Anda di halaman 1dari 17

PAJAK INTERNASIONAL

PEMAJAKAN PENGHASILAN LUAR NEGERI


DARI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

Oleh:
Laura Yohana

(1210533034)

Novi Haryani

(1210533027)

Rizka Mukhlisa

(1210533024)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas
2014/2015

PEMAJAKAN PENGHASILAN LUAR NEGERI


DARI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
I.

PENDAHULUAN
Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi,

informasi dan komunikasi mendorong berkembang pesatnya perdagangan internasional,


mobillisasi dana dan sumberdaya internasional. Perkembangan tersebut mendorong
perluasan perdagangan yang semula hanya dalam bentuk ekspor (langsung) menjadi
pengoperasian agen, kantor perwakilan dan akhirnya pembukuan cabang usaha atau
pelaksanaan kegiatn usaha secara penuh. Pada tataran berikutnya untuk memperkuat
pijakan bisnis di negara tersebut, perusahaan dapat melakukan investasi langsung
(foreign direct investment) dalam bentuk pengoperasian anak perusahaan (subsidiary
company) atau penguasaan atas kepemilikan atau pengendalian perusahaan afiliasi.
UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan
teritorial terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN
dari sumber di luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Sehubungan
dengan sistem tersebut, beberapa masalah akan muncul antara lain:
a) Indonesia sebagai negara tempat berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber di luar negara tersebut.
b) Karena penghasilan tersebut pada umumnya telah dikenakan pajak di negara
sumber (sebagai pemegang primary tax rigths) akan menimbulkan pajak
berganda internasional.
c) Bagaimana Indonesia memberikan keringanan pajak berganda tersebut.
Baik pengoperasian agen, kantor perwakilan, cabang atau anak perusahaan di
luar negeri akan memberikan penghasilan kepada WPDN (sebagai pengusaha atau
investor). Berikut ini akan dibahas pemajakan atas penghasilan usaha atau kegiatan
mancanegara.

II.

USAHA DAN KEGIATAN MANCANEGARA

a. Relevansi Kriteria Bentuk Usaha Tetap


Secara berurutan dari Pasal 1, 2(e), dan 2(4)a UU PPh, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia dapat dikenakan pajak oleh negara tersebut apabila aktivitas ekonomi
dimaksud mencapai kriteria BUT karena pada tataran itu WPLN dapat dianggap telah
berpartisipasi penuh dalam kegiatan perekonomian Indonesia, memanfaatkan jasa dan
layanan publik yang tersedia serta tataran usahanya sudah sejajar dengan perusahaan
WPDN dan oleh karenanya sudah harus ikut berpartisipasi dalam pembiayaan negeri
ini. Sebaliknya, apabila kegiatan tersebut belum mencapai kriteria BUT nampaknya
penghasilan (hanya) dikenakan pajak oleh negara domisili dan oleh karena itu untuk
memberikan kesempatan pengusaha WPLN lebih meningkatkan partisipasi ekonominya
Indonesia belum tepat saatnya untuk mengenakan pajak.
Pembatasan pemajakan (threshold taxation) dengan kriteria BUT ambang batas
tersebut berlaku untuk WPLN. Dalam sistem perpajakan internasional terdapat prinsip
bercermin (mirroring approach, amicable rule atau netralitas aplikasi regulasi.
Prinsip tersebut menghendaki agar apabila suatu ketentuan berlaku atas transaksi masuk
(inbound transaction) atau terhadap WPDN yang melaksanakan kegiatan di luar
Indonesia. Oleh karena itu, sehubungan dengan WPDN yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di luar Indonesia dapat dipertanyakan apakah kriteria tersebut juga
berlaku? Kalau seandainya berlaku, pertanyaan selanjutnya ialah apakah kriteria BUT
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2(5) UU PPh dapat diikuti sebagai kriteria
penentu atas pemajakan penghasilan usaha WPDN yang bersumber di luar negeri?
Dalam Pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan
adalah meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap
WPDN dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa
subjek pajak (orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi
Indonesia. Oleh karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap WPLN yang dikenakan
pajak berdasar pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN mempunyai sumber dari
luar atau malahan dari dalam Indonesia nampak agak kurang relevan. Relevansi

penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka
pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan
ada tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan
dari apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun
penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila
tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan
dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, kriteria ambang batas
BUT sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan diperoleh tanpa (misalnya ekspor)
atau dengan melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun, apabila
terdapat kerugian dari usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru
merupakan fenomena yang perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis
administratif atau pertimbangan lainnya, kerugian tersebut (sesuai dengan Penjelasan
Pasal 4(1) tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya. Secara
administratif, apabila terdapat kerugian dari usaha atau kegiatan di luar negeri dapat
ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan pembukuan wajib pajak.
Namun karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara kerugian dari usaha dan
kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun berikutnya) dengan
di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan laba dari sumber lain), maka terdapat
rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri (terlebih
kalau di negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).
Usaha yang jalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya
negara X, akan dikenakan pajak di negara tersebut apakah dengan memakai kriteria
BUT atau tidak adalah tergantung pada ketentuan domestik negara (X) tersebut. Dengan
demikian, tampak bahwa kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam
Pasal 2 (5) UU PPh kurang pas untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN
yang dijalankan atau dilakukan di mancanegara, karena sebagai negara berdaulat,
negara manca tersebut (tentu) mempunyai kriteria pemajakan yang belum tentu sama
dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak selayaknya , mencampuri urusan
pemajakan (dalam negeri) negara dimaksud.

b. Usaha dan Kegiatan Tidak Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap


Dalam perpajakan Internasional, konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan
hak pemajakan suatu negara (sumber) atas penghasilan dari usaha atau kegiatan yang
dijalankan WPLN.

Kriteria apakah usaha tersebutb mencapai level BUT,

tentunyadiukur dengan konsep BUT menurut ketentuan domestik negara X dan bukan
berdasarkan ketentuan Indonesia (UU PPh). Ketentuan domestik negara X tentang BUT
berbeda dengan ketentuan serupa UU PPh Indonesia. Apabila tidak ada P3B antara
Indonesia dengan negara X, ketidakserempakan kriteria pemajakan dapat menimbulkan
pajak berganda karena oleh negara X penghasilan usaha dimaksud telah dianggap masih
bersumber di negara domisili, pengusaha WPDN.
Apabila aktivitas ekonomi negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan
sebagai kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh
Indonesia penghasilan dari kegiatan tersebut dikenakan pajak selayaknya penghasilan
domestik (tanpa ada hak atas kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual
pada saat penyerahan barang. Sementara itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat
pembayaran akan dihitung sebagai keuntungan atau kerugian karena perbedaan nilai
tukar valuta asing.
c. Usaha dan Kegiatan Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Apabila aktivitas ekonomi mencapai level ambang batas BUT, pada umumnya
negara tempat usaha dan kegiatan ekonomi dilakukan (sumber) mengenakan pajak atas
penghasilan dari aktivitas tersebut berdasarkan basis neto (net basis) dan dengan tarif
normal (yang berlaku terhadap badan WPDN) sesuai dengan ketentuan domestik negara
sumber.
1. Saat Pengenaan Pajak Basis Akrual
Pasal 1 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2002 menyatakan
bahwa penggabungan (konsolidasi) penghasilan dari usaha dan kegiatan di luar negeri
dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (basis akrual).
Pemajakan berdasarkan tahun perolehan tersebut lebih menyandarkan pada accounting

treatment WP atas penghasilan usaha atau kegiatan yang diperoleh di luar negeri
dimaksud. Dalam hal ini ketentuan pajaak penghasilan bersikap netral (tax neutrality),
atas perlakuan akuntansi wajib pajak yang pada umumnya akan berlaku standar
akuntansi keuangan. Selaras dengan sistem self assessment, WPDN tersebut harus
melaporkan penghasilan dimaksud dalam SPT Tahunannya.
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak
Secara ideal untuk mengurangi diskriminasi pemajakan dan memberikan
perlakuan netral (tax neutrality) terhadap investor atau pengusaha Indonesia (dan
kategori penghasilan sesuai dengan sumbernya) apakah melakukan investasi atau usaha
di Indonesia atau di negeri lain (source neutrality), penghasilan dari usaha yang
dijalankan dan kegiatan yang dilakukan di luar Indonesia harus diredefinisikan selaras
dengan ketentuan domestic Indonesia. Dengan demikian dapat terjadi bahwa
penghasilan yang dikenakan pajak oleh Negara sumber menjadi tidak kena pajak sesuai
dengan ketentuan UU PPh atau sebaliknya objek yang tidak dikenakan pajak oleh
Negara sumber menjadi objek kena pajak menurut UU PPh. Demikian juga, dapat
terjadi bahwa jumlah rugi menurut hitungan Negara sumber setelah diadakan
penyesuaian dapat menjadi laba menurut UU PPh. Selain itu karena berusaha di luar
Indonesia melibatkan uang fungsional (functional currency) yang berbeda dari rupiah
fluktuasi dan gejolak nilai tukar rupiah dapat menimbulkan laba-rugi moneter (monetary
gains and loss) sebagai pelengkap dari laba-rugi usaha. Laba-rugi moneter ini
merupakan dimensi lain dari pelebaran sayap usaha atau investasi di luar negeri.
Transaksi valuta asing baik yang terdapat dalam laporan laba-rugi (income statement)
dan neraca (balance sheet) dapat menimbulkan laba-rugi moneter volatilitas nilai tukar
rupiah semakin memperbesar eksposur laba-rugi moneter. Untuk tujuan tersebut
diperlukan informasi yang benar, lengkap dan jelas serta rinci dari wajib pajak. Hal
tersebut kebanyakan belum dapat disampaikan tepat waktu. Kemungkinan dengan
mempertimbangkan kesulitan tersebut, pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
164 Tahun 2002 lebih melihat kepada aspek praktis administratif, tampak
mempermudah wajib pajak untuk melaporkan sejumlah penghasilan sebagaimana
tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak (tahunan) yang disampaikan ke kantor pajak

di Negara sumber. Sebagai konsekuensi dari pendekatan praktis administratif tersebut,


maka setiap pembetulan SPT di Negara sumber yang menyebabkan berubahnya
penghasilan kena pajak (dan pajak terutang) harus diikuiti dengan pembetulan SPT di
Indonesia. Kegiatan demikian dapat berlarut-larut, apabila, misalnya oleh administrasi
pajak Negara sumber dilakukan pemeriksaan pajak. Akibat perpajakan dari pemeriksaan
tersebut tentu harus merupakan bahan pembetulan SPT di Indonesia. Keberlarutan
tersebut dapat semakin panjang, apabila misalnya wajib pajak mengajukan keberatan
dan seterusnya banding ke pengadilan atau kasasi ke Mahkamah di Negara sumber.
Keberlarutan ini akan menjadi lebih kompleks lagi apabila dikaitkan dengan tenggang
waktu pengeluaran ketetapan pajak oleh Negara sumber misalnya sampai waktu 10
tahun seperti di Indonesia. Pembetulan SPT yang mundur untuk beberapa tahun akan
menimbulkan kekurang praktisan administrasi perpajakan, baik untuk wajib pajak
maupun kantor pajak.
Pada saat ini kita maklum bahwa belum banyak pengusaha atau investor
Indonesia, yang memperluas usaha dan kegiatannya ke mancanegara. Oleh karena itu,
masalah diatas dirasa belum merupakan suatu hal yang perlu untuk dipertimbangkan
secara sungguh-sungguh, terutama dari segi potensi penerimaan Negara. Namun, selaras
dengan gegap gempitannya alam globalisasi dan menderunya upaya pemerintah untuk
menggairahkan ekspor bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini semakin tumbuh
dan berkembang fenomena perluasan usaha dan kegiatan ke mancanegara terutama
selaras dengan pendekatan aliansi strategis bisnis mancanegara.
Misalnya apabila di tahun 2005 diketahui adanya koreksi penghasilan tahun
2000, maka SPT tahun 2000 tidak perlu dikoreksi. Koreksi cukup dilakukan atas SPT
tahun 2005 saja, penghasilan positif dan negative dikonsolidasikan dengan penghasilan
domestic tahun 2005 tersebut.

3. Kerugian

Pada huruf a penjelasan pasal 2(2) disebutkan bahwa WPDN dikenakan pajak
atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari indonesia dan dari luar
indonesia (basis global). Dehubungan dengan pemajakan global (world wide income
taxation) tersebut, Gerhard Laule dalam General Report untuk Cahiers de Droit Fiscal
International (1979) menyatakan bahwa dalam sistem pemajakan global dimaksud, laba
(penghasilan positif) dan rugi (penghasilan negatif) dari pendirian (establishment) di
luar negeri secara langsung diperhitungkan (digunggungkan)dalam penentuan
penghasilan kena pajak. Dengan demikian lanjutnya, kerugian yang didapat dari usaha
dan kegiatan di luar negeri pada prinsipnya boleh dikurangkan langsung dari
penghasilan global. Merujuk pada pemikiran tersebut, maka rasanya cukup beralasan
untuk mengonsolidasikan kerugian luar negeri pada tahun didapatnya kerugian tersebut
("full consolidation"). Konsolidasi tersebut rasanya juga dapat diterima dengan
mengingat bahwa secara ekonomis (bisnis) istilah penghasilan dapat berkonotasi
penghasilan negatif (rugi).
Namun barangkali untuk tujuan praktis administratif,secara agak kurang selaras
dengan pemikiran Laule, penjelasan Pasal 4(1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian
yang didapat diluar negeri tidak boleh dikonsolidasikan (digunggungkan) dengan
penghasilan global ("partial consolidation"). Kurang begitu jelas dasar pemikiran lain
dari perlakuan konsolidasi parsial tersebut. Kemungkinan selain kesulitan teknis praktis
untuk meyakinkan kebenaran angka kerugian mancanegara, juga dalam praktik kerugian
tersebut sudah dapat dikompensasikan di negara sumber berdasarkan ketentuan
domestik, dan hal ini dapat mengeliminasi praktik kompensasi ganda (double dipping)
yaitu rugi sudah dikompensasikan (vertikal) di (indonesia). Kompensasi rugi
mancanegara akan mengurangi potensi pajak domestik. Dengan konsolidasi parsial
demikian, UU PPh lebih menyerahkan pemberian kompensasi kerugian kepada
ketentuan domestik negara sumber.
Kalau

misalnya,

dalam

ketentuan

domestik

negara

sumber

(tanpa

memperhatikan klausul nondiskriminasi pada P3B) tidak tersedia keringanan


kompensasi kerugian maka kerugian WPDN yang didapat diluar negeri tidak dapat
diperhitungkan dimana-mana (no dipping). Dengan demikian, kebijakan praktis

administratif tersebut nampak agak mengesampingkan prinsip netralitas ekspor modal


dalam perpajakan karena adanya perlakuan yang berbeda atas kerugian dari investasi di
dalam dan dan di luar negeri. Hal demikian barangkali merupakan upaya yang kondusif
untuk meningkatkan investasi di dalam negeri Indonesia,Selaras dengan laju kebutuhan
dan kemandirian dana investasi untuk pembangunan. Namun barangkali hal itu dapat
merupakan kerikil kecil ditengah jalan arus globalisasi investasi dan netralitas
pemajakan.
Di beberapa negara (misalnya, neterland) yang menganut sistem pemajakan
global, memperkenankan perhitungan kerugian luar negeri atas penghasilan global
walaupun negara tersebut membebaskan penghasilan luar negeri dimaksud dari
pengenaan pajak (tax exemption). Untuk tujuan pemberian keringanan pajak berganda,
kerugian luar negeri tersebut diperhitungkan kembali dengan laba tahun berikutnya.
Misalnya dalam tahun 2005 selain penghasilan domestik sebesar 1000, terdapat
kerugian luar negeri sebesar 200, pajak penghasilan tahun 2005 dihitung berdasarkan
penghasilan (neto) global sebesar 800 (1000-200). Selanjutnya misalnya dalam tahun
2006 diketahui terdapat penghasilan dalam negeri sebesar 1500 dan penghasilan luar
negeri sebesar 500. Untuk keperluan perhitungan pajak penghasilan akan dihitung
penghasilan kena pajak global sebesar 2000, sedang keringanan pajak berganda
diberikan atas penghasilan luar negeri sebesar 300 (500-200-rugi tahun lain). Dengan
demikian, maka pajak penghasilan selama 2 tahun dihitung atas penghasilan global
2800 (800+2000) yang terdiri dari penghasilan dalam negeri sebesar 2500(1000+1500)
dan penghasilan luar negeri sebesar 300 (-200+500). Pendekatan recapture ini selain
bisa memperhitungkan kembali (recovery) pengurangan potensi pajak domestik oleh
kerugian luar negeri juga dapat meluruskan kembali prinsip pemajakan global dan
menegakkan kebijakan netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)
Walaupun indonesia menganut pendekatan non transparancy (mengenakan pajak
pada tingkat persekutuan sebagai korporat dan membebaskan sekutu atas pembagian
laba setelah pajak), namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengikuti pemajakan di
negara tempat krdudukan persekutuan (pendekatan transparansi) dengan mengenakan
pajak pada tingkat sekutu dan mengkreditkan pajak yang telah dibayar di luar negeri.

Selain pendekatan ikut arus tentu saja indonesia masih bisa kembali ke warna
aslinya(habitat) dengan tetap konsisten pada sistem non transparansi. Kalau diikutu
pendekatan non transparansi, maka seberapa besar penghasilan dan pajaknya yang
dialokasikan kepada WPDN Indonesia sebagai sekutu persekutuan yang berkedudukan
di negara selain Indonesia tidak lagi akan dikenakan pajak oleh Indonesia. Implikasi
dari perlakuan demikian dalam kebijakan pajak luar negerinya, indonesia sudah
bergeser dari prinsip netralitas ekspor modal (pengenaan pajak kepada sekitu WPDN
Indonesia dengan hak kredit) menjadi prinsip netralitas impor modal denga
membebaskan sekutu WPDN Indonesia dari potensi pengenaan pajak berdasar UU PPh.
4. Penghasilan Negara ketiga
Dalam pengembangan sayap usaha dan kegiatannya, dapat terjadi bahwa cabang
usaha atau kegiatan luar Negara (di negeri X) WPDN Indonesia memperluas usahanya
ke Negara ketiga (di Negara Y) atau menerima penghasilan pasif berupa dividen, bunga
dan sebagainya dari Negara lain (Negara Z). Kalau ketentuan Pasal 24 (3)(e) UU PPh
menyatakan bahwa sumber penghasilan BUT (cabang) adalah Negara BUT
menjalankan usaha atau kegiatan, dapat muncul pertanyaan apabila penghasilan dari
Negara ketiga dan keempat tersebut dianggap diperoleh melalui BUT dinegara kedua
(Negara X) atau dianggap tidak diperoleh BUT di Negara X tetapi langsung diperoleh
WPDN Indonesia dari Negara Y dan Z atau dianggap diperoleh BUT di Negara X
(sebagai secondary source country) dari Negara Y dan Z (sebagai primary source
country)
Walaupun Indonesia menerapkan territorial taxation terhadap BUT milik WPLN
namun sudah sepantasnya bahwa terhadap WPDN Indonesia tetap konsisten
menerapkan pemajakan basis global. Apakah penghasilan dari Negara Y dan Z akan
dianggap merupakan penghasilan yang terkoreksi efektif dengan BUT di Negara X (non
transparan approach) atau dianggap langsung dialokasi kepada WPDN domisili di
Indonesia akan mempengaruhi skedul pemajakan dan pemberian keringanan pajak luar
negeri.

Misalnya, penghasilan cabang di Negara X (dengan tariff 25%) WPDN adala


1000, penghasilan dari sub cabang di Negara Y (dengan tariff pajak 20%) adalah 500
dan penghasilan bunga dari Negara Z (dengan tariff potongan pajak 15%) adalah 400,
dengan penghasilan domestic 2000 (tariff pajak maksimal 30%) perhitungan pajak
WPDN tersebut dengan pendekatan Juch (globalisasi BUT) dan Ovebasch (non
globalisasi BUT) Nampak sebagai berikut :
Globalisasi BUT

Non Globalisasi BUT

400

400

Negara Z
Penghasilan
Pajak 15%

60

60

Negara Y
Penghasilan

500

Pajak 20%

500
100

100

Negara X
Penghasilan domestic

1000

1000

Penghasilan LN (Y,Z)

900

1900

1000

Pajak terutang 25%

475

250

Kredit pajak

160

Kurang bayar

315

250

Negara domisili
Penghasilan domestic

2000

2000

Penghasilan LN
Negara X

1000

Negara Y

500

Negara Z

400
3900

Pajak terutang

1170

1170

Negara X

475

250

Negara Y

100

Kredit pajak

Negara Z

Pajak kurang dibayar

695

Pajak

600

atas

penghasilan

domestik
Tambahan

95
pajak

60

160

dari

penghasilan LN

Dari perhitungan diatas Nampak bahwa pendekatan globalisasi pemajakan BUT


(pendekatan Juch) memberikan potensi atau 5%(30%-25%)x 1900, sedangkan
pendekatan non globalisasi BUT (pendekatan Overbasch) memberikan tambahan
potensi

pajak

Indonesia

sebesar

160[(30%x100%)-250)+

[(30%x500)-100]+

[(30%x400)-60)]. Selaras dengan pendekatan territorial terhadap pemajakan BUT di


Indonesia milik WPLN, dari segi netralitas penerapan ketentuan dan potensi penerimaan
tampaknya Indonesia sebaiknya menerapkan pendekatan Overbasch (non globalisasi
BUT).
III.

PENGHASILAN DARI ANAK PERUSAHAAN


Terhadap beberapa badan yang berada dalam satu kesatuan ekonomis (economic entity),

di beberapa negara manca diberlakukan pendekatan konsolidasi pemajakan atau penyatuan


pemajakan. Pada umumnya, jumlah kepemilikan dipakai sebagai dasar (kriteria) penentu
konsolidasi tersebut. Karena dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, walaupun dengan
kesatuan legal terpisah, untuk lebih memberikan manfaat ekonomis, beberapa badan tersebut,
untuk tujuan pemajakan dianggap sebagai satu kesatuan pemajakan. Sementara di Amerika
Serikat pendekata tersebut disebut tax return consolidation, di negeri Belanda dikenal sebagai
fiscal unity. Untuk keperluan administratif dan konsistensi, badan badan yang tergabung
dalam kesatuan pemajakan tersebut dianggap bergabung untuk masa sekurang kurangnya lima
tahun. Selain kesederhanaan administrasi pemajakan, salah satu keuntungan ekonomis sistem
tersebut adalah eliminasi penghasilan antarbadan dari jaringan pemajakan. Hal ini akan
memberikan penghematan pajak (tax saving) kepada grup.

Dalam sistem perpajakn Indonesia, pendekatan konsolidasi pemajakan dan akrualisasi


pemajakan current taxation pada umumnya. Selain menganut sistem klasikal, Indonesia
menerapkan pemajakan dengan pendekatan entitas legal terpisah separate legal entity .
dengan mengesampingkan faktor adanya kesatuan ekonomis, beberapa badan yang dipertalikan
berdasarkan kepemilikan dikenakan pajak secara individual tanpa eliminasi penghasilan
antarbadan (kecuali dividen).
Untuk mengeliminasi pajak berganda ekonomis atas dividen, Pasal 4(3)(f) UU PPh
memberikan eksemsi pajak atas dividen antar badan dengan beberapa persyaratan. Persyaratan
dimaksud antara lain adalah (1) penerima dividen merupakanbadan (termasuk koperasi) WPDN,
dan (2) pembagi dividen harus badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, (3) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, (4) penerima dividen harus
memiliki saham badan pembagi dividen paling sedikit 25% dari jumlah modal disetor, dan (5)
penerima dividen harus mempunyai usaha aktif di luar pemilikan saham. Karena keringan pajak
tersebut bersifat teritorial dan tidak diperluas ke mancanegara, maka tiap dividen yang diperoleh
atau diterima dari investasi saham pada badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar
Indonesia tetap dikenakan pajak penghasilan. Pengenaan pajak tersebut dilakukan pada saat
dividen tersebut diterima oleh WPDN. Karena pada prinsipnya WPDN dikenakan pajak per
basis neto, semua pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
(dividen luar negeri) tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Sehubungan
denga konsep match link antara biaya dan pengahasilan yang dilperkenalkan dalam
penjelasan Pasal 6 (1) (a) UU PPh serta pendekatan limitasi per negara dalam pemberian
keringan kredit pajak luar negeri, nampaknya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dividen luar negeri tersebut merupakan beban langsung (direct
expense) atas penghasilan dimaksud.
Dalam pemajakan terhadap badan hukum terdapat berbagai model integrasi antara pajak
penghasilan personal dengan pajak korporate sehubungan dengan distribusi penghasilan
korporat kepada personal dalam bentuk dividen.
Diantara beberapa negara telah menginegrasikan pemajakan korporat dengan personal
dalam sistem imputasi (imputation system) atau integrasi penuh (full integration). Dalam sistem
imputasi (credit system), badan dianggap sebagai sarana ekonomi untuk memperoleh
penghasilan maka pajak penghasilan badan dapat dikreditkan atas pajak penghasilan orang
pribadi. Di Indonesia hanya pajak atas dividen saja yang dapat dikreditkan.

Otonomi sistem pemajakan, selain memberikan netralitas ekspor modal dan konsistensi
pada sistem domestik (walaupun menyimpang dari sistem di negara sumber) dapat memberikan
tambahan potensi penerimaan pajak Indonesia.

IV.

DIVIDEN, BUNGA, SEWA DAN ROYALTI


Pemajakan atas dividen sumber luar negeri baik dari pemiliksaham mayoritas (anak

perusahaan) atau saham minoritas (portofolio) adalah sama, semuanya dikenakan pajak pada
saat penerimaan (on remittance basis) dividen tersebut oleh pemegang saham WPDN, begitu
juga dengan bunga, sewa dan royalti. Pemindahbukuan antarrekening di bank atau perusahaan
dapat merupakan petunjuk adanya penerimaan atau perolehan penghasilan. Demikian juga kalau
terjadi assignment atau factoring atas penghasilan atas hak penerimaan atas beberapa
penghasilan tersebut.
Sebagai penghasilan WPDN, yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan
mancanegara tersebut. Penjelasan Pasal 4 (1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian dari luar
negeri tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh menganut
sistem pemajakan global). Walaupun di batang tubuh Pasal 4 (1) tidak membatasi globalisasi
penghasilan, namun dalam penjelasan dinyatakan bahwa kompensasi kerugian horizontal tidak
termasuk kerugian yang diderita di luar negeri. Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif
negatif luar negi tidak dapat diperhitungkan dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan
sama (equal treatment) diterapkan baik terhadap penghasilan dan kegiatan maupun dividen,
bunga, sewa, dan rooyalti.

V.

PENGHASILAN LAINNYA
Selain penghasilan dari usaha dan kegiatan, serta dividen, bunga, sewa dan royalti

terdapat kemungkinan bahwa WPDN memeperoleh atau menerima penghasilan lainnya dari
sumber di luar Indonesia. Seperti, keuntungan dari penjualan harta (sekuritas, harta bergerak
maupun tak bergerak), keuntungan dari pengalihan hak atau atas kekayaan intelektual
(intelectual property rights), hadiah undian, olahraga, honorarium dari pemberian jasa dan
kegiatannya lainnya, pembayaran berkala, ganti rugi dan sebagainya. Semua penerimaan dan
perolehan dari sumber luar negeri yang menambah kemampuan ekonomis WPLN tersebut
merupakan penghasilan kena pajak, tidak peduli apakah penghasilan tersebut di negara manca
dikenakan pajak atau tidak. jika penghasilan tersebut dikenakan pajak secara final, maka sesuai

dengan sistem self assessment adalah merupakan kewajiban wajib pajak untuk melaporkan
penghasilan dan potongan pajaknya dalam SPT pajaknya, karena pengertian pengenaan pajak
final di mancanegara belum tentu langsung dipersamakan (equal treatment) dengan pemajakan
final WPDN penghasilan Indonesia (tanpa melaporkan dalam SPT tahunan). Pajak yang dibayar
atau dipotong di luar negeri walaupun dianggap final tetap dapat dikreditkan dengan pajak
Indonesia karena sistem final tersebut berlaku di negara sumber terhadap WPLN (dalam hal ini
adalah WPDN Indonesia). Namun apabila Indonesia dengan berpegang pada prinsip persamaan
perlakuan dan menganggap bahwa, selaras dengan ketentuan domestik, potongan pajak final di
luar negeri tidak perlu lagi dilaporkan dalam SPT tahunan, hal tersebut akan lebihy
memperlonggar iklim investasi dan mobilitas dana (ke luar) walaupun, dalam hal ini Indonesia
boleh jadi harus mengorbankan potensi penerimaannya (tax expenditures) dan sekaligus
melanggar prinsip netralitas ekspor modal (capital export neutrality) dan lebih memilhak pada
prinsip netralitas impor modal (capital impor neutrality). Karena Indonesia tidak
memberlakukan eksensi pajak (tax exemption) yang didasari oleh kebijakan netralitas impor
modal, selaras dengan kebijakan kerdit pajak luar negeri (yang didasari oleh kebijakan netralitas
ekspor modal) dan mempertimbangkan pula akn kebutuhan modal (investasi) untuk
pembangunan dalam negeri dan keterbatasan dana pembiayaan pemerintah kiranya
pemberlakuan pengenaan pajak atas semua penghasilan luar negeri WPDN dalam kondisi dan
keadaan apapun merupakan pilihan yang bijaksana.

VI.

ASPEK PERJANJIAN PERPAJAKAN


Apabila Indonesia telah menutup P3B dengan negara tempat WPDN Indonesia

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi atau menerima penghasilan lainnya, hak
pemajakan dari negara mitra runding tersebut akan dibatasi oleh P3B dimaksud.
Pembatasan tersebut dapat berupa mempersempit definisi (kriteria) ambang batas
pemajakan penghasilan usaha dan kegiatan profesionil (BUT) sehingga semakin memperbesar
porsi pemajakan Indonesia. Demikian juga dengan pengalokasian hak pemajakan atas suatu
kategori penghasilan juga menambah potensi penerimaan pajak Indonesia. Pengurangan tarif
potongan pajak atas penghasilan pasif yang berupa dividen, bunga dan royalti akan menaikkan
potensi penerimaan dari residual taxing right Indonesia sebagai negara domisili. Fasilitas
pertukaran informasi tentang kegiatan ekonomi atau perolehan penghasilan WPDN Indonesia
oleh negara mitra runding akan semakin meningkatkan transparansi dan disklosur SPT wajib
pajak serta kepatuhan WPDN dimaksud.

VII.

PENUTUP

Kesimpulan

UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan


teritorial terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN
dari sumber di luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Dalam Pasal
4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah meliputi baik dari
dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN dilakukan
berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak (orang
atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Oleh
karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap WPLN yang dikenakan pajak berdasar
pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN mempunyai sumber dari luar atau
malahan dari dalam Indonesia nampak agak kurang relevan. Relevansi penentuan
sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka pemberian
kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada
tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari
apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun
penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila
tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan
dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai