Anda di halaman 1dari 14

SELF DISCLOSURE OF RELATIONSHIPS WITH LONELY AT THE

STUDENTS STAY IN PLACE WANDER KOST

Sitta Yuhana
Undergraduate Program, Faculty of Psychology
Gunadarma University
http://www.gunadarma.ac.id

Keywords: Self-Disclosure, Loneliness, Overseas Students

ABSTRACT
Most students living in the boarding house with the consideration that the proximity of shelter
with the campus became the main reason. Living in a boarding house to make their
relationship with family and friends and more distant, it can trigger a sense of loneliness. It
required a new relationship in which open themselves needed in the process of establishing a
more intimate relationship. The purpose of this study was to determine whether there is a
relationship between self-disclosure with the students wander lonely living in a boarding
place. The results showed that there is a negative significance between self-disclosure to
loneliness in overseas students living in a boarding place. Also known R square of 0.211,
which means self-disclosure contributes by 21.1% relative to the lonely. In addition, subjects
in this study have averaged self-disclosure of the loneliness that is rated below average.

HUBUNGAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KESEPIAN PADA MAHASISWA


MERANTAU YANG TINGGAL DI TEMPAT KOST

Sitta Yuhana
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma

Abstrak
Sebagian besar mahasiswa tinggal di tempat kost dengan pertimbangan bahwa
kedekatan tempat bernaung dengan kampus menjadi alasan utama. Tinggal di tempat kost
membuat hubungan mereka dengan keluarga dan teman lama semakin jauh, hal tersebut
dapat memicu rasa kesepian. Untuk itu diperlukan hubungan baru dimana kerterbukaan diri
diperlukan dalam proses menjalin hubungan yang lebih akrab. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keterbukaan diri dengan kesepian
pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat signifikansi negatif antara keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa
merantau yang tinggal di tempat kost. Juga diketahui R square sebesar 0,211 yang berarti
keterbukaan diri memberi sumbangan relatif sebesar 21,1% terhadap kesepian. Selain itu,
subjek dalam penelitian ini memiliki keterbukaan diri dirata-rata atas dengan kesepian yang
tergolong rata-rata bawah.
Kata Kunci : Keterbukaan Diri, Kesepian, Mahasiswa Merantau

Pengantar
Bagi sebagian besar mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga harus
berpindah tempat dari tinggal bersama orang tua, menjadi tinggal bersama dengan orang lain,
entah itu kost, kontrakan atau tinggal bersama saudara. Mencari teman yang cocok bukanlah
hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman kuliah maupun di tempat sekitar tinggal
biasanya juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Gagal mendapatkan teman yang
sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian (Siswanto, 2007). Erikson, Freud &
Sullivan (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengungkapkan bahwa umumnya remaja dan
dewasa awal merupakan tahapan transisi yang sulit. Salah satu aspek penting dari transisi
menuju dewasa adalah membentuk hubungan sosial orang dewasa. Pemuda menghadapi
sejumlah besar transisi sosial, seperti meninggalkan rumah, hidup mandiri, memasuki

perguruan tinggi atau menerima pekerjaan, yang kesemuanya itu menimbulkan kesepian
(Sears, Freedman & Peplau, 1994).
Baron dan Byrne (1997) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan
emosional yang berdasarkan dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang
dekat tetapi tidak bisa mendapatkannya. Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang
kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hilangnya ciriciri tersebut bisa bersifat kuantitatif, yaitu mungkin tidak mempunyai teman, atau hanya
mempunyai sedikit teman. Tetapi kekurangan itu dapat juga bersifat kulitatif, yaitu kita
mungkin merasa hubungan kita dangkal, atau kurang memuaskan dibandingkan apa yang kita
harapkan. Jones (dalam Peplau dan Perlman, 1982) menyebutkan bahwa orang yang kesepian
pada umumnya menunjukkan pola pengungkapan diri yang tertutup atau kurang intim.
Menurut Darlega dan Grzelak (dalam Peplau dan Perlman, 1982) timbulnya keintiman
bergantung dari keterbukaan diri. Pearson (1983) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
keuntungan yang didapat secara langsung dari keterbukaan diri, keuntungan tersebut antara
lain adalah seseorang akan lebih dapat memahami dan menerima dirinya sendiri, juga lebih
dapat menerima dan memahami orang lain sehingga dapat mengembangkan hubungan yang
lebih mendalam dan berarti.
Jones (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa diantara siswa perguruan
tinggi, kesepian berhubungan dengan tanda umum dari keterampilan sosial dan fungsi sosial
termasuk kecenderungan berafiliasi dan sosialisasi serta kurang intimnya keterbukaan diri.
Keterbukaan diri merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam interaksi
sosial. Individu yang terampil melakukan keterbukaan diri mempunyai ciri-ciri yakni
memiliki rasa tertarik kepada orang lain daripada mereka yang kurang terbuka, percaya diri
sendiri, dan percaya pada orang lain (Taylor & Belgrave, 1986; Johnson, 1990).
Menurut Miyer (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1994) keterbukaan diri sangat
menguntungkan bagi dua orang yang melakukan hubungan keakraban, seperti antar teman,
kenalan, keluarga atau saudara lain. Hubungan yang akrab akan menumbuhkan rasa kasih
sayang, dan kepercayaan antar individu. Namun Sears, Freedman dan Peplau (1994)
mengatakan bila seseorang merasa kehilangan hubungan yang dekat, kurang adanya
perhatian satu dengan yang lain, meskipun ia berinteraksi dengan orang banyak, dia akan
merasa kesepian. Penelitian yang dilakukan oleh Solano, Batten dan Parish (dalam Sears,
Freedman & Peplau, 1994) menyatakan bahwa mahasiswa yang kesepian biasanya memiliki
pola pengungkapan diri yang tidak wajar, mencurahkan isi hati kepada seseorang yang baru
saja dikenal atau mengungkapkan hal yang luar biasa sedikit tentang dirinya sendiri. Para
3

peneliti menyatakan bahwa tingkat pengungkapan yang tidak tepat ini bisa mengganggu
pengembangan hubungan yang akrab.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada hubungan antara
keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost.
Hubungannya berarah negative, dimana jika keterbukaan diri pada mahasiswa tinggi maka
kesepian yang dialaminya menurun. Sebaliknya, jika keterbukaan dirinya rendah maka ia
mengalami kesepian yang tinggi.

Dasar Teori
1. Pengertian Keterbukaan diri
Morton (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1994) menyebutkan, keterbukaan diri
merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.
Keterbukaan diri sendiri dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Dalam keterbukaan
diri deskriptif, seseorang melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya yang mungkin
belum diketahui oleh pendengar (misalnya tentang pekerjaan, tempat tinggalnya, partai
yang ia dukung pada pemilihan umum baru-baru ini, dan sebagainya). Sedangkan dalam
keterbukaan diri evaluatif, seseorang mengemukakan pendapat atau perasaan pribadi
(misalnya kecemasan karena terlalu gemuk, tidak suka bangun pagi dan lain
sebagainya).
Selain itu Pearson (1983) mengartikan keterbukaan diri sebagai komunikasi
dimana seseorang dengan sukarela dan sengaja memberitahukan orang lain mengenai
dirinya secara akurat, yang tidak dapat orang lain dapatkan atau ketahui dari pihak lain.
Jika seseorang secara terpaksa memberitahukan dirinya secara detail kepada orang lain,
maka hal ini tidak dapat dianggap sebagai keterbukaan diri karena yang termasuk
keterbukaan diri adalah setiap informasi yang ditentukan oleh seseorang untuk dibagi
kepada orang lain secara sukarela. Selain itu, keterbukaan diri adalah kesengajaan dan
bukan kebetulan. Yang berarti, keterbukaan diri termasuk pernyataan yang disengaja yang
dipilih untuk diberitahukan kepada orang lain. Keterbukaan diri juga merupakan
keakuratan informasi mengenai dirinya sendiri. Selanjutnya, definisi keterbukaan diri
yang dijelaskan oleh Pearson (1983) tidak termasuk informasi yang tidak jujur seperti
kebohongan mengenai diri sendiri, bermaksud untuk menyembunyikan diri yang
sebenarnya, atau informasi yang menyimpang dari dirinya agar terlihat baik.

Derlega (1993) mendefinisikan keterbukaan diri sebagai sesuatu yang individu


ungkapkan secara verbal mengenai diri sendiri kepada orang lain, termasuk pikiran,
perasaan dan pengalaman.
Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keterbukaan
diri merupakan kegiatan membagi informasi secara verbal mengenai diri sendiri baik
perasaan, pikiran dan pengalaman yang diberitahukan kepada orang lain serta dilakukan
secara akurat, sengaja dan sukarela.
Menurut Pearson (1983) keterbukaan diri memiliki beberapa dimensi, yaitu
a. Jumlah (Amount)
Keterbukaan diri dapat diuji dengan jumlah total seberapa banyak seseorang terbuka.
Setiap orang tidak terbuka dalam jumlah informasi yang sama tentang dirinya. Ada
orang yang sama sekali tidak terbuka mengenai dirinya dan ada orang lain yang
memberitahukan semua pengalaman masa lalunya, keadaannya yang sekarang dan
tujuan masa depannya.
Literatur mengenai keterbukaan diri tidak menyediakan jawaban yang menentukan
mengenai jumlah keterbukaan diri yang diharapkan; sebagai gantinya, penelitian
sebelumnya menyarankan bahwa keterbukaan diri haruslah berbalasan (reciprocal).
Ketika seseorang berbicara dengan orang yang banyak berbicara mengenai dirinya,
orang tersebut juga akan merasa bebas untuk terbuka mengenai dirinya. Sebaliknya
jika lawan bicara merasa enggan untuk membagi informasi mengenai dirinya maka
kita juga akan berhati-hati dalam berbicara. Secara umum, jika keterbukaan diri
seseorang meningkat, begitu juga dengan keterbukaan diri lawan bicaranya. Pola yang
berbalasan ini akan muncul secara stabil dan dapat terbangun dalam interaksi selama
lima menit pertama.
b. Positive/Negative Nature
Keterbukaan diri bermacam-macam sifatnya ada yang positif atau negatif. Sifat yang
positif meliputi pernyataan mengenai diri sendiri yang dapat dikategorikan sebagai
pujian. Sifat yang negatif adalah pernyataan yang secara kritis mengevaluasi
mengenai diri sendiri. Salah satu contoh dari sifat positif keterbukaan diri adalah
saya merasa senang berat badan saya turun tiga kilo selama seminggu sementara
contoh dari sifat negatif keterbukaan diri adalah saya berharap saya memiliki
kekuatan yang lebih - karena saya belum berhasil melakukan diet, namun tidaklah
selalu mudah untuk mengkategorikan keterbukaan diri sebagai positif atau negatif.

Keterbukaan diri yang negatif itu sendiri jika dilakukan secara ekstrim dapat
memberikan masalah bagi orang lain.
c. Kedalaman
Keterbukaan diri bisa dalam atau dangkal. Membicarakan mengenai aspek diri sendiri
dimana hal tersebut adalah unik dan menyebabkan diri menjadi lebih transparan
termasuk mengenai tujuan yang spesifik dalam hidup dan keintiman yang dirasakan
dalam hidup, adalah keterbukaan diri yang dalam. Sedangkan, keterbukaan diri yang
dangkal termasuk pernyataan mengenai diri sendiri yang hanya menunjukkan
permukaan saja dan tidak intim (seperti makanan kesukaan, dan lain sebagainya).
d. Waktu
Keterbukaan diri juga dapat diuji kaitannya dengan waktu yang terjadi dalam suatu
hubungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan diri yang baik
terjadi dengan orang asing dan pada awal langkah hubungan, lebih sedikit terjadi pada
pertengahan hubungan, dan keterbukaan diri meningkat pada waktu hubungan
tersebut juga meningkat.
e. Lawan Bicara
Orang yang menjadi target keterbukaan diri adalah orang yang kepada siapa
seseorang ingin membuka diri. Seperti terbuka pada pasangan ketika menikah, pada
orang yang menjadi teman kencan, atau teman yang berjenis kelamin sama. Orang
yang kepada siapa seseorang ingin membuka diri adalah penting dan dimensi akhir
yang harus dilihat.
Terdapat empat kategori orang yang dapat menjadi lawan bicara yaitu
1) teman akrab yang sangat memperhatikan dan berhubungan dengannya,
2) orang yang jarang berhubungan dengannya namun memiliki hubungan yang
sedang berjalan, seperti memiliki tugas bersama, atau membicarakan topik yang
sedang didiskusikan,
3) pendengar yang sama sekali tidak memiliki hubungan, dan terjadi keterbukaan
diri karena baru berkenalan,
4) terakhir, adalah orang lain yang tidak berhubungan sama sekali dan menerima
keterbukaan seseorang tanpa adanya permohonan yang dibuat.
2. Pengertian Kesepian
Kesepian menurut Deux, dkk (1993) didefinisikan sebagai suatu pengalaman
subjektif yang tergantung bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa.
Adakalanya seseorang mengalami kesepian meskipun seorang diri.
6

Sedangkan menurut Bruno (2000), kesepian adalah suatu keadaan mental dan
emosional yang negatif ditandai terutama oleh adanya perasaan terasing dan
kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Selain itu, kesepian dapat
diartikan sebagai bertambahnya ketidaktenangan pengalaman yang berhubungan
dengan tidak tepatnya pelampiasan untuk berhubungan dengan sesama manusia untuk
berhubungan perorangan (Sullivan dalam Peplau & Perlman, 1982). Kesepian tidak
disebabkan sendirian tetapi disebabkan oleh keadaan tanpa kepastian akan hubungan
persahabatan. Kesepian datang sebagai akibat dari ketiadaan suatu jenis hubungan,
atau lebih tepatnya yang bersifat khusus (Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982).
Kesepian juga ketidaksesuaian pengalaman antara jenis hubungan yang sedang
dialami seseorang pada saat itu, dan jenis hubungan yang ingin didapatkan,
dipengaruhi juga oleh pengalaman masa lampau atau suatu tahap ideal yang belum
pernah dialami sebelumnya (Sermat dalam Peplau & Perlman, 1982). Peplau dan
Perlman (1982) mengemukakan bahwa kesepian merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan, yang terjadi saat hubungan sosial seseorang menurun dalam beberapa
hal yang penting, baik itu dalam kuantitas ataupun kualitas.
Definisi lain tentang kesepian diungkap pula oleh Gordon (dalam Peplau &
Perlman, 1982), bahwa kesepian merupakan perasaan tidak enak yang disebabkan
oleh kekosongan akan suatu hubungan, rasa seolah ada yang kurang. Dan sejak timbul
harapan untuk mengisi kekosongan, kesepian dapat disebut juga sebagai kebutuhan
akan suatu hubungan khusus yang terpenuhi.
Baron dan Byrne (1997) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan
emosional yang berdasarkan dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal
yang dekat tetapi tidak bisa mendapatkannya.
Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subjektif, keadaan mental dan emosional
yang negatif, perasaan tidak enak yang disebabkan oleh kekosongan akan suatu
hubungan serta hubungan sosial yang menurun dalam beberapa hal yang penting, baik
itu dalam kuantitas ataupun kualitas.
Peplau dan Perlman (1982) menggolongkan manifestasi pengalaman kesepian
ke dalam lima aspek, yaitu afektif, motivasional, kognitif, tingkah laku, serta aspek
medis-sosial. Kelima aspek manifestasi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Manifestasi Afektif
Kesepian diasosiasikan dengan emosi-emosi negatif seperti tertekan, sedih, cemas,
tidak bahagia dan tidak puas. Berdasarkan suatu studi Russel, Peplau dan Ferguson
(dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan bahwa mahasiswa yang
kesepian cenderung mudah marah, merasa canggung, merasa hampa dan terasing.
b. Manifestasi Motivasional
Kesepian diyakini dapat menurunkan motivasi seseorang. Sebuah studi oleh
Perlman (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan bahwa orang yang
kesepian cenderung memiliki pernyataan-pernyataan yang apatis dan pesimistis.
Lebih lanjut Peplau dan Perlman (1982) mengemukankan bahwa kesepian bisa
memiliki efek yang berbeda sesuai dengan perpektif waktu. Kesepian sesaat dapat
menjadi pendorong motivasi, sedangkan kesepian yang berlangsung lama bisa
membuat seseorang frustasi.
c. Manifestasi Kognitif
Beberapa bukti menunjukkan bahwa orang yang kesepian lebih sulit berkonsentrasi
atau memfokuskan perhatiannya secara afektif (Perlman dalam Peplau dan
Perlman, 1982). Mereka yang kesepian juga cenderung terfokus atau sangat
memperhatikan segala detail keadaan dirinya sendiri (self-focused) serta sangat
berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang kesepian umumnya
kurang percaya terhadap orang lain, mengevaluasi diri sendiri secara negatif,
menganggap orang lain juga menilai dirinya secara negatif, cenderung
menyalahkan dirinya sendiri serta cenderung bersikap sinis terhadap orang lain
maupun dunia secara umum.
d. Manifestasi Tingkah Laku
Orang yang kesepian pada umumnya menunjukkan pola pengungkapan diri (self
disclosure) yang tertutup atau kurang intim, memiliki kecenderungan berteman
yang rendah dan kurang mampu mengekspresikan afeksi dan keterlibatan diri
dengan orang lain. Selain itu tingkah laku orang yang kesepian sering kali
merefleksikan fokus pada diri yang tinggi dibandingkan mereka yang tidak
kesepian. Hal ini misalnya nampak dari perilakunya yang sedikit mengajukan
pertanyaan ketika berkomunikasi dengan orang lain (Jones dalam Peplau dan
Perlman, 1982). Peplau dan Perlman (1982) mengatakan bahwa orang yang
kesepian biasanya lebih pemalu, menarik diri, enggan mengambil resiko dalam
situasi-situasi sosial dan kurang asertif dalam berinterakasi dengan orang lain.
8

Mereka cenderung menghabiskan waktu dalam aktivitas soliter, memiliki sedikit


pasangan untuk kencan dan hanya memiliki kenalan atau teman biasa dari pada
sahabat dekat (Bell dalam Baron dan Byrne, 1996).
e. Manifestasi Medis Sosial
Beberapa bukti menunjukkan kesepian bisa dikaitkan dengan beberapa masalah
kesehatan (Brenna dan Auslander dalam Peplau dan Perlman, 1982) antara lain,
mereka yang kesepian menunjukkan beberapa gejala gangguan fisik seperti
gangguan pola makan, pola tidur, sakit kepala atau mual-mual. Lynch (dalam
Peplau dan Perlman, 1982) mengemukakan pula bahwa orang yang kesepian pada
umumnya rapuh terhadap penyakit-penyakit fisik dan sering menggunakan
berbagai layanan kesehatan secara berlebihan.

Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah adalah mahasiswa tingkat pertama yang menyewa
tempat hunian kost. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling
nonprobabilitas yaitu sampling purposive (bertujuan) dimana terdapat penilaian dan upaya
cermat untuk memperoleh sampel yang representatif dengan cara meliputi kelompokkelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya (Kerlinger, 1986).
Deskripsi subjek dilakukan dengan membagi subjek yang berjumlah 60 orang menjadi
beberapa kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, dan lamanya tinggal. Pada kelompok ini
dibagi-bagi lagi berdasarkan sub-sub bagiannya. Pada deskripsi subjek berdasarkan usia
terdiri dari 17-18 tahun, 19-20 tahun, lebih dari 21 tahun. Sedangkan pada deskripsi jenis
kelamin terdiri dari pria dan wanita. Kemudian lamanya tinggal terdiri dari 1-4 bulan, 5-8
bulan, dan lebih dari 9 bulan.
1) Usia
Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan usia, yaitu dari 60 subjek yang
diteliti, subjek berusia 17 sampai 18 tahun memiliki prosentase 56,67% (N=34) dan subjek
berusia 19 sampai 20 tahun memiliki prosentase 38,33% (N=23). Sedangkan subjek
berusia lebih dari 21 tahun memiliki prosentase 5% (N=3).
2) Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan jenis kelamin, yaitu dari 60
subjek yang diteliti, subjek berjenis kelamin pria memiliki prosentase 37% (N=22) dan
wanita memiliki prosentase 63% (N=38).

3) Lamanya Tinggal
Dalam penelitian ini terdapat penggolongan berdasarkan lamanya tinggal subjek di tempat
kost, yaitu dari 60 subjek yang tinggal selama 1 sampai 4 bulan memiliki prosentase 35%
(N=21) dan subjek yang tinggal selama 5 sampai 8 bulan memiliki prosentase 45%
(N=27). Sedangkan subjek yang tinggal selama lebih dari 9 bulan memiliki prosentase
20% (N=12).

Metode penelitian
Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah keterbukaan diri. Untuk mengukur
tingkat keterbukaan diri seseorang digunakan alat ukur berupa skala keterbukaan diri yang
berbentuk skala Likert dan disusun berdasarkan lima dimensi yang diungkapkan oleh Pearson
(1983) yaitu jumlah (amount), positive/negative nature, kedalaman, lamanya waktu dan
lawan bicara. Sedagkan variabel terikat (Y) adalah kesepian.

Variabel ini akan diukur

berdasarkan manifestasi pengalaman kesepian ke dalam lima aspek yang digolongkan oleh
Peplau dan Perlman (1982) yaitu, afektif, motivasional, kognitif, tingkah laku dan medissosial.
Pengujian validitas maupun reliabilitas, keduanya menggunakan bantuan program
computer SPSS Ver 15.0 for windows. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan
analisis korelasi yaitu untuk mengetahui hubungan keterbukaan diri sebagai variabel bebas
(X) dengan kesepian sebagai variabel terikat (Y). Dimana jika data kedua variabel dikatakan
normal maka akan digunakan teknik anilis Product Moment dari Pearson. Namun jika data
variabel tidak memenuhi syarat diatas, maka akan digunakan uji korelasi non parametrik dari
Spearman rho.

Hasil Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 Maret 2010, kepada 61 orang subjek
penelitian. Eksemplar disebar kepada mahasiswa tingkat satu di Universitas Gunadarma
Kampus G. Dari 61 angket yang disebar kepada subjek penelitian, hanya 60 angket yang
dapat dianalisis karena sisa lainnya tidak diisi dengan lengkap.
Pada skala kesepian, dari 40 item yang dianalisis diperoleh 32 item yang valid,
sementara 8 item lainnya dinyatakan gugur. Korelasi skor total pada item-item valid bergerak
antara 0,288 sampai 0,654. uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach diperoleh
angka koefisien reliabilitas sebesar 0,879 berarti alat ukur tersebut dikatakan cukup tingkat
10

kepercayaannya. Sedangkan pada skala keterbukaan diri, dari item yang dianalisis diperoleh
25 item yang valid, sementara 15 item lainnya dinyatakan gugur. Korelasi skor total pada
item-item valid bergerak antara 0,268 sampai 0,625. uji reliabilitas pada skala keterbukaan
diperoleh angka koefisien reliabilitas sebesar 0,770 yang berarti alat ukur tersebut cukup
sempurna tingkat kepercayaannya.
Berdasarkan pengujian normalitas pada skala keterbukaan diri diperoleh signifikansi
sebesar 0,200 pada Kolmogorov Smirnov (p > 0,05) dan Shapiro Wilk dengan signifikansi
sebesar 0,412 (p > 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor keterbukaan diri pada
subjek penelitian yang telah diambil, normal. Sedangkan pada variabel kesepian hasil
signifikan sebesar 0,000 pada Kolmogorov Smirnov (p < 0,05) dan Shapiro Wilk dengan
signifikansi 0,003 (p < 0,05). Pengujian menunjukkan bahwa distribusi skor kesepian subjek
penelitian yang telah diambil, tidak normal.
Dari hasil pengujian regresi sederhana diperoleh nilai F sebesar 15,485 dengan
signifikansi 0,000 (p < 0,05). Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa hubungan variabelvariabel di atas linear.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan teknik uji korelasi
Spearman rho, diperoleh koefisien korelasi sebesar -,425 dengan signifikansi sebesar 0,000
(p < 0,05) diperoleh R square sebesar 0,211. Hal ini berarti terdapat korelasi keterbukaan diri
secara signifikan terhadap kesepian dimana keterbukaan diri memberi sumbangan relatif
sebesar 21,1% terhadap kesepian. Dari hasil tersebut terdapat hubungan negative antara
keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost, hal
ini berarti semakin tinggi keterbukaan diri maka akan semakin rendah kesepian yang
dirasakan, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi ada hubungan
keterbukaan diri dengan kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost,
diterima.
Berdasarkan perhitungan pada skala kesepian dimana mean empirik memiliki skor
sebesar 66,56 yang berada diantara MH SDH < x MH + SDH (64 < x 96). Hal ini
berarti secara umum subjek penelitian memiliki keterbukaan diri yang rata-rata. Sedangkan
berdasarkan perhitungan skor skala keterbukaan diri memiliki mean empirik sebesar 70,56
yang berada diantara MH SDH < x MH + SDH (49,9 < x 75,1). Hal ini berarti secara
umum subjek penelitian memiliki keterbukaan diri yang rata-rata.

11

Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan keterbukaan diri dengan kesepian
pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost. Berdasarkan hasil uji korelasi
Spearman rho yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat hubungan arah negatif antara
keterbukaan diri terhadap kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost
dimana jika keterbukaan diri semakin tinggi maka akan diikuti dengan kesepian yang rendah,
begitu

pula

sebaliknya.

Hal

ini

dikarenakan

keterbukaan

diri

berperan

dalam

mengembangkan suatu hubungan. Ketika seseorang membagi informasi mengenai dirinya,


orang lain mendapatkan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik terhadap dirinya dan
perilaku yang dimunculkannya sehingga apapun yang dilakukannya orang lain dapat
memiliki penjelasan terhadap perilakunya tersebut. Sebaliknya, ketika seseorang tidak
mengetahui mengenai orang lain dengan baik, ketika orang lain tidak melakukan keterbukaan
diri, dan ketika ia hanya memiliki sedikit pemahaman terhadap orang lain terkadang ia akan
menyimpulkan orang lain itu secara dangkal dan tidak menarik. Keterbukaan diri dapat
membantu seseorang untuk memahami dan menghargai kompleksitas orang lain (Pearson,
1983).
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa keterbukaan diri tergolong dalam rata-rata
atas, ini disebabkan karena lamanya subjek tinggal di tempat kost. Sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Pearson (1983) bahwa keterbukaan diri juga dapat diuji kaitannya dengan
waktu yang terjadi dalam suatu hubungan. Durasi suatu hubungan mempengaruhi jumlah
keterbukaan diri dan jenis keterbukaan diri yang muncul dengan tepat. Secara umum
seseorang memulai dengan informasi yang tidak intim yang bersifat positif, netral, termasuk
negatif. Mereka mengemukakan permulaan informasi dengan informasi negatif pada
awalnya, diikuti dengan yang positif, kemudian netral. Menurut Darlega (1993) suatu
hubungan berkembang seiring berjalannya waktu, demikian halnya dengan keterbukaan diri.
Gagasan awal mengenai pengaruh waktu ini adalah bahwa kedalaman dan keluasan pesan
akan selalu terus berkembang dan tiada berakhir. Individu akan mengungkapkan dirinya
seiring berjalannya waktu dan bahwa hubungan akan berkembang terus, jadi keterbukaan diri
senantiasa terus meningkat.
Kesepian yang termasuk rata-rata bawah ini disebabkan kerena keterbukaan diri subjek
yang telah berkembang. Menurut Altman dan Taylor (dalam Peplau dan Perlman, 1982)
perkembangan persahabatan didasari atas kualiatas keterbukaan diri seperti komunikasi antar
individu dengan meningkatkan lebih banyak informasi intim satu sama lain. Sejalan dengan
perkembangan suatu hubungan dari yang dangkal sampai menjadi hubungan akrab, orang
12

akan semakin berani mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi tentang dirinya. Hubungan
juga akan berubah dari sempit menjadi semakin luas, sejalan dengan waktu topik
pembicaraan semakin banyak, kegiatan yang diikuti bersama makin beragam.
Keterbukaan diri memberi sumbangan relatif sebesar 21,1 % terhadap kesepian.
Keterbukaan diri dapat mempengaruhi kesepian karena menurut Peplau dan Perlman (1982)
kesepian merupakan refleksi dari kurangnya dari kondisi atau sesuatu, sedangkan penawar
kesepian meliputi kontak dengan orang lain, kedekatan dengan orang lain, hubungan yang
berarti dan intimasi. Jourard, Darlega dan Chaikin (dalam Peplau dan Perlman, 1982)
mengatakan bahwa intimasi adalah keterbukaan diri. Menurut Pearson (1983) makin banyak
kita berbagi informasi dengan orang lain, maka kita akan makin mengerti mereka. Sama
halnya semakin kita terbuka, semakin orang lain mengerti kita. Terdapat tiga keuntungan
yang didapat dari kemampuan untuk terbuka, yaitu kita dapat mengembangkan pemahaman
dan penerimaan diri kita, kita dapat mengembangkan pemahaman dan penerimaan orang lain
serta kita juga dapat mengembangkan lebih dalam hubungan yang berarti. Sehingga intimasi
dapat terjadi dan dapat terhindar dari kesepian (Peplau dan Perlman, 1982). Sisanya dapat
dipengaruhi oleh faktor lain seperti penyesuaian diri yang dilakukan subjek selama dua
semester. Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah orang yang dengan cepat
mampu mengelola dirinya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Keberhasilan
melakukan penyesuaian diri dalam menjalankan peranan sebagai mahasiswa akan
mempengaruhi keberhasilan mereka selama menjalani studi maupun kehidupan selanjutnya
(Siswanto, 2007). Mahasiswa memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengatasi
kesepian

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan keterbukaan
diri yang signifikan terhadap kesepian pada mahasiswa merantau yang tinggal di tempat kost.
Hubungan tersebut bersifat negatif dimana jika keterbukaan diri dirasakan tinggi maka akan
diikuti dengan kesepian yang rendah, begitu juga sebaliknya. Dari hasil penelitian juga
diketahui bahwa subjek memiliki keterbukaan diri yang tergolong rata-rata atas dan kesepian
yang berada pada rata-rata bawah. Disamping itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keterbukaan diri memberikan sumbangan relatif sebesar 21,1% terhadap kesepian. Sisanya
dapat dipengaruhi oleh faktor penyesuaian diri, harapan positif, kepribadian, optimisme, dan
harga diri.

13

Referensi

Baron, R. A. & Byrne, D. (1994). Social psychology: Understanding humani interaction.


New York: Simon & Schucter Inc.
Derlega, V. J. & Margulis S. T. (1993). Self disclosure. New Bury Park: Sage Publication inc.
Johnson, W. David. (1990). Reaching out; Interpersonal effectivenss and self actualization.
Printice Internasionalin Jersey.
Kerlinger, F. N. (1986). Asas-asas penelitian behavioral (3rd ed). Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Pearson, J.C. (1983). Interpersonal communication: Clarity, confidence, concern. Illinois :
Scott, Foresman and Company.
Peplau, A. And Perlman, D. (1982). Loneliness: A source book of current theory, research
and therapy. New york: John Wiley Interscience.
Sears, D. O., Jonathan L. F., & Anne, L. P. (1994). Psikologi sosial. Jilid 1. Alih bahasa:
Michael Adryanto, Savitri Soekrisno. Jakarta: Erlangga.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental: Konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
C.V Andi Offset.

14

Anda mungkin juga menyukai