Marissa Putri
Vera Diyanty
Universitas Indonesia
Abstract
The objective of this study is to examine the effect of control rights held by the ultimate controlling
shareholder and foreign ownership to the level of sustainability report disclosure. This study also
examines role of board and audit committee effectiveness to the level of control rights and its effect
on the level of sustainability report disclosure.. The empirical results give evidence that the level of
sustainability report disclosure in Indonesia is not significantly affected by the control rights held by
the ultimate controlling shareholder and corporate governance mechanism, while foreign ownership is
found has a negative effect on the level of sustainability report disclosure.
terkonsentrasi seperti yang terdapat pada kebanyakan perusahaan di Asia (La Porta et al., 1999;
Claessens et al., 2000), terdapat pemilik saham pengendali dengan porsi kepemilikan yang cukup
besar dibandingkan pemilik lainnya. Pemegang saham pengendali memiliki hak kendali terhadap
operasional perusahaan dan kemudian membuat dirinya sendiri better-off dan kemunkinan termotivasi
merugikan pemegang saham non-pengendali melalui penggunaan hak kendalinya tersebut.(Edwards
dan Weichenrieder, 2009). Hal inilah yang disebut dengan Efek Entrenchment (Claessens et al, 2002).
Claessens et al., (2002) dan Attig et al., (2006) menunjukkan ketika pemegang saham
pengendali memanfaatkan hak kendali yang dimilikinya dengan memperkaya diri mereka sendiri
Universitas Indonesia
CG
dengan melaksanakan proyek-proyek perusahaan yang mengorbankan hak minoritas, mereka akan
cenderung mencari cara untuk mengaburkan dan menunda pengungkapan informasi terkait transaksi
tersebut. Akibatnya, pemegang saham non-pengendali tidak akan memiliki informasi yang memadai
untuk campur tangan dan menelaah proyek-proyek atau transaksi yang telah dilakukan tersebut.
Praktik yang tidak transparan tersebut kemudian membuat perusahaan cenderung untuk menghindari
melaporkan informasi yang bersifat voluntary (Scott, 2012). Asimetri informasi antara pemegang
saham pengendali dan pemegang saham non-pengendali kemudian menjadi meningkat seiring dengan
meningkatnya hak kendali.
Struktur kepemilikan Asing memiliki peran yang penting dalam pengungkapan informasi
perusahaan (Siregar dan Bachtiar, 2010). Perusahaan dengan kepemilikan asing yang tinggi akan
memiliki tekanan lebih tinggi untuk mengungkapkan dengan terperinci segala aktivitas perusahaan
dengan citra perusahaan agar nilai perusahaan meningkat.
Investor asing cenderung memperhatikan market yang dapat memberikan eksistensi dan
keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang (sustainable) (Suchman, 1995; Barkemeyer, 2007).
Dengan demikian, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan pemilik asing, baik dalam hubungan
kepemilikan atau hubungan dagang, maka perusahaan akan lebih didukung dalam melakukan
pengungkapan laporan keberlanjutannya. Perusahaan dengan kepemilikan asing Imengalami tekanan
untuk mentaati peraturan CSR dan mengungkap informasi yang berkaitan dengan hal tersebut (Utting,
2002). Tanimoto dan Suzuki (2005) juga telah membuktikan bahwa kepemilikan asing pada
perusahaan publik di Jepang menjadi faktor pendorong adopsi pedoman GRI dalam pelaporan
aktivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan perusahaan
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap luasnya pengungkapan pada lapoan keuangan
adalah peran dari dewan komisaris sebagai fungsi pengawas perusahaan. Dewan komisaris
bertanggung jawab untuk memastikan keandalan, integritas, dan transparansi sistem pelaporan
keuangan (Jensen, 1993). Pengungkapan informasi sukarela (voluntary disclosure) sebagai komponen
dari transparansi adalah pilar dari setiap proses pengawasan tersebut (Barros et al., 2013).
.Voluntary atau discretionary disclosures adalah jenis pengungkapan informasi yang dibuat untuk
melengkapi dan menambahkan pengungkapan informasi yang diwajibkan berdasarkan peraturan
Universitas Indonesia
CG
akuntansi dan regulasi yang berkaitan dengan pengungkapan informasi oleh badan atau regulator
terkait (Meek et al., 1995). Informasi yang bersifat sukarela bagi perusahaan diantaranya adalah
laporan keberlanjutan.
Pengungkapan terhadap aspek sosial, etika, keberlangsungan, dan lingkungan sekarang ini
menjadi suatu cara bagi perusahaan untuk mengomunikasikan bentuk akuntabilitasnya kepada para
stakeholder. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single
bottom-line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom-line yang juga
memperhatikan 3P profit, people, dan planet (Daniri, 2008).
Ernst & Young dalam Value of Sustainability Reporting yang diterbitkan pada tahun 2013
menyatakan bahwa manfaat dari laporan keberlanjutan lebih dari sekedar sebagai alat untuk
menunjukkan bahwa perusahaan telah melakukan berbagai kegiatan sosial yang baik atau sebagai
syarat agar perusahaan dapat memiliki izin beroperasi di sebuah area tertentu. Dalam laporan tersebut
dipaparkan juga bahwa pengungkapan akan informasi dalam laporan keberlanjutan dapat berfungsi
sebagai pembeda antar perusahaan dalam industri yang sangat kompetitif dan menumbuhkan
kepercayaan investor, serta kepercayaan dan loyalitas karyawan. Analis laporan keuangan sering
menganggap penting laporan keberlanjutan dalam penilaian mereka tentang kualitas manajemen dan
efisiensi kinerja perusahaan. Pelaporan laporan keberlanjutan bahkan dianggap dapat memberikan
perusahaan akses yang lebih baik terhadap kepemilikan modal (Dhaliwal et al., 2011; Ernst & Young,
2013). Disampng itu Menurut Boston College Center for Corporate Citizenship and Ernst & Young
2013 Survey, secara umum banyak perusahaan atau organisasi yang mengeluarkan laporan
keberlanjutan dengan alasan bahwa mereka percaya laporan keberlanjutan akan meningkatkan
transparansi dan mengurangi asimetri informasi bagi para stakeholders, memberikan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan, dan sebagai bagian dari manajemen resiko.
Praktik pelaporan laporan keberlanjutan di Indonesia dinilai masih rendah meskipun dianggap
memberikan value serta praktiknya didorong oleh beberapa peraturan dan undang-undang. Undangundang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 66 ayat 2b dan pasal 74 menjelaskan
bahwa laporan tahunan perusahaan harus mencerminkan tanggungjawab sosial, Undang-undang No.
Universitas Indonesia
CG
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengungkap pentingnya
audit lingkungan hidup, dokumen amdal, dan bahkan secara jelas diutarakan dalam Pasal 68 bahwa
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk memberikan informasi
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,
dan tepat waktu, sementara itu Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas telah mendorong adanya pelaporan informasi yang
berkaitan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini ingin melihat bagaimana pengaruh struktur
kepemilikan perusahaan yang akan menentukan pengendali perusahaan serta peran pengawasan dari
Dewan Komisaris terhadap pengungkapan laporan berkelanjutan.
Penelitian ini penting dilakukan di Indonesia mengingat Indonesia memiliki pola kepemilikan
terkonsentrasi dan hampir sebagian besar dikendalikan oleh oleh keluarga dan serta adanya efektifitas
pengawasn dekom yang rendah (berdasarkan laporan world Bank).
Universitas Indonesia
CG
maka sangat beralasan jika agen tidak selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal.
Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa tindakan manajemen harus didasarkan pada keharusan untuk
memaksimalkan keuntungan pemegang saham (Pratt dan Zeckhauser, 1985).
Pada struktur kepemilikan yang menyebar dimana pemegang saham secara individual tidak
dapat secara signifikan mempengaruhi kebijakan perusahaan sehingga tidak dapat mengendalikan
agen agar bertindak selaras dengan kepentingan mereka atau yang lebih dikenal dengan konsep
agency-principal problem (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu muncul konflik keagenan
antara prinsipal (pemegang saham) dengan agen (manajer). Namun pada pola kepemilikan
terkonsentrasi seperti yang terdapat pada perusahaan di Asia pada umumnya (La Porta et al., 1999 dan
Claessens et al., 2000) termasuk di Indonesia (Siregar dan Utama, 2006) terdapat pemegang saham
yang dapat mengendalikan manajemen atau bahkan bagian dari manajemen itu sendiri. Pada struktur
kepemilikan terkonsentrasi, konflik keagenan terjadi antara pemegang saham pengendali dan
pemegang saham non-pengendali (controlling versus non-controlling owners) dikarenakan pemegang
saham pengendali memiliki hak kendali yang besar sehingga cenderung terlibat lebih jauh dalam
operasional perusahaan (Du dan Dai, 2005; Villalonga dan Amit, 2006 dalam Dianty, 2010; Edwards
dan Weichenrieder, 2009).
Claessens et al., (2002) dan Attig et al., (2006) menunjukkan ketika pemegang saham
pengendali memanfaatkan hak kendali yang dimilikinya dengan memperkaya diri mereka sendiri
dengan melaksanakan proyek-proyek perusahaan yang mengorbankan hak minoritas, mereka akan
cenderung mencari cara untuk mengaburkan dan menunda pengungkapan informasi terkait transaksi
tersebut. Dengan demikian, informasi yang kurang relevan dan seadanya akan diungkapkan sesuai
dengan keinginan pemegang saham pengendali yang memiliki hak kendali besar pada perusahaan.
Akibatnya, pemegang saham non-pengendali tidak akan memiliki informasi yang memadai untuk
campur tangan dan menelaah proyek-proyek atau transaksi yang telah dilakukan tersebut. Pemegang
saham pengendali dapat memanipulasi angka akuntansi untuk menyembunyikan dampak buruk dari
tindakan ekspropriasi yang mereka lakukan terhadap kinerja perusahaan. Praktik yang tidak
transparan tersebut kemudian membuat perusahaan cenderung untuk menghindari melaporkan
informasi yang bersifat voluntary (Scott, 2012).
2. 2 Kepemilikan Asing
Jenis pemegang saham dapat mempengaruhi jenis informasi yang mereka minta pada
perusahaan. Seperti misalnya, permintaan akan informasi semakin lebih tinggi jika perusahaan
memiliki persentase kepemilikan dari investor asing yang lebih tinggi (Schipper, 1981; Bradbury,
1991; Craswell dan Taylor, 1992 dalam Siregar dan Bachtiar, 2010).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh Foreign Direct Investment,
dan hal ini juga berkontribusi pada tekanan yang ditujukan pada perusahaan-perusahaan Indonesia
Universitas Indonesia
CG
untuk mulai melakukan pelaporan keberlanjutan atau CSR. Faktanya investor asing utama berasal dari
negara-negara maju seperti Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya
cukup menitikberatkan atau concern terhadap isu keberlanjutan (Badan Koordinasi Penanaman
Modal, 2012).
Perusahaan multinasional atau perusahaan dengan porsi kepemilikan asing yang besar
cenderung berkaca pada praktik-praktik yang dilakukan oleh entitas asing atas hal yang tidak diatur
secara khusus dalam peraturan perundang-undangan domestik sebagai upaya perusahaan lokal untuk
menarik lebih banyak investasi, memenuhi harapan investor asing, dan untuk memastikan prospek
kelangsungan hidup jangka panjang mereka (Dimaggio dan Powell, 1983).
2.4. Peran Pengawasan Dewan Komisaris dan Komite Audit
Mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur dan hubungan yang jelas antara
pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap
keputusan. Menurut Iskander dan Chamlou (2000), mekanisme dalam pengawasan corporate
governance dibagi dalam dua kelompok yaitu internal dan external mechanisms. Internal mechanisms
adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal
seperti rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan direksi, komposisi dewan komisaris
dan pertemuan dengan board of director. Sedangkan external mechanisms adalah cara mempengaruhi
perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian pasar.
Ada beberapa mekanisme corporate governance yang sering digunakan dalam penelitian
terutama yang berkaitan dengan tingkat pengungkapan informasi perusahaan dan konflik keagenan,
diantaranya adalah peran dewan komisaris dan komite audit. Peran dewan komisaris dalam
menjalankan fungsi pengawasan, seperti dituangkan dalam komposisi dewan dapat mempengaruhi
pihak manajemen misalnya dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu
laporan informasi mengenai perusahaan yang berkualitas (Boediono, 2005). Komite audit mempunyai
peran yang penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan
keuangan, menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya
good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, maka kontrol
terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik keagenan yang terjadi baik antara agen dan
prinsipal maupun antara pemilik pengendali dan non-pengendali dapat diminimalisasi (Andri dan
Hanung, 2007). Ini membuktikan bahwa mekanisme corporate governance mampu mengurangi efekefek negatif yang terjadi akibat adanya konflik keagenan.
Dewan komisaris sebagai salah satu organ mekanisme tata kelola perusahaan memiliki
tanggung jawab dan kewenangan penuh atas pengurusan perusahaan. Sesuai dengan UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan,
dan memberi nasihat kepada direksi. Diatur pula dalam peraturan yang sama, dewan komisaris terdiri
atas minimal satu orang anggota, sementara untuk perusahaan yang usahanya berkaitan dengan
Universitas Indonesia
CG
menghimpun atau mengelola dana masyarakat dan menerbitkan surat utang wajib memiliki paling
sedikit dua orang anggota. Dimana untuk kedua kondisi, diwajibkan memiliki paling sedikit satu
orang komisaris independen yang tidak memiliki afiliasi apapun dengan pihak internal perusahaan.
Komite pembantu dewan komisaris yang tidak kalah penting dalam perwujudan tata kelola
perusahaan yang baik adalah komite audit. Komite audit dibentuk untuk membantu komisaris dan
direktur individu dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan pengendalian internal, pelaporan
informasi keuangan, dan standar perilaku dalam perusahaan. Seperti yang dituangkan dalam Peraturan
Nomor IX.I.5 tahun 2012 yang dibuat oleh Bapepam dan LK tentang Pembentukan dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit, bahwa komite audit di definisikan sebagai komite yang dibentuk
oleh dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan
fungsi dewan komisaris. Dalam peraturan yang sama disebutkan bahwa pada sebuah perusahaan
publik diwajibkan memiliki komite audit paling kurang terdiri dari tiga orang anggota yang berasal
dari komisaris independen dan pihak dari luar emiten atau perusahaan publik. Komite audit juga harus
diketuai oleh komisaris independen. Lebih lanjut, anggota komite audit wajib memiliki paling kurang
satu anggota yang berlatar belakang pendidikan dan keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan
namun bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik, Kantor Konsultan Hukum, Kantor Jasa
Penilai Publik, atau pihak lain yang memberi jasa assurance, jasa non-assurance, jasa penilai dan/atau
jasa konsultasi lain kepada perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu setidaknya enam bulan
terakhir untuk menjaga independensi komite audit.
2.4. Laporan Keberlanjutan
Laporan keberlanjutan adalah salah satu instrumen yang saat ini tergolong merupakan
informasi bersifat sukarela oleh badan pengawas pasar saham di Indonesia. Global Reporting
Initiatives (GRI) menyatakan dalam Sustainability Reporting Guidelines 3.1 bahwa pelaporan laporan
keberlanjutan adalah praktek pengukuran, pengungkapan, dan bagaimana entitas bertanggung jawab
kepada stakeholder internal dan eksternal dalam hal kinerja organisasi untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Sementara The Association of Chartered Certified Accountants (2004) mendefinisikan
pelaporan laporan keberlanjutan sebagai pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan, dan
sosial, pengaruh dan kinerja organisasi, serta produknya dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
Pelaporan keberlanjutan adalah istilah yang sebenarnya memiliki arti luas, namun dianggap
identik oleh orang kebanyakan sebagai cara untuk menggambarkan pelaporan ekonomi, dampak
lingkungan, dan sosial (triple bottom line, dll) sebuah entitas (Global Reporting Initiatives, 2013).
Sebuah laporan keberlanjutan harus memberikan representasi yang seimbang dan wajar akan kinerja
keberlanjutan sebuah entitas termasuk di dalamnya kontribusi positif maupun negatif. Laporan
keberlanjutan berdasarkan Kerangka Pelaporan GRI mengungkapkan hal-hal yang terjadi dalam
periode pelaporan dalam konteks komitmen organisasi, strategi, dan pendekatan manajemen.
Universitas Indonesia
CG
Pelaporan keberlanjutan merupakan salah satu jenis informasi non-keuangan yang semakin
dibutuhkan, yang juga digunakan oleh masyarakat untuk melihat nilai-nilai perusahaan dalam tata
kelola, tata nilai, strategi dan komitmen perusahaan menjawab isu lingkungan dan sosial (Arja
Sadjiarto, 2011). Pengelolaan isu lingkungan dan sosial yang baik akan ditanggapi positif oleh
investor dan dianggap sebagai berkurangnya resiko. Dalam hal ini, penyampaian melalui laporan
tahunan atau yang saat ini semakin populer, laporan keberlanjutan, merupakan media yang paling
disukai karena dianggap paling efektif dan dianggap paling kredibel (Abdel-Rahim, 2010).
Solomon dan Lewis, seperti yang dikutip oleh Lungu, et. al. (2009), perusahaan melakukan
pengungkapan atas aktivitas lingkungan hidup dan sosial mereka disebabkan karena perusahaan
membutuhkan pengakuan dari masyarakat terhadap komitmen mereka pada upaya perbaikan
lingkungan hidup dan sosial. Bagi sebagian perusahaan lain, upaya pengungkapan ini hanya
merupakan cara untuk meningkatkan citra perusahaan. Negash (2009) menyampaikan bahwa
penelitian Dimaggio and Powell (1983) dan Cho, Freedman dan Patten (2009), mengungkapkan
bahwa pada dasarnya perusahaan-perusahaan melaporkan aktivitas lingkungan mereka dalam rangka
menunjukkan citra sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, sementara aktivitas mereka cukup
sensitif terhadap perusakan lingkungan. Tidak heran karenanya jika mereka yang membuat laporan
mengenai aktivitas lingkungan adalah perusahaan-perusahaan yang erat kaitannya dengan isu
pengrusakan lingkungan atau penghabisan sumber daya alam.
Manfaat dari laporan keberlanjutan dewasa ini berperan lebih dari sekedar pendamping
laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, menunjukkan bahwa perusahaan telah
melakukan berbagai kegiatan sosial yang baik, atau sebagai syarat agar perusahaan dapat memiliki
izin beroperasi di sebuah area tertentu (Ernst & Young, 2012). Laporan keberlanjutan dapat berfungsi
sebagai pembeda antar perusahaan dalam industri yang sangat kompetitif dan menumbuhkan
kepercayaan investor, serta kepercayaan dan loyalitas karyawan (Ernst & Young, 2012). Analis
laporan keuangan sering menganggap penting laporan keberlanjutan dalam penilaian mereka tentang
kualitas manajemen dan efisiensi kinerja perusahaan (Ernst & Young, 2012). Pelaporan bahkan
dianggap dapat memberikan perusahaan akses yang lebih baik terhadap kepemilikan modal (Dhaliwal
et al., 2011; Ernst & Young, 2012). Menurut Boston College Center for Corporate Citizenship and
Ernst & Young 2013 Survey, secara umum banyak perusahaan atau organisasi yang mengeluarkan
laporan keberlanjutan dengan alasan bahwa mereka percaya laporan keberlanjutan akan meningkatkan
transparansi bagi para stakeholders, memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan, dan sebagai
bagian dari manajemen resiko.
GRI sebagai organisasi independen yang berada di belakang berkembangnya pelaporan
keberlangsungan mengklaim bahwa pelaporan keberlanjutan yang efektif akan memberikan
keuntungan bagi internal organisasi atau pihak eksternal lain.
Universitas Indonesia
CG
Manfaat Internal
Manfaat Eksternal
Universitas Indonesia
CG
10
Universitas Indonesia
CG
11
Universitas Indonesia
CG
sebelumnya
tentang
efek
mekanisme
corporate
governance
terhadap
pengungkapan informasi terutama didasarkan pada teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam pembahasan ini, dianalisa bagaimana dan jika efektivitas dewan komisaris sebagai bagian dari
mekanisme corporate governance dapat mengurangi asimetri informasi, sehingga melindungi
kepentingan pemegang saham.
Pfeffer dan Salancik (1978) dalam Peters dan Romi (2013) mencatat bahwa komposisi dewan
komisaris mencerminkan karakteristik lingkungan di mana perusahaan beroperasi, membantu
perusahaan dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Selanjutnya, efektivitas dewan
komisaris dipandang umumnya lebih tertarik dalam mengembangkan dan mempertahankan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan (Zahra dan Stanton, 1988 dalam Michelon dan Parbonetti,
2012). Haniffa dan Cooke (2005) dalam Michelon dan Parbonetti (2012) menyatakan bahwa dewan
komisaris memberikan tekanan pada perusahaan untuk terlibat dalam praktik pengungkapan laporan
keberlanjutan dalam rangka memastikan kesesuaian antara keputusan organisasi dan tindakan, serta
nilai-nilai sosial dan legitimasi perusahaan.
Berdasarkan penelitian Collier dan Gregory, 1999 dalam Akhtaruddin dan Haron, 2010,
kehadiran dari komite audit akan meningkatkan pengungkapan sukarela perusahaan. Komite audit
dapat meminta direksi dan manajemen untuk memberikan informasi atas laporan keuangan lebih
transparan dan mendorong untuk mengungkapkan informasi-informasi yang bersifat sukarela (Barros
et al., 2013). Berdasarkan uraian diatas maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:
H3: Efektivitas dewan komisaris dan komite audit dapat mengurangi efek negatif hak kendali
pemegang saham pengendali akhir pada tingkat pengungkapan laporan keberlanjutan.
3. Metode penelitian
12
Universitas Indonesia
CG
3.1.Model penelitian
Hipotesis 1 dan 2 menguji pengaruh hak kendali dan hak kepemilikan asing terhadap tingkat
pengungkapan laporan keberlanjutan. Hak kendali kemudian selanjutnya akan diproksikan melalui
persentase hak kendali yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali ultimat. Sementara hak
kepemilikan asing diproksikan dengan total persentase kepemilikan asing dengan ambang batas
minimum 5%. Untuk menjawab hipotesis-hipotesis tersebut akan digunakan model 1 pengembangan
model yang digunakan Claessens et al. (2002), Machmud dan Djakman (2008), dan Liu dan Sun
(2010): Model 1
13
Universitas Indonesia
CG
2010. Atas alasan konsistensi, alat bantu yang sama masih digunakan untuk mengukur tingkat
pengungkapan laporan keberlanjutan periode tahun 2011-2012, dimana sebetulnya sudah banyak
perusahaan yang berangkat menggunakan kerangka GRI G3.1 untuk laporan keberlanjutannya.
Namun, peneliti melihat hal tersebut bukan sebagai masalah yang material dikarenakan hanya ada
sedikit perbedaan konten dalam GRI G3 Content Checklists Application Level B dengan GRI G3.1
Content Checklists Application Level B dimana tambahan item dalam kerangka GRI G3.1
nyatanya belum banyak diungkap oleh perusahaan yang melaporkan laporan keberlanjutan dengan
menggunakan kerangka GRI G3.1 pada tahun 2011-2012. Alasan berikutnya adalah secara ratarata laporan keberlanjutan perusahaan publik di Indonesia dari periode 2008-2012 berada pada
tingkat aplikasi B, sehingga checklists yang tepat untuk digunakan adalah GRI G3 Content
Checklists Application Level B.
Variabel independen pertama yang digunakan adalah control rights (CR). Control rights
adalah persentase hak kendali yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali ultimat. Persentase
hak kendali pada penelitian didapatkan dengan menggunakan metode weakest-link principle
Variabel independen kedua yang dikunakan adalah persentase kepemilikan asing (FOR).
Kepemilikan asing yang dimaksud adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh
perusahaan atau institusi asing dengan ambang batas minimum 5% (nilai ambang batas
kepemilikan minimum yang dianggap memiliki pengaruh atau kendali yang cukup pada
perusahaan) yang dilihat dalam laporan tahunan atau keuangan perusahaan pada tahun 2008
hingga 2012.
Untuk varisbel moderasi, karakteristik dewan komisaris dan komite audit akan diukur
berdasarkan skoring yang disusun oleh Hermawan (2009) . Aspek penilaian meliputi jumlah
anggota, tingkat independensi, kemampuan, kompetensi dan aktivitas dewan komisaris.
Perusahaan besar merupakan entitas yang banyak disoroti oleh publik sehingga dibutuhkan
pengungkapan yang lebih besar sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Bamber dan
Cheon, 1998; Khanna et al., 2004; Liu dan Sun, 2010). Dengan demikian semakin besar ukuran
perusahaan semakin tinggi tingkat pengungkapan laporan keberlanjutan.
3.3. Data dan sampel
14
Universitas Indonesia
CG
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari data laporan
tahunan dan laporan keberlanjutan perusahaan serta data kepemilikan ultimat dengan mengakses
data Kementrian Hukum dan HAM Urusan Badan Usaha.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek
Indonesia (BEI) selama periode 2008 hingga 2012, terkecuali perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam industri keuangan (perbankan, perusahaan perkreditan selain bank, sekuritas, dan
asuransi). Penelitian ini menggunakan total sebanyak 99 observasi yang terdiri dari 27 perusahaan
publik.
4. Analisis Hasil penelitian
4.1. Analisis Statistik deskriptif
Hasil statistic deskriptif menunjukkan bahwa 42.42% perusahaan sampel dalam penelitian ini
dimiliki oleh pemerintah atau merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara 47.48%
observasi, pemilik pengendalinya berasal dari perusahaan atau institusi asing. Sisanya sebesar 10.1%
dimiliki oleh individu atau keluarga non-asing. Dengan demikian dari analisis sementar, laporan
keberlanjutan didominasi oleh perusahaan yang dimiliki pemerintah dan pihak asing. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Liu dan Sun (2010) bahwa kualitas pengungkapan informasi perusahaan akan
semakin baik ketika perusahaan dikendalikan atau dimiliki oleh pemerintah ketimbang oleh individu
atau pihak swasta. Berkman et al. (2009) menyatakan bahwa pemerintah cenderung tidak termotivasi
untuk melakukan ekspropriasi. Sesuai pula dengan hasil penelitian Thompson (2003) yang
menyatakan bahwa semakin dependen perusahaan terhadap investasi asing maka tekanan dalam
keterlibatan perusahaan, termasuk dalam bentuk pengungkapan informasi lingkungan dan sosial akan
semakin besar.
Obs.
Rerata
Median
Std. Dev
Min
Maks
SR
CR
FOR
DKKA
99
99
99
99
0.7704865
0.5741413
0.3023399
0.8381434
0.862069
0.5324
0.1523
0.845238
0.2303469
0.1685427
0.3294946
0.0679829
0.287356
0
0
0.654762
1
0.9818
0.9817
0.940476
15
Universitas Indonesia
CG
rata-rata tingkat
pengungkapan laporan keberlanjutan (SR) adalah 0.7704865. Nilai median tingkat pengungkapan
laporan keberlanjutan yang mendekati angka 1 menunjukkan bahwa 50% sampel memiliki tingkat
pengungkapan yang sangat baik (lebih dari 86%). Kedua nilai tersebut menggambarkan bahwa
tingkat pengungkapan laporan keberlanjutan oleh perusahaan sampel di Indonesia sudah cukup
baik atas dasar kerangka GRI G3 pada tingkat aplikasi B. Standar deviasi dari nilai SR adalah
0.2303469. Dengan rentang nilai yang cukup kecil, maka dapat dikatakan bahwa tingkat
pengungkapan laporan keberlanjutan pada perusahaan-perusahaan sampel tidak terlalu memiliki
banyak variasi.
Variabel independen pertama yakni CR, memiliki rata-rata sebesar 0.5741413 dengan standar
deviasi yang rendah sebesar 0.1685427. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan dalam
sampel memiliki pemegang saham pengendali dengan hak kendali yang cukup besar. FOR
memiliki rata-rata sebesar 0.3023399 yang berarti secara rata-rata perusahaan sampel hanya
dimiliki oleh pihak asing sebesar 30.23%.
Selanjutnya adalah variabel moderasi efektivitas dewan komisaris dan komite audit atau
DKKA. Rata-rata sebesar 0.8381434 menunjukkan bahwasanya efektivitas dewan komisaris dan
komite audit di Indonesia yang dinilai berdasarkan metode skoring yang pernah dilakukan
Hermawan (2009) sudah berada pada tingkat yang cukup baik. Sesuai dengan berjalannya
reformasi tata kelola perusahaan yang mulai digalakkan sejak tahun 2006, secara rata-rata
efektivitas dewan komisaris pada perusahaan sampel dari tahun 2008-2012 menunjukkan hasil
yang cukup memuaskan.
4.2. Analisis Hasil Regresi
16
Universitas Indonesia
CG
Hasil regresi yang menunjukkan bahwa argument semakin besar persentase hak kendali dimiliki
Model 1
Variabel
Prediksi
Model 2
Koefisien
Probabilitas
Koefisien
Probabilitas
-0.1418113
0.43
-0.254891
0.375
Variabel Independen
CR
FOR
-2.674725
0.003
DKKA
0.0937967
0.411
CR*DKKA
***
-2.46717
0.0055
-0.033538
0.4685
***
-3.847042
0.087
0.6849588
0.000
***
-4.981444
0.000
Variabel Kontrol
SIZE
CONSTAN
T
Jumlah
Observasi
R-squared
Within
0.6436385
0.000
-4.485245
0.001
***
99
99
0.2906
0.3035
Prob (F-Stat)
0.0059
0.0065
***Signifikan pada 1%, **Signifikan pada 5%, *Signifikan pada 10%
Keterangan Tabel:
CR: hak kendali pemegang saham pengendali ultimat, FOR: persentase kepemilikan asing, DKKA: efektivitas
dewan komisaris dan komite audit, CR*DKKA: interaksi antara CR dengan DKKA, SIZE: log asset
perusahaan
perusahaan tidak terbukti. Hak kendali perusahaan sampel yang sangat terkonsentrasi pada kuartil 3
diisi oleh perusahaan-perusahaan milik negara dan asing yang kepemilikannya cenderung tidak
berubah-ubah dari tahun ke tahun, sementara tingkat pengungkapan laporan keberlanjutan yang cukup
bervariasi antar perusahaan, bahkan antar observasi, membuat CR tidak dapat menjelaskan dengan
baik variasi yang terjadi pada nilai pengungkapan laporan berkelanjutan
Hasil regresi menunjukkan kepemilikan asing berpengaruh negative pada tingkat pengungkapan
laporan keberlanjutan. Hal yang diduga menyebabkan terjadinya hasil regresi yang berlawanan
dengan hipotesis awal adalah karakteristik dari kepemilikan asing di Indonesia itu sendiri. Ada
banyak perusahaan atau institusi asing yang memiliki kepemilikan saham pada perusahaanperusahaan publik di Indonesia, tidak sepenuhnya berasal dari luar negeri. Beberapa kasus pernah
menyinggung mengenai banyaknya pengusaha domestik yang sengaja membuat perusahaan dengan
akta dan nama asing guna memperbesar hak kontrolnya dalam sebuah perusahaan melalui
kepemilikan piramida. Dikarenakan keterbatasan akses data, peneliti tidak dapat menganalisis dan
17
Universitas Indonesia
CG
membedah struktur kepemilikan ultimat perusahaan asing. Namun, tetap ada dugaan kuat bahwa
perusahaan-perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki pemegang saham asing
yang sebetulnya bukan berasal dari institusi luar negeri melainkan dari pihak pengendali domestik
(keluarga) yang ingin memperbesar kontrolnya terhadap perusahaan. Akibatnya, efek positif dari
kepemilikan asing menjadi tidak muncul dalam hal pengungkapan informasi perusahaan di Indonesia,
sebaliknya efek negatif dari hak kendali yang besar dimiliki satu blockholders yang menggunakan
perusahaan asing sebagai sarana, menjadi lebih berperan..
Hasil uji regresi menunjukkan bahwa efektivitas dewan komisaris dan komite audit terbukti
tidak dapat mendorong pemegang saham pengendali untuk meningkatkan tingkat pengungkapan
laporan keberlanjutan. Hipotesis 3 menduga bahwa mekanisme tata kelola perusahaan yang baik,
tercermin dalam efektivitas dewan komisaris dan komite audit, akan mengurangi efek entrenchment
yang disebabkan oleh hak kendali yang besar dimiliki oleh satu pemegang saham dan kemudian
memunculkan tindakan-tindakan seperti ekspropriasi yang dilakukan pemilik saham pengendali
terhadap pemilik saham non-pengendali berujung pada pengungkapan informasi yang tidak
berkualitas. Muhamad et al. (2009) menyatakan bahwa pada perusahaan yang beroperasi di negara
dengan perlindungan terhadap pemegang saham non-pengendali yang lemah dan struktur
kepemilikannya terkonsentrasi, seperti di Asia Tenggara, efektivitas dewan komisaris dan komite
audit masih dipertanyakan kemampuannya dalam hal sebagai perangkat tata kelola perusahaan yang
efektif untuk melindungi pemegang saham dan stakeholders lain. Hal ini sesuai dengan kondisi yang
terjadi di Indonesia, dimana keterlibatan dewan komisaris dan komite audit dalam pengungkapan
informasi perusahaan, khususnya laporan keberlanjutan masih sangat rendah.
Hal senada diungkapkan dalam Report on the Observance of Standards and Codes (2010)
yang melakukan penilaian terhadap aplikasi tata kelola perusahaan di Indonesia. Dalam ROSC
terangkum bahwa secara umum praktik di Indonesia membuat dewan komisaris termasuk komite
audit yang berperan membantu kerja dewan komisaris tidak sepenuhnya mewakili kepentingan
seluruh pemegang saham dikarenakan pemegang saham non-pengendali yang memiliki pengaruh
sangat kecil, bahkan tidak ada, terhadap pemilihan anggota dewan komisaris. Hal tersebut
menyebabkan dewan komisaris dan komite audit tidak berfungsi secara efektif khususnya dalam
18
Universitas Indonesia
CG
konteks mengurangi efek entrenchment yang disebabkan oleh terkonsentrasinya hak kendali,
perlindungan pemegang saham non-pengendali, dan tingkat pengungkapan informasi perusahaan.
Dari enam aspek yang ROSC nilai dalam hal penyelenggaraan tata kelola yang baik, satu-satunya
aspek dari mekanisme tata kelola di Indonesia yang lebih rendah skornya bila dibandingkan dengan
rata-rata negara Asia dan Pasifik adalah aspek tanggung jawab board. Dijabarkan lebih detil
mengenai aspek ini, kelemahan tata kelola Indonesia secara umum terletak pada tidak transparannya
proses pemilihan atau nominasi dewan komisaris, tidak dijalankannya fungsi perlindungan terhadap
seluruh pemegang saham dengan baik, kurang efektifnya praktik pengawasan oleh dewan komisaris,
dan adanya konflik kepentingan yang tidak dapat diselesaikan oleh dewan komisaris. Hal tersebut
dapat menjawab mengapa interaksi DKKA dengan CR terhadap SR tidak memiliki hubungan yang
signifikan.
5. Kesimpulan, Keterbatasan Dan Saran Untuk Penelitian Selanjutnya serta Implikasi
Penelitian
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil regresi dan analisis pada penelitian ini maka dapat disimpulkan Kepemilikan asing
pada perusahaan publik di Indonesia memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
pengungkapan informasi dalam laporan keberlanjutan. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa hasil
yang demikian terjadi karena sebetulnya banyak perusahaan atau institusi asing yang memiliki
kepemilikan saham pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, tidak sepenuhnya berasal dari
luar negeri. Beberapa penelitian dan kasus pernah menyinggung mengenai banyaknya pengusaha
domestik yang sengaja membuat perusahaan dengan akta dan nama asing guna memperbesar hak
kontrolnya dalam sebuah perusahaan melalui kepemilikan piramida. Akibatnya, efek positif dari
kepemilikan asing menjadi tidak muncul dalam hal pengungkapan informasi perusahaan, sebaliknya
efek negatif dari kontrol yang besar dimiliki satu blockholders yang menggunakan perusahaan asing
sebagai sarana, menjadi lebih berperan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa efektivitas dewan
komisaris dan komite audit pada perusahaan yang beroperasi di negara dengan perlindungan terhadap
pemegang saham non-pengendali yang lemah dan struktur kepemilikannya terkonsentrasi, seperti
Indonesia, masih dipertanyakan kemampuannya dalam hal sebagai perangkat tata kelola perusahaan
19
Universitas Indonesia
CG
yang efektif untuk melindungi pemegang saham dan stakeholders lain Dalam ROSC untuk Indonesia
tahun 2010, terangkum bahwa secara umum praktik tata kelola di Indonesia membuat dewan
komisaris termasuk komite audit yang berperan membantu kerja dewan komisaris tidak sepenuhnya
mewakili kepentingan seluruh pemegang saham. Hal tersebut menyebabkan dewan komisaris dan
komite audit tidak berfungsi secara efektif khususnya dalam konteks mengurangi efek entrenchment
terhadaptingkat pengungkapan informasi perusahaan.
5.2. Keterbatasan dan Saran Penelitian Selanjutnya
Keterbatasan dan saran dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Penilaian tingkat pengungkapan laporan keberlanjutan hanya dengan menggunakan alat GRI
Application Check Index. Implikasi dari penggunaan alat ini adalah simplifikasi dan oversight pada
nilai pengungkapan laporan keberlanjutan. Kelemahan penggunaan GRI Application Check Index
terletak terutama pada dihiraukannya konsep materialitas sebuah isu keberlanjutan menurut
perusahaan. Misalnya, perusahaan yang tidak bergerak pada industri yang memanfaatkan sumber
daya alam atau memiliki potensial merusak lingkungan cenderung tidak mengungkap informasi
yang detail mengenai aspek lingkungan pada laporan keberlanjutannya, padahal dalam GRI
Application Check Index, aspek lingkungan memiliki poin yang cukup besar pada keseluruhan
laporan keberlanjutan. Ketika perusahaan tersebut tidak memandang isu lingkungan sebagai
sebuah isu yang material bagi keberlanjutan usaha perusahaan, mereka cenderung tidak
melaporkannya dan kemudian memiliki potensi mendapat nilai SR yang rendah. Kedua,
penggunaan GRI Application Check Index lebih menekankan pada dilaporkan atau tidak
dilaporkannya informasi pada poin yang terangkum dalam GRI Application Check Index (yes or no
questions), bukan kualitas dan assurance bahwa informasi yang disajikan adalah benar dan
reliable. Pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan scoring yang didasarkan
pada karakteristik atau general principal dalam pelaporan laporan keberlanjutan yang dimiliki GRI
seperti menilai materiality, timeliness, completeness, balance, accuracy, dan parameter lainnya
sesuai dengan guidelines terbaru GRI G4.
2. Tidak tersedianya data yang dapat melacak rantai kepemilikan dari perusahaan asing. Hal ini
berimplikasi pada kurang akuratnya data mengenai hak kendali pada perusahaan sampel yang
20
Universitas Indonesia
CG
dimiliki pemegang saham pengendali yang berasal dari perusahaan atau institusi asing. Untuk
penelitian selanjutnya di Indonesia, dapat dilacak ratai kepemilikan asing.
5.3. Implikasi Penelitian
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik dan
benar belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pelaku bisnis. Laporan keberlanjutan sebagai salah satu
informasi perusahaan yang masih dikategorikan sebagai informasi yang bersifat sukarela juga sudah
harus mulai digarap dengan serius misalnya dengan memulai mendorong perusahaan swasta untuk
menerbitkan laporan keberlanjutan. Sedikitnya jumlah perusahaan publik yang menerbitkan laporan
keberlanjutan sebetulnya mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah, regulator, atau pembuat
standar dalam hal ini walaupun tren pentingnya laporan keberlanjutan makin dirasakan oleh berbagai
negara maju di dunia. Dengan Demikian diharapkan regulator dapat membuat kebijakan untuk lebih
mendorong perusahaan untk membuat laporan berkelanjutan,
Referensi
Adams, C. A., & Larrinaga-Gonzalez, C. (2007). Engaging with organisations in pursuit of improved
sustainability accounting and performance. Accounting, Auditing and Accountability Journal,
20(3), 333355.
Adams, C. A., & McNicholas, P. (2007). Making a difference: Sustainability reporting, accountability
and organisational change. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 20(3), 382402.
Akhtaruddin, M., Haron, Hasnah. (2010), Board ownership, audit committees effectiveness, and
corporate voluntary disclosures, Asian Review of Accounting, Vol. 18, pp. 245-259.
Amran, Azlan and Devi, S. Susela. (2008), Managerial Auditing Journal, Vol. 23, pp 386-404.
Attig, N., Fong, W., Gadhoum, Y. and Lang, L. (2006), Effects of large shareholding on information
asymmetry and stock liquidity, Journal of Banking & Finance, Vol. 30, pp. 2875-92.
Barros, Carlos P., Sabri Boubaker, Amal Hamrouni. (2013), Corporate governance and voluntary
disclosure in france, Journal of Applied Business Research, pp. 561.
Berkman, H., Cole, R.A. and Fu, L.J. (2009), Expropriation through loan guarantees to related
parties: evidence from China, Journal of Banking & Finance, Vol. 33, pp. 141-56.
Cheng, E. C. M., & Courtenay, S. M. (2006). Board composition, regulatory regime and voluntary
disclosure. The International Journal of Accounting, 41(3), 262289.
Claessens, Stijn, Simeon Djankov, dan Larry H.P.Lang. (1999), Who Control East Asia corporations,
Working Paper, World Bank, Washington DC.
Claessens, Stijn, Simeon Djankov, dan Joseph R.H.Fan, dan Larry H.P.Lang. (1999), Expropriations
of minority shareholders; Evidence from East Asia, Working Paper , World Bank , Washington
DC.
Claessens, Stijn, Simeon Djankov, Joseph R.H.Fan, dan Larry H.P.Lang. (2000), The Separation of
ownership and control in East Asian Corporation, Journal of Financial Economics 58, 81-112.
Claessens, S., Djankov, S., Fan, J.P.H. and Lang, L. (2002), Disentangling the incentive and
entrenchment effects of large shareholdings, Journal of Finance, Vol. 57, pp. 2741-71.
Cotter, J., Lokman, N., Najah, M. (2011), Voluntary disclosure research: which theory is relevant?,
The Journal of Theoretical Accounting Research, Vol. 6 No. 2, pp. 77.
21
Universitas Indonesia
CG
Dhaliwal, D. S., O. Z. Li, A. Tsang, and Y. G. Yang. 2011. Voluntary nonfinancial disclosure and the
cost of equity capital: The intuition of corporate social responsibility reporting. The Accounting
Review 86: 59-100.
Dianty, Vera, Sidharta Utama, Hilda Rossieta, dan Sylvia Veronica. (2010), Kepemilikan pengendali
akhir terhadap transaksi pihak berelasi.
Dimaggio, P.J. and Powell, W.W. (1983), The iron cage revisited: institutional isomorphism and
collective rationality in organizational fields, American Sociology Review, Vol. 48 No. 2, pp.
147-60.
Edwards, Jeremy S.S. and Weichenrieder, Alfons J. (2009), Control rights, pyramids, and the
measurement of ownership concentration, Munich Personal RePEc Archive, No. 13830.
Eng, L.L. and Mak, Y.T. (2003), Corporate governance and voluntary disclosure, Journal of
Accounting & Public Policy, Vol. 22, pp. 325-45.
Ernst & Young LLP and The Boston College Center for Corporate Citizenship. (2013), Value of
sustainability reporting.
Faccio, Mara and Larry H.P. Lang. 2002. .The Ultimate Ownership in Western European
Corporations,. Journal of Financial Economics 65:3, pp. 365-395.
Fan, J.P.H. and Wong, T.J. (2002), Corporate ownership structure and the informativeness of
accounting earnings in East Asia, Journal of Accounting and Economics, Vol. 33, pp. 401-25.
Hermawan, A. A. (2009). Pengaruh Efektivitas Dewan Komisaris dan Komite Audit, Kepemiikan
oleh Keluarga, dan Peran Monitoring Bank terhadap Kandungan Informasi Laba. Unpublished
Dissertation FEUI Post-Graduate Program in Accounting.
Jensen, M.C. and Meckling, W.H. (1976), Theory of firm: managerial behavior, agency costs and
ownership structure, Journal of Financial Economics, Vol. 3, pp. 305-60.
Karamanou, I. and Vafeas, N. (2005), The association between corporate boards, audit committees,
and management earnings forecasts: an empirical analysis. Journal of Accounting Research,
Vol.43, pp. 453-86.
La Porta, R., Lopez-De-Silances, F. and Shleifer, A. (1999), Corporate ownership around the world,
The Journal of Finance, April, pp. 471-517.
Leung, S., & Horwitz, B. (2004). Director ownership and voluntary segment disclosure: Hong Kong
evidence. Journal of International Financial Management and Accounting, 15(3), 235260.
Liu, G. and Sun, J. (2010). Ultimate ownership structure and corporate disclosure quality: evidence
from China, Managerial Finance, Vol. 36 No. 5, pp. 452-467.
Machmud, N. dan Djakman, C. (2008). Pengaruh struktur kepemilikan terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial pada laporan tahunan perusahaan: studi empiris pada perusahaan publik
yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Michelon, Giovanna dan Parbonetti, Antonio. (2012), The effect of corporate governance on
sustainability disclosure, pp. 447-509.
Morck, R., Yeung, B. and Yu, W. (2000), Why do emerging markets have synchronous stock price
movements?, Journal of Financial Economics, Vol. 58, pp. 215-60.
Peters, G. F., and A. Romi. (2013). Does the Voluntary Adoption of Corporate Governance
Mechanisms Improve Environmental Risk disclosures? Evidence from greenhouse gas emission
accounting. Working Paper. University of Arkansas
Schipper, K. (1981), Discussion of voluntary corporate disclosure: the case of interim reporting,
Journal of Accounting Research, Vol. 19, pp. 85-8 (Supplement).
Shleifer, A. and R.W. Vishny (1997), A survey of corporate governance, Journal of Finance 52,
737-783.
Siregar, Sylvia Veronica, dan Bachtiar, Yanivi. (2010), Corporate social reporting: empirical
evidence from Indonesia Stock Exchange, International Journal of Islamic and Middle Eastern
Finance and Management, Vol. 3, pp. 241-252.
Scott, W.R. (2012). Financial Accounting Theory 6th Edition. Toronto: Prentince Hall.
Utting, P. (2002), Greening of Business in Developing Countries, Rhetoric, Reality and Prospects,
Zed Books Ltd, London.
Villalonga, B. & Amit, R. (2006) How do family ownership, control and management affect firm
value?, Journal of Financial Economics, vol. 80: 385-407
Wallman, S. MH. 1995. The Future of Accounting and Financial Reporting Part I: The Need for
22
Universitas Indonesia
CG
23
Universitas Indonesia