Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Fraktur Femur Kanan, serta Bagaimana Konsep
Fraktur dan Konsep Teori Tentang Nyeri
Oleh :
Kelompok 3
Anggota kelompok :
Risman saputra
910312910106. 157
Rosmayasari
910312910106. 167
Aris ardianto
910312910106. 158
Hastuti
910312910106. 168
910312910106. 159
Rosalinda
910312910106. 169
Esti yunita
910312910106. 160
Isra Aryani
910312906105. 172
Sarkasinur
910312910106. 161
Santiyani
910312910106. 170
Feriyanto
910312910106. 162
Ongalia nely
910312906105. 171
910312910106. 163
910312906105. 173
Niwis safitri
910312910106. 164
S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna
Tahun Ajaran 2011 / 2012
Fraktur adalah Discontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya di
sebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak (Bernard Bloch,
1986).
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya
(Harnowo, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Arif, 2000).
B. KLASIFIKASI KLINIS
1. Fraktur dahan patah (Greenstick fracture) :
Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkok
Terjadi pada anak-anak, tulang patah dibawah lapisan periosteum yang elastis
dan tebal (lapisan periosteum itu sendiri tidak rusak)
2. Fissura fraktur :
4. Communited fracture :
6. Impacted fracture :
Fragmen-fragmen tulang terdorong masuk kearah dalam tulang satu sama lain,
sehingga tidak dapat terjadi gerakan diantara fragmen-fragmen itu
Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Nyeri tekan saat dipalpasi akan terlihat pada daerah fraktur (tenderness). Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
Krepitasi/krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat)
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bias baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru
tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan
saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan
pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut. Bila berdasarkan pengamatan klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah
sebagai fraktur sampai terbukti lain.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang).
b) Tomografi, CT Scan, MRI (jarang).
c) Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotope. (scan tulang terutama berguna
ketika radiografi / CT Scan memberikan hasil negative pada kecurigaan fraktur secara
klinis).
E. KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Komplikasi segera
Lokal :
- kulit : abrasi, laserasi, penetrasi
- pembuluh darah : robek
- sistem syaraf : sumsum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik
- otot
- organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa, kandung kemih
Umum :
- ruda paksa multipel
- syok : hemoragik, neurogenik
2. Komplikasi dini
Lokal :
- nekrosis kulit, gangren, osteomyelitis, dll
Umum :
- ARDS, emboli paru, tetanus
3. Komplikasi lama
Lokal :
- sendi : ankilosis fibrosa, dll
- tulang gagal taut/taut lama/salah taut
- patah tulang ulang
- osteomyelitis, dll
- otot/tendo: ruptur tendo, dll
- syaraf ; kelumpuhan saraf lambat
Umum :
- batu ginjal (akibat imobilisasi lama ditempat tidur)
F. PENATALAKSANAAN FRAKTUR
1. Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada
masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
2. Penatalaksanaan kedaruratan
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai
adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien
dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan
lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang
panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai
bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk
menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi
cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa
mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
3. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan
peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan
yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation).
Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang
lazim dilakukan :
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.
4. Prinsip penanganan fraktur
b. Imobilisasi,
Tabel.1. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang fraktur
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
sinar-x
10-12
3
Supra kondiler
8-12
Batang
Proksimal (impaksi)
6-8
Proksimal (dengan
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
pergeseran)
Klavikula
Vertebra
Pelvis
Femur :
6-10
16
6
24
Intrakapsuler
10-12
Intratrokhanterik
18
Batang
12-15
Suprakondiler
Tibia :
8-10
Proksimal
14-20
Batang
Maleolus
Kalkaneus
Metatarsal
12-16
6
14.
c. Rehabilitasi,
Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot dan di dalam
lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh latihan ekstremitas
yang
patah
tulang
tidak
mengganggu,
bahkan
dapat
merangsang
perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang ditangani gips
maupun traksi.
2. Infeksi
5. Interposisi
Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah tulang
dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan tulang
Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh kelebihan
traksi atau karena tonus dan tarikan otot.
6. Kehilangan tulang
7. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang
8. Keganasan local
9. Penyakit tulang metabolic (mis; penyalit paget)
10. Radiasi (nekrosis radiasi
11. Nekrosis avaskuler
12. Fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis
bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendala
13. Usia (lansia sembuh lebih lama)
14. Kortikosteroid (menghambat kecepata perbaikan)
b. Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur
a. Imobilisasi fragmen tulang
b. Kontak fragmen tulang maksimal
c. Asupan darah yang memadai
d. Nutrisi yang baik
e. Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang
f. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid anabolic
g. Potensial listrik pada patahan tulang
Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat perjalanan penyakit
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
c. Palpasi
Rencana Keperawatan
Diagnosa 1
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
Intervensi
Indenpenden:
Diagnosa 2
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab,
stress, dan cemas
Intervensi
Independen:
a) Mengkaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan
menggunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan immobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
Kolaborasi:
a. Pemberian obat-obatan analgesik
Rasional
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindak
annya.
Kolaborasi:
a) Konsul dengan bagian fisioterapi Pasien akan membatasi gerak karena salah
persepsi (persepsi tidak proposional)
b) Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian,
meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam
mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi
Ca yang tidak digunakan.
d) Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam
e)
Rasional:
a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat
menentukan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses
penyembuhan sehingga keterlambatan penyembuhan disebabkan oleh
penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu
menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau keluarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawatan mandiri memberi support untuk
mandiri.
e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun)
sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien
koopratif.
A. PENGERTIAN NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan
B. FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh
yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,
karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor
ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.
BAGAN.
Stimulus
Kerusakan jaringan
Aktivasi nosireseptor
Respon Nyeri
D. RESPON PSIKOLOGIS
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang
terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan
nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.
Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih
atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks
dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap
nyeri.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan
nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah
kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika
ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi
nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
H. INTENSITAS NYERI
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri
itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas
nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai
nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca
dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala
menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter, 2005).
: Tn.Ridwan
Umur
: 35 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
2) Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri seperti teriris pada kaki kanan terutama bagian paha
dan klien tidak bisa menggerakkan kaki kanannya.
Sifat keluhan
: terus-menerus
Lokasi
4) Keluhan lain
TD
: 120/80 mmHg
: 98 X / menit
: 37 C
: 24 X / menit
5. Pemeriksaaan penunjang
B. Klasifikasi data
1. Data subjektif :
2. Data objektif :
Vital sign :
TD: 120/80 mmHg
N : 98 X / menit
S : 37 C
P : 24 X / menit
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Analisa data
NO
1.
SYMPTOM
Data subjektif :
ETIOLOGI
Fraktur
PROBLEM
nyeri
Data objektif :
2.
Data subjektif :
Data objektif :
Nyeri
Hambatan
mobilitas fisik
digerakkan.
Fraktur
Trauma jaringan
Adanya luka
Nyeri
DIAGNOSA
Nyeri b/d fraktur dan
TUJUAN
INTERVENSI
Setelah dilakukan Asuhan Manajemen nyeri :
kerusakan jaringan
keperawatan
otot
kenyamanan
klien
komprehensif
meningkat,tingkat
nyeri
termasuk lokasi,
jam
tingkat
terkontrol dg KH:
Klien
nyeri
karakteristik,
melaporkan
berkurang
durasi, frekuensi,
dg
scala 2-3
presipitasi.
Observasi reaksi
nonverbal dari
ketidak nyamanan.
dan tidur
Gunakan teknik
komunikasi
terapeutik untuk
mengetahui
pengalaman nyeri
klien sebelumnya.
Kontrol faktor
lingkungan yang
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan.
Kurangi faktor
presipitasi nyeri.
(farmakologis/non
farmakologis).
Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
Evaluasi tindakan
pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi dengan
dokter bila ada
komplain tentang
pemberian
analgetik tidak
berhasil.
Administrasi analgetik :.
Cek program
pemberian
analgetik; jenis,
dosis, dan
frekuensi.
Tentukan analgetik
pilihan, rute
pemberian dan
dosis optimal.
Berikan analgetik
tepat waktu
Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan
gejala efek
2.
samping.
Terapi ambulasi
Hambatan mobilitas
Setelah dilakukan
perawatan terjadi
fraktur.
peningkatan Ambulasi
pasien dalam
:Tingkat mobilisasi,
melakukan
Perawtan diri Dg KH :
ambulasi
Peningkatan
aktivitas fisik
Kaji kemampuan
Kolaborasi dg
fisioterapi untuk
perencanaan
ambulasi
Ajarkan pasien
berpindah tempat
secara bertahap
Evaluasi pasien
dalam kemampuan
ambulasi
Pendidikan kesehatan
Berikan
reinforcement
positip atas usaha
yang dilakukan
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen's Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
2. Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,
1999.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
4. Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
5. Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta,
1992.
6. Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
7. Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B.
Saunder Company, 1995.
8. Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
9. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
10. Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2000.
11. Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
12. Pley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
13. Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
14. Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC.
15. Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta :
Djambatan.
16. Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan.
17. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC.