Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk
family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Prevalensi HIV cenderung
bertambah tinggi dari tahun ke tahun. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan orang yang
melakukan perilaku berisiko tinggi untuk tertular HIV. Setengah abad dari awal, epidemi HIV
dan AIDS terjadi pada 40 juta orang dengan HIV, pada tahun 2005 terdapat 5 juta penderita baru
terjadi. Jumlah kasus HIV dan AIDS didunia terus meningkat, sebesar 39,5 juta orang terinfeksi
HIV. Terdapat 4.3 juta infeksi baru dengan 2.8 juta infeksi baru terjadi di Sub Sahara
(WHO/UNAIDS, 2006). Menurut dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Depkes RI jumlah orang dengan infeksi HIV dan AIDS dari 1987 hingga 2008
dilaporkan 5.23 per 100.000. Tahun 2010 dilaporkan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak
24131 kasus dengan prevalensi sebesar 10.46% (Ditjen PPM & PL Depkes, 2010).
HIV dengan gangguan psikiatri mempunyai hubungan timbal balik. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan dapat menyebabkan gangguan psikiatri akibat virus HIV masuk dan
menyerang sistem saraf pusat yang ada di dalam otak. Perjalanan AIDS yang berakhir dengan
kematian, penyebarannya yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA menjadi
hal yang dapat menimbulkan stress dan gangguan psikiatri pada ODHA tersebut.
Prevalensi gangguan mental pada ODHA dilaporkan antara 5% dan 23% (WHO,2008).
Penelitian oleh Treisman (2007) pada klinik HIV John Hopkins University menunjukkan bahwa
54% pasien didiagnosa mengalami gangguan psikiatri

antara lain depresi berat (20%),

penurunan moral/ gangguan penyesuaian (18%), gangguan

penyalahgunaan zat (74%),

penurunan kognitif (18%). Alim (2010) yang menemukan bahwa gangguan psikiatri seperti
depresi, kecemasan, psikosis, dan lain- lain merupakan gangguan psikiatri yang paling banyak
ditemukan pada pasien dengan HIV dan AIDS. Depresi dan kecemasan merupakan gangguan
psikiatri yang paling umum dialami oleh ODHA yang berkunjung pada klinik dukungan bagi
ODHA di RS Kampala, Uganda (Petrushkin, 2005) dan prevalensi depresi mencapai 53.9% pada
kalangan HIV positif di Uganda (Nakasujja dkk, 2010).
Salah satu penyebab dari rendahnya kepatuhan pengobatan antiretroviral pada ODHA
adalah gangguan depresi (Vranceanu dkk, 2008). Pence (2009) juga menemukan bahwa depresi
menjadi prediktor rendahnya kepatuhan ART, meningkatnya perilaku seksual berisiko, kegagalan
pengobatan ART, kecepatan sindrom HIV, dan angka kematian yang tinggi. Pada analisis
multivariat diperoleh bahwa wanita dengan HIV dan AIDS dengan gejala depresi kronik dua kali
berisiko mengalami kematian dibanding wanita tanpa depresi (Ickovics, 2011). Dengan kata lain
gangguan depresi mempunyai hubungan dengan kemajuan sindrom penyakit dan peningkatan
kematian. Depresi yang kronik juga berhubungan dengan perilaku seksual yang berisiko bagi
ODHA lainnya dan kelompok negatif. Implikasi ini berhubungan dengan penyebaran penyakit
(Makin, 2009).
Menurut Mellins dkk (2003), pada kelompok remaja yang terinfeksi HIV, gangguan
psikiatri seperti depresi, kecemasan, masalah perilaku dan sosial merupakan gangguan psikiatri
yang dominan dialami dengan prevalensi sebesar 12%- 44 %. Namun, kelompok umur 30- 39
tahun ditemukan sindrom depresi berat pada pasien HIV di RSUP H.Adam Malik (Saragih,
2005). Gangguan depresi dan kecemasan lebih tinggi terjadi pada wanita dengan HIV positif
dibanding wanita HIV negatif (Morisson dkk, 2002). Depresi klinik di kalangan wanita dengan
HIV dan AIDS lebih tinggi dibanding dengan pria HIV dan AIDS (Voss, 2007). Penelitian Gupta

dkk (2010) bahwa dari 1.268 responden HIV positif 25.3% wanita mengalami depresi dengan
pendidikan yang rendah. Hal ini sejalan dengan infeksi HIV pada wanita lebih tinggi dibanding
pria dengan HIV positif khususnya untuk risiko seksual sehingga bagi wanita akses ke pelayanan
kesehatan menjadi terbatas, kuatir, dan adanya rasa ketakutan (Baingana, 2005).
Namun, Adewuyaa (2006), menemukan bahwa depresi terlihat pada pasien pria dan
kelompok etnik minoritas. Penelitian Ciesla dan Roberts (2001) menunjukkan bahwa prevalensi
depresi meningkat dikalangan orang dengan HIV dan AIDS pada negara berpenghasilan tinggi.
Kandouw (2007) menyebutkan bahwa depresi terjadi pada responden yang yang tidak bekerja
(51.4 %). Saragih (2005) dan Kandouw (2007) menemukan bahwa gangguan depresi ditemukan
pada pasien dengan tingkat pendidikan terakhir SMA dengan prevalensi masing- masing 76.5%
dan 50 %.
Diagnosis HIV yang lebih awal dan mendapat pengobatan lebih dini berhubungan dengan
angka progresi yang rendah dari infeksi HIV dan penting bagi program pencegahan dan kontrol.
50 Pasien ODHA yang didagnosis lama hidup dengan HIV memiliki trauma yang berkurang
karena awal diagnosis dan mengalami gejala depresi yang rendah (Vance, 2006). Penelitian yang
dilakukan Yee dkk (2009) dalam melihat hubungan tahun diagnosis HIV dengan kejadian depresi
pada ODHA yang berkunjung pada pusat klinik Universitas Malaysia ditemukan bahwa ODHA
yang mengalami depresi mengetahui dirinya terinfeksi HIV selama 4,5 tahun. Selang waktu ini
sudah menunjukkan gejala simptomatik dari AIDS jumlah CD4 yang rendah (< 500 sel/mm 3)
sehingga kemajuan dari infeksi HIV pun semakin cepat.
Keganasan penyakit dinilai dari stadium klinis, jumlah CD4 yang rendah, kecepatan
pertumbuhan virus, ataupun jumlah gejala fisik juga berhubungan dengan peningkatan kematian,
depresi klinik, distimia, bunuh diri, dan kecemasan (Mast dkk, 2004; Olley 2006; Freeman dkk,
2007). CD4 berhubungan dengan perubahan inflamasi pada otak sehingga menjadi tanda HIV
berhubungan dengan penurunan sistem imun dan konsekuensinya berupa disfungsi limfosit,

diikuti oleh kerusakan otak yang terjadi. Penelitian Horberg dkk (2007) pada 3359 pasien HIV
yang ada dalam The Kaiser Permanente and Group Health Cooperative di Amerika menemukan
bahwa depresi berhubungan dengan penurunan jumlah CD4 (< 500 sel/mm 3). Namun, penelitian
yang dilakukan oleh Saragih (2005) pada pasien ODHA di RSUP H.Adam Malik Medan
menemukan bahwa sindrom depresi sedang dialami oleh pasien dengan jumlah CD4 < 200 sel/
mm3.
Seiring dengan perpanjangan harapan hidup ODHA dengan adanya ARV , risiko untuk
gangguan mental terjadi pun dapat dialami, khususya dalam hal kepatuhan mengkonsumsi ARV
dan juga efek dari ARV sendiri. Beberapa pengobatan seperti zidovudine, didanosine, nevirapine,
abcavir, dan efavirens diteliti memilki hubungan dengan gejala neuropsikiatri. Prevalensi depresi
diatas 10 % pada penderita yang menjalani pengobatan. Diantara ODHA yang mendapat
pengobatan, 20,3% ditemukan mengalami gangguan kecemasan, dengan proporsi 12,3%.
Proporsi yang signifikan ODHA yang menerima pengobatan HAART mengalami depresi sebesar
14.2 % (Olisah, 2010). ODHA yang menjalani terapi methadon dan juga pengguna zat
diperkirakan tingkat risiko mengalami depresi tiga kali lebih tinggi dari kelompok lainnya
(Yulianti, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam melihat
gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi pada orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA) di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011.

B. Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarlan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah
bagaimana gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan HIV dan
AIDS di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011 berdasarkan karakteristik demografi (umur, jenis

kelamin, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan), jumlah CD4 terakhir, lama mengetahui status HIV
dan jenis ARV yang diterima.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai gambaran epidemiologi gangguan kecemasan
dan depresi orang dengan HIV dan AIDS di RSP Jumpandang Baru tahun 2011.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan
HIV dan AIDS menurut umur.
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan
HIV dan AIDS menurut jenis kelamin.
3. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan
HIV dan AIDS menurut pendidikan terakhir.
4. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan
HIV dan AIDS menurut jenis pekerjaan.
5. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi

orang

dengan HIV dan AIDS menurut jumlah CD4.


6. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi

orang

dengan HIV dan AIDS menurut lama terdiagnosa.


7. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi orang dengan
HIV dan AIDS menurut jenis pengobatan ARV yang diterima.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi terkait
khususnya instansi kesehatan yang ada di RSP Jumpandang Baru tentang gambaran epidemiologi
gangguan kecemasan dan depresi yang terjadi pada orang dengan HIV dan AIDS.
2. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan dan sebagai salah
satu sumber informasi dan bacaan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mendalami kecemasan
dan depresi dikalangan orang dengan HIV dan AIDS.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Untuk menambah pengalaman, pengetahuan, dan nuansa ilmiah bagi peneliti mengenai
gambaran epidemiologi gangguan kecemasan dan depresi pada orang dengan HIV dan AIDS.

Anda mungkin juga menyukai