Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Humanistik

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

pendekatan pengembangan kurikulum berbasis humanistik, akademik,

teknologi, dan rekonstruksi sosial


Filed under: Uncategorized naanaaolayforever @ 11:11 am
BAB I
PENDAHULUAN
1. A.

Latar Belakang

Menurut beberapa ahli, kurikulam adalah sebagai alat untuk transmisi kebudayaan, transformasi
pribadi peserta didik dan transaksi dengan masyarakat. Dan menurut pandangan Einser,
kurikulum sebagai pengembangan proses kognitif, teknologi, humanistik, atau aktualisasi diri
peserta didik, rekonstruksi sosial dan akademis.
Jika pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas, melestarikan nilai-nilai serta membekali
kemampuan produktif, maka model kurikulum yang tepat adalah menggunakan pendekatan
akademik, teknologik, dan pendekatan humanistik.
1. B.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Humanistik?
2. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Rekonstrusi sosial?
3. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Akademik?
4. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Teknologik?
5. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Kompetensi?
6. Bagaimana pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Life skill?
7. Bagaimana perbandingan tiap-tiap kurikulum tersebut?

2. C.

Tujuan

Agar mengetahui:
1. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Humanistik
2. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Rekonstrusi sosial
3. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Akademik
4. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Teknologik
5. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Kompetensi
6. pendekatan pengembangan kurikulum berbasis Life skill
7. perbandingan tiap-tiap kurikulum

BAB II
PEMBAHASAN
1. A.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Humanistik

Bertolak dari ide memanusiakan manusia. Penciptaan konteks yang akan memberikan peluang
manusia untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar
filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan[1].
Suatu asumsi menyatakan peserta didik adalah faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan.
Ia dapat menjadi subjek yang menjadikan pusat kegiatan pendidikan, dan mempunyai
kemampuan, potensi dan kekuatan untuk berkembang. Oleh karena itu, tugas pendidik hanya
menciptakan situasi yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan
mengembangkan pemecahan sendiri.
Karakteristik kurikulum model humanistik berfungsi menyediakan pengalaman yang berharga
bagi peserta didik dan membantu kelancaran perkembangan pribadi peserta didik. Hal tersebut
menyebabkan ia berkembang dinamis searah dengan pertumbuhannya, mempunyai integritas dan
otonomi kepribadian, dan sikap yang sehat terhadap diri sendiri. Jadi, kurikulum model
humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk menciptakan unsur kreativitas,
spontanitas, kemandirian, kebebasan, aktivitas, pertumbuhan diri, termasuk keutuhan anak
sebagai keseluruhan, minat, dan motivasi intrinsik[2].
1. B.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Rekonstruksi Sosial

Dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang
dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknolgi, serta
bekerja secara secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju
pembentukan masyarakat yang lebih baik[3].
Kurikulum model ini difokuskan pada problem yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Model
kurikulum ini bersumber dari aliran pendidikan interaksional. Desain yang ditampilkan dalam
kurikulum rekonstruksi sosial adalah sebagai berikut:
1. Asumsi tujuan utama kurikulum model ini adalah menghadapkan peserta didik pada
tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang dihadapi manusia (teori konflik).
Tantangan itu mencakup masalah masyarakat yang bersifat universal yang dapat dikaji
dalam kurikulum.
2. Masalah-masalah sosial yang ada memberi kontribusi pertanyaan-pertanyaan masalah
sosial yang harus dijawab dengan aktivitas kurikulum.
3. Pola-pola organisasi membuat kegiatan pleno yang membahas tema utama yang dijadikan
bahan dalam diskusi kelompok.

Kurikulum model ini pada dasarnya menghendaki adanya proses belajar yang menghasilkan
perubahan secara relatif tetap dalam perilaku, yaitu dalam berpikir, merasa, dan melakukan. Bila
pendidikan dapat mengubah tingkah laku individu, pendidikan itu dapat pula mengubah
masyarakat, sehingga sekolah dipandang sebagai agent of change. Sifat pendidikan selalu
mengacu pada masa depan sekalipun menggunakan masa lampau dan masa kini sebagai
pijakanny. Oleh karena itu, pendidikan dapat mengatur dan mengendalikan perkembangan sosial
dengan menggunakan teknik social engineering untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan[4].
1. C.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Akademik

Dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistemisasi disiplin ilmu
masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistemisasi tertentu yang berbeda dengan
sistemisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara
menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik,
yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu[5].
Model kurikulum ini sangat mengutamakan pengetahuan, sehingga pendidikan diarahkan lebih
bersifat intelektual. Konotasi model ini tidak hanya menerima apa yang disampaikan dalam
perkembangan, tetapi juga menerima proses belajar yang dialami peserta didik. Sumber model
subjek akademis dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada
masa lalu. Semua pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan pada pemikiran masa lalu,
sedangkan masa kini hanya memelihara dan mewarisi hasil budaya masa lalu tersebut.
Sebaliknya, kurikulum lebih mengutamakan isi pendidikan dan peserta didik merupakan usaha
untuk menguasai isi pendidikan sebanyak-banyaknya.
Sekolah adalah tempat peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Tanpa fungsi itu,
eksistensi sekolah akan kehilangan pamornya yang paling utama. Saat memuncak, model subjek
akademis (istilah lain rasionalisasi-akademis) ini mengalami perkembangan menjadi tiga struktur
disiplin, yaitu:
1. Aliran yang melanjutkan struktur disiplin, aliran ini menonjolkan proses penelitian
ilmiah, baik masalah sosial, nilai-nilai, maupun kebijaksanaan tokoh-tokoh pemerintah.
Kritik yang timbul pada aliran ini adalah pendidikan menghasilkan manusia-manusia
sinis, dingin, objektif rasional dan tidak mempunyai kepercayaan. Selain itu aliran ini pun
menghasilkan manusia-manusia yang tidak memiliki cita-cita nasional dan tidak memiliki
pemujaan terhadap pahlawan serta emosinya miskin.
2. Pelajar terpadu, dalam memahami masalah yang kompleks, aliran ini menggunakan
beberapa disiplin ilmu yang terpadu yang diperoleh dari pelajaran konsep-konsep pokok,
proses-proses ilmiah, gejala-gejala alam, dan masalah-masalah yang dihadapi. Oleh
karena itu pendekatannya adalah interdisipliner.
3. Pendidikan fundamental yang mementingkan isi dan materi, disamping cara-cara atau
proses berfikir.
Secara umum, kurikulum model subjek akademis dipandang sebagai model yang masih sepihak
dan belum mampu mengintegrasikan antara nilai lama dan nilai baru, padahal islam

menghendaki adanya model yang interdisipliner dan integratif terhadap semua masalah-masalah
kehidupan[6].
1. D.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologik

Dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi
sukses, dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut[7].
Kurikulum sebagai model teknologi pendidikan menekankan pada penyusunan program
pengajaran dan rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran
ini dapat menggunakan sistem saja, atau juga dengan alat atau media. Selain itu, dapat juga
dipadukan. Dalam konteks kurikulum model teknologi, teknologi pendidikan mempunyai dua
aspek, yakni hardware berupa alat benda keras seperti proyektor, TV, LCD, radio, dan
sebagainya, dan software berupa teknik penyusunan kurikulum, baik secara mikro maupun
makro. Teknologi yang telah diterapkan adakalanya berupa PPSI atau Prosedur Pengembangan
Sitem Intruksional, pelajaran berprogram dan modul. Pada segala kebijakan yang bersifat teknispraktis, Islam memberikan otonomi bagi penyelenggara pendidikan seluas-luasnya, termasuk
mengadopsi dari yang lain[8].
1. E.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Kurikulum adalah subsistem dalam dunia pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari proses
dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan kompetensi adalah pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai yng diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Jadi,
Kurikulum Berbasis Kompentensi adalah kurikulum yang secara dominan menekankan pada
kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dalam setiap mata pelajaran pada setiap jenjang
sekolah. Sebagai implikasinya akan terjadi pergeseran dari dominasi penguasaan kongnitif
menuju penguasaan kompetensi tertentu. Kompetensi yang dituntut terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Kompetensi tamatan yaitu, kompetensi minimal yang harus dicapai oleh siswa setelah
menamatkan sesuatu jenjang paendidikan tertentu
2. Kompetensi mata pelajaran, yaitu kompetensi minimal yang harus dicapai pada saat
siswa menyelesaikan mata pelajaran tertentu
3. Kompetensi dasar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap
bahasan atau materi tertentu dalam satu bidang tertentu.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen
sebagai framework, yaitu:
1. Kurikulum dan hasil belajar. Memuat perencanaan pembangunan kompetensi peserta
didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai 18 tahun dan juga memuat
hasil belajar, indikator, dan materi.
2. Penilaian berbasis kelas. Memuat prinsip sasaran dan pelaksanaan penilaian
berkelanjutan yang lebih akurat dan konsistensebagai akuntabilitas public melalui
identifikasi kompetensi dari indikator belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas

tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan
pelaporan.
3. Kegiatan belajar mengajar. Memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran
untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan pedagogis dan adragogis yang
mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.
4. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga
pendidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar, pola ini
dilengkapi dengan gagasan pembentukan kurrikulum (curriculum council),
pengambangan perangkat kurikulum[9].
Landasan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Antara lain:
1. Filosofis
Landasan filosofis yang mendasari pengembangan kurikulum berbasis kompetensi adalah
penerapan dari pandangan konstruktivisme dalam pendidikan. Dalam pandangan ini lebih
tercurah kepada pemberdayaan potensi dan kemampuan anak. Sehingga siswa mendapat
pembelajaran dengan mengutamakan kualitas proses dan hasil dalam hal ketercapaian
kompetensi yang ingin diharapkan dalam pembelajaran.
1. Yuridis
Landasan yuridis yang mendasari adanya penyempurnaan kurikulum antara lain:
1. Perubahan pada UUD 1945 Pasal 31 tentang pendidikan
2. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004: Bab IV bagian E, butir 3,
mengenai pembaruan system pendidikan termasuk di dalam-nya pembaruan kurikulum.
3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999: Bab IV Pasal 7 tentang Kewenangan Daerah.
5. Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah
Propinsi sebagai daerah otonom.
6. Sosiologis
Landasan sosiologis yang mendasari pengembangan kurrikulum berbasis kompetensi, antara
lain:
1. Perkembangan kehidupan yang ditandai oleh beberapa ketimpangan dalam kehidupan,
seperti moral, akhlak, jati diri bangsa, social, politik serta ekonomi.
2. Upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini belum mencapai taraf yang memadai
yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pada umumnya.
3. Empiris

Landasan empiris yang mendasari pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Dalam kajian dokumen kurikulum di indonesia sejak kurikulum 1975, 1984, dan 1994
pada dasarnya ialah kurikulum berbasis materi, sehingga dalam pembelajarannya terasa
terburu-buru dan menekankan pencapaian materi yang menjadi tuntutan kurikulum dan
mengenyampingkan kebutuhan ketercapaian kompetensi yang seharusnya dicapai oleh
siswa.
2. Dari hasil kajian terhadap kajian literatur, kurikulum, buku panduan, dan buku-buku
pelajaran dinegara-negara maju. Seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan
Singpura, perkembangan pendekatan kurikulum sejak akhir 1960-an sampai dengan
tahun 1980-an telah menggunakan pendekatan berbasis kompetensi (competence based
approach) dan pendekatan belajar tuntas (mastery learning approach[10]).
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dilakukan atas berbagai pertimbangan, antara
lain:
1. Menyadari bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini belum mencapai pada
taraf yang memadai yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pada
umumnya.
1. Referensi mengenai mutu pendidikan perlu didudukkan secara utuh yang
mencakup watak, keimanan, dan kewatakan, akhlak, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan perbuatan/perilaku (amal).
2. Selama ini pendidikan sejak sekolah dasar penekanan cenderung diberikan pada
pembekalan pengetahuan seolaholah mereka semuanya akan menempuh
pendidikan sampai pendidikan tinggi. Pandangan seperti ini telah menggeser dan
membentuk persepsi masyarakat yang kurang meningkatkan pembentukan watak
dan pembiasaan perilaku, serta penguasaan keterampilan hidup (life-skill).
Padahal kenyataannya secara kelompok dari SD/MI yang melanjutkan ke
perguruan tinggi hanya sekitar 12 %.[11]
3. F.

Pendekatan Pengembangan Kurikulum Berbasis Life Skill

Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan kurikulum berbasis kompetensi lebih


berorientasi pada upaya penyiapan para peserta didik yang siap pakai untuk menjadi kuli di muka
bumi, yakni siap dipakai di perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga lainnya. Untuk siap
dipakai, diperlukan special skill atau keterampilan /keahlian khusus sesuai dengan konsentrasi
studinya yang programnya dikembangkan dan melibatkan para users, kelompok/organisasi
profesi atau stakeholders lainnya. Hanya saja persoalannya adalah apabila perusahaan atau
lembaga-lembaga lainnya tidak membutuhkan special skill mereka, itu artinya mereka tidak
dipakai walaupun siap dipakai. Disinilah perlunya life skill dan leader life skill. Agar mereka
mampu menghadapi problema hidup dan kehidupannya secara wajar, mampu mengenal diri,
mampu hidup secara mandiri, mampu mengelola serta memimpin dirinya untuk melihat
kebutuhan-kebutuhan dan peluang-peluang yang dapat mengarahkan dirinya untuk dapat
menjalankan fungsinya dalam hidup di dunia ini. Karena itu program pendidikan selayaknya

tidak hanya dikembangkan dengan berbasis kompetensi tetapi juga perlu dikembangkan dengan
berbasis life skill.
Kurikulum berbasis life skill dikembangkan bertolak dari kebutuhan, kemampuan, minat dan
bakat dari peserta didik itu sendiri. Kemampuan menjalankan tugas atau pekerjaan tertentu
sebagai ide dasar dari kurikulum berbasis kompetensi, merupakan bagian dari life skill, bukan
satu-satunya. Dan dengan kurikulum berbasis life skill ini, peserta didik atau lulusan diharapkan
dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan untuk mau hidup dan berani menghadapi problema
hidup secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta
menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya.
Pengembangan kurikulum berbasis life skill bertolak dari suatu pandangan dasar bahwa
pendidikan ditujukan untuk hidup, bukan untuk sekedar mencari kerja. Hidup (al-Hayah) adalah:
Inna al-hayah hiya al-harakah wa al-harakah hiya al-barakah wa al-barakah hiya al-nimah
wa al-ziyadah wa al-saadah. Hidup adalah bergerak (dinamis) yang dapat membawa berkah
(kebajikan rohani dan jasmani, atau sesuatu yang mantap, kebajikan yang melimpah, beraneka
ragam, serta berkesinambungan. Dan hidup yang berkah yakni hidup yang membawa nikmat
(anugerah, ganjaran, kelapangan rizki dsb), nilai tambah dan kebahagiaan[12].
Model pengembangan kurikulum berbasis life skill:
Life skill dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu: pertama, General Life Skill, yang
mencakup:
1. Personal skill atau self awarness, yang mencakup: (a) penghayatan diri sebagai makhluk
Tuhan, anggota masyarakat dan warga negara. (b) menyadari kelebihan dan
kekurangannya serta mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepadanya, sekaligus
menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.
2. Thinking skill, yang mencakup: (a) information searching skill atau kecakapan menggali
dan menemukan informasi (b) information processing and decission making skill, atau
kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan. (c) creative problem solving
skill, atau kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
3. Social skill, yang mencakup: (a) kecakapan komunikasi dengan empati, dan dan (b)
kecakapan bekerja sama (colaboration skill).
Kedua, Specific life skill, yang mencakup:
1. Academic skill, atau kemampuan berfikir ilmiah (scientific method) yang mencakup
antara lain: (a) identifikasi variabel, (b) merumuskan hipotesis, (c) melaksanakan
penelitian.
2. Vocational skill (kecakapan vokasional) atau keterampilan kejuruan, yakni keterampilan
yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat di lingkungan atau
masyarakatnya.

Di dalam kehidupan sehari-hari antara general life skill dan specific life skill tidak terpisah
secara eksklusif, tetapi merupakan suatu kesatuan yang terjadi pada tindakan individu yang
melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual[13].

[1] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2003)
hal. 150
[2] Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 146
[3] Muhaimin, Arah, hal. 150
[4] Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Ilmu, hal. 147
[5] Muhaimin, Arah, hal. 150
[6] Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Ilmu, hal 145.
[7] Muhaimin, Arah hal. 150
[8] Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Ilmu, hal. 148.
[9] Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan anak bangsa, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 169-171
[10] Ibid, hal. 174-176
[11]Ibid, hal. 178-179
[12] Muhaimin, Arah, hal. 156
[13] Ibid, hal. 158

Share this:

Twitter
Facebook29

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan sebuah Komentar


Belum ada komentar.

Umpan RSS untuk komentar-komentar pada pos ini. TrackBack URI

Berikan Balasan

Anda mungkin juga menyukai