seperti diatas

tidak dapat dijumpai dalam

pengertian disiplin ilmu apapun, kecuali dalam Islam. Jika aktifitas tersebut dapat
terpenuhi dengan baik dalam kehidupan keluarga muslim, maka jadilah kehidupan
keluarga tersebut bagaikan di surga sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah
Saw. tentang keluarganya. Tapi sebaliknya jika karakteristik tersebut tidak dapat
terpenuhi, maka kehidupan keluarga tersebut bagaikan di dalam neraka.
Oleh sebab itu, hakikat mengenai suatu masyarakat dari berbagai sisinya
sesungguhnya tidak lain merupakan cerminan dari realitas kehidupan masing-masing
keluarga dalam masyarakat itu sendiri. Jika kehidupan keluarga itu baik dan benar,
maka baik dan benarlah kehidupan masyarakatnya, demikian pula sebaliknya.
B.

Pernikahan Sebagai Sarana Membangun Keluarga


Dalam

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

disebutkan,

bahwa

kata

pernikahan mengandung makna; (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan


untuk bersuami istri (dengan resmi) dan (2) perkawinan. Meskipun pengertian ini
sejalan dengan al-Quran, tapi istilah yang digunakan agak berbeda, yakni dengan
kata zawwaja yang berarti berpasangan antara dua jenis kelamin yang berbeda.
Berdasarkan karakteristik keluarga muslim, maka sesungguhnya pernikahan
itu terjadi tidak hanya karena unsur cinta (kasih sayang) semata-mata, tapi juga
karena taqwa dan akhlak karimah. Oleh karena itu, dalam kisah Umar ibn alKhaththab ketika beliau menasihati seseorang yang ingin menceraikan istrinya karena
cintanya telah memudar, beliau berkata : Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua
rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Di mana taqwamu dan janjimu
kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai
sepasang suami istri, telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ? (Shihab, 1992:
254).

27

Pernikahan yang berarti perkawinan atau berpasangan, sesungguhnya


merupakan sunnatullah yang berlaku bagi semua makhluknya. Hal itu dijelaskan
dalam al-Quran sebagai berikut:


Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari
(kebesaran Allah). (Al-Dzariyt [51]:49 )



Maha suci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang
tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk)
yang tidak mereka ketahui. (Ysin [36]:36 ).
Dalam berkeluarga, mengapa harus menikah terlebih dahulu? Islam
memberikan jawabannya seputar pernikahan sebagai berikut:
1. Berpasangan dan Bercinta adalah Fitrah Manusia.
Kecenderungan manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya, kemudian
mencari pasangannya dan saling bercinta adalah merupakan fitrahnya yang mulia.
Peristiwa tersebut seringkali dimulai oleh pertimbangan lahiriyah (jasmaniyah).
Tahap ini dalam bahasa Arab disebut mahabbah, yang merupakan tingkatan paling
rendah atau primitif yang dalam psikologi Freud berkaitan dengan libido, yakni
lebih banyak merupakan hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Sedang
tahap yang paling tinggi disebut mawaddah, yakni berpasangan atau bercinta yang
tidak semata-mata karena faktor lahiriyah, melainkan karena adanya hal-hal yang
lebih abstrak, seperti; kepribadiannya atau kepemimpinannya, dan seterusnya. Pada
tingkatan mawaddah tersebut pada umumnya berpotensi untuk bertahan lebih kuat
dan lama, karena memliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga mampu
memberi rasa bahagia yang lebih tinggi dari pada mahabbah. Dari tingkatan
mawaddah dapat naik lagi menjadi tingkatan rahmah, yakni merupakan jenis
kecintaan Ilahi, karena bersumber dari sifat Tuhan yang Rahman dan Rahim. Inilah

28

suatu kualitas kecintaan yang tiada terbatas, sejalan dengan makna firman Allah:
Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu ( Q. S. Al-Araf [7]:156 ).
Dengan kualitas kecintaan yang mencapai tahap tertinggi, yakni rahmah,
maka perkawinan yang sah akan dapat mencapai keluarga yang sakinah, yaitu
keluarga yang mampu mencapai kebahagiaan hidup.
2. Sebuah Perjanjian yang Berat
Pernikahan yang seringkali menampakkan suasana kebahagiaan, karena telah
terpadunya cinta secara sah antara sepasang manusia, ternyata juga menuntut adanya
unsur kesadaran yang tinggi dan pemikiran yang mendalam. Kesadaran tersebut lahir
dari suatu pemahaman tentang hakikat makna pernikahan yang merupakan perjanjian
luhur antara suami-istri dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Swt. Sebagai ujung dari kesadaran yang tinggi tersebut adalah tercapainya jiwa
taqwallah yang akan melahirkan akhlak al-karimah. Sedangkan pemikiran yang
mendalam adalah terkait dengan hakikat di balik suatu pernikahan yang merupakan
tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Dari pemikiran tersebut diharapkan mampu
mencapai kesadaran baru tentang keyakinan terhadap penciptaan.
Tahapan jiwa taqwallah sangat urgen untuk dicapai oleh setiap pasangan
suami-istri, karena hubungan keduanya membutuhkan akhlak al-karimah dalam
mencapai kehidupan yang bahagia. Dan hal itu tidak dapat dicapai tanpa jiwa
taqwallah tersebut. Adapun dari hasil pemikiran tentang pernikahan yang
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. diharapkan tidak saja mencapai
pengakuan akan kebenaran penciptaan, tapi juga mampu mencegah seluruh anggota
keluarga dari siksa api neraka (Q. S. Al-Tahrm [66] :8).
Berikut penjelasan Nurcholis Madjid (1997: 105-109) mengenai pernikahan
sebagai perjanjian berat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran surat al-Nis [4]:
19-27.

29

Itulah petunjuk Allah tentang persolan pernikahan yang merupakan perjanjian


berat bagi yang melakukannya. Dan dari penjelasan tersebut dapat ditangkap
beberapa catatan penting sebagai berikut:
1. Dilarang mewarisi wanita secara paksa seperti terjadi pada zaman jahiliyah di
Arabia.
2. Dilarang berlaku kasar kepada wanita hanya karena soal harta benda.
3. Keharusan menggauli wanita dengan cara yang baik dan benar.
4. Jika suami benci atas perilaku istri, maka janganlah terburu-buru mengambil
keputusan negatif

(menceraikan), karena mungkin di balik semua itu Allah

menyediakan kebaikan yang banyak.


5. Jika harus berganti istri (dengan cara yang sah dan benar), maka harta yang telah
diberikan kepadanya tidak boleh diminta kembali sedikitpun, sebab hal itu
merupakan perbuatan jahat yang jelas dan juga keonaran.
6. Pernikahan yang sah adalah merupakan sebuah perjanjian yang berat, karena itu
hubungan suami istri harus dijaga dengan baik dan tidak dianggap enteng, serta
disikapi sembrono.
7. Telah dijelaskan siapa-siapa yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.
Ketentuan ini penting karena berkaitan dengan aspek hukum Islam yang lain,
seperti; persoalan nasab, warisan dan kemanusiaan.
8. Hubungan lelaki-perempuan harus didasarkan pada pernikahan yang sah dan
terbuka (diketahui umum), dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk hubungan
rahasia atau gelap.
9. Jika (zaman dahulu) tidak mampu kawin dengan wanita merdeka dan harus kawin
dengan budak yang diperoleh secara sah sesuai ketentuan yang berlaku, maka
dalam hal itu harus dilakukan dengan seijin keluarga wanita.
10. Dan budak perempuan itu pun harus dinikahi secara terbuka, dan tetap tidak boleh
dilakukan sebagai hubungan gelap dalam bentuk hubungan tersembunyi atau
sebagai wanita simpanan.

30

11. Jika diduga terjadi penyelewengan, maka hukuman tetap harus ditegakkan, bagi
wanita budak mendapatkan separuh hukuman wanita merdeka, sesuai dengan
kondisi sosial budaya pada waktu itu.
12. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perzinahan. Namun seseorang tidak
perlu tergesa-gesa menuduh, dan lebih baik bersabar sampai ada bukti yang nyata.
13. Itu semua merupakan hukum hubungan lelaki-perempuan yang bersifat universal
yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu, dengan beberapa variasi.
Dari beberapa catatan tersebut, jika dicermati akan tampak jelas dari tujuan
setiap pernikahan, yakni persoalan perlindungan hak-hak asasi, serta harkat dan
martabat wanita.
Dalam al-Quran tidak ada penjelasan yang lebih rinci daripada persoalan
pernikahan dan implikasi hukumnya, karena memang unit keluarga merupakan sendi
utama masyarakat dan pilar negara. Jika kondisi setiap keluarga baik, maka baiklah
masyarakat dan tegaklah negara dengan kokohnya.
3. Syarat Sah Pernikahan
Menurut Qurais Shihab (2003: 201-2003) bahwa para ulama/madzhab telah
merumuskan sekian banyak rukun atau syarat tentang sahnya pernikahan, meskipun
dalam rinciannya terdapat perbedaan antara mereka. Selanjutnya disebutkan atara
lain, yakni:
a. Adanya calon suami dan istri,
b. Adanya wali (dari calon istri),
c. Adanya dua orang saksi (laki-laki),
d. Adanya mahar (maskawin ),
e. Terlaksananya ijab dan kabul (akad nikah).
Status seorang calon istri haruslah tidak sedang terikat oleh beberapa norma
berikut ini:
1. Tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,

31

2. Tidak sedang masa iddah, yakni masa menunggu, karena wafat suaminya, dan
dicerai atau hamil,
3. Tidak termasuk wanita yang dilarang untuk dinikahi.
Adapun keberadaan seorang wali bagi calon suami tidak diperlukan, tetapi
bagi calon istri dinilai mutlak keberadaannya maupun izinnya oleh kebanyakan
ulama berdasarkan hadis Rasulullah Saw: Tidak sah pernikahan seseorang kecuali
dengan (izin) wali. ( HR. Ahamd dari Abu Hurairah )
C.

Beberapa Persoalan Seputar Pernikahan

a.

Pernikahan Lintas Agama


Dalam hal pernikahan lintas agama, terdapat perbedaan pendapat sebagai

berkut:
1. Perkawinan dengan orang musyrik dilarang/haram hukumnya berdasarkan firman
Allah Swt. dalam surat al-Baqarah, ayat 221:







Janganah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman,
sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
2. Adapun pernikahan dengan Ahlul kitab, maka ada yang berpendapat haram
hukumnya berdasarkan al-Quran:
a. Surat al-Maidah, ayat 72-73:



32






Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah
adalah Al-Masih putera Maryam, padahal Al-Masih (sendiri) berkata : Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang-orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga dan tempatnya ialah di neraka, dan tiadalah bagi orang-orang
yang dzalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: Bahwasanya Allah salah satu dari tiga, padahal sekali-kali tidak
ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
merekan katakanitu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih.
b.

Surat al-Baqarah [2]: 120:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulahn
petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjdi pelindung dan penolong bagimu.
c.

Surat al-Bayyinah, ayat 1 dan 6:



Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah [98]: 6)



Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) neraka Jahanam, mereka kekal didilamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk. (Al-Bayyinah [98]: 6)

33

3.

Sedang pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan dengan


Ahlul kitab adalah mubah hukumnya, didasarkan pada al-Quran :

a. Surat al-Maidah [5]: 5:







Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. ( Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan berzina dan tidak (pula) menjdikannya gundik-gundik.
b. Surat Ali Imran [3]: 113:



Mereka itu tidak sama, di antara Ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud.
Menurut sementara ulama, meskipun ada ayat membolehkan perkawinan pria
Muslim dengan wanita Ahlul kitab (penganut agama Yahudi dan Nasrani), yakni surat
al-Maidah [5]: 5, tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat al-Baqarah [2]: 221
diatas. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pernikahan beda agama adalah
haram hukumnya.
b.

Pernikahan Terlarang
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya: Pedoman Hidup Seorang

Muslim (1419 H: 666-673) menjelaskan, bahwa Rasulullah Saw. melarang jenis-jenis


pernikahan seperti berikut ini:

34

1. Pernikahan Mutah, yakni pernikahan untuk sementara waktu. Misalnya;


seorang laki-laki menikahi seorang wanita untuk waktu sebulan atau setahun.
Hal itu didasarkan pada hadis dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. melarang
pernikahan mutah serta daging keledai liar pada saat perang Khaibar (HR.
Muslim).
Pernikahan mutah hukumnya tidak sah. Oleh sebab itu pernikahan tersebut
harus dibatalkan, sedang mahar (mas kawin) tetap harus diberikan jika suami
tersebut telah menggauli istrinya, tapi bila belum menggaulinya, maka tidak
wajib memberikan mahar.
2. Pernikahan Sighr, yaitu pernikahan yang dilakukan sesama orang tua atas
nama anak masing-masing yang masih kecil, baik keduanya saling memberi
mahar atau hanya salah satunya saja, maka hal itu dilarang berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: Tidak ada nikah syighr dalam Islam ( HR. Muslim ).
Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun yang
dimaksud dengan nikah syighar adalah seseorang berkata: Nikahkanlah aku
dengan putrimu niscaya aku menikahkanmu dengan putriku, atau ia berkata :
Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu niscaya aku menikahkanmu
dengan saudara perempuanku ( HR. Muslim ).
Abdullah bin Umar r.a. berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang
nikah syighar. Adapun nikah syighar ialah seorang bapak menikahkan seseorang
dengan putrinya dengan syarat bahwa orang itu harus menikahkan dirinya
dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya. ( HR. Muttafaq alaih )
3. Pernikahan Muhallil, yaitu suatu pernikahan seorang wanita yang telah
dithalaq tiga oleh suaminya, yang karenanya suaminya diharamkan untuk
rujuk kepadanya. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah
[2]: 230:

35

Kemudian jika suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.
Abdullah bin Masud r.a. berkata: Rasulullah Saw. melaknat muhallil (orang
yang menikahi mantan istrinya) dan muhalli lahu (orang yang menjadi
perantaranya. (HR. Al-Tirmidzi)
4. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang
melaksanakan ihram haji maupun umrah dan belum memasuki waktu tahallul.
Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut: Orang yang
sedang menunaikan ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan
(HR. Muslim ).
5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu suatu pernikahan dimana sang istri
sedang menjalani masa iddah (tunggu), karena penceraian atau suaminya
meniggal dunia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah,
ayat 235.
6. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki
dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Larangan itu berdasarkan hadits
Rasulullah Saw. sebagai berikut: Tidak ada nikah tanpa wali ( HR. Ahmad ).
7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita Ahlul kitab, berdasarkan
firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221, Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Jadi seorang muslim haram menikahi wanita kafir dari kalangan agama
majusi, komunis atau penyembah berhala. Demikian pula wanita muslimah
haram menikah dengan laki-laki dari kalangan Ahlul kitab atau orang kafir
dari non-ahlul kitab, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah
[60]: 10 sebagai berikut: Mereka (wanitawanita muslimah) itu tidak halal
bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi
mereka.

36

8. Menikahi Mahram (wanita yang haram dinikahi, sebagaimana telah tercantum


dalam surat al-Nisa: 23-24 ).
c.

Pacaran, Tunangan dan Nikah Siri


Istilah pacaran , tunangan dan nikah siri dalam agama Islam tidak ada , istilah

itu muncul karena budaya masyarakat, khususnya

masyarakat Indonesia. Karena

pengaruh globalisasi yang begitu dasyat, maka pacaran, tunangan dan nikah siri jadi
membudaya di lingkungan masyarakat kita. Ada dua potensi yang dimiliki setiap
manusia dalam mengikuti tuntunan Islam, yaitu menolak/ingkar/kufur dan
taat/iman/taqwa . Sikap ini ada dalam Al-Quran Surat Asy-syam (91) : 8 :
Artinya : Maka dia mengilhamkan kepada manusia kejahatan/keburukan dan
ketaqwaan.
Agama Islam memberi tuntunan tersendiri bagi dua sejoli yang sedang
dimabuk cinta dalam mewujudkan impinannnya dengan melalui taaruf ( saling
mengenal/ pacaran yang Islami) yang sesuai dengan tuntunan Islam, misalnya kalau
mau ketemuan/berpergian harus mengajak muhrim/teman yang dapat dipercaya
untuk menemani sehingga tidak berduaan, dan kalau sekarang kan mudah dilakukan
dengan melalui sms, facebook, chatting dll kalau ingin ngobrol atau ketemuan
karena kangen . Ada prinsip yang harus ditaati yaitu jangan mendekati zina. Allah
meninggikan kedudukan manusia agar tidak terjerumus dalam nafsu hewani atau
binatang, dimana manusia harus punya rasa malu, karena ada hadits Nabi yang
mengatakan bahwa Malu adalah bagian dari Iman. Perbuatan zina seharusnya
bukan perbuatan manusia, akan tetapi perbuatan manusia yang mengikuti nafsu
hewani sehingga tidak punya rasa malu khususnya pada diri sendiri dan pada Allah
SWT.
Biasanya setelah lama pacaran, akan dilanjutkan dengan tunangan atau
ikatan yang disetujui oleh kedua belah pihak keluarga dengar berbagai cara,
37

misalnya dengan tukar cincin. Ajaran Islam memberikan tuntunan dengan cara
meminang/ melamar sebagai penghargaan bagi wanita , agar kedudukan wanita
sebagai istri diakui secara hukum, sehingga punya hak dan kewajiban yang sama
dengan suami.

Sebagian masyarakat Islam masih ada yang mengikuti budaya

diatas, sehingga sering kita lihat kalau sudah tunangan , boleh dibawa kemana-mana
bahkan tidak pulangpun tidak mengapa, Inilah yang terjadi di masyarakat kita , oleh
karena itu yang ada di dalam Islam bukan tunangan akan tetapi pinangan atau
lamaran. Kemudian setelah pinangan atau lamaran , akan berlanjut ke pernikahan.
Ajaran Islam menuntunkan bahwa dalam pernikahan/walimatul urus harus di
syiarkan atau dipublikasikan agar tidak menimbulkan fitnah. Tetapi istilah nikah
siri adalah pernikahan yang terjadi di masyarakat hanya dihadiri oleh keluarga
kedua pihak atau didepan seorang yang dianggap kyai dan beberapa saksi tanpa
tercatat di pemerintah sehingga tidak punya bukti secara syah ( buku nikah) menurut
hukum Agama dan Negara. Dan apabila punya anak , tentu akan kesulitan dalam
mendapatkan akte kelahiran bagi si anak, juga dalam pembagian hak waris apabila
mau menuntut secara hukum maka si anak dan istri dalam posisi lemah secara
hukum. Kondisi seperti ini

hendaknya manjadi perhatian bagi para wanita,

berfikirlah yang jernih dalam melangkah kearah pernikahan siri, meskipun secara
agama sah, tetapi Muhammadiyah mengajak semua umat islam agar menghindari
pernikahan siri, karena persoalan nikah siri ini terjadi karena ketidaktahuan atau
dibuat tidak tahu oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi demi
kesenangan sendiri dan sesaat.

38

Anda mungkin juga menyukai