Anda di halaman 1dari 3

FEBRANANDA WISANG R

125020300111049
AKUNTANSI INTERNASIONAL / CA

AKUNTANSI INTERNASIONAL DAN FILM THE LAST SAMURAI


The Last Samurai, sebuah film yang diambil dari kisah nyata dengan setting waktu pada saat
Jepang melakukan transisi dari zaman Shogun-Edo menuju zaman Meiji atau dikenal dengan
Restorasi Meiji. Perubahan tersebut sempat membuat sebuah kekacauan di negeri samurai
tersebut, meskipun kini setelah 2 (abad) abad berlalu terbukti bahwa transisi tersebut
membuahkan hasil.
Hal tersebut sebenarnya mirip dengan situasi Indonesia disaat melakukan transisi dalam
melakukan perubahan menuju PSAK berbasis IFRS. Kemiripannya ialah bahwa kedua
kondisi tersebut terjadi karena sebuah tuntutan modernisasi dan globalisasi serta tentu saja
menjadi salah satu cara untuk bertahan dari gencarnya arus perubahan.
Pada film Last Samurai, terdapat 3 (tiga) tahap terjadinya Restorasi Meiji, sama seperti
penggunaan IFRS pada PSAK di Indonesia. Ada 3 (tiga) tahapan yang perlu dilakukan agar
perubahan tersebut tidak menimbulkan sebuah cultural shock berlebih (meskipun masih ada).
Pertama, tahap Adopsi. Pada tahap ini Indonesia mempersiapkan infrastruktur yang
diperlukan serta melakukan evaluasi dan mengelola dampak adopsi terhadap PSAK yang
berlaku. Indonesia mendatangkan senjata bernama IFRS dan komandan dalam
melakukan proses adopsi ini.
Selanjutnya ialah Tahap Persiapan. Pada tahap ini Indonesia mempersiapkan proses
penggunaan standar baru ini dalam segala kegiatan akuntansi. Sebuah ketidaksiapan dalam
melakukan perubahan akan berdampak fatal layaknya kekalahan pertama pasukan Meiji atas
Shogun Tokugawa pada film ini. Kejadian tersebut adalah bukti bahwa sebuah perubahan
membutuhkan waktu.
Terakhir, tahap Implementasi, dimana pada tahap ini perubahan tersebut telah diberlakukan.
Kini sejak 2012, Indonesia telah resmi melakukan konvergensi atas IFRS dimana PSAK yang
berlaku menyesuaikan dengan standar yang ada pada IFRS, meskipun kebanyakan isi dari
PSAK tersebut ialah hasil translate langsung dari IFRS atau yang lebih tepat disebut adopsi.

Secara umum manfaat dari penerapan IFRS ini bagi Indonesia diantaranya adalah
meningkatkan arus investasi global melalui transparansi dan menurunkan biaya modal
dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal, serta memudahkan pemahaman
atas laporan keuangan secara internasional. Maka jelas inti dari perubahan ini adalah
mendekatkan perekonomian Indonesia menuju pasar modal dan inverstasi, dimana artinya
bahwa negara ini akan mengubah konsep pendanaan mereka menjadi berasal dari luar.
Namun ada sebuah pertanyaan dalam benak saya, apakah negara ini telah menyelesaikan
tahapan Lepas Landas dan menuju tahap Kedewasaaan (Maturity) sehingga melakukan
perubahan dengan menggunakan standar akuntansi berbasis pasar modal dan investasi
ketimbang berbasis leading industri seperti UMKM dan koperasi?
Jujur saja, saya masih menganggap bahwa Indonesia hingga kini masih terus berada pada
tahap lepas landas. Negara ini masih berkutat dalam perjuangannya melawan rendahnya nilai
tukar mata uang, tingkat inflasi yang tinggi, tingginya tingkat kemiskinan serta rendahnya
kualitas hidup dibandingkan dengan negara-negara maju.
Kita masih butuh waktu untuk beralih sepenuhnya menuju standar yang berbasis pasar modal
sebagai tulang punggung negara ini. Toh, menurut Rostow masa Lepas Landas biasanya
berlangsung dalam kisaran waktu 20 tahun, sehingga jika merunut pada era Reformasi, maka
kita masih dapat melanjutkan pertumbuhan ini. Meskipun kenyataannya seperti itu, namun
kembali tuntutan zaman dan tekanan dari pihak-pihak luar tak dapat diindahkan begitu saja.
Sejujurnya sebuah perubahan juga memerlukan sebuah adaptasi terhadap budaya setempat.
Indonesia sebenarnya bisa saja memilih untuk kekeuh dengan konvergensinya lewat
penyesuaian sehingga membuat standar-standar yang ada dalam IFRS terasa lebih fleksibel
dan sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut pun juga dilakukan oleh
negara-negara maju seperti Jepang, Inggris dan Belanda yang walalupun juga melakukan
adopsi namun tetap mempertimbangkan culture serta rules yang ada di negara tersebut.
Layaknya seperti Kapten Aulgren yang akhirnya memiliki jiwa samurai berkat sikap
fleksibelnya, maka tak mungkin kita bisa memiliki sebuah standar dengan jiwa UMKM
maupun koperasi yang sejak dulu menjadi tulang punggung Indonesia. Bahkan bukan hal
yang mustahil bahwa Indonesia yang dikenal dengan archipelago ini suatu saat membuat
sebuah standar akuntansi berbasis Maritim yang bisa dipakai secara internasional.
Semua keputusan berada di tangan Dewan Standar Akuntansi Keuangan - Ikatan Akuntan
Indonesia (DSAK-IAI) yang berperan sebagai kaisar di bidang Akuntansi Indonesia.

Dimana hingga kini, dewan ini tealh melakukan adopsi IFRS terhadap PSAK yang telah
mencapai lebih dari 90%, bahkan budaya asli kita seperti UMKM dan Koperasi pun
tersisihkan akibat restorasi ini. Jika terus berlanjut maka nantinya dapat saya katakan bukan
hal yang tidak mungkin akan menjadi sebuah pengadopsian secara penuh.
Sebagai penutup, dengan mengambil sebuah quote dari Kaisar Meiji pada film tersebut. "We
can not forget who we are or where we came from", maka munculah pertanyaannya: Apakah
Indonesia nantinya setuju dengan kutipan tersebut dan mencoba membuat standar akuntansi
yang benar-benar khas negeri ini? Atau malah akan melanjutkan adopsi ini menjadi sebuah
full adoption tanpa memperdulikan siapa dan darimana asal kita? Saya pun tidak tahu, namun
semoga pilihan yang diambil akan membawa ketenangan seperti saat saya mendengarkan
Wind Song, musik karya Hans Zimmer yang terdapat pada bagian credit dari film ini.

Anda mungkin juga menyukai