Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak di bawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinaps masuk ke dalam
susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Toksin bisa menyebar ke otot-otot
lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung
meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin
yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak
kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
Mekanisme kerja toksin tetanus
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan
neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit
tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, maupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit
ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu
posterior dan interneuron.
- Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia,
gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada
tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif terhadap
efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
- Neuropati perifer
- Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
sembuh.
- Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis
torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ
seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot
bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorak apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, edema hemoragik pulmonal
dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik
seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
d. Gangguan pusat pernafasan
Penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang
menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah :
- Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai 1 jam.
- Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan
saraf otonom
spasm
hiperhidrosis
rigidity
perut papan
kaki kanan & tangan kanan
kaku otot leher
retraksi kepala
cephalgia
trismus opisthotonus
rhisus sardonicus nyeri punggung
KOMPLIKASI
1) Saluran pernapasan
Oleh karena spasme otototot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan
air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis
akibat obstruksi oleh sekret.
2) Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer.
3) Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terusmenerus
terutama pada anak dan orang dewasa.
4) Komplikasi lain:
- Laserasi lidah akibat kejang
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu bronkopneumonia,
cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
PENATALAKSANAAN
1) Pengobatan Umum:
- Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan harus tenang.
- Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
- Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka dibersihkan
dengan pengisap lendir.
2) Pengobatan Khusus:
a) Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
- Toksin bebas dalam darah
- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
darah.
dinetralisir oleh
indurasi lebih dari 10 mm. Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan
secara bertahap.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman
(1987) menganjurkan dosis 50.000100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan
setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya
dalam 100200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 12 jam. Di FKUI, ATS diberikan
dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m,
sekali pemberian.
b) Antikonvulsan dan sedatif
Obatobat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan
saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang dapat
mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan
gerakan volunter atau kesadaran.
Obatobat yang lazim digunakan ialah:
- Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali
i.v. perlahanlahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian
diikuti pemberian diazepam peroral(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali
sehari diberikan 6 kali.- Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan dengan
dosis oral 59 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis.
- Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
c) Antibiotik
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari
i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
- Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin. Tetrasiklin : 3050 mg/kg.bb/hari
dalam 4 dosis.Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
d) Oksigen
Bila terjadi asfiksia dan sianosis.
e) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:
b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi > 7 hari
dan awitan > 2 hari, mortalitas 10%
c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi < 7 hari dan
awitan < 2 hari, mortalitas 32%
d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun puerperium,
mortalitas 80%.