Oleh:
Laura Yohana
(1210533034)
Novi Haryani
(1210533027)
Rizka Mukhlisa
(1210533024)
PENDAHULUAN
Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi,
II.
penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka
pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan
ada tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan
dari apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun
penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila
tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan
dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, kriteria ambang batas
BUT sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan diperoleh tanpa (misalnya ekspor)
atau dengan melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun, apabila
terdapat kerugian dari usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru
merupakan fenomena yang perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis
administratif atau pertimbangan lainnya, kerugian tersebut (sesuai dengan Penjelasan
Pasal 4(1) tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya. Secara
administratif, apabila terdapat kerugian dari usaha atau kegiatan di luar negeri dapat
ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan pembukuan wajib pajak.
Namun karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara kerugian dari usaha dan
kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun berikutnya) dengan
di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan laba dari sumber lain), maka terdapat
rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri (terlebih
kalau di negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).
Usaha yang jalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya
negara X, akan dikenakan pajak di negara tersebut apakah dengan memakai kriteria
BUT atau tidak adalah tergantung pada ketentuan domestik negara (X) tersebut. Dengan
demikian, tampak bahwa kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam
Pasal 2 (5) UU PPh kurang pas untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN
yang dijalankan atau dilakukan di mancanegara, karena sebagai negara berdaulat,
negara manca tersebut (tentu) mempunyai kriteria pemajakan yang belum tentu sama
dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak selayaknya , mencampuri urusan
pemajakan (dalam negeri) negara dimaksud.
tentunyadiukur dengan konsep BUT menurut ketentuan domestik negara X dan bukan
berdasarkan ketentuan Indonesia (UU PPh). Ketentuan domestik negara X tentang BUT
berbeda dengan ketentuan serupa UU PPh Indonesia. Apabila tidak ada P3B antara
Indonesia dengan negara X, ketidakserempakan kriteria pemajakan dapat menimbulkan
pajak berganda karena oleh negara X penghasilan usaha dimaksud telah dianggap masih
bersumber di negara domisili, pengusaha WPDN.
Apabila aktivitas ekonomi negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan
sebagai kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh
Indonesia penghasilan dari kegiatan tersebut dikenakan pajak selayaknya penghasilan
domestik (tanpa ada hak atas kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual
pada saat penyerahan barang. Sementara itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat
pembayaran akan dihitung sebagai keuntungan atau kerugian karena perbedaan nilai
tukar valuta asing.
c. Usaha dan Kegiatan Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Apabila aktivitas ekonomi mencapai level ambang batas BUT, pada umumnya
negara tempat usaha dan kegiatan ekonomi dilakukan (sumber) mengenakan pajak atas
penghasilan dari aktivitas tersebut berdasarkan basis neto (net basis) dan dengan tarif
normal (yang berlaku terhadap badan WPDN) sesuai dengan ketentuan domestik negara
sumber.
1. Saat Pengenaan Pajak Basis Akrual
Pasal 1 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2002 menyatakan
bahwa penggabungan (konsolidasi) penghasilan dari usaha dan kegiatan di luar negeri
dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (basis akrual).
Pemajakan berdasarkan tahun perolehan tersebut lebih menyandarkan pada accounting
treatment WP atas penghasilan usaha atau kegiatan yang diperoleh di luar negeri
dimaksud. Dalam hal ini ketentuan pajaak penghasilan bersikap netral (tax neutrality),
atas perlakuan akuntansi wajib pajak yang pada umumnya akan berlaku standar
akuntansi keuangan. Selaras dengan sistem self assessment, WPDN tersebut harus
melaporkan penghasilan dimaksud dalam SPT Tahunannya.
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak
Secara ideal untuk mengurangi diskriminasi pemajakan dan memberikan
perlakuan netral (tax neutrality) terhadap investor atau pengusaha Indonesia (dan
kategori penghasilan sesuai dengan sumbernya) apakah melakukan investasi atau usaha
di Indonesia atau di negeri lain (source neutrality), penghasilan dari usaha yang
dijalankan dan kegiatan yang dilakukan di luar Indonesia harus diredefinisikan selaras
dengan ketentuan domestic Indonesia. Dengan demikian dapat terjadi bahwa
penghasilan yang dikenakan pajak oleh Negara sumber menjadi tidak kena pajak sesuai
dengan ketentuan UU PPh atau sebaliknya objek yang tidak dikenakan pajak oleh
Negara sumber menjadi objek kena pajak menurut UU PPh. Demikian juga, dapat
terjadi bahwa jumlah rugi menurut hitungan Negara sumber setelah diadakan
penyesuaian dapat menjadi laba menurut UU PPh. Selain itu karena berusaha di luar
Indonesia melibatkan uang fungsional (functional currency) yang berbeda dari rupiah
fluktuasi dan gejolak nilai tukar rupiah dapat menimbulkan laba-rugi moneter (monetary
gains and loss) sebagai pelengkap dari laba-rugi usaha. Laba-rugi moneter ini
merupakan dimensi lain dari pelebaran sayap usaha atau investasi di luar negeri.
Transaksi valuta asing baik yang terdapat dalam laporan laba-rugi (income statement)
dan neraca (balance sheet) dapat menimbulkan laba-rugi moneter volatilitas nilai tukar
rupiah semakin memperbesar eksposur laba-rugi moneter. Untuk tujuan tersebut
diperlukan informasi yang benar, lengkap dan jelas serta rinci dari wajib pajak. Hal
tersebut kebanyakan belum dapat disampaikan tepat waktu. Kemungkinan dengan
mempertimbangkan kesulitan tersebut, pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
164 Tahun 2002 lebih melihat kepada aspek praktis administratif, tampak
mempermudah wajib pajak untuk melaporkan sejumlah penghasilan sebagaimana
tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak (tahunan) yang disampaikan ke kantor pajak
3. Kerugian
Pada huruf a penjelasan pasal 2(2) disebutkan bahwa WPDN dikenakan pajak
atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari indonesia dan dari luar
indonesia (basis global). Dehubungan dengan pemajakan global (world wide income
taxation) tersebut, Gerhard Laule dalam General Report untuk Cahiers de Droit Fiscal
International (1979) menyatakan bahwa dalam sistem pemajakan global dimaksud, laba
(penghasilan positif) dan rugi (penghasilan negatif) dari pendirian (establishment) di
luar negeri secara langsung diperhitungkan (digunggungkan)dalam penentuan
penghasilan kena pajak. Dengan demikian lanjutnya, kerugian yang didapat dari usaha
dan kegiatan di luar negeri pada prinsipnya boleh dikurangkan langsung dari
penghasilan global. Merujuk pada pemikiran tersebut, maka rasanya cukup beralasan
untuk mengonsolidasikan kerugian luar negeri pada tahun didapatnya kerugian tersebut
("full consolidation"). Konsolidasi tersebut rasanya juga dapat diterima dengan
mengingat bahwa secara ekonomis (bisnis) istilah penghasilan dapat berkonotasi
penghasilan negatif (rugi).
Namun barangkali untuk tujuan praktis administratif,secara agak kurang selaras
dengan pemikiran Laule, penjelasan Pasal 4(1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian
yang didapat diluar negeri tidak boleh dikonsolidasikan (digunggungkan) dengan
penghasilan global ("partial consolidation"). Kurang begitu jelas dasar pemikiran lain
dari perlakuan konsolidasi parsial tersebut. Kemungkinan selain kesulitan teknis praktis
untuk meyakinkan kebenaran angka kerugian mancanegara, juga dalam praktik kerugian
tersebut sudah dapat dikompensasikan di negara sumber berdasarkan ketentuan
domestik, dan hal ini dapat mengeliminasi praktik kompensasi ganda (double dipping)
yaitu rugi sudah dikompensasikan (vertikal) di (indonesia). Kompensasi rugi
mancanegara akan mengurangi potensi pajak domestik. Dengan konsolidasi parsial
demikian, UU PPh lebih menyerahkan pemberian kompensasi kerugian kepada
ketentuan domestik negara sumber.
Kalau
misalnya,
dalam
ketentuan
domestik
negara
sumber
(tanpa
Selain pendekatan ikut arus tentu saja indonesia masih bisa kembali ke warna
aslinya(habitat) dengan tetap konsisten pada sistem non transparansi. Kalau diikutu
pendekatan non transparansi, maka seberapa besar penghasilan dan pajaknya yang
dialokasikan kepada WPDN Indonesia sebagai sekutu persekutuan yang berkedudukan
di negara selain Indonesia tidak lagi akan dikenakan pajak oleh Indonesia. Implikasi
dari perlakuan demikian dalam kebijakan pajak luar negerinya, indonesia sudah
bergeser dari prinsip netralitas ekspor modal (pengenaan pajak kepada sekitu WPDN
Indonesia dengan hak kredit) menjadi prinsip netralitas impor modal denga
membebaskan sekutu WPDN Indonesia dari potensi pengenaan pajak berdasar UU PPh.
4. Penghasilan Negara ketiga
Dalam pengembangan sayap usaha dan kegiatannya, dapat terjadi bahwa cabang
usaha atau kegiatan luar Negara (di negeri X) WPDN Indonesia memperluas usahanya
ke Negara ketiga (di Negara Y) atau menerima penghasilan pasif berupa dividen, bunga
dan sebagainya dari Negara lain (Negara Z). Kalau ketentuan Pasal 24 (3)(e) UU PPh
menyatakan bahwa sumber penghasilan BUT (cabang) adalah Negara BUT
menjalankan usaha atau kegiatan, dapat muncul pertanyaan apabila penghasilan dari
Negara ketiga dan keempat tersebut dianggap diperoleh melalui BUT dinegara kedua
(Negara X) atau dianggap tidak diperoleh BUT di Negara X tetapi langsung diperoleh
WPDN Indonesia dari Negara Y dan Z atau dianggap diperoleh BUT di Negara X
(sebagai secondary source country) dari Negara Y dan Z (sebagai primary source
country)
Walaupun Indonesia menerapkan territorial taxation terhadap BUT milik WPLN
namun sudah sepantasnya bahwa terhadap WPDN Indonesia tetap konsisten
menerapkan pemajakan basis global. Apakah penghasilan dari Negara Y dan Z akan
dianggap merupakan penghasilan yang terkoreksi efektif dengan BUT di Negara X (non
transparan approach) atau dianggap langsung dialokasi kepada WPDN domisili di
Indonesia akan mempengaruhi skedul pemajakan dan pemberian keringanan pajak luar
negeri.
400
400
Negara Z
Penghasilan
Pajak 15%
60
60
Negara Y
Penghasilan
500
Pajak 20%
500
100
100
Negara X
Penghasilan domestic
1000
1000
Penghasilan LN (Y,Z)
900
1900
1000
475
250
Kredit pajak
160
Kurang bayar
315
250
Negara domisili
Penghasilan domestic
2000
2000
Penghasilan LN
Negara X
1000
Negara Y
500
Negara Z
400
3900
Pajak terutang
1170
1170
Negara X
475
250
Negara Y
100
Kredit pajak
Negara Z
695
Pajak
600
atas
penghasilan
domestik
Tambahan
95
pajak
60
160
dari
penghasilan LN
pajak
Indonesia
sebesar
160[(30%x100%)-250)+
[(30%x500)-100]+
Otonomi sistem pemajakan, selain memberikan netralitas ekspor modal dan konsistensi
pada sistem domestik (walaupun menyimpang dari sistem di negara sumber) dapat memberikan
tambahan potensi penerimaan pajak Indonesia.
IV.
perusahaan) atau saham minoritas (portofolio) adalah sama, semuanya dikenakan pajak pada
saat penerimaan (on remittance basis) dividen tersebut oleh pemegang saham WPDN, begitu
juga dengan bunga, sewa dan royalti. Pemindahbukuan antarrekening di bank atau perusahaan
dapat merupakan petunjuk adanya penerimaan atau perolehan penghasilan. Demikian juga kalau
terjadi assignment atau factoring atas penghasilan atas hak penerimaan atas beberapa
penghasilan tersebut.
Sebagai penghasilan WPDN, yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan
mancanegara tersebut. Penjelasan Pasal 4 (1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian dari luar
negeri tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh menganut
sistem pemajakan global). Walaupun di batang tubuh Pasal 4 (1) tidak membatasi globalisasi
penghasilan, namun dalam penjelasan dinyatakan bahwa kompensasi kerugian horizontal tidak
termasuk kerugian yang diderita di luar negeri. Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif
negatif luar negi tidak dapat diperhitungkan dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan
sama (equal treatment) diterapkan baik terhadap penghasilan dan kegiatan maupun dividen,
bunga, sewa, dan rooyalti.
V.
PENGHASILAN LAINNYA
Selain penghasilan dari usaha dan kegiatan, serta dividen, bunga, sewa dan royalti
terdapat kemungkinan bahwa WPDN memeperoleh atau menerima penghasilan lainnya dari
sumber di luar Indonesia. Seperti, keuntungan dari penjualan harta (sekuritas, harta bergerak
maupun tak bergerak), keuntungan dari pengalihan hak atau atas kekayaan intelektual
(intelectual property rights), hadiah undian, olahraga, honorarium dari pemberian jasa dan
kegiatannya lainnya, pembayaran berkala, ganti rugi dan sebagainya. Semua penerimaan dan
perolehan dari sumber luar negeri yang menambah kemampuan ekonomis WPLN tersebut
merupakan penghasilan kena pajak, tidak peduli apakah penghasilan tersebut di negara manca
dikenakan pajak atau tidak. jika penghasilan tersebut dikenakan pajak secara final, maka sesuai
dengan sistem self assessment adalah merupakan kewajiban wajib pajak untuk melaporkan
penghasilan dan potongan pajaknya dalam SPT pajaknya, karena pengertian pengenaan pajak
final di mancanegara belum tentu langsung dipersamakan (equal treatment) dengan pemajakan
final WPDN penghasilan Indonesia (tanpa melaporkan dalam SPT tahunan). Pajak yang dibayar
atau dipotong di luar negeri walaupun dianggap final tetap dapat dikreditkan dengan pajak
Indonesia karena sistem final tersebut berlaku di negara sumber terhadap WPLN (dalam hal ini
adalah WPDN Indonesia). Namun apabila Indonesia dengan berpegang pada prinsip persamaan
perlakuan dan menganggap bahwa, selaras dengan ketentuan domestik, potongan pajak final di
luar negeri tidak perlu lagi dilaporkan dalam SPT tahunan, hal tersebut akan lebihy
memperlonggar iklim investasi dan mobilitas dana (ke luar) walaupun, dalam hal ini Indonesia
boleh jadi harus mengorbankan potensi penerimaannya (tax expenditures) dan sekaligus
melanggar prinsip netralitas ekspor modal (capital export neutrality) dan lebih memilhak pada
prinsip netralitas impor modal (capital impor neutrality). Karena Indonesia tidak
memberlakukan eksensi pajak (tax exemption) yang didasari oleh kebijakan netralitas impor
modal, selaras dengan kebijakan kerdit pajak luar negeri (yang didasari oleh kebijakan netralitas
ekspor modal) dan mempertimbangkan pula akn kebutuhan modal (investasi) untuk
pembangunan dalam negeri dan keterbatasan dana pembiayaan pemerintah kiranya
pemberlakuan pengenaan pajak atas semua penghasilan luar negeri WPDN dalam kondisi dan
keadaan apapun merupakan pilihan yang bijaksana.
VI.
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi atau menerima penghasilan lainnya, hak
pemajakan dari negara mitra runding tersebut akan dibatasi oleh P3B dimaksud.
Pembatasan tersebut dapat berupa mempersempit definisi (kriteria) ambang batas
pemajakan penghasilan usaha dan kegiatan profesionil (BUT) sehingga semakin memperbesar
porsi pemajakan Indonesia. Demikian juga dengan pengalokasian hak pemajakan atas suatu
kategori penghasilan juga menambah potensi penerimaan pajak Indonesia. Pengurangan tarif
potongan pajak atas penghasilan pasif yang berupa dividen, bunga dan royalti akan menaikkan
potensi penerimaan dari residual taxing right Indonesia sebagai negara domisili. Fasilitas
pertukaran informasi tentang kegiatan ekonomi atau perolehan penghasilan WPDN Indonesia
oleh negara mitra runding akan semakin meningkatkan transparansi dan disklosur SPT wajib
pajak serta kepatuhan WPDN dimaksud.
VII.
PENUTUP
Kesimpulan