Anda di halaman 1dari 9

MODUL 4

ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO


I.

Tujuan
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat mellui saluran

II.
III.

penceernaan secara in vitro


Prinsip
Teori dasar
Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas

farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor
mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute
masuk obat, aliran darah ketempat pemberian, fungsi saluran pencernaan
(Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams,
2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati
sawar biologic. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya
menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai
tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai
membran sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein
yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988).
Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis.
Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi.
Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan
gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat masuk keperedaran
sistemik (Joenoes, 2002).
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif
melalui membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah
yang larut dalam lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik
absorpsinya sampai suatu absorpsi optimum tercapai. Obat-obat yang digunakan
sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan

membran.

Membran sel lebih permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan dari

pada bentuk obat yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan
pKa obat seperti terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut :

(Watson, 2007).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi).

Bila

pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi
dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara
keseluruhan (Joenoes, 2002).
Faktor-faktoryang mempengaruhi absorpsi obat
a. Ukuran partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang
kontak dengan cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut
b. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
1.
2.
3.
4.
c.

Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat


Sifat fisik: modifikasi fisik obat
Prosedur dan teknik pembuatan obat
Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien
Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat.
1. Temperatur
2. pKa dan derajat ionisasi obat (Joenoes, 2002).

Mekanisme Lintas Membran

Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi


mekanisme pasif dan aktif (Syukri, 2002).
a. Difusi pasif melalui pori
Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat
melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus
halus dan lain-lain) berukuran kecil yaitu 4-7 dan hanya dapat dilalui oleh
senyawa dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk
senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika senyawanya terdiri atas rantai
panjang (Syukri, 2002).
b. Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun
membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau
elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan pada
kedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan
tersebut mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002).
c. Tranpor aktif
Transpor

aktif

suatu

molekul

merupakan

cara

pelintasan

transmembran yang sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif
diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul obat dapat
membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi
membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu
pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri, 2002).
Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu
kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu
dapat terjadi persaingan beberapa molekul berafinitas tinggi yang menghambat
kompetisi transpor dari molekul berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi
membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan
konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisis
adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002).

d. Difusi terfasilitasi

Difusi ini merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu


pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).
Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi pada transpor
ini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi
(Syukri, 2002).
e. Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekulmolekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi
dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).
f. Transpor oleh pasangan ion
Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari
suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan
terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan
senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya
difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002).
Studi absorpsi in vitro dimaksudkan untuk memperoleh informasi
tentang

mekanisme

absorpsi

suatu

bahan

obat,

tempat

terjadinya absorpsi yang optimal, permeabilitas membrane saluran pencernaan


terhadap berbagai obat, serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu
obat.
Uji Permeasi Usus Terbalik
Biasanya menggunakan usus tikus kecil untuk parameter kinetic
menentukan transportasi yang handal dan direproduksi. Metode ini mutlak
diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan kelangsungan jaringan
usus yang hanya berlangsung selama maksimal 2 jam. Awalnya, studi ini hanya
digunakan untuk mempelajari pengangkutan molekul makro dan liposom, namun
kini telah mengembangkan penelitian untuk transportasi para seluler obat obat
yang hidrifil dan mempelajari efek dari enhancer dalam penyerapan obat.
Keuntungan dari metode ini adalah karena dapat digunakan untuk
menentukan transportasi di berbagai segmen dari usus kecil, sebagai studi awal
untuk transportasi obat, dan untuk memperkirakan tingkat level first pass
metabolism obat pada sel epitelusus. Sementara kerugian adalah karena adanya

mukosa muskularis menyebabkan obat untuk berpindah dari lumen kedalam


lamina propria dan menembus mukosa muskularis, menyebabkan obat obat
tertentu dapat terikat dengannya dan menyebabkan transportasi lebih rendah dari
yang seharusnya diukur (Keperawatan, 2011).
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus (Rattusnor vegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relative sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattusnor vegicus antara lain memiliki
berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,
kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relative kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm.
Usus Halus
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada
manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen
dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk sepertihuruf C
yang mengitari pancreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang
terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak
bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus
halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus
terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan
serosa (Leeson et al. 1990).
Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis
mukosa. Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan berbentuk jari yang disebut vili
yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili
terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada
usus halus jugater dapat sel goblet yang menghasilkan mucus sebagai pelindung
mukosa usus.
Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies
mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014
mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut,
dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membrane mukosa terjadi di bagian

distal usus halus dan di bagian proksimal kolon. Membran mukosa dalam suatut
ubuh berkontak langsung dengan lingkungan luar dan membrane mukosa juga
terkolonisasi oleh mikroorganisme yang berbeda dalam jumlah yang besar.
IV.

Alat dan bahan

Alat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi


Spektrofotometer
Water-Bath
TimbanganAnalitik
pH Meter
Alat-alat untuk operasi
Alat-alatgelas

Bahan
1. Hewan percobaan (Tikus putih jantan)
2. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2), Cairan usus buatan tanpa
3.
4.
5.
6.
7.
8.
V.
5.1

pankreatin (pH 7,5)


Larutan NaCl 0,9% b/v
CTM
Eter
Gas Oksigen
Alkohol
Seng Sulfat dan Barium Hidroksida
Prosedur
Pembuatan Kurva Baku
125 mg CTM standar ditambahkan air hingga 500 mL. Kemudian dibuat

menjadi konsentrasi 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30 ppm, dan 40 ppm. Masingmasing larutan dimasukkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke alat
spektrofotometer uv-vis di panjang gelombang 297 nm. Lalu diukur masingmasing absorbansinya. Setelah itu dilakukan perhitungan dan dibuat kurva
kalibrasinya.
5.2

Penentuan Absorpsi Pada Usus Halus Tikus


Hewan percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tetapi diberi minum air

masak. Lalu tikus dibunuh dengan eter, kemudian dibuka perutnya di


sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan. Setelah itu, usus sepanjang 15 cm

di bawah pylorus dibuang dan 20 cm di bawahnya dipotong untuk percobaan.


Lalu usus dibagi dua sama panjang dan dibersihkan. Bagian anal digunakan
sebagai kontrol sedangkan ujung anal dari potongan usus tersebut diikat dengan
benang. Kemudian dengan menggunakan pinset usus tersebut dibalik sehingga
bagian mukosa terletak di luar.
Usus diisi dengan larutan NaCl 0,9% b/v sebanyak 1,4 ml. Lalu usus yang
sudah diisi NaCl dan diikat, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi cairan
mukosal pH 1,4 sebanyak 75 ml (yang mengandung bahan obat) pada suhu 37 oC.
Perlakuan ini diulangi dengan tabung yang berisi cairan mukosal pH 7,4 (yang
mengandung bahan obat) dan untuk kontrol menggunakan cairan mukosal pH 1,2
dan pH 7,4 juga tetapi tanpa bahan obat. Obat yang akan diuji dalam percobaan
ini adalah CTM. Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar
dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan
kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit. Untuk larutan uji (berisi CTM) tiap
5, 10, dan 15 menit, cairan serosal diambil melalui kanula yang dimasukkan ke
dalam vial kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml NaCl 0,9% b/v. Untuk kontrol
(tanpa asetosal), setelah 5 menit cairan serosal diambil melalui kanula dan
dimasukkan ke dalam vial. Melalui percobaan ini akan dihasilkan 6 vial berisi
sampel yang akan dianalisis.
5.3

Analisis CTM dengan Spektrofotometer UV


Sebanyak 1 ml dari tiap vial diambil kemudian ditambahkan dengan 2 ml

larutan seng sulfat 5% dan 2 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan
disentrifugasi selama 5 menit. Lalu, bagian yang jernih diambil dan dibaca
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 297
nm. Setelah itu, dibuat grafik hubungan antara jumlah dan kadar obat yang
ditranspor, dihitung permeabilitas dan lag timenya serta dihitung tetapan
kecepatan absorpsi (Ka) nya.
VI.

Data pengamatan
Larutan baku dan kurva baku
a. Larutan baku (CTM) = 250 ppm ( dalam 500 ml)
b. Kurva baku
100 ppm x 100 ml
= 250 ppm x v
V
= 10.000/ 250
V
= 40 ml
1. 15 ppm x 10 ml
= 100 ppm x v

V
2.
3.
4.
5.

= 1,5 ml
= 2 ml
= 2,5 ml
= 3 ml
= 4 ml

20 ppm
25 ppm
30 ppm
40 ppm

Konsentrasi
15 ppm
20 ppm
25 ppm
30 ppm
40 ppm

Absorbansi
0,214
0,249
0,302
0,348
0,466

Tabel pH 7,4 (basa) kel 4


1. Sampel positif
waktu A

5
10
15
20
25
30

0,247
0,263
0,275
0,292
0,318
0,332

ppm

24,65
26,25
27,45
29,15
31,75
33,15

Mg

Mg

Rata rata %

terdisolusi terkoreksi

terkoreks

mg

3,70
3,90
4,12
4,37
4,76
4,97

0
0,069
0,072
0,077
0,081
0,088

i
3,70
3,969
4,192
4,447
4,841
5,058

terkoreksi
2,60
2,52
2,79
3,39
4,0
4,40

Mg

Rata rata %

terdisolusi terkoreksi

terkoreks

mg

1,35

i
1,35

terkoreksi
2,60

37
39,69
41,92
44,47
48,41
50,58

2. Sampel negatif
waktu
5
10
15
20
25
30

A
0,184
0,205
0,207
0,208
0,211
0,301

Tabel pH 7,4 (basa) kel 3


1. Sampel positif
waktu A

0,141

ppm

Mg

13,5

10
15
20
25
30

0,150
0,163
0,205
0,259
0,297

9,9
9,2
15,4
20,8
24,6

1,48
1,38
2,31
3,12
3,69

0,025
0,027
0,025
0,052
0,058

1,505
1,407
2,335
3,162
3,748

2,52
2,79
3,39
4,0
4,40

15,05
14,07
23,35
31,62
37,48

2. Sampel negatif
waktu
5
10
15
20
25
30

A
0,178
0,185
0,195
0,201
0,248
0,332

VII. Pembahasan
VIII. Kesimpulan
IX.

Daftar pustaka

Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters
Kluwer Health, Lippincott Williams Wilkins.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta. Departemen Kesehatan.
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University
Press.
Leeson, C.R., T.S. Lesson, dan A.A. Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya. Airlangga University Press.
Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.
Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai