(25 Januari 1946) adalah peristiwa bersejarah, nasional dan heroik melawan pasukan Jepang di
Desa Lengkong, Serpong - Tangerang Selatan.
Kronologis Kejadian
Peristiwa berdarah ini bermula dari Resimen IV TRI di Tangerang, Resimen ini mengelola Akademi
Militer Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin puluhan taruna akademi
untuk mendatangi markas Jepang di Desa Lengkong untuk melucuti senjata pasukan jepang. Daan
Mogot didampingi sejumlah perwira, antara lain Mayor Wibowo, Letnan Soetopo, dan
Letnan Soebianto Djojohadikusumo.
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer, mereka berangkat ke Lengkong. Di depan pintu
gerbang markas, tentara Jepang menghentikan mereka. Hanya tiga orang, yakni Mayor Daan
Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna Akademi Militer Tangerang, yang diizinkan masuk untuk
mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Dai-Nippon. Sedangkan Letnan Soebianto dan Letnan
Soetopo ditunjuk untuk memimpin para taruna yang menungggu di luar.
Semula proses perlucutan berlangsung lancar. Tiba-tiba terdengar rentetan letusan senapan dan
mitraliur dari arah yang tersembunyi. Senja yang tadinya damai jadi berdarah. Sebagian tentara
Jepang merebut kembali senjata mereka yang semula diserahkan. Lantas berlangsung pertempuran
yang tak seimbang. Karena kalah kuat, korban berjatuhan di pihak Indonesia. Sebanyak 33 taruna
dan 3 perwira gugur dalam peristiwa itu. Sedangkan 1 taruna lainnya meninggal setelah sempat
dirawat dirumah sakit. Perwira yang gugur adalah Daan Mogot, Letnan Soebianto, dan Letnan
Soetopo.
Peristiwa berdarah itu kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Pertempuran Lengkong. Pada
waktu itu Akademi Militer berpusat di Tangerang sehingga banyak yang menjadi korban adalah
Taruna.
Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang
mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera
memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan
kepada Resimen IV Tangerang.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika
melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil
senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari
berbagai penjuru.
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20
taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan
diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan
masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat
perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi
tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah
yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali
kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.
Makam Mayor Daan Mogot berada pada barisan pertama, nomor tiga dari sisi
sebelah kanan. Makamnya, dipayungi pohon Kamboja, dan dekat dengan
monumen yang dilengkapi patung lambang Akademi Militer Tangerang tepat
di atasnya.
Selain memuat nama para syuhada yang gugur dalam Peristiwa Lengkong,
pada tugu monumen terdapat pula sajak yang penuh penghayatan akan
sebuah perjuangan dan pengorbanan. Begini sajak yang terpahat pada
monumen tersebut:
Kami bukan pembangun candi / Kami hanya pengangkut batu /
Kamilah angkatan yang mesti musnah / Agar menjelma angkatan
baru / Di atas pusara kami lebih sempurna //
Terdapat pula penjelasan terkait ditemukannya tulisan sajak tersebut di saku
salah seorang perwira yang gugur, yakni Lettu Soebianto
Djojohadikoesoemo:
Tulisan ini cermin ketulusan dalam masa perjuangan. Ditemukan di
saku salah seorang perwira saat gugur, bersama adik-adiknya siswa
Akademi Militer Tangerang. Dalam tugas misi damai menerima
penyerahan senjata dari tentara Jepang di Lengkong. Dimana tanpa
diduga tugas damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang
tidak seimbang, sehingga membawa banyak korban.
Sebenarnya, sajak yang patut untuk direnungkan maknanya itu adalah
merupakan terjemahan dari sajak ciptaan Henriette Goverdine Anna
Roland Holst-van der Schalk, seorang penyair dari Belanda (1869-1952).
Lengkapnya, sajak asli tersebut adalah:
Wij zijn de bouwers van de tempel niet / Wij zijn enkel de sjouwers
van de stenen / Wij zijn het geslacht dat moest vergaan / Opdat een
betere oprijze uit onze graven
Pada tahun 1946, oleh tokoh pers nasional yang juga budayawan Rosihan
Anwar (1922-2011), sajak Henriette Roland Holst diterjemahkan seperti yang
kemudian ditemukan di saku Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, yang
memang sangat menyukai sajak tersebut. Kini, lima baris terjemahan sajak
itu terukir di tugu monumen TMP Taruna di Kota Tangerang
Secara keseluruhan, terdapat 48 makam yang ada di TMP Taruna, Kota
Tangerang ini. Selain makam ke-37 para syuhada yang gugur di hutan karet,
Lengkong, ada pula 8 makam lain yang lengkap dengan identitas namanya,
serta 3 makam Pahlawan Tak Dikenal yang juga gugur pada Peristiwa
Lengkong Berdarah.
Sumber :
Kompasiana Sejarah
Merdeka.com
Indonesia Karya
Foto Gapey Sandy
PERISTIWA LENGKONG
Pada Hari Jumat petang, tanggal 25 Januari 1946, telah terjadi Peristiwa Berdarah
Lengkong/Serpong, dimana pasukan dari Akademi Militer Tangerang yang
dipimpin oleh Mayor Daan Mogot yang tengah merundingkan penyerahan senjata
dari pasukan Jepang di Lengkong kepada pasukan T.R.I, secara tiba-tiba sekali
telah dihujani tembakan dan diserbu oleh pasukan Jepang sehingga
mengakibatkan gugurnya 34 Taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 Perwira
T.R.I, diantaranya Mayor Daan Mogot sendiri.
Untuk mengenangkan para kesuma bangsa yang telah gugur ketika menjalankan
tugas untuk negara, pada bulan Maret 1946, telah diciptakan lagu Pahlawan
Lengkong :
Jauh di sana di balik tembok / Terletak Taman Pahlawan Raya / Terus berjuang di
medan Lengkong / Untuk membela nusa dan bangsa / REFF: Selamat tinggallah
Ibunda / Selamat tinggallah Ayahanda / Ku pergi jauh ke sana / Mencari bahagia //
Sumber : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda, dan pahatan tulisan
Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy; Kompasiana, 25 Januari 2014)
Deskripsi: Saksi Bisu Peristiwa Lengkong, inilah markas tentara Jepang sebelum
dilucuti oleh pasukan Indonesia, di Lengkong Wetan Serpong Tangerang Selatan
Sumber: Tetap berjajar dan berbaris rapi. Pusara peristirahatan terakhir para
syuhada yang gugur saat Peristiwa Lengkong di TMP Taruna, Jalan Daan
Mogot No.1 Tangerang. (Foto: Gapey Sandy)
Sumber: Terdapat tiga makam Pahlawan Tak Dikenal yang juga gugur pada
Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)
Deskripsi :