Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengantar

Islam yang kita kenal dan yakini selama ini sebagai agama yang akan membawa kita
kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun apakah Islam yang kita kenal dan yakini itu
memang begitu adanya atau banyak hal yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan apa yang
sebenarnya diajarkan Nabi Muhammad SAW, sebagai penyampai wahyu dari Allah SWT.
Berbagai pertanyaan menelisik tentang Islam masih sering bergelayut di pikiran kita.
Islam bagaikan sebuah bola yang mengapung di atas air, permukaannya yang
menyentuh air hanya sepersepuluh, kita tidak bisa mengetahui bola itu secara utuh hanya
dari sepersepuluh yang mengapung di atas air tersebut. Begitu pula dengan Islam, Islam
bukan monodimensi tapi multidimensi, jika ingin memahaminya secara menyeluruh walau
kelak tidak akan pernah mencapai finalitas keimanan kita, tetapi usaha untuk
memahaminya itu lebih penting, kita perlu memahami Islam melalui berbagai dimensi dan
dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan filosofis.

B. Pengertian Pendekatan Filosofis

Kata filosof berasal dari kata filsafat dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri
atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates
sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah
merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab
asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan

akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. 1 Dan dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum
dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran arti
adanya sesuatu.2 Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam,
sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. 3 Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal
sebagai Bapak Filsafat Modern, filsafat baginya adalah merupakan kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.4
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa filsafat pada dasarnya adalah
pertanyaan atas segala hal yang ada. Pertanyaan akan muncul tentu dengan berpikir,
berpikir pasti menggunakan akal. Dan filsafat juga bisa dikatakan sebagai upaya
menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai segala sesuatu yang ada dengan
memanfaatkan atau memberdayakan secara penuh akal budi manusia yang telah
dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.5
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami
ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian sebenarnya
sudah banyak digunakan oleh para ahli. Misalnya dalam buku berjudul Hikmah Al-Tasyri
wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi, di dalam buku tersebut ia
berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. 6
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 414.
2 J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hlm. 280.
3 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. II, hlm. 15.
4 Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat Cogito Ergo Sum Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes),
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet. V, hlm. 46.
5 Q 8 (al-Anfl): 22, Q 10(Yunus): 101.
6 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), cet ke-17, hlm. 43.

Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar
seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan
mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar dan menimbulkan rasa
iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh lainnya.
Dalam Islam ada dua inti dari segala sesuatu yakni sesuatu yang bersifat Ke-Tuhanan
(Ilahi), yang bersumber dari al-Quran, Hadits dan berbagai Kitab Allah lain nya. Ia bersifat
muthlak. Dan yang kedua adalah yang bersifat kemanusiaan (insani), berbentuk fiqh atau
pemahaman manusia, kesan di otak manusia yang muncul dari berbagai teks yang dia baca
dan alami (pengalaman) atau latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi dan lain
sebagainya. Bahkan Ibn Khaldun menambahkan satu aspek yakni iklim. Kemudian inilah
yang dinamakan Historisitas Keagamaan.7 Ia lalu menjadi tafsir atau perspektif (setiap
individu beragama).
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan, sama halnya
dengan cabang keilmuan yang lain.8 Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham
atau aliran-aliran filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan
lain-lain. Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama
bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah kedua bersifat
ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif (seperti sifat pure sciences),
tidak bersekat-sekat dan tidak terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti
halnya applied sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa. 9 Siapa pun yang bergerak pada
wilayah applied sciences pada dasarnya harus dibekali persoalan-persoalan dasar yang
digeluti oleh pure sciences, sedang yang bergerak pada wilayah pure sciences, tidak
7 Shofiyullah, Kuliah Pengantar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, Senin, 20 Februari 2012. PPs UIN Sunan
Kalijaga, lantai. 4 (402).
8 M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), cet. I,
hlm. 8.
9 Ibid.

harus tahu dan menjadi expert pada setiap wilayah applied sciences.10 Cara berpikir dan
pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat keilmuan, open-ended, terbuka,
dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke
permukaan kajian keilmuan.
Filsafat sebagai pendekatan keilmuan setidaknya ditandai antara lain dengan tiga ciri.
(1) Kajian, telaah dan penelitian filsafat selalu terarah kepada pencarian atau perumusan
ide-ide dasar atau gagasan

yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas)

terhadap objek persoalan yang dikaji. Ide atau pemikiran fundamental biasanya
diterjemahkan dengan istilah teknis kefilsafatan sebagai al-falsafatu al-ula, substansi,
hakekat atau esensi.11 Pemikiran fundamental biasanya bersifat umum (general), mendasar
dan abstrak.
(2) Pengenalan, pendalaman persoalan-persoalan dan isu-isu fundamental dapat
membentuk cara berpikir kritis (critical thought). Dan (3) Kajian dan pendekatan falsafati
yang bersifat seperti dua hal diatas, akan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir dan
kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus
mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda
serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.12
Mengkaji Islam secara filosofis, akan menjadikan segala sesuatu disandarkan kepada
konteks baik itu berupa kebaiksan sosial, local wisdom, social impact, rasionalitas dan lainlain (). Ia juga akan bersandar pada analisa rasio manusia, yang akan bersifat relatif.
Kegiatan berfilsafat menurut Louis O. Kattsoff adalah kegiatan berpikir secara:
1. Mendalam: dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas akal tidak sanggup
lagi.
10______________, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), cet. I, hlm. 13.
11 Ibid.
12 Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy, (Belmont California: Wadsworth Publishing Company, 1984),
hlm. 16-19;23.

2. Radikal: sampai ke akar-akar nya sehingga tidak ada lagi yang tersisa.
3. Sistematik: dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu.
4. Universal: tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok tertentu, tetapi
menyeluruh.
Filsafat dalam segala usaha nya untuk mengetahui berbagai hakikat dari segala
sesuatu, begitu pula ketika ia dipakai dalam mengkaji Islam, tidak selalu mencapai hasil
yang maksimal, yang terpenting adalah upaya (memanfaatkan hasil usaha), yang akan
membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi atau kemajuan.
Manfaat yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan pendekatan filosofis dalam
kajian nya adalah sebagai berikut:
a. Agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama.
b. Setiap individu dapat memberi makna terhadap segala sesuatu yang dijumpainya dan
mengambil hikmah sehingga ketika melakukan ibadah atau apa pun, ia tidak mengalami
degradasi spriritualitas yang menimbulkan kebosanan.
c. Membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical thought).
d. Adanya kebebasan intelektual (intellectual freedom).
e. Membentuk pribadi yang selalu toleran.

C. Contoh Pendekatan Filosofis

1. Hadits tentang Larangan Melukis


)( :
()
5

Sesungguhnya orang yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah para pelukis.13
Secara tekstual hadis ini memberi pengertin adanya larangan melukis (makhluk yang
bernyawa). Bahkan para imam mazhab sepakat akan keharaman menggambar,
memajangnya dan menjualnya.14 Kesimpulan seperti ini bisa dipahami, karena banyaknya
riwayat mengenai masalah tersebut. Sebagaimana juga diriwayatkan pada hadis yang lain,
bahwa para pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa
yang pernah dilukisnya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk di rumah yang di
dalamnya ada lukisannya.
Kita perlu melihat kembali kondisi sosio-historis pada waktu hadis tersebut
dituturkan Nabi. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi kejiwaan masyarakat ketika itu, di
mana mereka secara psikologis belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah,
yakni menyembah patung-patung berhala. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi
berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang
ditempuh dengan mengeluarkan larangan untuk memproduksi dan memajang lukisan atau
berhala. Jika tidak dilakukan, maka mereka akan sulit melepaskan kepercayaan lama. Jadi
hadis ini, secara psikis-antropologis sebenarnya disabdakan dalam kondisi masyarakat
transisi dari kepercayaan animisme ke monoteisme, sehingga perlu adanya larangan keras
terhadap praktik yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana jika kondisi masyarakat sudah berubah, di
mana masyarakat dengan perkembangan pemikirannya sudah berada pada tahap yang lebih
baik atau dimungkinkan tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan.
Apakah melukis patung masih tidak dibenarkan? Atau mungkin bisa saja, saat ini bukan
lagi simbolik patung yang menyebabkan seseorang menjadi syirik, tetapi pemujaan
13 Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, hlm. 323-324.
14 Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta:
QIRTAS (Kelompok Penerbit Qalam), 2003), hlm. 19.

terhadap figurfigur di bidang kesenian yang membuat penggemarnya gila dan histeris,
misalnya seperti yang terjadi pada para mania Maroon 5, Adele, dan lain sebagainya.
Paparan diatas adalah bentuk penjelasan dan analisa singkat tentang prinsip-prinsip
temporal dan universalitas hadis Nabi sehingga terealisasi dalam konteks historis dan sosial
yang berbeda. Salah satu perangkat metodologis dalam upaya memahami masa lampau dan
kemudian merekonstruksi makna sebuah matan hadis dalam wacana kekinian dan
kedisinian adalah pendekatan hermeneutik.15 Dalam pendekatan ini, sebuah matan hadis
tidak mesti dipahami dalam bentuk pemahaman yang monolitik seragam. Karena sebuah
hadis muncul dipengaruhi oleh berbagai segi seperti keadaan social, alam pikiran, budaya,
bahasa pembacanya dan lain sebagainya.
2. Konsep Pluralisme Agama Frithjof Schoun dan Nurcholish Madjid
Contoh yang kedua ini diambil dari sebuah disertasi yang berjudul Pluralisme
Agama (Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon dan Nurcholis Madjid). 16 Dalam
disertasi tersebut, dikemukakan penelitian dengan menggunakan pendekatan filosofis dan
sang penulis sangat detail mengambil sumber pembahasan dari hal terdasar hingga ia
menemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pluralisme agama Frithjof Schuon berkaitan dengan filsafat Perennial, dengan tiga
konsep pokok nya, yaitu:
a. Keragaman agama-agama.
b. Dimensi eksoterik dan esoterik.

15 Kata Hermeneutik (Inggris: hermeneutic) berasal dari kata kerja Yunani Hermeneuein yang berarti mengartikan,
menafsirkan, menerjemahkan, bertindak sebagai penafsir. Dalam mitologi Yunani, ada tokoh yang namanya
dikaitkan dengan Hermeneutikm yaitu Hermes. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewa
dengan bantuan kata-kata manusia agar manusia dapat memahami kehendak dewa, sebab bahasa dewa tidak dapat
dipahami manusia. Dalam Bernard Remin, Protestan Biblical Interpretation, terj. Silas C. Y Chan, (Monterey Park
Ca: Living Publishing, 1983), hlm. 10.
16 Ngainum Naim, Pluralisme Agama (Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schoun dan Nurcholish Madjid),
(Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2011).

c. Dari kesatuan esoterik menuju kesadaran keragaman.


Sedangkan konsep pluralisme agama Nurcholish Madjid, yaitu:
1) Pesan dasar agama-agama yang memiliki tiga landasan, yakni (a) kesatuan kenabian dan
kontiunitas agama (b) reinterpretasi konsep-konsep kunci, seperti konsep Ahli Kitab,
Islam, Fitrah dan Tauhid. (c) jalan menuju Tuhan tidak hanya satu, tetapi beragam.
2) Kebebasan agama.
3) Relativisme beragama.
4) Kerjasama kemanusiaan.
Adapun persamaan pemikiran kedua nya, antara lain:
a) Menghargai pluralisme agama.
b) Memiliki kesamaan konsep fitrah.
c) Bermuara pada Tauhid.
d) Pembedaan antara dimensi eksoteris dan esoteris.
e) Jalan menuju Tuhan.
f) Titik temu agama-agama.
Dan perbedaan nya adalah sebagai berikut:
(1) Perbedaan dalam memaknai agama.
(2) Tinjauan Frithjof atas pluralisme agama bersifat metafisik, sedang Cak Nur menggunakan
perspektif teologi, sosiologi dan historis.
(3) Perbedaan memaknai Islam.
(4) Relasi Islam-Kristen-Yahudi.

3. Penutup

Pendekatan filosofis dalam pengkajian Islam disini semata-mata ditujukan untuk


mencari klarifikasi akademis-keilmuan hubungan antara ide-ide yang mendasar dan
fundamental tentang fenomena relijiusitas dan kenyataan konkrit pengalaman dan
pengamalan keagamaan manusia (dalam hal ini, Muslim) pada wilayah kultural-historis.
Filsafat dalam segala usaha nya untuk mengetahui berbagai hakikat dari segala
sesuatu, begitu pula ketika ia dipakai dalam mengkaji Islam, tidak selalu mencapai hasil
yang maksimal, yang terpenting adalah upaya (memanfaatkan hasil usaha), yang akan
membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi atau kemajuan. Oleh karena itu
filsafat selalu dinamis, dan tentu orang yang memakainya juga akan bersifat sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000.
_________________, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Juz I.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Remin, Bernard, Protestan Biblical Interpretation, trans Silas C.Y Chan, Monterey Park Ca:
Living Publishing, 1983.
Shofiyullah, Kuliah Pengantar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, Senin, 20 Februari 2012.
PPs UIN Sunan Kalijaga.
Suhartono, Suparlan, Dasar-Dasar Filsafat Cogito Ergo Sum Aku Berpikir Maka Aku Ada
(Rene Descartes), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Poerwadarminta, J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Thahir, Lukman S, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan
Sejarah, Yogyakarta: QIRTAS (Kelompok Penerbit Qalam), 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Woodhouse, Mark B, A Preface to Philosophy, Belmont California: Wadsworth Publishing
Company, 1984.

10

Anda mungkin juga menyukai