Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007).
Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai
berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard
(kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga
meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih
merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri.
Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Kematian disebabkan oleh
beberapa hal, yakni penyebab kematian utama adalah overdosis narkoba, trauma
(termasuk bunuh diri dan pembunuhan), serta somatic (infeksi melalui darah)
(Clausen at al, 2009). Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan
jenis kematian. Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun
sampai saat ini bukti nyata hubungan antara usia dengan risiko kematian akibat
ketergantungan opioid belum ditemukan secara nyata. Rata-rata usia pada saat
kematian di kalangan pengguna opioid adalah usia 30 tahun. Studi dari Inggris
telah melaporkan tingginya tingkat fatal-overdosis di antara pengguna heroin
muda, dan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko
overdosis dibandingkan dengan pengguna yang lebih tua. Sebaliknya, usia yang
lebih tua juga telah dilaporkan sebagai factor kematian di antara pengguna heroin
( dengan penelitian kohort). Di Australia umur rata-rata kematian di antara lakilaki pengguna opioid yang overdosis meningkat dari 24,5 pada 1979 menjadi 30,6
pada tahun 1995.
1.2 Epidemiologi
dilakukan
oleh
Puslitbang
Info
BNN,
menyebutkan
jumlah
2.1 Pengertian
Opioid adalah obat kimia yang bekerja dengan mengikat reseptor opioid ,
yang ditemukan terutama dalam sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Jadi,
toksisitas Reseptor ini dalam sistem organ mempunyai efek yang menguntungkan
dan juga memiliki efek samping. Efek analgesik opioid disebabkan oleh
penurunan persepsi nyeri, penurunan reaksi terhadap rasa sakit serta
meningkatkan toleransi nyeri. Efek samping opioid termasuk sedasi , depresi
pernafasan , dan sembelit. Opioid dapat menyebabkan supresi batuk, yang dapat
menjadi indikasi untuk administrasi opioid atau efek samping yang tidak
disengaja.
Opioid dapat
2.2 Etiologi
Penyebab dari keracunan opium akibat dosis fatal yang dikonsumsi,berikut
tabel dosis opium dan dosis fatal :
Jenis Obat
Kodein
Dekstrometorphan
Heroin
Loperamid (Imodium)
Meperidin (petidin)
Morfin
Naloxone
Opium
(Papaver
somniferum)
Pentazocaine (Talwin)
depresi
napas
secara
primer
dan
2. Saluran Cerna
a) Lambung
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya
morfin
menyebabkan
pergerakan
lambung
dan
morfin,
kodein,
dihidromorfinon
dan
sangat kecil
2.
Diare berat,
3.
Kram perut,
7
4.
Rinorea lakrimasipiloereksi,
5.
Menguap,
6.
Demam,
7.
Dilatasi pupil,
8.
hipertensi takikardia
9.
Riwayat kesehatan
10
1. Identitas klien
Nama
Tempat/ tgl lahir
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Status perkawinan
Agama
Suku
Pendidikan
Pekerjaan
Tanggal masuk RS
Sumber informasi
: Tn. R
: Jember/ 10 September 1990
: 25 tahun
: Laki-laki
: Jl. Kalimantan 4 Blok C no. 45 RT/RW
01/02 kecamatan Sumbersari
: belum kawin
: Islam
: Jawa
: SMA
: Pengangguran
: 11 Januari 2015
: Keluarga
2. Keluhan Utama
Klien datang keruma sakit dalam keadaan sesak dan kesadaran somnolen.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang ke rumah sakit dengan temannya. Saat itu pasien ditemukan
dikamar kost an dalam keadaan sesak, dan kesadaran menurun.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keracunan sebelumnya, namun pasien
sempat dibawa kerumah sakit Demam Berdarah sekitar 6 bulan yang lalu.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit menular maupun
penyakit bawaan, namun pasien berasal dari keluarga yang broken home
(bukan riwayat penyakit keluarga, namun salah satu faktor pencetus).
3.1.2
11
2) Pola Nutrisi/metabolik
Pola nutris pada klien dengan kasus keracunan zat adiktif, ditemukan
gangguan metabolik, gejalanya dapat berupa kehilangan nafsu makan,
merasa mual bahkan muntah.
3) Pola eliminasi
Pola eliminasi pada klien dengan kasus keracunan zat adiktif pola BAB
dan BAK akan mengalami gangguan
4) Pola aktivitas dan latihan
Pada klien dengan keracunan zat adiktif akan mengalami kelemahan
otot saat melakukan aktivitas
5) Pola kognitif perseptual
Pada pasien dengan kasus keracunan gas CO, terjadi gejala yang dapat
berupa gangguan pada penglihatan serta ikut serta mengkaji mengenai
perasaan dan penanganan nyeri yang dialaminya dengan menilai skala
nyeri 0-10.
6) Pola istirahat tidur
Pada klien denagn kasus keracunan zat adiktif, istirahat/tidurnya akn
terganggu karena pasien sering kali mengalami nyeri dibagian dada.
7) Pola konsep diri persepsi diri
Bagaimana persepsi keluarga dan klien terhadap pengobatan dan
perawatan yang akan dilakukan.
8) Pola peran dan hubungan
Pada klien dengan kasus keracunan zat adiktif, keluarga dapat selalu
memberi dorongan serta dukungan terhadap kesembuhan klien.
9) Pola seksual dan reproduksi
12
penderita
dalam
melaksanakan
ibadah
tetapi
3.1.3
Pemeriksaan fisik
1. Kepala dan rambut
a. Inspeksi
13
a. Inspeksi
c. Perkusi
benjolan
b. Palpasi
c. Perkusi
: bentuk simetris
b. Palpasi
peradangan
b. Palpasi
11. Kuku
a. Inspeksi
14
3.1.4
No
1.
Analisa Data
DS:
teman
Etiologi
pasien
mengatakan,
Vasodilatasi
saya
pembuluh darah
mukosa
n perfusi
TD menurun
bibir
kering
-
Keperawatan
Ganggua
jaringan
Masalah
Suplai O2 ke otak
Tampak
sianosis
tidak adekuat
pada kuku
-
Anoxia/ Hipoksia
30 mmHg
-
Nadi
104x/
Gangguan perfusi
jaringan serebral
pasien
Penyempitan jalan
nafas
efektif
menit
DS:
teman
mengatakan,
saya
RR 32x/ menit
Tampak
Ketidakseimbangan
O2 dan CO2
Sesak
penggunaan
otot
bantu pernafasan
-
Tampak
sianosis
efektif
pada kuku
15
Mukosa
bibir
kering
dan
sianosis
3
DS : -
Suplai O2 menurun
DO :
-
Gangguan perfusi
Klien mengalami
jaringan
penurunan
kesadaran
-
Klien
Gangguan
Gangguan proses
berfikir
neurologis di otak
tampak
sering
Gangguan proses
berhalusinasi
4
DS : - pasien terlihat
berfikir
Gangguan
menutup
neurologis
diri
dengan
Gangguan persepsi/
menolak
sensori
DO :
-
Abnormal fungsi
Klien
tampak
murung
dan
cenderung
menarik diri
kronis
Suplai O2 menurun
DS : DO:
-
Gangguan perfusi
Klien mengalami
jaringan
penurunan
kesadaran karena
kadar
Gangguan
oksigen
neurologis di otak
16
Gangguan
persepsi sensori
menurun
Gangguan proses
6
berfikir
Intoksikasi zat
DS : pasien
adiktif
DO:
-
Gangguan saluran
menurun, 46 kg
pencernaan
sebelumnya 50
TD 90/ 30 mmHG
Kekurangan
volume cairan
adekuat
Anoxia/ Hipoksia
Risiko cidera
Kesadaran menurun
Risiko cidera
Suplai O2 tidak
adekuat
Frekuensi
pernafasan
meningkat
Kontraksi otot
pernafasan
Intoleran aktivitas
17
Intoleran
aktivitas
3.1.5
Pathway
Zat Adiktif
Intoksikasi
zat adiktif
Saluran pencernaan
Vasodilatasi
pembuluh darah
Mual /muntah
Tekanan darah
menurun
Kekurangan
volume cairan
Penurunan
kesadaran
Risiko
Suplai O2 tidak
adekuat
Suplai O2 ke otak
tidak adekuat
Gangguan perfusi
jaringan serebral
Suplai O2 ke
jaringan tidak
adekuat
Intoleransi
Gangguan neurologis di
otak
Gangguan
pusat nafas
dibatang otak
Gangguan
proses pikir
Depresi Nafas
disforia
Ketidakefektif
an pola nafas
Ansietas
Gangguan
persepsi/sensori
Abnormal
fungsi sistem
pada tubuh
Harga diri
rendah
18
NOC
Circulation status
adekuat
Kriteria hasil:
a
19
mmHg)
b
Mendemonstrasikan
kemampuan
yang
utuh
tingkat
kesadaran membaik
nafas
Kriteria hasil:
a
frekuensi
pernafasan
dalam
Gangguan
berhubungan
proses
pikir NOC
dengan
Kriteria hasil:
a
20
Ansietas
berhubungan NOC
Anxiety self-Control
Anxiety level
Coping
Kriteria hasil:
a
dengan
Coping
Anxiety level
tubuh
Kriteria hasil:
a
Penilaian
diri
tentang
penghargaan
terhadap diri
c
Gangguan
berhubungan
persepsi/sensori NOC
dengan
Body image
Self eestem
21
Kriteria hasil:
a Memperlihatkan
pengaturan
pikiran
yang logis
b
indera
yang
tidak
rusak
Kekurangan volume cairan NOC
berhubungan
kehilangan
cairan
dengan
Fluid balance
akibat
Hydraction
muntah
Kriteria Hasil
a
Tidak
ada
tanda-tanda
dehidrasi
Risk Control
Kriteria Hasil
a
Klien
mampu
menjelasskan
Intoleransi
aktivitas NOC
Energy conservation
Activity tolerance
kebutuhan oksigen
Kriteria Hasil
a
disertai
peningkatan
tekanan
23
24
No
1
Diagnosa
NIC
Gangguan
perfusi a Pertahankan tirah baring dengan
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
seperti GCS.
Pantau frekuensi/irama jantung dan
denyut jantung.
Pantau pernapasan, catat pola,
Pantau GDA.
Steroid; deksametason,
2
Ketidakefektifan pola
metilprednison (medrol).
a Buka jalan nafas, gunakan teknik
nafas berhubungan
dengan depresi nafas
pasien
untuk
memaksimalkan ventilasi
Identifikasi
pasien
perlunya
intake
untuk
cairan
mengoptimalkan keseimbangan
vital sign
a Minimalkan ketakutan kekhawatiran
berhubungan dengan
gangguan neurologis di
dan ketidaknyamanan
b
otak
25
Ansietas berhubungan
dengan
Gangguan
Diagnosa
perfusi
Evaluasi
jaringan S: -
O2
ke
otak
tidak
Terpasang
adekuat
Oksigen
L/menit
-
RR:
24x/menit,
irama
normal
-
Nadi: 80x/menit
P:Intervensi dilanjutkan.
Ketidakefektifan pola nafas S: Klien mengatakan sesaknya
berhubungan dengan depresi
nafas
O: - RR: 24x/menit
-
Terpasang O2 3 L/menit
A: Masalah teratasi.
3
P:Intervensi dihentikan.
S: klien menyatakan nyeri
berhubungan dengan
berkurang.
O:
-
Skala
nyeri
berkurang
TTV:
TD: 130/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
Suhu: 37,5oC
RR: 24x/menit
P: Intervensi dilanjutkan
S: pasien mengatakaniya sus,
P: Intervensi dihentikan
S: keluarga pasien
dengan
mengatakan akhir-akhir
tubuh
O: pasien kadang-kadang
menujukan
penyesuaian psikologis
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
S: keluarga pasien terkadang
Gangguan persepsi/sensori
berhubungan
dengan
Kekurangan
volume
berhubungan
kehilangan
P: Intervensi dilanjutkan
cairan S: keluarga pasien pasien
dengan
cairan
akibat
muntah
27
kebutuhan tubuh
A: Masalah teratasi
8
Risiko
cidera
P: Intervensi dihentikan
berhubungan S: keluarga pasien pasien
P: Intervensi dilanjutkan
aktivitas S: keluarga pasien pasien
Intoleransi
kebutuhan oksigen
sus
O: pasien masih
meggunakan bantuan
aktivitas seperti kursi
roda , krek
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
28
29
ini
30
dosis obat, berat badan, waktu berlalu sejak terakhir dosis, dan farmakokinetik
antar individu. Metabolisme opioid yang durasinya singkat seperti oxycodone dan
xanax itu berbeda dari heroin . Tidak seperti morfin dan hydromorphone,
oxycodone dimetabolisme oleh sitokrom P450 sistem enzim di dalam hati,
membuatnya rentan terhadap interaksi obat. Beberapa orang yang metabolismenya
cepat mengakibatkan efek analgesik berkurang tetapi efek samping yang
meningkat,
sementara
yang
metabolisme
lambat
dapat
mengakibatkan
merupakan
jenis
opioid
yang
sudah
jelas
dilarang
31
komplikasi seperti rhadomyolysis akibat dari berkepanjangan tekanan pada otototot selama koma dan gagal ginjal dari lisis jaringan otot. Selain kerusakan pada
paru paru juga ada laporan mengenai gangguan kardiovaskuler dan gangguan
kognitif akibat overdosis opioid. Tanda dan gejala untuk jenis opioid yang
durasinya pendek seperti heroin biasanya menunjukkan tanda-tanda dan gejala
penarikan (withdrawal) dalam 8 12 jam setelah dosis terakhir. Jika tidak diobati,
mencapai puncaknya dalam 36-72 jam dan biasanya substansial reda dalam 5 hari.
Jenis durasi yang lama seperti metadon, penarikan (withdrawal) dapat mencapai
puncak antara 5-6 hari, dan sindrom akan tidak biasanya mereda untuk 14-21 hari.
Warner Smith et al juga melaporkan overdosis yang terkait termasuk dapat
menyebabka neuropati periferal, muntah, kelumpuhan tungkai, infeksi dada dan
kejang. Pemakaian morfin jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan
baik secara fisik maupun psikis. Dalam kedaan ketergantungan tersebut apabila
tidak diberikan morfin maka akan menimbulkan gejala gejala (withdrawal) (putus
obat). Gejala ini juga akan muncul apabila diberikan antagonis reseptor dimana
morfin berikatan, seperti nalokson, nalorfin, naltrekson atau levalorfan. Tandatanda terjadinya withdrawal
hidung dan air mata, kedinginan, tegaknya bulu roma dan nyeri otot,
penurunan nafsu makan, daya tahan tubuh dan berat badan. Pada keadaan
yang parah hilangnya cairan tubuh dalam jumlah yang cukup besar mungkin
terjadi akibat hipertermia, hiperventilasi, emesis dan diare. Sedangkan gejala
psikologis bisa meliputi gangguan tidur, cemas, gemetar, berkeringat dan
halusinasi.
Diagnosis intoksikasi dan overdosis
Obat obatan jenis opioid memiliki distribusi yang luas dan dapat
diidentifikasi di hampir semua bagian tubuh dan semua cairan tubuh. Obat ini
biasanya di metabolisme oleh hati, memproduksi metabolit yang sering dan lebih
tahan lama. Beberapa tes laboratorium dapat mengidentifikasi adanya opioid atau
metabolit obat tersebut dalam darah, kencing, rambut atau air liur. Tes skrining
immunoassay yang lebih murah biasanya digunakan untuk mendeteksi keberadaan
32
opiat (turunan dari opium poppy) atau metabolit opioid dalam darah, kencing,
rambut atau air liur. Adanya opioid atau metabolit opioid dapat dideteksi dalam
darah hingga 3 12 jam, dalam urin hingga 1 3 hari, rambut hingga 7 90 hari,
dan di air liur hingga 3-24 jam. Kromatografi gas atau spektrometri massa adalah
tes laboratorium lebih mahal yang tersedia untuk konfirmasi hasil atau deteksi
sintetis opioid.
Pengobatan dan pencegahan intoksikasi dan overdosis
1. Naloxone adalah pengobatan standar untuk seseorang yang mengalami
overdosis opioid. Metabolit nya aktif, 6-alpha-naloxol memiliki umur paruh
lebih banyak daripada naloxone. Itu biasanya diberikan intravena (IV),
subkutan (SC) atau injeksi intramuskular (IM). Beberapa laporan menunjukkan
bahwa administrasi IM dapat memperpanjang efek naloxone. Hal ini biasanya
dikelola oleh paramedis sebelum pasien ke gawat darurat. Terdapat bukti
bahwa efek antagonis depresan pernapasan morfin selama enam jam. Dosis
awal ini biasanya 0.4 mg IV/SC/IM. Dapat diulang sampai pasien merespon.
Beberapa studi melaporkan total dosis berkisar antara 2 6 mg tergantung pada
dosis opioid dikonsumsi . Faktor-faktor lain juga dapat dikaitkan dengan
kebutuhan untuk dosis yang lebih tinggi dari naloxone untuk resusitasi pasien
overdosis seperti seiring penggunaan alkohol dengan opioid. Namun perlu
dilakukan pertimbangan dalam pemberian naloxone ini. Hal itu tergantung
pada janis opoid yang dikonsumsi, contohnya terjadinya perbedaan pemberian
naloxone kepada orang yang mengonsumsi opioid jenis heroin (singkat) dan
metadon (lama). Pertimbangan dalam hal menjadi faktor penting perlu tidaknya
dilakukan rawat inap di rumah sakit. Tanda-tanda edema paru, hipoventilasi,
pneumonia dan mengantuk mungkin memerlukan waktu yang cukup lama
sekita 12-24 jam dan dalam beberapa kasus rawat inap maupun unit perawatan
intensif (ICU). Boy et al melaporkan kasus baru bahwa pasien dengan overdosi
heroin dapat rawat jalan setelah perawatan di rumah sakit dengan
mengonsumsi obat naloxone.
33
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan
Napza dapat dikelompokkan dalam golongan Opiat dan Non Opiat. Pada
tahun 2003 dari seluruh pengguna napza berjenis kelamin laki-laki, hampir
separuhnya (40,6 %) adalah pengguna jenis opiat, begitu pula dengan wanita yaitu
45,2 persen, sisanya adalah golongan non opiat lainnya seperti kokain dan
34
atau
sekedar
ingin
tahu;
lama-kelamaan
mengalami
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Fareed,dkk. 2011.Illicit Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment.Emory
University School of Medice. USA [Jurnal Utama]
Gono, Joyo Nur Suryanto.(Tanpa Tahun) Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan Dan
Pencegahannya. [Artikel]
35
Kedokteran Universitas
Ketergantungan
Morfin.
Fakultas
Farmasi
36