Anda di halaman 1dari 9

Makalah PKn Tentang

Hukum
Disusun oleh : Daffa Amadeuz

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Hukum ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai hukum Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang
telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.Karena
sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah
sedangkan kesalahan adalah milik kita para manusia

Pemerintah menganggap frasa dipilih secara


demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 terkait pemilihan kepala daerah
(pilkada) dapat diartikan pilkada langsung
oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD.
Namun, pilkada sesuai UUD 1945 lebih
bermakna pilkada langsung oleh rakyat, ujar
Kabalitbang Kemenkumham, Mualimin Abdi
saat menyampaikan keterangan pemerintah
dalam sidang lanjutan pengujian UU Pemda
dan UU Penyelenggara Pemilu di ruang sidang
Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/9).
Sidang MK ini berlangsung di tengah proses
pembahasan RUU Pilkada di Senayan. RUU ini
menimbulkan pro dan kontra, terutama
mengenai opsi pemilihan kepala daerah
secara langsung atau melalui DPRD.
Sebelumnya, Forum Kajian Hukum dan
Konstitusi (FKHK) bersama sejumlah
mahasiswa yakni Kurniawan, Denny Rudini,

Amanda Anggraeni Saputri, Hamid Aklis


mempersoalkan Pasal 56 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2008 tentangPemerintah Daerah dan
Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebab,
pilkada langsung tak sejalan dengan
pemaknaan kedua pasal itu yang
menyebutkan pilkada secara demokratis
berdasarkan asas luber dan jurdil.
Pemohon menilai kedua pasal itu
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 karena mekanisme pilkada dipilih secara
demokratis (musyawarah/perwakilan), bukan
dipilih secara langsung seperti pemilihan
presiden/wakil presiden dalam Pasal 6A ayat
(1) UUD 1945. Pemohon meminta MK
memberi tafsir konstitusional terhadap kedua
pasal itu dengan menyerahkan kepada
masing-masing daerah, seperti pilkada
Yogyakarta (penetapan) dan Papua (sistem
noken).
Mualimin mengutip putusan MK No. 72-

73/PUU-II/2004 yang memberi makna


demokratis dalam pilkada. Kala itu,
Mahkamah berpendapat UUD 1945 telah
menetapkan pilkada secara demokratis baik
langsung maupun cara-cara demokratis
lainnya harus berpedoman pada asas luber
dan jurdil.
Ternyata, menjabarkan maksud dipilih
secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945, pembuat UU telah memilih pilkada
langsung, konsekwensi logisnya asas luber
dan jurdil harus tercermin dalam
penyelenggaraan pilkada, tutur Mualimin.
Masih menurut putusan MK itu, Mahkamah
berpendapat pilkada langsung tidak termasuk
kategori pemilu seperti dimaksud Pasal 22E
UUD 1945. Namun demikian, pilkada
langsung adalah pemilu secara materil
implementasi Pasal 18 UUD 1945. Karenanya,
penyelenggaraan pilkada dapat berbeda
dengan pemilu, dalam hal regulator,
penyelenggara, dan badan penyelesaian

perselisihannya dengan tetap didasarkan asas


luber dan jurdil.
Frasa dipilih secara demokratis dalam Pasal
18 ayat (4) menjadi open legal
policypembentuk UU untuk menentukan
mekanisme pilkada yang tepat, yang hari ini
ada sejumlah RUU yang sedang di-voting di
DPR untuk disetujui, salah satunya RUU
Pilkada. Jadi, pengujian UU ini sama sekali
tidak ada kaitannya dengan isu konstitusional,
sehingga harus dinyatakan ditolak,
harapnya.

Kurang jeli
Salah satu pemohon, Ketua Umum FKHK
Victor Santoso Tandiasa menilai pandangan
pemerintah kurang jeli. Sebab, pemerintah
hanya mengacu pada putusan MK No. 7273/PUU-II/2004 yang telah memberi tafsir
pilkada demokratis sesuai konstitusi
merupakanopen legal policy pembentuk UU.
Namun, pemerintah lupa ada putusan MK No.

97/PUU-XI/2013 yang menegaskan MK tidak


berwenang lagi menangani sengketa
pemilukada.
Dalam putusan itu mengabulkan
permohonan kita, MK menyatakan pilkada
bukan rezim pemilu (melainkan rezim
pemda), sehingga MK tidak berwenang
memutus sengketa pilkada, ujar Victor.
Karena itu, dia berharap sudah seharusnya
pilkada diserahkan kepada masing-masing
daerah sesuai corak, karakteristik, kearifan
lokalnya (prinsip otonomi), tidak sentralistik.
Namun, konsep mekanisme pemilihannya
bukan mekanisme perwakilan (melalui DPRD)
seperti diusung partai politik.
Dia mengusulkan bentuk perwakilan yang
dikehendaki, DPRD membentuk panitia
penyelenggara pilkada untuk merumuskan
mekanisme pilkada yang tepat karena KPU
sudah dinyatakan inkonstitusional untuk
menyelenggarakan pilkada sesuai putusan MK

No. 97/PUU-XI/2013. Terlebih, berdasarkan UU


Penyelenggara Pemilu, KPU dan KPUD
merupakan organ penyelenggara pemilu.
Makanya, kita khawatir kalau RUU Pilkada,
khususnya pilkada langsung disahkan DPR,
keberadaan KPUD masih dianggap sebagai
penyelenggara pilkada, padahal sudah
dinyatakan inkonstitusional, tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai