Anda di halaman 1dari 11

Karya akhir

PENGARUH PEMBERIAN DIFENHIDRAMIN PADA PENCEGAHAN


AGITASI PASCA ANESTESI PASIEN PEDIATRIK DENGAN
SEVOFLURAN
DYPHENHIDRAMINE EFFECT ON PREVENTION OF SEVOFLURANE
INDUCED POST ANESTHESIA AGITATION IN PEDIATRIC

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan


dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Anestesiologi dan Terapi Intensif

Disusun oleh :
dr. Ika Cahyo Purnomo
Pembimbing :
dr. Johan Arifin, SpAn, KIC, KAP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
0

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pediatri bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Penatalaksanaan pediatri dalam
periode perianestesi unik dan berbeda dari penatalaksanaan anestesi pasien dewasa. Masa
bayi dan masa pediatri dikaitkan dengan sejumlah masalah medis yang sering berlanjut pada
masa remaja dan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan mendasar antara
pediatri dan dewasa, meliputi perbedaan anatomi, fisiologi, respon farmakologi dan psikologi
disamping prosedur pembedahan yang berbeda pada pediatri. Fisiologi sistem organ sedang
berkembang, dan dengan demikian, farmakologi obat anestesi turut berbeda. Walaupun
terdapat perbedaan yang mendasar, tetapi prinsip utama anestesi yaitu

kewaspadaan,

keamanan, kenyamanan, dan perhatian yang seksama baik pada pediatri maupun dewasa
adalah sama 1.
Banyak ahli anestesi menganggap anestesi inhalasi adalah metode yang ideal untuk
pediatri. Senyawa inhalasi adalah tulang punggung anestesi umum pada pasien pediatri sejak
anestesi umum pertama kali diberikan kepada pasien pediatri pada pertengahan abad ke19M. Bayi yang baru lahir dan balita menyerap anestesi lebih cepat daripada orang dewasa
karena tingkat ventilasi alveolar tinggi dan koefisien distribusi darah - gas yang lebih kecil
untuk agen anestesi. Koefisien distribusi darah - gas pediatri adalah 12 % lebih rendah
daripada dewasa muda untuk halotan, enfluran dan isofluran, dan untuk bayi yang baru lahir
koefisien tersebut 18 % lebih rendah. Distribusi agen anestesi dipengaruhi oleh

ruang

ekstraseluler yang longgar dan perbedaan dalam permeabilitas membran, dimana pada
pediatri, sawar darah otak belum matang, sehingga zat anestesi lebih mudah menembus sawar
tersebut. Hal ini menyebabkan induksi dengan agen inhalasi lebih nyaman dan cepat pada
pasien pediatri. Karena tingkat metabolisme pada pediatri juga lebih lambat, terutama pada
bayi baru lahir, biasanya pemeliharaan anestesi juga diberikan melalui agen inhalasi. Hal ini
dapat menghindarkan dari residu obat intravena yang belum termetabolisme, terutama oleh
sistem hepatal2.

Sevofluran adalah salah satu agen anestesi inhalasi yang banyak digunakan pada
pediatri. Karena baunya menyenangkan, iritabilitas respiratorik minimal dan induksi serta
pemulihan yang cepat membuat sevofluran sangat baik untuk induksi inhalasi. Kedalaman
anestesi dengan sevofluran juga relatif mudah dikendalikan sehingga ideal untuk anestesi
pediatri. Pemulihan
terbukti

dari

anestesi

umum

lebih

cepat dengan sevofluran dan telah

pada sebagian besar penelitian, karena kelarutan yang rendah dan eliminasi

sevofluran lebih cepat daripada obat anestesi inhalasi lainnya. Namun demikian kejadian
agitasi lebih besar pada pediatri yang diberi anestesi dengan sevofluran dibandingkan
dengan pediatri yang diberi anestesi dengan halotan. Pemulihan yang cepat dari sevofluran
merupakan faktor yang berperanan timbulnya agitasi pada pasien pediatri 3.
Munculnya delirium atau agitasi adalah masalah yang

berarti pada pulih sadar

pediatri4.Delirium atau agitasi saat pulih sadar pada pada pediatri merupakan suatu keadaan
disosiasi kesadaran ditandai dengan keaadaan tidak kooperatif, meronta-ronta, dan
inkoherensi. Kejadian delirium dan agitasi banyak ditemui pada pediatri yang mendapatkan
anestesi dengan desfluran dan sevofluran

5,6,7

. Kejadian agitasi saat pulih sadar pada pediatri

merupakan suatu fenomena bersifat akut yang dapat berhenti sendiri (5-15 menit). Namun
dapat bertambah parah apabila tidak ditangani dengan segera. Dalam keadaan ini, pediatri
menimbulkan bahaya bagi diri mereka sendiri dan lingkungannya, termasuk tenaga
kesehatan. Komplikasi yang timbul antara lain peningkatan pendarahan, risiko jatuh, risiko
trauma, penggunaan obat yang lebih besar dan masa rawat di Post Anesthesia Care Unit
(PACU) yang lebih lama. Komplikasi lainnya yang lebih berat dapat berupa terlepasnya akses
vena, drain, kateter, dan alat monitor lain 8.
Penjelasan teoritis untuk agitasi pasca anestesi meliputi proses bangun yang cepat
dalam lingkungan yang asing, pemulihan yang tidak bersamaan dari fungsi sistem saraf pusat,
withdrawal yang cepat dari agonis reseptor Gamma Butiric Acid (GABA), dan efek samping
psikomotor yang belum dapat sepenuhnya dimengerti6,7.
Faktor risiko agitasi dan delirium meliputi usia anak lebih muda dari 5 tahun, prosedur
THT atau bedah mata, penggunaan isofluran, sevofluran atau desfluran, pulih sadar yang
cepat, pemakaian opioid intraoperatif, orang tua cemas, komunikasi perioperatif yang buruk,
dan skor adaptasi rendah9,10. Ketakutan dan kecemasan selama periode perioperatif diduga
dapat mempengaruhi perilaku saat pemulihan pasca operasi. Nyeri yang tidak tertangani
dengan baik juga diduga sebagai penyumbang utama fenomena ini, namun terdapat pula
2

penelitian yang menunjukkan insiden agitasi dan delirium yang tinggi pada pasien pediatri
yang bebas nyeri 11.
Beberapa instrumen dan terapi telah diusulkan dan dipelajari untuk mengevaluasi dan
sistem penilaian dengan menggunakan lima kriteria (kontak mata, gerakan tujuan, kesadaran
lingkungan, gelisah, inconsolability), yang valid dan reliabel dalam menilai tingkat keparahan
delirium dan agitasi pasca anestesi 12. Profilaksis fentanil intravena dosis tunggal 2,5 mcg /
kg, klonidin 2 mcg / kg, ketamin 0,25 mg / kg, nalbuphine 0,1 mg / kg, atau
deksmedetomidin 0,15 mcg / kg telah terbukti menurunkan kejadian delirium dan agitasi
pasca anestesi

13-15

. Cara pemberian obat lainnya seperti fentanil intranasal 1 mcg / kg dan

klonidin oral 4 mg / kg juga efektif16. Aouad dan rekan menemukan bahwa 1 mg / kg


propofol setelah penghentian sevofluran pada akhir operasi menurunkan kejadian agitasi dan
delirium pada saat pulih sadar tanpa memperpanjang masa tinggal di PACU 17.
Difenhidramin adalah antihistamin generasi pertama digunakan untuk mengobati
beberapa kondisi termasuk gejala alergi dan gatal-gatal, pilek, insomnia, mabuk perjalanan,
dan gejala ekstrapiramidal. Difenhidramin sangat mudah menembus sawar darah otak,
sehingga dapat bekerja secara aktif pada reseptor-reseptor pada sistema syaraf pusat.
Sebagaimana antihistamin generasi pertama lainnya, difenhidramin merupakan agonis
dominan H-1 non selektif, yang berarti bahwa selain bekerja secara dominan pada reseptor H1, obat ini juga dapat berinteraksi dengan berbagai reseptor lainnya. Salah satu efek
difenhidramin pada reseptor H-1 pada sistema syaraf pusat adalah rasa mengantuk, tanpa
disertai dengan depresi nafas

18

. Obat ini juga terbukti memiliki efek anti-obsesif ringan

dalam penelitian mengenai pengobatan gangguan obsesif kompulsif 19. Difenhidramin juga
berinteraksi dengan reseptor opioid, sehingga memiliki efek potensisasi analgetik. Efek
difenhidramin pada sodium voltage ion-channel juga serupa dengan yang dihasilkan oleh
anestesi lokal

18

. Difenhidramin saat ini merupakan salah satu alternatif obat untuk

penatalaksanaan farmakologis delirium dan agitasi akut pada pediatri di ruang rawat
intensif19. Meski demikian, belum ada penelitian yang menyelidiki penggunaan obat ini
untuk pencegahan delirium dan agitasi saat pulih sadar pasca anestesi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh

pemberian difenhidramin

intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden agitasi saat pulih sadar dari
anestesi umum pada pasien pediatrik yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi
umum dengan gas inhalasi sevofluran.
3

1.2. Rumusan masalah


Apakah pemberian difenhidramin intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dapat
menurunkan insiden agitasi saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik yang
menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum dengan gas inhalasi sevofluran ?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh pemberian difenhidramin intravena dosis tunggal sebelum
ekstubasi terhadap insiden agitasi saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik
yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum dengan gas inhalasi sevofluran
1.3.2. Tujuan khusus
1.
Mengetahui skor PAEDS pediatri yang mendapatkan sevofluran
2.
Mengetahui skor PAEDS pediatri yang mendapatkan sevofluran

dan

3.

difenhidramin
Mengetahui waktu tercapainya skor Steward >5 tanpa nilai 0 pada pediatri yang

4.

mendapatkan sevofluran
Mengetahui waktu tercapainya skor Steward >5 tanpa nilai 0 pada pediatri yang

5.

mendapatkan sevofluran dan difenhidramin


Mengetahui jumlah rescue tranquilizer pada pediatri yang mendapatkan

6.

sevofluran
Mengetahui jumlah rescue tranquilizer pada pediatri yang mendapatkan

7.

sevofluran dan difenhidramin


Menganalisis perbedaan skor PAEDS, perbedaan jumlah rescue tranquilizer dan
waktu tercapainya skor Steward >5 tanpa nilai 0 pada pediatri yang yang
mendapatkan sevofluran dengan dan tanpa difenhidramin

1.4. Manfaat penelitian


1.
Memberikan informasi untuk pengelolaan pasca operasi pediatrik
2.
Memberikan dasar bagi penelitian berikutnya
1.5. Originalitas
Penelitian ini meneliti tentang intervensi farmakologis pada agitasi dan delirium saat
pulih sadar anestesi pada pasien pediatri yang mendapatkan anestesi umum dengan
sevofluran. Sevofluran, meskipun nyaman dan mudah penggunaannya bagi ahli anestesi,
namun dikenal sebagai salah satu agen inhalasi yang

menjadi faktor resiko terjadinya

delirium dan agitasi pasca anestesi. Intervensi farmakologis merupakan salah satu cara
mengatasi agitasi dan delirium pasca anestesi. Obat yang digunakan sebagai obat intervensi
4

dalam penelitian ini adalah difenhidramin, suatu antagonis Histamin H-1 generasi pertama,
yang belum pernah diteliti penggunaannya pada agitasi dan delirium pasca anestesi, namun
telah dikenal penggunaannya pada agitasi dan delirium akut di ruang rawat intensif. Penilaian
agitasi dan delirium pada penelitian ini menggunakan PAED score yang telah terbukti
reliabilitasnya dalam menilai agitasi dan delirium saat pulih sadar anestesi pada pasien
pediatri. Penelitian sebelumnya yang mendasari penelitian ini terangkum dalam Tabel 1.1

Tabel 1.1 Penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini


No

Artikel dan penulis

A prospective cohort
study of emergence
agitation in the
pediatric
postanesthesia care
unit.

Metode

Hasil

Subjek adalah anak-anak berusia 3-7 tahun yang


menjalani anestesi umum untuk prosedur rawat
jalan elektif. Semua penatalaksanaan perioperatif
dan perilaku pasca operasi di unit perawatan
postanesthesia dicatat. Orangtua mengisi
Behavioral Style Questionnaire untuk anak 3 - 7tahun.

Voepel-Lewis T,
Malviya S, Tait AR.

Efektivitas Ibuprofen
dan Parasetamol
untuk Mencegah
Agitasi Pascaanestesi
Sevolfuran pada
Pasien Pediatri yang
Menjalani Labioplasti

Penelitian dilakukan pada 39 anak, usia 1 - 5


tahun ASA I yang menjalani operasi
labioplasti dengan menggunakan sevofluran
Subjek dibagi 3 kelompok secara acak buta
ganda, setiap kelompok terdiri atas 13 pasien.
Kelompok I mendapat sirup ibuprofen 20
mg/kgBB, kelompok II sirup parasetamol 35
6

Lima ratus dua puluh satu anak-anak yang


diteliti, di antaranya 96 (18%) mengalami EA.
Agitasi berlangsung hingga 45 menit dalam
beberapa kasus (kisaran, 3-45 menit; rata-rata,
14 + / - 11 menit), intervensi farmakologis yang
diperlukan pada 52% anak, dan dikaitkan
dengan masa tinggal di postanesthesia care
Unit yang lebih lama. Sepuluh faktor yang
ditemukan terkait dengan EA, termasuk usia,
pembedahan sebelumnya, kemampuan
beradaptasi, prosedur oftalmologi dan
otorhinolaryngology, sevofluran, isofluran,
sevofluran / isofluran, analgesik, dan waktu
bangun. Dari jumlah tersebut, prosedur
otorhinolaryngology, waktu untuk bangun, dan
isofluran merupakan faktor risiko independen
yang bermakna.
Perbandingan skala agitasi di ruang pemulihan
antara kelompok ibuprofen dengan kelompok
parasetamol tidak ada perbedaan yang
bermakna (p=0,709). Meskipun demikian
agitasi secara signifikan lebih rendah pada
kelompok ibuprofen dibanding kelompok
kontrol (p=0,033). Begitu juga dengan

Nama Jurnal
Anesth Analg.
2003
Jun;96(6):162530

Anestesia &
Critical Care
2006;24(2):
143-51

Hendradiana A,
Husaeni H, Bisri T

Effects of
hydroxyzinemidazolam
premedication on
sevofluran-induced
paediatric emergence
agitation: a
prospective
randomised clinical
trial.
Kner O, Tre H,
Mercan A, Menda F,
Szbir S.

mg/kgBB dan kelompok plasebo, dengan


jumlah ml dan rasa yang sama
diberikan
per oral 2 jam sebelum operasi. Skala agitasi
dan nyeri dinilai setelah eks tubasi, saat sampai
di ruang pemulihan dan 5, 10, 20, 30, 45, 60,
90 menit selanjutnya. Jumlah analgetik
emergensi yang diperlukan selama masa
observasi dicatat. Data hasil penelitian diuji
dengan uji Mann-Whitney dan dianalisa dengan
program SPSS 1 3.0 for Windows dan dianggap
bermakna bila nilai p < 0,05.

kelompok parasetamol, agitasi secara


signifikan lebih rendah dibanding kelompok
kontrol (p=0,042). Perbandingan objective
pain scale (OPS) kelompok ibuprofen dengan
kelompok parasetamol tidak ada perbedaan
yang bermakna (p=0,287).
OPS di ruang pemulihan secara signifikan
lebih rendah pada kelompok ibuprofen
dibanding kelompok kontrol (p=0,006). Begitu
juga dengan kelompok parasetamol, OPS
secara signifikan lebih rendah dibanding
kelompok kontrol (p=0,053).
Pemberian analgetik petidin di ruang
pemulihan untuk mengatasi agitasi atau nyeri
secara signifikan tidak berbeda pada ketiga
kelompok perlakuan
Delapan puluh empat anak 1-7 tahun yang
Median skor pemisahan orang tua (3 vs 2, P =
menjalani anestesi umum dengan sevofluran dan 0,01), kualitas induksi (2 vs 2, P = 0,03) dan
blok caudal dibagi dua kelompok. Anak-anak
skor sedasi (3 vs 2, P = 0,003) secara signifikan
dalam kelompok M (n = 42) diberi premedikasi
lebih baik pada kelompok MH dibandingkan
dengan 0,5 mg kg midazolam oral dan anak-anak dengan M kelompok. Skor PAED Median
dalam kelompok MH (n = 42) diberipremedikasi kelompok M (15) lebih tinggi dibandingkan
dengan 0,5 mg kg midazolam oral dan 1 mg kg
kelompok MH (11, P <0,001) dan jumlah anak
hydroxyzine diberikan 30 menit sebelum induksi dengan skor PAED lebih dari 16 juga lebih
anestesi. Blok epidural caudal dilakukan setelah tinggi pada kelompok M (n = 16) dibandingkan
induksi anestesi. Kualitas induksi, skor
dengan kelompok MH (n = 2, P <0,001). Tak
pemisahan orang tua dan munculnya agitasi
satu pun dari anak-anak memiliki skor nyeri
dievaluasi. Munculnya agitasi dievaluasi dengan lebih dari 3 selama periode penelitian.
skor PAED (Pediatric Anestesia Emergence
7

Eur J
Anaesthesiol.
2011
Sep;28(9):6405.

Pharmacologic
management of
behavioral
instability in
medically ill
pediatric
patients.
Cummings MR,
Miller BD.
Development and
psychometric
evaluation of the
pediatric
anesthesia
emergence
delirium scale.
Sikich N, Lerman J.

Delirium) setiap 5 menit selama 30 menit


pertama setelah masuk ke ruang pemulihan.
Kualitas induksi dan pemisahan orang tua dinilai
dengan skor 4-point. Nyeri pasca operasi
dievaluasi dengan 10-point Children's and
Infants' Postoperative Pain Scale.
Ada banyak ulasan, tapi sedikit penelitian yang
meneliti penatalaksanaan ketidakstabilan
perilaku dalam populasi pediatrik. Bahkan lebih
sedikit yang membahas ketidakstabilan perilaku
pada pediatri dengan kondisi medis penyerta.
Banyak agen yang efektif dapat memperburuk
kondisi tertentu atau mengganggu pengobatan
kondisi komorbid yang diderita. Tidak ada studi
prospektif mengenai topik ini.

Banyak obat psikotropika yang harus


dipertimbangkan penggunaannya pada
penatalaksanaan ketidakstabilan perilaku pada
anak-anak sakit kritis. Antihistamin,
benzodiazepin, dan antipsikotik mungkin
memiliki manfaat khusus. Penelitian definitif
masih sangat kurang dan perlu untuk
dikembangkan suatu pedoman klinis untuk hal
ini.

Curr Opin
Pediatr. 2004
Oct;16(5):51622.

Kuesioner disusun dari daftar item berskala yang


menggambarkan perilaku bangun anak, dan item
dievaluasi untuk validitas isi dan signifikansi
statistik. Item melewati tahap evaluasi ini
disusun menjadi PAED. Setiap item diskor dari 1
sampai 4dan skor dijumlahkan untuk
memperoleh skor total. Tingkat Munculnya
delirium bervariasi langsung dengan skor total.
Lima puluh anak diteliti untuk menentukan
reliabilitas dan validitas skala PAED. Validitas
skala dievaluasi dengan menggunakan lima
hipotesis: Nilai skala PAED berkorelasi negatif
dengan usia dan waktu untuk bangun dan positif

Lima dari 27 item yang memenuhi validitas isi


dan analisis statistic disusun menjadi menjadi
skala PAED: (1) Anak membuat kontak mata
dengan pengasuh, (2) tindakan anak memiliki
tujuan, (3) anak menyadari keadaan
sekelilingnya, (4) anak gelisah, dan (5) anak
tersebut tidak dapat ditenangkan. Konsistensi
internal skala PAED adalah 0,89, dan keandalan
adalah 0,84 (95% confidence interval, 0,760,90). Tiga hipotesis mendukung validitas
skala: Skor berkorelasi negatif dengan usia (r =
-0.31, P <0,04) dan waktu untuk kebangkitan (r
= -0.5, P <0,001) dan lebih besar setelah

Anesthesiology
100(5):113845.

dengan skor penilaian klinis dan skor Post


Hospital Behavior Questionnaire, dan lebih
besar setelah sevofluran daripada setelah
halotan.

sevofluran anesthesiathan halotan (P <0,008 ).


Sensitivitas adalah 0,64. waktu untuk waktu
bangun (r = -0.5, P <0,001) dan lebih besar
setelah sevofluran daripada halotan (P <0,008 ).
Sensitivitas adalah 0,64.

10

Anda mungkin juga menyukai