Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Kerangka Teoritis
1.1.1 Pengertian Belajar
Banyak defenisi yang diberikan para ahli tentang belajar. Winansih (2009) mendefinisikan
belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Menurut Purwanto
(2004) belajar adalah suatu proses edukatif yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang
sepanjang hidupnya yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang
disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikapnya, yang
iteraksinya juga dipengaruhi oleh lingkungan. Suprijono (2010) memaparkan defini belajar menurut
beberapa pakar pendidikan yaitu:
1. Gagne
Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas.
Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang
secara alamiah.
2. Harold Spears
Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow
direction. (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan
mengikuti arah tertentu)
3. Travers
Belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.
Secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku akibat interaksi
individu dengan lingkungan. Belajar menunjuk ke perubahan dalam tingkah laku si subjek dalam
situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang dan perubahan tingkah laku tersebut
tidak dapat dijelaskan atas dasar kecendrungan-kecendrungan respon bawaan, kematangan atau
keadan temporer dari subjek.
2.1.2 Pengertian Pembelajaran
Menurut Gagne, Briggs, dan Wager dalam Rusmono (2012) pembelajaran adalah serangkaian
kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Menurut
Sanjaya (2008) pembelajaran diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam
memanfaatkan segala potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat
dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri
siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction yang banyak dipakai dalam dunia
pendidikan Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik,
yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh
perkembangan siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan
cetak, program televisi, gambar, audio dan lainsebagainya, sehingga semua itu mendorong
terjadinya perubahan peranan guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Pembelajaran
mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang
berbeda. Menurut Suprijono (2010) pembelajaran berdasarkan makna lesikal berarti proses, cara,
perbuatan mempelajari. Perbedaan esensial istilah ini dengan pengajaran adalah pada tindakan ajar.

Pada pengajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan terjadinya
pembelajaran, guru menyediakan fasilitas bagi peserta didiknya untuk mempelajarinya.
Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yang merupakan dialog interaktif, sebuah proses organik
dan konstruktif, bukan mekanis seperti halnya pengajaran.
2.1.3 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan
tujuan khusus yang direncanakan. Hasil belajar mempunyai peran penting dalam proses
pembelajaran.proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru
tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya malalui kegiatan belajar.
Menurut bloom dikutip dari Rusmono (2012) hasil belajar merupakan perubahan perilaku
yang meliputi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif meliputi
tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan memanggil kembali pengetahuan dan
pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan. Ranah afektif meliputi tujuan-tujuan
belajar yang menjelaskan perubahan sikap, minat, nilai-nilai, dan pengembangan apresiasi yang
menunjukkan bahwa siswa telah mempelajari keterampilan manipulatif fisik tertentu.
Merujuk pemikiran Gagne yang diuraikan dalam Suprijono (2010), hasil belajar berupa:
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa baik
lisan maupun tertulis
2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri.
4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan
dan koordinasi.
5. Sikap adalah kemapuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek
tersebut.
Anderson dan Krathwohl (dalam Rusmono, 2012) menyebut ranah kognitif dari taksonomi
bloom merevisi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan.
Dimensi proses kognitif terdiri atas enam tingkatan: (1) ingatan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4)
analisis, (5) evaluasi, dan (6) menciptakan. Sedangkan dimensi pengetahuan terdiri atas empat
tingkatan, yaitu: (1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan prosedural
dan (4) pengetahuan meta-kognitif
Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan
perilaku individu yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Yang harus diingat hasil
belajar merupakan perubahan tingkah laku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi
kemanusiaan saja. Artinya, hasil belajar yang dikategorisasikan oleh pakar pendidikan sebagaimana
tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komperhensif.
2.1.4 Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis telah menjadi suatu istilah yang sangat populer dalam dunia pendidikan.
Karena banyak alasan para pendidik menjadi lebih tertarik mengajarkan keterampilan-keterampilan
berpikir dengan berbagai corak daripada hanya sekedar mengajarkan informasi dan isi.
Sejumlah ahli menyimpulakan bahwa manusia tidak memiliki kecenderungan alami untuk
berpikir kritis. Orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pun sering berpikir sama tidak
kritisnya ketimbang mereka yang memiliki motivasi berprestasi rendah.
Menurut Paul, Fisher dan Nosich (dalam Fisher, 2009) berpikir kritis adalah mode berpikir
mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas

pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran
dan menetapkan standar-standar intelektual padanya. Sedangkan menurut Kauchak dan Eggen
(2012) berpikir kritis adalah kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk membuat dan
melakukan asesmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti.
Glaser dalam Fisher (2009) mendifinisikan berpikir kritis sebagai :
1. Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada
dalam jangkauan pengalaman seseorang,
2. Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis,
3. Semacam suatu keterampilan untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif
berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Menurut Tan (2004) keterampilan berpikir kritis bukanlah kejadian alami, yang datang
secara otomatis, keterampilan berfikir kritis membutuhkan proses, intruksi yang terus menerus dan
praktik dalam mengembangkannya secara maksimal. Kemampuan berpikir kritis tidak akan terjadi
jika tujuan siswa hanya mendapatkan nilai untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Ada empat
komponen dasar dari definisi berpikir kritis yaitu: keterampilan dasar, basis pengetahuan, kemauan
untuk bertanya dan refleksi diri. Hal yang berbeda dinyatakan Kurfiss (1988) bahwa berpikir kritis
merupakan respon rasional untuk pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara definitif dan yang
semua informasi yang relevan mungkin tidak tersedia. Hal ini didefinisikan sebagai penyelidikan
yang tujuannya adalah untuk mengeksplorasi situasi, fenomena, pertanyaan, atau masalah untuk
sampai pada hipotesis atau kesimpulan tentang hal yang mengintegrasikan semua informasi yang
tersedia dan karena itu dapat meyakinkan dibenarkan. Dalam berpikir kritis, semua asumsi terbuka
untuk pertanyaan, pandangan berbeda secara agresif dicari, dan penyelidikan tidak bias mendukung
hasil tertentu. Elder dan Paul (2010) menegaskan bahwa dalam konsep berpikir kritis dapat
dinyatakan dalam berbagai hal tergantung pada tujuan seseorang. Sebuah definisi paling berguna
dalam menilai kemampuan berpikir kritis adalah sebagai berikut: Berpikir kritis adalah proses
menganalisis dan menilai pemikiran dengan maksud untuk meningkatkan itu. Berpikir kritis
mengandaikan pengetahuan tentang struktur paling dasar dalam berpikir (unsur pemikiran) dan
standar intelektual paling dasar untuk berpikir (standar intelektual universal). Elder dan Paul (2006)
menyatakan bahwa hal ini membutuhkan standar yang ketat dari keunggulan dan perintah sadar
penggunaannya. Ini memerlukan komunikasi yang efektif dan pemecahan masalah kemampuan dan
komitmen untuk mengatasi egosentris dan sosiosentris. Oleh karena itu, unsur pemikiran dalam
berpikir kritis adalah: Sudut pandang, Tujuan, Pertanyaan yang dipermasalahkan, Informasi,
Interpretasi dan kesimpulan, Konsep, Asumsi, Implikasi dan Konsekuensi.
Pada dasarnya keterampilan berpikir kritis dikembangkan menjadi indikator-indikator
keterampilan berpikir kritis yang terdiri dari lima kelompok besar yaitu :
1. Memberikan penjelasan sederhana
2. Membangun keterampilan dasar
3. Menyimpulkan
4. Memberikan penjelasan lebih lanjut
5. Mengatur strategi dan taktik
Taksonomi Bloom merupakan salah satu model yang mengintegrasikan antara pengembangan
kemampuan berpikir kritis dengan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan. Model tersebut

sangat populer terutama dalam menentukan level berpikir yang meliputi: ingatan, pemahaman,
penerapan, analisis, evaluasi, dan kreasi.
Strategi lain pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat pendidik lakukan melalui
pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Model pendekatan ini dapat dirumuskan dalam
beberapa variabel berikut: (1) Tujuan; (2) Kata Kunci Permasalahan; (3) Menyikapi Masalah; (4)
Sudut Pandang; (5) Informasi; (6) Konsep (7) Asumsi; (8) Alternatif pemecahan masalah; (9)
Interpretasi; (10) Implikasi. Strategi ini digunakan untuk menjawab tantangan yang diajukan
Kurfiss (1988) berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, yakni: logika formal, konstruksi makna,
dan perkembangangan intelektual. Oleh karena itu, Lai (2011) menyarankan agar dalam penilaian
berpikir kritis diarahkan dalam bentuk Penilaian berbasis kinerja, yang dipandang sebagai
representasi yang lebih valid dari konstruk, rentan terhadap keandalan yang rendah dan kurangnya
generalisasi seluruh tugas ketika pengembangan tugas dan administrasi tidak bisa dibakukan.
Bloom (dalam Filsaime, 2008) mendaftar enam tingakatan berpikir kritis dari tingkatan
berpikir kritis yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Penilaian berpikir kritis selalu
mengacu pada teori Bloom. Menurut Bloom seseorang harus menguasai satu tingkatan berpikir
sebelum dia menuju tingkatan atas berikutnya. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir
konvergen yaitu menuju ke satu titik dan berpikir kritis dapat dikatakan sesuai dengan ranah
kognitif pada tingkat hapalan/pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisi
(C4). Konsep ranah tersebut mengalami perbaikan seiring perkembangan dan kemajuan zaman
serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi
Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi
Taksonomi Bloom. Dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori kata benda menjadi
kata kerja. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir, analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi
analisis saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena
Lorin memasukan kategori baru yaitu Creating (menciptakan) yang sebelumnya tidak ada.
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui
penemuan indikator dalam defenisi berpikir kritis yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis,
mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Menurut defenisi
yang diungkapkan terdapat empat kegiatan atau perilaku yang mengidentifikasikan kemampuan
berpikir kritis yang diacu dalam penelitian ini dijelaskan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
No
Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
1. Kemampuan
Kemampuan menguraikan sebuah struktur ke
menganalisis
dalam komponen-komponen agar mengetahui
pengorganisasian struktur. Dalam kemampuan
tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah
konsep global dengan cara menguraikan atau
merinci globalisasi terseut ke dalam bagian-bagian
yang lebih kecil dan terperinci. Pernyataan analisis,
menghendaki agar pembaca mengidentifikasi
langkah-langkah logis yang digunakan dalam
proses berpikir hingga sampai pada sudut
kesimpulan.
2. Kemampuan
Kemampuan mensintesis merupakan kemampuan
mensintesis
yang
berlawanan
dengan
keterampilan

3.

Kemampuan
mengenal
permasalahan
pemecahannya.

Kemampuan
menyimpulkan

menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah


keterampilan
menggaungkan
bagian-bagian
menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru.
Pernyataan sintesis diperoleh dari materi bacanya,
sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang
tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam
bacaannya. Pernyataan sintesis ini memberikan
kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol.
Kemampuan ini merupakan kemampuan aplikatif
konsep kepada beberapa pengertian baru.
dan Keterampilan ini menuntut pembaca untuk
memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah
kegiatan membaca selesai siswa mampu
menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, dan
mampu mempola sebuah konsep. Tujuan
kemampuan ini bertujuan agar pembaca mampu
memahami dan menerapkan konsep-konsep ke
dalam permasalaha atau ruang lingkup baru.
Kemampuan menyimpulkan ialah kegiatan pikiran
manusia
berdasarkan
pengertian/pengetahuan
(kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak
mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran yang
baru. Kemampuan ini menuntut pembaca untuk
mampu menguraikan dan memahami berbagai
aspek secara bertahap agar sampai kepada satu
formula baru yaitu suatu simpulan. Proses
pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh
dua cara, yaitu induktif dan deduktif. Jadi
kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang
memperdayakan pengetahuannya sedemikian rupa
untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau
pengetahuan yang baru.

2.1.5 Pengertian Model Pembelajaran


Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas maupun tutorial. Menurut Arends (2004), model pembelajaran mengacu pada
pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap
dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
Adapun menurut Suprijono (2010) model pemnelajaran adalah pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas maupun tutorial. Melalui model pembelajaran,
guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir dan
mengeksperesikan ide.
Secara umum model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan untuk mendukung proses belajar mengajar.

2.1.6 Model Pembelajaran Konvensional


Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang lazim diterapkan dalam
pembelajaran sehari-hari yang sudah terbiasa dilakukan di kelas, sifatnya berpusat pada guru dan
kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar. Pembelajaran konvensional itu bersifat teoritis
dan abstrak, tindakan atau perilaku guru didasarkan pada faktor luar dirinya, misalnya individu
melakukan sesuatu karena takut hukuman atau untuk memperoleh nilai yang bagus dari guru. Guru
merupakan penentu jalannya pembelajaran, pembelajaran berlangsung di kelas dan keberhasilan
hanya diukur dari tes.
Defenisi model pembelajaran konvensional dalam konteks ini ialah model pembelajaran yang
secara umum digunakan di lapangan, guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks,
dengan mengutamakan metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Model pembelajaran
konvensional dinilai memiliki banyak kelemahan, karena siswa menjadi terbiasa untuk pasif, guru
memiliki peranan yang sangat dominan, dan perbedan kemampuan individual siswa terabaikan.
Sebenarnya guru telah melakukan variasi metode di dalam proses pembelajaran, namun variasi
metode yang dilakukan guru tersebut belum terprogram dengan baik.
2.1.7 Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Selama proses pembelajaran di sekolah, siswa tidak hanya sekedar mendengarkan ceramah
guru atau berperan serta dalam diskusi, tetapi siswa juga diminta menghabiskan waktunya di
perpustakaan, di situs web atau terjun di tengah-tengah masyarakat. Menurut Dewey (dalam
Rusmono,2012) sekolah merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan
nyata,karena setiap siswa memiliki kebutuhan untuk menyelidiki lingkungan mereka dan
membangun secara pribadi pengetahuannya. Eggen dan Kauchak (2012) mendifinisikan
pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu model pengajaran yang menggunakan masalah
sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah,materi (konten) dan
pengendalian diri.
Strategi pembelajaran berbasis masalah menawarkan kebebasan siswa dalam proses
pembelajaran. Pannen (2001) mengatakan dalam strategi pembelajaran dengan PBL siswa
diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi
permasalahan, mengumpulkan data dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah.
Menurut Rusmono (2012) strategi pembelajaran berbasis masalah adalah stategi yang dimulai
dengan : (1) kegiatan kelompok, yaitu membaca kasus; menentukan masalah mana yang paling
relevan dengan tujuan pembelajaran; membuat rumusan masalah; membuat hipotesis;
mengidentifikasi sumber informasi, diskusi, dan pembagian tugas dan melaporkan , mendiskusikan
penyelesaian masalah yang mungkin, melaporkan kemajuan yang dicapai setiap anggota kelompok
serta presentasi dikelas; (2) kegiatan perorangan, yaitu siswa melakukan kegiatan membaca
berbagai sumber, meneliti dan menyampaikan temuan; (3) kegiatan di kelas yaitu
mempresentasikan laporan dan diskusi antar kelompok di bawah bimbingan guru.
Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah menurut Baron (2003) adalah : (1) menggunakan
permasalah dalam dunia nyata, (2) pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah, (3) tujuan
pembelajaran ditentukan oleh siswa dan (4) guru berperan sebagai fasilitator.
Eggen dan Kauchak (2012) menjelaskan beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam
merencanakan pembelajaran berbasis masalah, yaitu dimulai dari menentukan tujuan belajar, selain
memahami konsep pelajaran yang diberikan, salah satu tujuan terpenting dalam menerapkan model
ini adalah untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan pembelajaran kemandirian

(self-direction). Langkah kedua yaitu mengidentifikasi masalah, dalam memilih masalah guru harus
berusaha menentukan apakah siswa- siswa memiliki cukup banyak pengetahuan awal untuk secara
efektif merancang satu strategi demi memecahkan masalah tersebut. Langkah yang terakhir adalah
mengakses materi, guru harus mempertimbangan kondisi agar siswa memahami apa yang harus
mereka lakukan, dan mereka harus memiliki akses luas untuk memperoleh materi-materi yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
Tahap-tahap dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah menurut Nuh dalam
Rusmono (2012) terlihat pada tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap Pembelajaran
Perilaku Guru
Tahap 1:
Guru menginformasikan tujuan-tujuan
Mengorganisasi
siswa
kepada pembelajaran,
mendeskripsikan
masalah
kebutuhan-kebutuhan
logistik
penting, dan memotivasi siswa agar
terlibat dalam kegiatan pemecahan
masalah yang mereka pilih sendiri
Tahap 2:
Gruru membantu siswa untuk
Mengorganisasi siswa untuk belajar
menentukan dan mengatur tugastugas belajar yang berhubungan
dengan masalah itu
Tahap 3:
Guru mendorong siswa untuk
Membantu penyelidikan mandiri dan mengumpulkan
informasi
yang
kelompok
sesuai, melaksanakan eksperimen,
mencari penjelasan dan solusi
Tahap 4:
Guru membantu dalam merencanakan
Mengembangkan
dan dan menyiapkan hasil karya yang
mempresentasikan hasil karya serta sesuai seperti laporan., rekaman
pameran
video, dan model, serta membantu
mereka berbagi karya mereka
Tahap 5:
Guru membantu siswa melakukan
Menganalisis
dan
mengevaluasi refleksi atas penyelidikan dan prosesproses pemecahan masalah
proses yang mereka gunakan.
Hasil belajar dari pembelajaran berbasis masalahadalah peserta didik memiliki keterampilan
penyeliddikan . peserta didik mempunya keterampilan mengatasi masalah. Peserta didik
mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa. Peserta didik dapat menjadi pembelajar
yang mandiri dan independen. Menurut Suprijono (2010) hal yang tidak kalah esensiil sebagai hasil
pembelajaran berbasis masalah adalah keterampilan berfikir tingkat tinggi. Ciri-ciri berpikir tingkat
tinggi adalah:
1. Bersifat nonalgoritmik, artinya jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya
2. Bersifat kompleks, artinya mampu berpikir dalam berbagai perspektif atau mampu
menggunakan sudut pandang.
3. Banyak solusi, artinya mampu mengemukakan dan menggunakan berbagai soslusi.
4. Melibatkan interpretasi.
5. Melibatkan banyak kriteria.

6. Melibatkan ketidakpastian, artinya tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang
ditangani telah diketahui.
7. Melibatkan pengaturan diri proses-proses berpikir.
8. Mampu mengidentifikasi pola pengetahuan.
9. Membutuhkan banyak usaha.
Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pembelajaran berbasis masalah hars ditandai oleh
keterbukaan, keterlibatan aktif peserta didik dan atmosfer kebebasan intelektual, penting pula
mempertimbangakan hal-hal seperti situasi multitugas yang akan berimplikasi pada jalannya
proses investigasi, tingkat kecepatan yang berbeda dalam penyelesaian masalah, pekerjaan
peserta didik, dan gerakan dan perilaku di luar kelas.
2.1.8 Teori Belajar yang Mendukung Model PBM
Teori belajar konstruktivisme mendukung model pembelajaran berbasis masalah. Menurut
teori kontruktivisme pengetahuan adalah hasil konstruksi dari kegiatan dan tindakan seseorang,
Setiap pengetahuan mengandaikan suatu interaksi dengan pengalaman. Yanpa interaksi dengan
objek, seseorang tidak dapat mengkonstruksi pengetahuan.
Konstruktivisme beraksentuasi belajar sebagai proses operatif, bukan figuratif. Belajar
operatif adalah belajar memperoleh dan menemukan stuktur pemikiran yang lebih umum yang
dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Belajar operatif tidak hanya menekankan pada
pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang apa), namun juga pengetahuan struktural
(pengetahuan tentang mengapa) serta pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang
bagaimana).
Dale (2012) menjelaskan prinsip-prinsip kontruktivisme mengusulkan sejumlah metode yang
sangat membantu penggunaan kontruktivisme di kelas. Ini termasuk modelling (menunjukkan
kepada murid tentang bagaimana cara melakukan atau memikirkan tentang tugas yang sulit),
scaffolding (menyediakan banyak dukungan pada awal belajar), coacing (membantu murid ketika
mereka sedang menyelesaikan sebuah masalah), artikulasi (meminta murid mengekspresikan ideidenya, refleksi (meminta murid melakukan refleksi terhadap aktivitas-aktivitasnya), kolaborasi
(dengan murid-murid lain), kegiatan eksplorasi dan mengatasi masalah, memberii pilihan kepada
murid yang mendorong murid untuk menghasilkan beragam opsi dan jawaban, serta bersikap
fleksibel dan adaptif dan bukan mengikuti rencana pelajaran yang telah ditetapkan secara kaku.
2.2

Kerangka Konseptual
Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang optimal dengan menerapkan berbagai
model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan prestasi belajar siswa
terhadap mata pelajaran khususnya fisika,
Dalam pembelajaran fisika, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam
mengajarkan suatu pokok bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan materi
yang diajarkan, karena melihat kondisi siswa yang mempunyai karakteristik yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya dalam menerima materi pelajaran yang disajikan guru di kelas, ada siswa
yang mempunyai daya serap cepat dan ada pula siswa yang mempunyai daya tanggap yang lama.
Menyikapi kenyataan ini, penulis menilai perlu digunakan model pembelajaran berbasis
masalah. Berbeda dengan model lain yang memberikan penekanan pada presentasi ide dan
demonstrasi keterampilan, pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari guru mempersentasikan
situasi masalah kepada siswa dan membuat mereka melakukan penyelidikan dan menemukan
penyelesaian masalah oleh mereka sendiri.

Pengetahuan yang mendasarkan pada pembelajaran berdasarkan masalah adalah kaya dan
kompleks. Beberapa meta analisis yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir membuat
gambaran yang agak jelas tentang efek pembelajaran utama model ini, yang membantu siswa
mengembangkan keterampilan penyelidikan, memperoleh pengalaman tentang peran orang dewasa
dan meningkatkan rasa percaya diri dalam kemampuan berfikir. Lingkungan belajar pembelajaran
berdasarkan masalah ditandai dengan keterbukaan siswa aktif terlibat, dan atmosfir kebebasan
intelektual yang mampu meningkatkan kemapuan berpikir dan prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Ruwanto, Bambang, (2007), Fisika 1, Yudhistira, Jakarta.
Baron,
Leora.
2003.
Problem
(http://www.academy@fiu.edu/atresourcesttqt.html)

base

learning,

p.1,

Bloom, benjamin S. Taksonomi of educational objectives. 1979 London: Longman Inc.,


Eggen, Paul dan Don Kauchak. Strategi dan Model Pembelajarn. 2012. Indeks: Jakarta
Elder, L dan Paul, R. 2006. The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. The
Foundation
for
Critical
Thinking.
www.criticalthinking.org.
707-878-9100
cct@criticalthinking.org
Elder, L dan Paul, R. 2010. Critical Thinking: Competency Standards Essential for the Cultivation
of Intellectual Skills, Part 1. Journal of Developmental Education.
Ennis, Robert H. Critical Thinking. 1996. Critical Thinking. Prentice-Hall, Inc. USA.
Filsaime, D. K. Menguak Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif. Prestasi Pustakarya: Jakarta
Fisher, Alec. Berpikir Kritis. 2009. Erlangga: Jakarta
Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika. Erlangga: Jakarta
Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa University
Press
Used With Sensitivity toLai, E. R. 2011. Critical Thinking: A Literature Review Research Report.
PEARSON
Kanginan, Marthen. 2007. Fisika untuk SMA Kelas X. Erlangga : Jakarta

Kurfiss, J. G. 1988. Critical Thinking: Theory, Research, Practice, and Possibilities. ASHE-ERIC
Higher Education Report No. 2. Association for the Study of Higher Education: ERIC
Clearinghouse on Higher Education, Washington, D.C.
Paulin, Pannen, dkk. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Edisi 1.2001. Penerbit UT.Jakarta
Purwanto, N. Psikologi pendidikan. 1992. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung
Rusmono. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning. 2012.Ghalia Indonesia: Bogor
Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. 2008. Kencana: Jakarta
Schunk. Daleh H. Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. 2012. Pustaka pelajar:
Yogyakarta
Sudjana. Metode Statistika. 2005. Tarsito: Bandung.
Suprijono, Agus. Cooperative Learning. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Tan, Oon-Seng. Enhancing Thinking Through Problem Base Learning Approaches. 2004. Cengage
Learning: Singapura
Winansih, Varia. Psikologi Pendidikan. 2009. La Tansa Press: Medan

Anda mungkin juga menyukai