Anda di halaman 1dari 15

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

RM.01.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul :

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun oleh :

Telah Disetujui Oleh Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Pada tanggal : April 2015

RM.02.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

ANAMNESIS

Nama : Ny. M
Umur : 76 tahun

Nama

: Ny. M

Usia

: 76 tahun

Tanggal lahir

: 23 September 1938

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Butuh, Purworejo

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

: SD

Agama

: Islam

Datang ke Poli Tanggal

: 6 April 2015

Diagnosis Masuk

: Dermatitis Kontak Alergi

Dokter Pembimbing

Ruang
Kelas

: Poli
: II

Tanggal : 6 April 2015


Berdasarkan anamnesis dengan pasien didapatkan :
Keluhan Utama

: Gatal di leher dan perut

Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Saras


Husada Purworejo diantar oleh suaminya, dengan keluhan
gatal di leher dan perut sejak 1 minggu yang lalu. Pasien
mengatakan awalnya muncul bentol kecil dan terasa gatal
yang hilang timbul. Gatal bertambah saat malam hari.
Kemudian pada bentolan tersebut ia olesi dengan minyak kayu
putih, namun kulitnya berubah menjadi merah dan gatalnya
tidak hilang. Dari hari ke hari dirasa gatal bertambah banyak
dan semakin melebar hingga ke seluruh leher bagian depan
dan perutnya.

RM.03.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat asma
Riwayat alergi debu, suhu,
obat, makanan
Riwayat DM
Riwayat keluhan serupa
Riwayat penyakit kulit
sebelumnya
Riwayat kontak dengan
bahan iritan sebelumnya

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat keluhan serupa
Riwayat DM

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Personal Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan :

Sosial
Pasien tinggal di rumah berdua dengan suaminya. Pasien merupakan ibu rumah tangga
yang kesehariannya berada di rumah.

Ekonomi
Sumber pendapatan keluarga didapat dari suaminya yang bekerja sebagai pensiunan.
Penghasilan yang didapat dirasa cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Lingkungan
Lingkungan rumah kurang terjaga kebersihannya.

Kesan

: Sosial dan ekonomi memadai. Keadaan lingkungan di sekitar pasien kurang terjaga
kebersihannya.

PEMERIKSAAN
FISIK

Nama : Ny. M
Umur : 76 tahun

Ruang
Kelas

: Poli
: II

RM.04.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Tanggal Pemeriksaan

: 6 April 2015

Keadaan umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis

Tanda vital

: TD

: 110/80 mmHg

: 68 x/menit

RR

: 18 x/menit

: afebris

Pemeriksaan dermatologi :
Pada leher dan perut terdapat lesi plak erytem berbatas tegas dengan skuama tipis di atasnya.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji tempel (tidak dilakukan)

DIAGNOSIS KERJA

Dermatitis Kontak Alergi akibat pemakaian minyak kayu putih

DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis Atopik

Dermatitis Nummularis

Psoriasis

TERAPI DAN EDUKASI


Medikamentosa
R/ Stenirol mg 8 No. X
S 2 dd I
RM.05.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

R/ Rydian No. X
S 1 dd I
R/ Lotasbat oint tube I
mfla da in pot
S 2 dd ue

Edukasi :
Memberi penjelasan kepada pasien tentang penyakit, penyebab, dan cara
pengobatannya.
Menghindari kontak kembali dengan allergen penyebab.
Pasien diminta untuk tidak menggaruk bagian yang gatal karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan,
berupa efloresensi polimorfik berupa eritema, edema, papula, vesikel, skuama, dan
likenifikasi.
RM.06.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Salah satu jenis dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak merupakan
istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan
kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan
oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI
bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas
dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan
kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang
terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat , atau reaksi imunologi tipe IV yang dimediasi terutama oleh
limfosit yang sebelumnya tersensitisasi sehingga menyebabkan peradangan dan edema pada
kulit (National Occupational Health and Safety Commision, 2006).
B. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan
bahan - bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja
(DKAK). Angka kejadian ini sebenarnya 20 - 50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang
dilaporkan (National Institute of Occupational Safety Hazards, 2006).

C. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500 - 1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit. Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh - tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac.
RM.07.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3 - enta
decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium
dichromat (semen, pembersih alat - alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat
rambut,

obat

obatan),

mercaptobenzotiazol

(karet),

tiuram

(fungisida)

dan

parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi).


D. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell - mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi. Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak
alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda,
2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang
disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi
antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini
kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting
cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel Langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen
yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi
dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel
memori.

Sel - sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase
saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase
sensitisasi. Fase ini rata - rata berlangsung selama 2 - 3 minggu (Djuanda, 2003).
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang
sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel
Langerhans akan mensekresi IL - 1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL - 2.
Selanjutnya IL - 2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL - 1 dan INF gamma akan
RM.08.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

merangsang keratinosit memproduksi ICAM - 1 (intercellular adhesion molecule - 1) yang


langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan
kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan
sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E 1 dan 2 (PGE - 1,2) oleh sel makrofag
akibat stimulasi INF gamma. PGE - 1,2 berfungsi menekan produksi IL - 2 dan sel T serta
mencegah kontak sel T dengan keratisonit.
Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul
CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T
terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.
E. Gambaran histologis
Pada DKA mengungkapkan bahwa dermis diinfiltrasi oleh sel inflamasi
mononuklear, terutama pada pembuluh darah dan kelenjar keringat. Epidermisnya
hiperplastik dengan invasi sel mononuklear. Sering vesikel intraepidermal terbentuk, yang
bisa bergabung menjadi lepuh yang besar. Vesikula dipenuhi dengan granulosit yang
mengandung serosa dan sel mononuklear. Dalam sensitivitas kontak Jones-Mote, selain
akumulasi fagosit mononuklear dan limfosit, basofil ditemukan. Ini merupakan perbedaan
penting dari reaksi hipersensitivitas tipe TH 1, di mana basofil benar benar tidak ada.

F. Gejala Klinis
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi
dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi
dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
RM.09.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu
(phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine)

bisa

menyebabkan

dermatitis

purpura,

dan

derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat


disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).
G. Penegakkan Diagnosis
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan
anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam
(nikel).
Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan - bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada
keluarganya (misalnya dermatitis atopik).
Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan durasi. Pada
kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan macula dan papula eritema, vesikel, atau
bula, tergantung pada intensitas dari respon alergi. Namun, dalam DKA akut di daerah
tertentu dari tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya
mendominasi dibandingkan vesikel. Batas batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA
pada wajah dapat mengakibatkan pembengkakan periorbital yang menyerupai angioedema.

Pada fase subakut, vesikel kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan
lichenifikasi dini bisa saja terjadi. Pada DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling,
likenifikasi, dermatitis yang pecah pecah

(membentuk fisura), dengan atau tanpa

papulovesikelisasi yang menyertainya.


DKA tidak selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup likenoid
kontak, eritema multiformis (EM), hipersensitivitas kontak kulit seperti selulitis, leukoderma
kontak, purpura kontak, dan erythema dyschromicum perstans. Dari jumlah tersebut, varian
lichenoid dan EM terlihat paling sering. Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam
RM.010.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

kemudahan tersensitisasi. Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor yang


tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat kelamin adalah salah
satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan telapak tangan, telapak kaki, dan kulit
kepala lebih resisten.
Pemeriksaan penunjang menggunakan Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo) untuk
mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen
dapat ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil. Uji tempel dapat di administrasikan
dengan thin layer rapid use epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium yang
disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang pada tape Scanpor.
Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun jika hanya satu atau
dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat digunakan. Tempelan dihapus setelah 48
jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang
ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke 4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak
muncul sebelumnya.
Uji Photo patch digunakan untuk mengevaluasi foto alergi kontak terhadap zat
seperti sulfonamid, fenotiazin, p aminobenzoic acid, oxybenzone, 6 metil kumarin, musk
ambrette, atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar diterapkan selama 24 jam,
hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari ultraviolet A dan dibaca setelah 48 jam.
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila
mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula
di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan
pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester.
Setelah 48 jam dibuka.
Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk
bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa
eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula.
Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi,
sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan
menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin
meningkat (reaksi tipe crescendo).
H. Diagnosis Banding
RM.011.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran


morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis kontak iritan, dermatitis atopik,
dermatitis numularis, psoriasis. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.
Dermatitis atopik sering onsetnya pada masa bayi atau anak usia dini. Kulit tampak kering
dan meskipun pruritus merupakan fitur yang menonjol, pruritus akan muncul sebelum lesi,
bukan setelah lesi. Daerah yang paling sering terlibat adalah permukaan fleksura. Batas
dermatitis tidak tegas, dan perkembangan dari eritema ke papula dan ke vesikel tidak
terlihat. Dermatitis psoriatic ditandai oleh plak eritematosa berbatas tegas dengan sisik
warna putih keperakan. Lesi sering didistribusikan secara simetris di atas permukaan
ekstensor seperti lutut atau siku. Dermatitis iritan primer mungkin hampir tidak bias
dibedakan dalam penampilan fisiknya dari DKA. Perlu ditekankan bahwa mungkin ada
kondisi kondisi kulit lainnya yang menyertai. Hal ini tidak biasa untuk melihat DKA
disebabkan oleh obat topical yang digunakan sebagai pengobatan dermatitis atopik maupun
dermatitis lainnya.
DKA harus dibedakan dari urtikaria kontak di mana ruam muncul dalam beberapa
menit setelah pemaparan dan memudar dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Reaksi
alergi terhadap lateks adalah contoh terbaik dari urtikaria kontak alergi.

I. Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan
kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003; Djuanda, 2003; Health and
Safety Executive, 2009). Penatalaksanaan awal dari semua jenis DKA diduga terdiri dari
reduksi atau, jika memungkinkan, eliminasi semua alergen yang dicurigai dan penggunaan
steroid topical atau terutama di wajah inhibitor kalsineurin topikal untuk mengembalikan
kulit menjadi normal.
RM.012.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Terapi Gejala. Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat
bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi likenifikasi paling
baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritus topikal atau
antihistamin oral, antihistamin topical atau anestesi sebaiknya dihindari karena risiko
merangsang alergi sekunder pada kulit yang sudah mengalami dermatitis.
Pengobatan dengan agen fisikokimia yang mengurangi respon juga mungkin
diperlukan. Glukokortikoid, macrolaktam, dan radiasi ultraviolet yang paling banyak
digunakan. Individu dengan DKA akibat kerja yang secara ekonomi tidak mampu untuk
berhenti bekerja dengan alergen dan yang juga tidak dapat bekerja dengan sarung tangan
atau krim pelindung, dapat mengambil manfaat dari terapi UVB atau PUVA.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel,
serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan
kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang
ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid
sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal.
J. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan
dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.

Individu dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis persisten atau
kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat diidentifikasi atau jika mereka
terus menggunakan perawatan kulit yang tidak lagi sesuai (yaitu, mereka terus
menggunakan bahan kimia untuk mencuci kulit mereka dan tidak menggunakan emolien
untuk melindungi kulit mereka). Semakin lama seorang individu mengalami dermatitis yang
parah, semakin lama dermatitis dapat disembuhkan setelah penyebabnya terindentifikasi.
Beberapa individu memiliki dermatitis persisten diikuti dermatitis kontak alergi, yang
tampaknya benar terutama pada individu yang alergi terhadap krom. Masalah yang khusus
RM.013.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

adalah neurodermatitis (lichen simpleks chronicus), di mana individu berulang kali


menggosok atau menggaruk daerah awalnya terpengaruh oleh dermatitis kontak alergi.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin Dali, Ilmu Penyakit Kulit, Makassar : Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran Hasanuddin, 2003 : Hal 249-251.

RM.014.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


NO.RM : 28-62-XX

Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6 th ed. New York:
The McGraw-Hill; 2003. h. 1164-1179.
Djuanda, Prof.DR.Adhi, dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 9. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009 : Hal 133 138.
Irma D Mahadi Roseyanto, Ekzema dan Dermatitis : Ilmu Penyakit Kulit. Harahap M, Editor.
Hipokrates Jakarta : 2000. Hal 7-9, 22-26.
Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3 rd ed. USA: Mosby Inc;
2002. h. 3-33.
Scheman AJ. Contact Dermatitis. In: Grammer LC, Greenberger PA (eds). Pattersons Allergic
Disease. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. h. 387-401.
Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 20-33.

RM.015.

Anda mungkin juga menyukai