Anda di halaman 1dari 17

Pertempuran Lengkong

(25 Januari 1946) adalah peristiwa bersejarah, nasional dan heroik melawan pasukan Jepang di
Desa Lengkong, Serpong - Tangerang Selatan.

Kronologis Kejadian
Peristiwa berdarah ini bermula dari Resimen IV TRI di Tangerang, Resimen ini mengelola Akademi
Militer Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin puluhan taruna akademi
untuk mendatangi markas Jepang di Desa Lengkong untuk melucuti senjata pasukan jepang. Daan
Mogot didampingi sejumlah perwira, antara lain Mayor Wibowo, Letnan Soetopo, dan
Letnan Soebianto Djojohadikusumo.
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer, mereka berangkat ke Lengkong. Di depan pintu
gerbang markas, tentara Jepang menghentikan mereka. Hanya tiga orang, yakni Mayor Daan
Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna Akademi Militer Tangerang, yang diizinkan masuk untuk
mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Dai-Nippon. Sedangkan Letnan Soebianto dan Letnan
Soetopo ditunjuk untuk memimpin para taruna yang menungggu di luar.
Semula proses perlucutan berlangsung lancar. Tiba-tiba terdengar rentetan letusan senapan dan
mitraliur dari arah yang tersembunyi. Senja yang tadinya damai jadi berdarah. Sebagian tentara
Jepang merebut kembali senjata mereka yang semula diserahkan. Lantas berlangsung pertempuran
yang tak seimbang. Karena kalah kuat, korban berjatuhan di pihak Indonesia. Sebanyak 33 taruna
dan 3 perwira gugur dalam peristiwa itu. Sedangkan 1 taruna lainnya meninggal setelah sempat
dirawat dirumah sakit. Perwira yang gugur adalah Daan Mogot, Letnan Soebianto, dan Letnan
Soetopo.
Peristiwa berdarah itu kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Pertempuran Lengkong. Pada
waktu itu Akademi Militer berpusat di Tangerang sehingga banyak yang menjadi korban adalah
Taruna.

Mengenang Peristiwa Lengkong


Untuk mengenang Peristiwa Lengkong tersebut ada dua tempat bersejarah yang pertama adalah
Taman Makam Pahlawan (TMP) taruna yang bertempat di Jl. Daan Mogot dan yang kedua adalah
monumen Lengkong yang berada di wilayah Serpong. Monumen yang dibangun berdampingan
dengan Taman Daan Mogot itu berdiri tahun 1993 di atas lahan seluas 500 meter persegi. Pada
dinding prasasti monumen terukir nama-nama taruna dan perwira yang gugur pada peristiwa
pertempuran Lengkong. Sedangkan di dalam museumnya, terpampang foto-foto perjuangan para
taruna militer di Indonesia berserta akademinya.
Monumen Lengkong kini dijadikan sebagai tempat peringatan peristiwa pertempuran Lengkong yang
diperingati setiap tanggal 25 Januari. Bahkan, keputusan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menetapkan peristiwa tersebut sebagai Hari Bakti Taruna
Akademi Militer. Hal itu dituangkan lewat Surat Telegram KSAD Nomor ST/12/2005 bertanggal 7
Januari 2005.

Kamis, 24 Januari 1946


Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA
Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara
Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret
1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV

Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang
mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera
memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan
kepada Resimen IV Tangerang.

Jumat, 25 Januari 1946


Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan
Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan
Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain
taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara
(Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang
yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah
sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap
tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong
sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan
dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor
Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian
masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan
Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas
Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe
meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat
perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu
Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan
melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang
Jepang disuruh berkumpul di lapangan.
Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya.
Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan
mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang
lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di
lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke
dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak
Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan
yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang
digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan
seorang.
Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan
berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan
Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan
asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka
mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke
kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak
berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan
persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika
melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil
senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari
berbagai penjuru.
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20
taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan
diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan
masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat
perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi
tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah
yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali
kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.

Sabtu, 26 Januari 1946


Esok hari setelah Peristiwa Lengkong, atau Sabtu, 26 Januari 1946, para
tawanan yang masih kuat dipisahkan dari yang luka dan dipindahkan ke
suatu gudang kosong yang letaknya tak jauh di bagian bawah kompleks
kamp Jepang itu. Mereka sudah tidak diikat lagi. Sejak itu, mereka tinggal di
tempat tersebut, suatu tempat yang dirasakan lembab. Pada sore harinya,
para tawanan ini diberikan sekop untuk menggali kuburan. Segera terbayang
oleh para tawanan ini bahwa, mereka sekarang akan dibunuh dan disuruh
membuat lubang kuburannya sendiri. Dengan dikawal, mereka kemudian
mulai digiring ke tempat bekas pertempuran kemarin. Ternyata mereka
hanya disuruh mengubur kawan-kawannya yang mati.
Mayat-mayat yang ditemukan di lokasi-lokasi yang terpencar, masih sempat
dapat diidentifikasikan. Pada sore itulah di bawah gerimis, lubang-lubang
digali dan mayat-mayat dimasukkan ke dalamnya. Ada mayat-mayat yang
sebelum ditimbun dengan tanah sempat dishalatkan dulu. Semua diliputi
keterharuan yang sangat mendalam.

Minggu, 27 Januari 1946


Pada hari ini, diadakan pertemuan antara pihak TRI dengan pihak Jepang.
Mereka berjumpa di suatu tempat di luar kamp dan pembicaraan dilakukan
di jalanan sembari berdiri. Dari pihak Indonesia hadir Mayor M.T. Harjono,
Mayor Oetarjo, Letnan Wirogo (adik dari Mayor Wibowo yang ditawan), dan
Pembantu Letnan Djoko Winarto, semua dari Kantor Penghubung Tentara.
Sedangkan dari Resimen IV hadir Mayor Daan Jahja, Kapten Taswin dan
beberapa perwira lainnya. Sedangkan dari pihak Jepang hadir Letkol
Miyamoto Shizuo dan Kapten Abe. Pertemuan diadakan dalam suasana yang
cukup serius, masing-masing pihak mengemukakan argumentasinya, untuk
membenarkan tindakannya sendiri.
Akhirnya dicapai kesepakatan: Pertama, semua anggota TRI yang ditawan
maupun yang gugur dan sudah dikubur akan dikembalikan kepada pihak
Indonesia. Kedua, semua senjata kepunyaan TRI akan dikembalikan
juga. Ketiga, hanya beberapa orang diantara anggota TRI yang ditawan
masih perlu dikirim ke Bogor untuk diperiksa dan didengar keterangannya
oleh Staf Brigade Inggris di sana, sebelum mereka dapat dibebaskan.
Kenapa ke Bogor, dan kenapa pula oleh Inggris? Menurut R.H.A. Saleh,
pasukan Jepang yang ada di Lengkong ini masuk dalam pengawasan dna
pengendalian Brigade Inggris yang ada di Bogor, walaupun kamp Jepang di
Lengkong sebenarnya berada di dalam daerah kekuasaan Republik
Indonesia.

Senin, 28 Januari 1946

Implementasi hasil perundingan dengan Letkol Miyamoto dan Kapten Abe di


Lengkong, dimulai pada Senin, 28 Januari 1946. Untuk dapat mengetahui
lebih dahulu jumlah yang tepat dari semua Taruna MAT yang ditawan, yang
luka maupun yang sudah mati dan dikubur, pada pagi hari, Kapten Jopie
Bolang bersama Lettu Arie Soepit dari Polisi Tentara dengan mengendarai
sebuah sepeda motor pergi ke Lengkong untuk mengadakan peninjauan
kamp pasukan Jepang. Namun mereka tidak diizinkan masuk ke dalam kamp
dan hanya diterima di pintu gerbang saja. Penerimaan oleh Jepang adalah
baik dan mereka mendapat informasi seperlunya. Setelah itu mereka
kembali ke Tangerang untuk selanjutnya mempersiapkan tim yang akan
diberangkatkan ke Lengkong pada siang harinya.
Pada hari yang sama, Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Panglima
Komandemen I Jawa Barat, yang membawahi semua satuan TRI di Jawa
Barat dan bertanggung-jawab atas Komando Pertahanan wilayah Jawa Barat
serta berkedudukan di Purwakarta, dengan melalui Jakarta dan Tangerang,
langsung datang ke kamp militer Jepang di Lengkong, tanpa mampir dulu di
Markas Resimen IV di Tangerang. Di Lengkong, ia diterima dengan baik oleh
Kapten Abe. Di markas pasukan Jepang, ia diberi kesempatan untuk bertemu
dan berbicara langsung dengan para Taruna yang ditawan. Ia pun sempat
menengok para Taruna yang luka-luka.
Menjelang sore hari, datang juga tim pengambil mayat di kamp Jepang di
Lengkong. Mereka terdiri dari para Taruna yang tidak turut serta dalam
Operasi Lengkong, diantaranya terdapat para Taruna yang baru kembali
tanggal 25 Januari dari Bandung mengantarkan perbekalan untuk
APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Mereka datang dengan
beberapa truk dan membawa alat-alat penggali, seperti sekop dan cangkul.
Mereka disebar dan dituntun menuju kuburan-kuburan yang terpencar di
dalam kebun karet. Dibawah pengawasan serdadu-serdadu Jepang yang
bersenjata dan dalam sikap siap tembak, dilakukan penggalian-penggalian
kembali.
Di atas tiap kuburan ada semavam nisan sederhana dibuat dari sepotong
papan kecil, dimana tertulis nama-nama dari yang dikubur itu. Pada
umumnya lubang-lubang kuburan meuat lebih dari satu mayat. Kuburankuburan yang terpencar itu tidak digali dalam-dalam, sehingga baru
beberapa kali menyendok tanah dengan sekop sudah tampak tubuh mayat.
Penggalian kembali yang dimulai sore hari, selesai ketika hari sudah akan
gelap. Mayat-mayat diangkat dengan beberapa truk dan malam itu juga tiba
di Tangerang untuk disemayamkan semalam di sebuah rumah dalam
kompleks perumahan para perwira Resimen IV.

Selasa, 29 Januari 1946


Mayat-mayat yang disemayamkan semalam di kompleks perumahan perwira
Resimen IV di Tangerang, pada esok harinya dimakamkan di sebuah tanah
kosong yang terletak di sebelah Markas Resimen IV. Pemakaman ini
dilakukan dengan suatu upacara sederhana tapi khidmat., yang dihadiri oleh
sejumlah pejabat dari keluarga korban yang berdatangan dari luar kota
Tangerang. Diantaranya, hadir Perdana Menteri RI Soetan Sjahrir, Haji
Agoes Salim (ayahanda dari Taruna Sjewket Salim), danR Margono
Djojohadikoesoemo (pendiri BNI 1946 yang merupakan ayahanda dari
Lettu
Soebianto
Djojohadikoesoemo,
dan
Taruna
R.M.
Soedjono
Djojohadikoesoemo. Kedua kakak-beradik yang gugur ini, tak lain adalah
paman dari mantan Danjen Kopassus Prabowo Soebianto dan pengusaha
Hashim Djojohadikoesoemo).
Suasana hening menyelimuti TMP Taruna, tempat para syuhada Peristiwa
Palagan Lengkong dikebumikan. Makam dan nisan yang seluruhnya di-cat
berwarna putih, dilengkapi pula dengan topi baja berwarna silver
metallic yang diletakkan tepat di bawah nisan makam. Di sekeliling makammakam yang berbaris sejajar rapi, terdapat sejumlah pohon kamboja yang
banyak menggugurkan bunga putih kekuningan hingga berserakan ke
sekeliling makam.

Makam Mayor Daan Mogot berada pada barisan pertama, nomor tiga dari sisi
sebelah kanan. Makamnya, dipayungi pohon Kamboja, dan dekat dengan
monumen yang dilengkapi patung lambang Akademi Militer Tangerang tepat
di atasnya.
Selain memuat nama para syuhada yang gugur dalam Peristiwa Lengkong,
pada tugu monumen terdapat pula sajak yang penuh penghayatan akan
sebuah perjuangan dan pengorbanan. Begini sajak yang terpahat pada
monumen tersebut:
Kami bukan pembangun candi / Kami hanya pengangkut batu /
Kamilah angkatan yang mesti musnah / Agar menjelma angkatan
baru / Di atas pusara kami lebih sempurna //
Terdapat pula penjelasan terkait ditemukannya tulisan sajak tersebut di saku
salah seorang perwira yang gugur, yakni Lettu Soebianto
Djojohadikoesoemo:
Tulisan ini cermin ketulusan dalam masa perjuangan. Ditemukan di
saku salah seorang perwira saat gugur, bersama adik-adiknya siswa
Akademi Militer Tangerang. Dalam tugas misi damai menerima
penyerahan senjata dari tentara Jepang di Lengkong. Dimana tanpa
diduga tugas damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang
tidak seimbang, sehingga membawa banyak korban.
Sebenarnya, sajak yang patut untuk direnungkan maknanya itu adalah
merupakan terjemahan dari sajak ciptaan Henriette Goverdine Anna
Roland Holst-van der Schalk, seorang penyair dari Belanda (1869-1952).
Lengkapnya, sajak asli tersebut adalah:
Wij zijn de bouwers van de tempel niet / Wij zijn enkel de sjouwers
van de stenen / Wij zijn het geslacht dat moest vergaan / Opdat een
betere oprijze uit onze graven
Pada tahun 1946, oleh tokoh pers nasional yang juga budayawan Rosihan
Anwar (1922-2011), sajak Henriette Roland Holst diterjemahkan seperti yang
kemudian ditemukan di saku Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, yang
memang sangat menyukai sajak tersebut. Kini, lima baris terjemahan sajak
itu terukir di tugu monumen TMP Taruna di Kota Tangerang
Secara keseluruhan, terdapat 48 makam yang ada di TMP Taruna, Kota
Tangerang ini. Selain makam ke-37 para syuhada yang gugur di hutan karet,
Lengkong, ada pula 8 makam lain yang lengkap dengan identitas namanya,
serta 3 makam Pahlawan Tak Dikenal yang juga gugur pada Peristiwa
Lengkong Berdarah.
Sumber :
Kompasiana Sejarah
Merdeka.com
Indonesia Karya
Foto Gapey Sandy

PERISTIWA LENGKONG
Pada Hari Jumat petang, tanggal 25 Januari 1946, telah terjadi Peristiwa Berdarah
Lengkong/Serpong, dimana pasukan dari Akademi Militer Tangerang yang
dipimpin oleh Mayor Daan Mogot yang tengah merundingkan penyerahan senjata
dari pasukan Jepang di Lengkong kepada pasukan T.R.I, secara tiba-tiba sekali
telah dihujani tembakan dan diserbu oleh pasukan Jepang sehingga
mengakibatkan gugurnya 34 Taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 Perwira
T.R.I, diantaranya Mayor Daan Mogot sendiri.
Untuk mengenangkan para kesuma bangsa yang telah gugur ketika menjalankan
tugas untuk negara, pada bulan Maret 1946, telah diciptakan lagu Pahlawan
Lengkong :
Jauh di sana di balik tembok / Terletak Taman Pahlawan Raya / Terus berjuang di
medan Lengkong / Untuk membela nusa dan bangsa / REFF: Selamat tinggallah
Ibunda / Selamat tinggallah Ayahanda / Ku pergi jauh ke sana / Mencari bahagia //

Sumber: Sajak yang ditemukan di saku Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo,


salah seorang perwira TRI yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, Serpong,
pada 25 Januari 1946. Sajak tersebut kini terukir di Tugu Monumen TMP
Taruna di Kota Tangerang. (Foto: Gapey Sandy; Kompasiana Sejarah, 24
Januari 2014)

Sumber : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda, dan pahatan tulisan
Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy; Kompasiana, 25 Januari 2014)

Sumber: Tembok diorama yang menggambarkan suasana pendidikan


kemiliteran di Akademi Militer. (Foto: Gapey Sandy, Kompasiana: 25 Januari
2014)

Sumber: Tembok diorama yang menyuguhkan gambaran tentang Peristiwa


Lengkong. (Foto: Gapey Sandy; Kompasiana 25 Januari 2014)
Description :
Pertempuran yang terjadi tanggal 25 Januari 1946 tersebut dipimpin oleh Mayor Daan Mogot saat
melucuti senjata pasukan Jepang di markas tentara Jepang di Desa Lengkong, yang menyebabkan
33 taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 perwira termasuk Daan Mogot gugur dalam peristiwa
itu.

Sumber: Adakah perang di Lengkong pada tanggal 25 Januari 1946?


(Foto: Sejarah Kita, 01 Maret 2006)

Sumber :Pertempuran Lengkong, potret heroisme di bawah keterbatasan


(Ilustrasi perang Lengkong di Bandung. 2013Merdeka.com/www.crawler.dipity.com)

Sumber : Daan Mogot, Sang Pahlawan Remaja Berusia 17 Tahun (1928-1946)


(sumber gambar : www.glowupmagazine.com)

Deskripsi: Saksi Bisu Peristiwa Lengkong, inilah markas tentara Jepang sebelum
dilucuti oleh pasukan Indonesia, di Lengkong Wetan Serpong Tangerang Selatan

Sumber: Tugu Monumen gugurnya syuhada Peristiwa Palagan


Lengkong dengan lambang Akademi Militer yang ada di atasnya.
Lokasi di Taman Makam Pahlawan Taruna, Kota Tangerang. (Foto:
Gapey Sandy)

Sumber: Tetap berjajar dan berbaris rapi. Pusara peristirahatan terakhir para
syuhada yang gugur saat Peristiwa Lengkong di TMP Taruna, Jalan Daan
Mogot No.1 Tangerang. (Foto: Gapey Sandy)

Sumber: Taman Makam Pahlawan Taruna, Kota Tangerang, tempat


peristirahatan terakhir para syuhada yang gugur dalam Peristiwa Lengkong,
pertempuran melawan pasukan Jepang. (Foto: Gapey Sandy)

Sumber: Di Taman Makam Pahlawan Taruna, Kota Tangerang inilah,


bersemayam jasad para syuhada yang gugur dalam Peristiwa Lengkong.
(Foto: Gapey Sandy)

Sumber: Terdapat tiga makam Pahlawan Tak Dikenal yang juga gugur pada
Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)

Deskripsi :

Nama : Elias Daniel Mogot;

Nama populer : Mayor Daan Mogot;

Tempat/tgl lahir : Manado, 28 Desember 1928;

Tempat/tgl meninggal : Tangerang, 25 Januari 1946;

Deskripsi: Monumen Peristiwa Lengkong


Kel. Lengkong Karya, Kec. Serpong Utara

Deskripsi: Nama-nama Pahlawan yang terukir pada Monumen Peristiwa


Lengkong Kel. Lengkong Karya, Kec. Serpong Utara

Anda mungkin juga menyukai